memenangkan pertarungan. Meskipun pada akhirnya, partai ini memilih kubu AZIMAD sebagai figur yang akan dipayungi oleh PKS.
Jaringan politik kubu NUSA dapat dilihat melalui partai yang menaunginya dalam pibgub Sultra yaitu PAN. Semua kader PAN di setiap kabupaten dan Kota
menjadi ujung tombak figur Nur Alam dalam upaya menarik simpatisan masyarakat setempat. Seperti misalnya ketua DPC PAN Kabupaten Buton, Samsu
Umar Samiun yang menjadi ujung tombak kampanye pasangan NUSA di kota Bau-Bau. Di kota Bau-Bau, Umar dibantu Arbab Paproeka sekertaris PAN serta
Drs. Djabar Hibali maju sebagai juru kampanye NUSA. Hal ini juga seperti yang terjadi di Kabupaten Bombana oleh ketua PAN kabupaten Bombana Masyurah
Ladami. Berbeda dengan kubu NUSA yang mengandalkan jaringan partai lokal,
kubu AZIMAD lebih memilih mengandalkan jaringan partai nasional dengan mendatangkan orang-orang pusat seperti Rully Chairul Tandjung, Aksa Mahmud,
Tadjuddin Noer Said serta anggota partai pusat lainnya untuk mengembalikan citranya sebagai pemimpin partai daerah lepas dari perkara HGB Hilton. Namun
demikian, strategi partai politik ini dinilai tidak efektif karena tidak menyentuh rakyat bawah serta rakyat tidak mengenal sosok pusat yang dianggap tidak ada
kaitannya dengan masyarakat daerah. Selain itu, soliditas partai Golkar terlihat rendah ketika anggota partai daerah tidak memainkan peran strategisnya di daerah
ketika Ali Mazi sebagai ketua partai terlibat masalah di pusat dan harus menetap sementara waktu di Jakarta. Koordinasi dengan anggota partai di daerah menjadi
kurang dan anggota partai terlihat diam tanpa aksi selain menunggu Ali Mazi kembali.
6.2.4 Optimalisasi Peranan Figur Politik
Peranan figur aktor politik dalam kancah politik lokal maupun nasional tidak dapat dipungkiri merupakan salah satu hal penting, bahkan dapat dikatakan
paling penting dalam sistem politik Indonesia saat ini. Pentingnya figur aktor politik bagi pilihan masyarakat menjadikan perilaku untuk mewujudkan
pencitraan positif terhadap sosok figur menjadi marak dilakukan ketika proses pilkada berlangsung. Bahkan jauh sebelum pilkada digelar, figur yang
memastikan akan ikut dalam arena politik tersebut berupaya sedini mungkin membangun pencitraan dan figur positif di tengah masyarakat.
Bagi kubu NUSA, Nur Alam sebagai calon Gubernur telah memulai ”unjuk kebolehan” disaat suksesi Walikota Kendari 2001 digelar. Figur
pengusaha-politikus muda yang berani melawan tokoh senior Sultra terlihat pada diri Nur Alam. Meskipun pada akhirnya kalah bertarung, jiwa kepemimpinan Nur
Alam mulai terlihat pada waktu itu. Figur Nur Alam Sebagai motor penggerak tim NUSA juga telah terlihat
ketika beliau masih menjabat sebagai wakil DPRD Sultra. Beliau sering mengkritisi kebijakan pemerintah yang dianggap menyimpang, dari aksi-aksi
kritis ini Nur Alam digambarkan sebagai sosok politik yang kritis, jujur dan tidak mudah termakan ajakan aktor lain untuk melakukan tindakan menyimpang yang
berkaitan dengan kepentingan masyarakat Sultra. Informan KSND menuturkan bahwa sosok Nur Alam dikenal sebagai figur yang berani, kritis tetapi sensitif
terhadap kepentingan masyarakat. Kemampuan Nur Alam mengelola figur politiknya menjadi sebuah pencitraan positif di masyarakat dan menjadi penilaian
masyarakat dalam menetukan keputusan politiknya. Berikut penuturan informan KSND:
”bercermin dari kesuksesan SBY dalam mengolah figur politiknya pada pemilu 2004 lalu, Nur Alam mencoba hal yang sama. Pada dasarnya
masyarakat kita memang menjadikan figur ketokohan sebagai salah satu pertimbangan politiknya. Makanya kemampuan figur politik untuk
mengelola figur apa yang ideal dalam masyarakat menjadi penting. Seperti yang dilakukan oleh Nur Alam, beliau membaca figur seperti apa saja
yang diinginkan masyarakat”.
Krasner dalam Gibbs 1982 mengemukakan bagaimana memodifikasi tingkah laku manusia menjadi satu hal yang mampu merubah nilai yang ada
sehingga merubah sikap terhadap sesuatu. Lanjut dikemukakan oleh Krasner, modifikasi tingkah laku dalam bidang politik seperti melempar propaganda
melalui media massa untuk mempengaruhi masyarakat. Masyarakat terkadang tidak menyadari bahwa ia sedang berada dalam kontrol sosial melalui pengaruh-
pengaruh propaganda tersebut. Pembentukan figur politik melalui beragam media
massa menjadi salah satu bentuk kontrol sosial yang diberikan oleh figur politik untuk menyentuh sisi psikologis masyarakat. Selain menyajikan figur yang
diharapkan masyarakat, melalui media massa, masyarakat tanpa sadar dipaksa untuk menerima bagaimana figur yang seharusnya menjadi pilihan mereka. Nur
Alam sebagai aktor politik memanfaatkan sisi psikologis masyarakat ini untuk menarik suara dari masyarakat. Selain melalui media massa, terdapat upaya lain
oleh Nur Alam sebagai aktor politik untuk membentuk figur politiknya. Pada awal pemerintahan Ali Mazi, Nur Alam telah menunjukkan aksi
kritisnya ketika kebijakan Gubernur baru akan mengubah lambang atau logo daerah Sultra. Menurut Nur Alam, logo daerah Sultra yaitu binatang Anoa
dikatakan merupakan lambang yang sangat mudah untuk memperkenalkan provinsi ini di mata daerah lain, sebab Anoa merupakan satwa khas Sultra. Selain
itu, Nur Alam lebih tertarik untuk melihat aksi pembenahan dan pembangunan Gubernur baru yang telah menjajikan peningkatam iklim investasi Sultra senilai
52 triliun dalam waktu lima tahun yang dimuat dalam visi dan misi gubernur baru saat itu. Kritik Nur Alam ini dapat lebih lanjut dikaji dalam peranannya pula
sebagai bagian dari pengusaha yang ada di daerah Sultra. Berbagai cara dilakukan aktor politik yang memastikan akan ikut dalam
pesta demokrasi lokal seperti pilkada Sultra. Nur Alam sebagai aktor politik telah memulai pembentukan dan pengenalan figur dalam masyarakat lokal jauh
sebelum dilangsungkannya pilkada Sultra. Menyangkut aksi pengenalan kepada masyarakat Nur Alam menyatakan
25
: ” Satu hal yang saya lakukan dan tidak dilakukan oleh calon lain adalah
sejak tiga tahun lalu, saya memang keliling di 1997 Desa. Baik yang sulit dijangkau maupun yang mudah. Semua desa itu saya datangi untuk
menyelami dan memahami kehidupan dan keadaan masyarakatnya. Ini saya lakukan secara sistematis selama tiga tahun. Kebetulan tugas saya juga
sebagai wakil ketua DPRD. Kemudian, tentu saya harus sanggup memperjuangkan isu-isu populis seperti yang saya kemukakan sekolah dan
kesehatan gratis sesuai dengan fakta yang dibutuhkan oleh masyarakat.
25
Kendari Ekspres, Kamis 14 Februari 2008
Aksi keliling desa Nur Alam untuk memperkenalkan diri kepada masyarakat juga dikemukakan oleh informan KSND. Sebagai wartawan, dirinya sering diajak
oleh Nur Alam untuk ikut dalam aksi keliling desa tersebut. Berikut penuturan informan:
” Saya juga sering diajak beliau Nur Alam untuk ikut dalam rombongan keliling kampung. Waktu itu beliau masih menjadi anggota dewan.
Dilapangan beliau juga sering berdiskusi dan tukar pikiran dengan warga”.
Membangun figur bagi kubu NUSA tidak saja dilakukan kepada masyarakat sebagai pemilih, namun figur pemimpin yang menghormati pihak lain tidak
terkecuali lawan politik juga berupaya ditunjukkan oleh kubu ini. Terkait hal ini, informan menuturkan:
”biarlah masyarakat yang akan melihat dan membandingkan, mana figur yang layak menjadi pemimpin dan mana figur yang hanya mengejar
kepentingannya KSRN, tim suskses NUSA ”.
Hal ini dikemukakan untuk menggambarkan NUSA yang selalu menghargai sikap calon pemimpin lain. Hal ini terlihat ketika kampanye perdana digelar oleh
KPU Sultra. Pasangan Nur Alam dan Saleh Lasata dengan dukungan simpatisannya menyampaikan orasi dan yel-yelnya dengan terlebih dulu menyapa
pasangan lain yang menjadi lawan politiknya. Berikut kutipan sapaan Nur Alam dalam kampanye perdana:
”Yang saya hormati, guru saya H. Mahmud Hamundu, yang saya cintai kakanda saya H. Mashur Massie Abunawas dan yang saya sayangi saudara
saya Ali Mazi
26
”. Figur jauh dari kesan serakah terhadap jatah fasilitas pemerintahan, juga
berusaha ditunjukkan oleh Nur Alam dengan mengembalikan asset daerah yang dipakainya saat menjabat Wakil Ketua DPRD periode 2004-2009 kepada
pemerintah daerah yang diwakili Sekretaris DPRD Sultra Drs. Iskandar. Penyerahan asset daerah tersebut setelah Nur Alam menyatakan mengundurkan
diri secara resmi sebagai unsur pimpinan DPRD Sultra sejak 31 Juli 2007. Asset yang diserahkan tersebut yakni dua unit mobil Ford Everest dan Kijang Krista.
26
Dikutip dari Kendari Ekspres, Rabu, 14 November 2007.
Selain itu, Nur Alam juga menyerahkan laptop dan televisi kepunyaan Pemda Sultra.
Nur Alam juga merupakan sosok pemimpin yang mampu memberikan jawaban dan solusi bagi setiap masalah dan pertanyaan politik yang datang
kepadanya. Sikap tenang Nur Alam dalam menghadapi emosi massa terlihat dalam tindakan Gubernur menghadapi massa pada awal pemerintahannya. Massa
dari Koalisi Masyarakat Buton Utara Bersatu KMBUB yang menuntut atas kebijakan pejabat sementara Buton Utara. Dalam menjawab tuntutan massa, Nur
Alam yang baru dilantik langsung memberikan penjelasan secara detil mengenai tuntutan tersebut. Hal serupa juga terlihat ketika Nur Alam menghadapi massa
yang mengaku sebagai perwakilan masyarakat Muna yang menuntut atas kebijakan Nur Alam mengenai APBD yang dibagikan pada setiap Kabupaten dan
Kota. Pemilihan figur pendamping Gubernur yakni calon Wakil Gubernur juga
merupakan satu strategi yang harus diyakini sebagai penarik massa. Seperti yang terlihat pada pipres tahun 2004, SBY sebagai figur TNI yang tegas dalam
mengambil keputusan dan beretnis Jawa, memilih JK sebagai wakilnya yang dinilai strategis untuk mengimbanginya. JK dinilai mampu menarik simpatisan
dari wilayah Timur Indonesia karena beretnis Bugis. Selain itu, JK yang berlatar belakang pengusaha handal dinilai mampu menyeimbangi sikap tegas dan otoriter
yang dilekatkan pada TNI dengan sikap yang lebih sosialis. Kubu NUSA pun demikian. Pemilihan atas Saleh Lasata sebagai calon
wakil Gubernur yang mendampingi Nur Alam dinilai strategis karena latar belakang etnis kepulauan yaitu Muna sehingga mampu menyeimbangi Nur Alam
yang beretnis Tolaki daratan. Selain itu, Saleh Lasata yang merupakan mantan Bupati Muna dinilai sebagai pasangan tepat untuk menarik simpatisan asal
kepulauan karena figurnya yang tidak asing lagi bagi masyarakat wilayah kepulauan.
Berbeda dengan pasangan AZIMAD. Ali Mazi dinilai salah memilih pasangan politik yakni Abd. Samad karena figur ketokohannya tidak mampu
mewakili masyarakat Tolaki secara luas. Abd. Samad secara ketokohan belum
sampai pada masyarakat Kolaka apalagi Kolaka Utara. Jika harus menarik simpatisan dari masyarakat Tolaki bukan berarti harus mengambil pasangan dari
etnis Tolaki, kalaupun harus dilakukan harus yang memiliki figur ketokohan yang kapabel. Berbeda dengan Nur Alam yang mampu memasuki sisi humanis
komunitas masyarakat Bugis-Makassar. Secara menyeluruh, gambaran figur politik Nur Alam terlihat pada
perjalanan politiknya yang menggambarkan perjuangan. Diawali dengan menjadi sekretaris DPW PAN Sultra kemudian menjabat sebagai Ketua PAN Sultra, juga
menjadi Wakil Ketua DPRD Sultra dan gagal menjadi Walikota Kendari, membuat Nur Alam menjadi figur yang pantang menyerah dalam kancah politik.
Berbeda dengan keberadaan Ali Mazi sebagai Gubernur Sultra 2002-2007. Secara mengejutkan Ali Mazi yang sebelumnya berdomisili di Jakarta, tiba-tiba datang
merebut suara dewan untuk memilihnya menjadi Gubernur mengalahkan Hino Biohanis yang merupakan tokoh senior dan Adel Berty. Meskipun dengan
tudingan money politic kekuatan Ali Mazi tidak terkalahkan. Cukup masuk ke dalam partai yang memiliki fraksi di DPRD Sultra dan menjalankan lobi politik
serta komitmen politik, maka jadilah Ali Mazi sebagai Gubernur Sultra. Berikut kutipan dari informan H.S:
”Sepak terjang Ali Mazi dalam merebut kursi Gubernur Sultra periode 2002 lalu kurang mendapatkan simpatik karena perjalanan politiknya di Sultra
belum banyak pada waktu itu sampai akhirnya dia menjadi Gubernur mengalahkan figur-figur yang lebih dikenal dalam peta politik Sultra.
Apalagi kemenangannya dituding karena adanya money politic. Berbeda dengan Nur Alam. Dia bermain dalam peta politik lokal, jadi ketika
pemilihan dilangsungkan dengan masyarakat lokal sebagai pemilihnya, basis kekuatannya juga sudah ada”.
6.3 Kemenangan Gubernur Sultra Periode 2008-2013 Serta Signifikansi Etnis Tolaki dalam Pemenangan Kubu NUSA
Dasar perilaku manusia adalah adanya motivasi dan tujuan M. Sherif dan C.W. Sherif. Perilaku para aktor beretnis Tolaki pun demikian, memiliki sumber
sebagai dasar-dasar bertindak dan memiliki tujuan-tujuan sebagai harapan atas beragam tindakan yang dilakukan. Melalui beragam motif dan tujuan, perilaku
dilakukan dengan menggunakan beragam kekuatan politik dalam konteks pemilihan Gubernur Sultra.
Telah dijelaskan sebelumnya mengenai beragam aksi-aksi politik dengan menggunakan ruang dan kekuatan politik untuk mencapai hasil yang diinginkan
yaitu keluar sebagai pemenang dalam proses pemilihan kepala daerah Sultra periode selanjutnya. Beragam aksi yang dilakukan selalu mempertimbangkan
faktor rasional dan emosional pemilih sebagai dasar pemilih untuk menentukan pilihannya. Selain itu menggalang kekuatan dari tim juga dilakukan sebagai
sumber kekuatan bertindak menghadapi masyarakat sebagai bagian paling penting, pasangan calon lain sebagai kelompok saingan politik serta menghadapi
berbagai sistem dan pola pemilihan. Pada akhirnya kursi Gubernur Sulawesi Tenggara periode 2008-2013
merupakan hasil akhir yang ingin dicapai dan juga diikuti oleh serangkaian harapan lain yang selanjutnya ingin diwujudkan dalam masa pemilihan kepala
daerah. Pertanyaan kritis yang timbul dari pencapaian ini adalah: apakah aktor politik dalam hal ini Nur Alam yang menggawangi kubu NUSA masih konsisten
terhadap tujuan politik yang ingi diraih ataukah kemenangan dalam pilgub Sultra melarutkannya ke dalam situasi pesta kemenangan dan melupakan tujuan
politiknya. Jika kembali pada tujuan politik yang sebelumnya ditetapkan, maka
kemenangan dalam pilkada 2007 merupakan sebuah kesempatan bagi para aktor politik beretnis Tolaki untuk menunjukkan kemampuan politiknya khususnya
dalam mengatur kehidupan masyarakat dan pembangunan Sultra serta memegang peran-peran strategis di Sultra. Hal paling pokok ketika membicarakan
kesempatan memimpin ini adalah bagaimana bentuk aksi politik langsung yang dilakukan para elit politik untuk melanggengkan kedudukan strategis yang diraih
serta memperluas jaringan politik dalam upaya mendukung kelangsungan kedudukan strategis yang dicapai.
Revitalisasi organisasi pemerintahan merupakan satu bentuk upaya langsung pemerintahan baru untuk me-refresh anggota birokrasi sebagai upaya
mewujugkan profesionalisme pelayanan masyarakat. Revitalisasi ini juga terjadi
ketika Gubernur baru mulai menjabat dan melakukan kegiatan pemerintahannya. Lebih lanjut, revitalisasi organisasi pemerintahan dapat diartikan sebagai upaya
menempatkan kawan-kawan politik ke dalam peran-peran strategis terkait upaya melanggengkan tujuan politik yang telah diraih. Hal yang sama juga terjadi pada
Nur Alam ketika berhasil menjabat sebagai orang nomor satu di Sultra. Berdasarkan hasil penelitian, revitalisasi pemerintahan ini langsung dilakukan
Gubernur dengan mengganti para pejabat strategis yang dipandang layak dan tidak layak untuk memberikan pelayanan secara profesional terhadap masyarakat.
Informan Bapak YHY memberikan informasi mengenai kondisi dan situasi politik pasca terpilihnya gubernur baru. Informasi yang diberikan tersebut
menyangkut pelantikan pejabat tinggi pemerintahan daerah Sultra. Berikut kutipan langsung informasi bapak YHY:
“Beberapa hari setelah gubernur baru ditetapkan dan dilantik, jajaran pejabat tinggi langsung mrngalami perombakan. Sebagai contoh, ketua
lingkungan hidup Sulawesi tenggara bapak Edi yang juga merupakan orang ring satu bapak N.A informan memberikan istilah: pemegang tas
hitam bapak N.A, langsung dilantik sebagai kepala biro.”
Selanjutnya bapak Yahya juga memberikan contoh lain yaitu pejabat kabupaten kolaka yang juga merupakan tim sukses dari bapak Nur Alam, tanpa
mengikuti prosedur yang seharusnya berlaku dimana pejabat yang akan dilantik dari kabupaten pindah ke Provinsi tingkat I harus memiliki surat pindah. Namun
demikian, pelantikan pejabat tersebut tidak melalui prosedur dan langsung dilantik begitu saja sebagai bentuk kebijakan baru dari gubernur. Sampai saat ini,
kebijakan baru tersebut belum ada yang mampu melawan atau memberi keberatan. Selain sebagai anggota tim sukses, kebanyakan pula dari pejabat baru
yang dilantik tersebut adalah golongan Nur Alam sendiri yaitu pejabat beretnis Tolaki atau juga etnis campuran Tolaki-bugis sekaligus teman satu partai beliau.
Informan bapak A.J juga membenarkan informasi yang diberikan oleh bapak YHY sebelumnya. Pejabat Dinas Pendapatan Daerah Tingkat II Kolaka
yaitu bapak M. Ali Nur merupakan teman satu partai Nur Alam sekalugus tokoh politik sesama etnis Tolaki. Dalam pilgub Sultra 2007 lalu, M. Ali Nur yang juga
mantan Camat Ladongi mendukung suksesi Nur Alam sebagai Gubernur Sultra
periode 2008-2013. Latar belakangnya sebagai mantan Camat Ladongi mampu memberikan signifikansi terhadap perolehan suara di kecamatan Ladongi dan
kecamatan sekitarnya. Kubu NUSA hampir seratus persen memperoleh kemenangan di sana. Begitu Nur Alam dilantik menjadi Gubernur, M. Ali Nur
juga serta-merta dipindah tugaskan dari Kadispenda tingkat II Kolaka menjadi Kadispenda Tingkat I, bukan hanya itu, M. Ali Nur juga ditetapkan sebagai
pejabat sementara Bupati Kolaka ketika terjadi kekosongan jabatan di sana. Berikut penuturan oleh bapak A.J:
“…tentu saja politik balas budi itu ada. Seperti yang terjadi pada M. Ali Nur, yang sekarang menjabat sebagai Kadispenda tingkat I. dengan
modalnya sebagai mantan Camat Ladongi, beliau mendukung sepenuhnya suksesi Nur Alam. Perolehan suara Nur Alam di Ladongi dan sekitarnya
ternyata hampir seratus persen menang. Kemudian Nur Alam menarik beliau untuk duduk di Dispenda tingkat I. perhatian Nur Alam terhadap
“orangnya” ini juga ditunjukkan ketika ada kekosongan jabatan Bupati di Kolaka. M. Ali Nur ditempatkan menjadi pejabat sementara”.
Revitalisasi pemerintahan dan juga kebijakan yang dilakukan pemerintahan baru menjadikan para pihak yang merasa telah memberi dukungan
meminta bagian atas kemenangan yang diperjuangkan bersama. Revitalisasi pemerintahan yang dilakukan oleh Nur Alam sebagai aktor politik tidak terlepas
dari beragam nilai yang menjadi acuannya dalam bertindak. Nilai sebagai dasar perilaku manusia, terdiri dari dua aspek yaitu nilai
ideal dan nilai aktual. Nilai ideal adalah seperangkat nilai yang “seharusnya dilakukan” dan “seharusnya tidak dilakukan”. Sedangkan nilai aktual adalah nilai
yang baik dilakukan dan tidak dilakukan dalam konteks menghadapi masalah tertentu. Seperti nilai-nilai kepemimpinan yang terkandung dalam Kalo, harus
mampu mewadahi semua aspek kepentingan lapisan masyarakat. Namun demikian, Nur Alam dalam menghadapi konteks pelanggengan kedudukannya dan
kedudukan etnis Tolaki dalam peta politik Sultra, lebih didasarkan atas nilai aktual. Masyarakat etnis lainnya melihat perilaku revitalisasi organisasi
pemerintahan ini mengedepankan kepentingan orang-orang Tolaki dan meminggirkan peranan etnis lainnya yang juga ikut memperjuangkan kemenangan
Nur Alam. Kalaupun Nur Alam menempatkan etnis lainnya dalam posisi penting
pemerintahan, hal ini dinilai hanya sekedar untuk mendukung keamanan kedudukan Nur Alam sebagai orang nomor satu di Sultra. Seperti menempatkan
orang-orang partainya PAN pada posisi strategis di daerah, seperti penempatan Ridwan Zakaria yang merupakan kader PAN sebagai pejabat sementara Bupati
Buton Utara. Reaksi terhadap kebijakan revitalisasi kabinet Nur Alam yang dinilai
meminggirkan elit beretnis lain terlihat dari kekecewaan Kadis Pendidikan Nasional Muna Kadiknas yang mengatakan menyesal telah mendukung
Gubernur Sultra, Nur Alam
27
. Menjawab kekecewaan tersebut Gubernur balik mempertanyaakan dukungan apa yang dimaksud, apakah dukungan terhadap
program kerja, ataukah dukungan pribadi dalam pilgub Sultra 2007. Gubernur menjelaskan bahwa jika dukungan yang dimaksud adalah program kerja, maka hal
tersebut wajib dilaksanakan bagi semua aparat pemerintahan Sultra. Namun, jika yang dimaksud adalah dukungan pribadi, maka hal tersebut tidak diatur dalam
kelembagaan formal tetapi hanya hak masing-masing orang menetukan siapa yang dipilihnya.
Tuntutan terhadap pembagian hasil perjuangan bersama dalam pilkada juga terjadi pada Bupati Muna, Ridwan Bae. Merasa telah mengerahkan
masyarakat untuk mendukung penuh Nur Alam pada pilkada 2007, Ridwan kecewa terhadap kebijakan pemerintah yang mengurangi jatah bantuan dana
kepada pemerintah kabupaten Muna. Kekecewaan ini juga terlihat dengan mengerahkan massa pendemo dari sekelompok masyarakat Muna.
Selain proses revitalisasi anggota pemerintahan, saat ini pemilihan anggota DPRD Sultra diwarnai dengan hadirnya wajah-wajah baru. Yang menjadi
perhatian adalah, para anggota tim sukses dari kubu NUSA berupaya untuk mencalonkan diri menjadi anggota DPRD tersebut. Sampai akhir penelitian ini
dilaksanakan, belum ada hasil pemilihan anggota DPRD tersebut sehingga tidak dapat dikaji apakah terjadi politik balas budi di antara anggota tim sukses yang
berupaya menjadi calon legislatif.
27
Dikutip dari Kendari Pos, 16 Desember 2008.
Rush dan Althoff 1983 mengemukakan bahwa sosialisasi politik negara berkembang seperti Indonesia lebih memiliki relasi terhadap sistem-sistem lokal.
Soetarto dan Shohibuddin 2004 pun mengemukakan bahwa ikatan solidaritas lokal dapat menjadi basis legitimasi baru dalam sistem politik Indonesia. Konteks
pemilihan Gubernur Sultra pun memungkinkan hal tersebut terjadi. Masyarakat Sultra yang terbagi dalam dua wilayah persebaran meliputi wilayah daratan dan
wilayah kepulauan dengan etnis dominan pada masing-masing wilayah memungkinkan perolehan suara berdasarkan basis etnisitas. Namun demikian,
kekhasan pilkada Sultra adalah dari keempat pasangan calon kepala daerah selalu menghadirkan pertautan antara dua figur dari daratan dan kepulauan. Terlebih
figur daratan dengan etnis tolaki sebagai etnis dominan sekaligus etnis yang menjadi fokus kajian selalu ada dalam setiap pasangan calon kepala daerah, baik
sebagai calon Gubernur ataukah hanya sebagai Wakil Gubernur. Hal ini kemudian menjadikan suara dari masyarakat etnis Tolaki sendiri pun akan terpecah-pecah
seperti yang terjadi di Kelurahan Lepo-Lepo. Meskipun pada akhirnya kubu NUSA menjadi pemengan disana dengan adanya kedekatan emosional warga dan
lokasi tempat tinggal, namun perolehan suara yang didapat tidak berbeda jauh malah terpaut beberapa angka dari pasangan AZIMAD dengan Abd. Samad
sebagai figur yang memiliki kedekatan dengan masyarakat. Etnis Tolaki menjadi signifikan peranannya dalam pemenangan kubu
NUSA ketika Nur Alam sebagai figur Tolaki mampu mengoptimalisasikan jejaring timnya yang beretnis Tolaki sebagai elit yang bergerak ke massa akar
rumput khususnya pada masyarakat daratan. Seperti pada kasus masyarakat Ladongi dengan M. Ali Nur sebagai mantan Camat Ladongi. Figur-figur lokal
yang dikenal oleh masyarakat tingkat lokal dalam cakupan desa, kelurahan hingga kecamatan menjadi ujung tombak NUSA untuk mendapatkan suara
masyarakat di tingkat mikro seperti kelurahan. Optimalisasi figur lokal ini membedakan antara strategi politik Nur Alam sebagai etnis Tolaki dengan figur
beretnis Tolaki lainnya. Sadar akan rentannya perpecahan suara masyarakat etnis Tolaki, Nur Alam menggunakan figur-figur lokal sebagai kekuatan politiknya.
Berbeda dengan pasangan lain hanya mengandalkan figur beretnis Tolaki yang
belum tentu pengaruh ketokohannya mampu masuk ke seluruh masyarakat daratan.
Dengan demikian, jaringan etnis Tolaki tingkat lokal dengan figur elit politik di tingkat lokal sebagai ujung tombak penyambung sosialisasi antara kubu
NUSA dengan masyarakat akar rumput menjadi signifikan peranannya dalam pemenangan kubu NUSA.
6.4 Ikhtisar