Etos kerja yang dibawa oleh etnis lain dalam kehidupan sosial memberikan pengaruh terhadap pandangan ”apa yang dianggap baik” serta
”bagaimana melakukan tindakan” oleh etnis Tolaki. Porter 2000 menjelaskan bahwa daya saing dan kemampuan kompetisi dipengaruhi oleh modal manusia
dalam arti nilai, keyakinan dan sikap yang dimiliki seseorang. Dalam kehidupan berpolitik, etnis Bugis, Muna dan Buton memperlihatkan kecenderungan
monopoli kekuasaan dikarenakan kemampuannya menggunakan nilai, keyakinan serta sikap terhadap orientasi kepemimpinan. Oleh karenanya, orang Bugis,
meskipun bukan sebagai etnis asli di Sultra, mampu menjadi bagian penting dalam pemerintahan Sultra. Sebagai contoh, Andi Musakkir sebagai mantan
Wakil Walikota Kendari, Musadar Mappasomba yang saat ini menjabat sebagai Wakil Walikota Kendari. Informan bapak H.S menyatakan bahwa:
”...orang Muna dan Buton dalam berpolitik memperlihatkan dominasi dalam arti memiliki vokal yang kuat untuk mempengaruhi pengambilan
keputusan-keputusan politik, orang Bugis memiliki sistem politik yang unik, sadar sebagai etnis pendatang, Bugis harus lebih dulu masuk ke
dalam sisi humanis etnis lokal untuk berdiri menjadi bagian penting di dalamnya, sedangkan orang Tolaki, beberapa ada yang vokal seperti Nur
Alam, tetapi kebanyakan lebih mengikuti kemana dan seperti apa aliran politik itu berjalan”.
5.2 Etnis Tolaki Dan Perjalanan Peta Politik Sultra
Sulawesi Tenggara Sultra merupakan salah satu provinsi dengan keberagaman etnis. Terdapat tiga etnis terbesar yang ada di jasirah Sulawesi
Tenggara. Etnis Muna, Buton dan Tolaki merupakan tiga etnis besar sebagai etnis asli yang mendiami bagian daratan dan kepulauan Sultra. Dalam perjalanan sosial,
politik dan ekonomi, ketiga etnis tersebut masing-masing memainkan peranan. Secara khusus, dalam segi sosial-politik, peranan yang dimainkan ketiga etnis
tersebut dapat terlihat dalam momentum pilkada Sultra yang digelar Desember 2007 lalu, dan secara umum dapat terlihat melalui perjalanan sosial politik yang
berlangsung sepanjang kehidupan masyarakat Sultra. Pada awal kemerdekaan, Sultra masuk dalam wilayah provinsi Sulawesi
Groote Celebes sebagai salah satu provinsi dari delapan provinsi yang dibentuk
berdasarkan sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia PPKI taggal 18 Agustus 1959 dengan ibukotanya Makassar yang dipimpin oleh seorang Gubernur
Tamburaka, 2004. Tahun 1959 kemudian diadakan pemekaran menjadi dua provinsi yaitu provinsi Sulawesi UtaraTengah dan provinsi Sulawesi
SelatanTenggara. Berdasarkan PP No. 64 tanggal 27 April 1964, Sultra berhasil memisahkan
diri dari Sulawesi Selatan menjadi satu provinsi dengan Kendari sebagai ibukotanya. Ketika memisahkan diri dari Sulawesi selatan, provinsi Sulawesi
Tenggara ditopang empat kabupaten sebagai pilar utama. Dua kabupaten terletak di wilayah daratan yaitu Kendari dan Kolaka, sedangkan dua kabupaten lainnya
terletak di wilayah kepulauan yaitu kabupaten Muna dan Buton. Dalam percaturan politik lokal, keterwakilan aspirasi kedua wilayah tersebut selalu menjadi faktor
pertimbangan dalam rangka menjaga keseimbangan dan stabilitas sosial politik. Bila Gubernur dijabat oleh figur kepulauan misalnya, maka wakilnya berasal dari
wilayah daratan. Namun demikian, kedudukan Wakil Gubernur biasanya tidak dapat berbuat banyak untuk memenuhi harapan dan aspirasi masyarakat.
Terbentuknya Sultra sebagai sebuah provinsi sendiri sebagai hasil pemekaran dari provinsi Sulawesi SelatanTenggara tidak terlepas dari perjuangan
tokoh politik baik dari wilayah daratan maupun dari wilayah kepulauan. Tokoh- tokoh politik yang tercatat gigih memperjuangkan Sultra sebagai sebuah provinsi
sendiri antara lain: Letkol Edy Sabara, H. Jakub Silondae Tolaki, Drs. H. La Ode Munarfa, Drs. H. Abdullah Silondae Tolaki, La Ode Hadi, H. Eddy A.
Mokodompit, MA. Andrey Jufri, SH., Abd. Rauf Landehora, H. Bunggasi Tolaki, Umar Tongasa Tolaki, dll.
Dalam upaya memisahkan diri dari provinsi Sulawesi SelatanTenggara, terjadi kekompakkan suara baik tokoh dari etnis daratan maupun tokoh kepulauan,
namun selanjutnya dalam penetapan ibukota provinsi hal ini tidak serta-merta terjadi. Baik tokoh daratan maupun kepulauan memiliki pandangan masing-
masing atas daerah yang layak dijadikan ibukota provinsi Sultra. Penetapan calon ibukota provinsi Sultra, berlangsung alot karena utusan Buton dan Muna
mengusulkan kota Bau-Bau sebagai ibukota provinsi sedangkan utusan Kendari
Kolaka mengusulkan kota Kendari sebagai ibukota provinsi Sultra. Tetapi setelah diskusi yang alot, akhirnya semua sepakat menyetujui Kota Kendari sebagai
ibukota provinsi Sultra Tamburaka, 2004. Informan bapak H.S menjelaskan bahwa perpecahan suara antara tokoh politik Sultra dari wilayah daratan dan
kepulauan dalam penentuan ibukota provinsi menjadi wajar karena ibukota propinsi akan menjadi pusat berjalannya roda pemerintahan sedangkan tokoh
politik dari masing-masing wilayah memiliki kepentingan atas kedudukan strategis yang ada di ibukota provinsi tersebut. Berikut penuturan oleh informan
bapak H.S: ”...selain perdebatan diantara para tokoh politik mengenai masalah ibukota
provinsi, masih banyak perdebatan lain yang meghadapkan kepentingan masyarakat daratan dengan kepulauan. Bahkan dulu, Kolaka dan Kendari
juga ingin memisahkan diri membuat provinsi sendiri yaitu provinsi Sulawesi Timur. Sebenarnya kepentingan elit atau tokoh politik bermain
disitu, dalam arti bagaimana dengan pembagian kedudukan strategis nantinya, hanya saja kadang sudah tidak dapat dibedakan mana
kepentingan masyarakat luas mana kepentingan pribadi elit politik ketika kepentingan pribadi sudah dimobilisasi menjadi isu-isu kepentingan
masyarakat”.
Di era demokratisasi dengan ciri pemilihan langsung kepala daerah, dikotomis antara daratan dan kepulauan menjadi semakin tajam terlebih hadirnya
isu primordial sebagai sumber penghimpunan suara masyarakat. Wilayah daratan Sultra dengan etnis Tolaki sebagai etnis besar yang mendiami wilayah ini, dalam
kancah politik Sultra selalu hadir sebagai bagian peta politik Sultra. Dalam pilkada 2007, terdiri dari dua figur daratan dan dua figur kepulauan. Figur daratan
tersebut hadir sosok Nur Alam dan Mashur Masie Abunawas sedangkan figur kepulauan diwakili dengan hadirnya Ali Mazi Buton dan Mahmud Hamundu
Muna. Dalam perjalanan politik Sultra, figur daratan tercatat hanya satu kali
memegang jabatan Gubernur Sultra yaitu pada periode 1978-1982 dimana kursi Gubernur dipegang oleh Drs. Abdullah Silondae. Namun dalam perjalanan
pelaksanaan jabatan, Gubernur tidak sampai pada akhir masa jabatan dikarenakan kondisi kesehatan yang mengkibatkan wafatnya Gubernur Abdullah Silondae. Di
lain sisi, figur kepulauan selalu memegang dan memonopoli kursi pemimpin
masyarakat Sultra seperti pemerintahan La Ode Hadi 1965-1966, Edy Sabara 1966-1978, pemerintahan La Ode Kaemoeddin selama dua periode 1992-1997
dan 1997-2002 serta pemerintahan Ali Mazi 2003-2008. Berikut akan disajikan tabel peta politik Sultra berupa kedudukan Gubernur dan Wakil Gubernur yang
pernah menjabat selama terbentuknya provinsi Sultra hingga periode sebelum pilkada 2007 lalu.
Tabel 7. Kedudukan Gubernur dan Wakil Gubernur Sultra serta Latar
Belakang Etnisnya
Periode Gubernur
Wakil Gubernur
1964-1965 J. Wayong
1965-1966 La Ode Hadi Muna
Jacob Silondae Tolaki 1966-1978
Brogjen Edy Sabara Buton Brigjen H. Sudjatmiko
1978-1982 Drs. Abdullah
Silondae Tolaki
Kol. H. Arifin Sugianto Mantan Bupati Buton
1982-1992 Ir. H. Alala Mori, Sulawesi
Tengah Brigjen D. Moehidin
1992-2003 Drs. La
Ode Kaimuddin
Muna Drs. H. Hoesein Efendi. SH
Tolaki 2003-2007
Ali Mazi, SH Buton Yusran Silondae Tolaki
Sumber: data sekunder
Perjalanan politik yang dodiminasi oleh figur kapulauan ini juga menyimpan beberapa catatan hitam bagi masyarakat Sultra, dimana beberapa
Gubernur selama masa jabatannya tersandung oleh masalah. Seperti misalnya mantan Gubernur Ali Mazi yang terhalang kasus Hak Guna Bangunan hotel
Hilton Jakarta, membuat kekecewaan sekaligus memudarnya kepercayaan masyarakat terhadap sosok Ali Mazi.
Masyarakat yang bersimpati terhadap kepemimpinan Ali Mazi, khususnya masyarakat Buton, terpukul dengan adanya masalah yang dialami oleh Ali Mazi
tersebut. Masyarakat khawatir penonaktifan tersebut menimbulkan stigma baru dikalangan masyarakat Sultra yang terdiri dari beragam etnis, bahwa putera-puteri
Buton kedepan tidak dapat menjadi pemimpin. Hal ini juga dipicu oleh kegagalan kepemimpina sebelumnya, dimana catatan hitam juga dialami oleh figur
kepulauan La Ode Hadi, namun berbeda dengan masalah yang dialami Ali Mazi,
La Ode Hadi dihalang oleh isu kasus keterlibatan dalam Partai Komunis Indonesia PKI.
Terdapat figur-figur daratan lainnya yang pernah menonjol dalam kehidupan sosial politik masyarakat Sultra meskipun tidak sampai pada posisi
puncak seperti Hussein Effendi Wakil Gubernur, Hino Biohanis Ketu DPRD Sultra, Adel Berty Mantan Bupati Kolaka serta Yusran Silondae mantan Wakil
Gubernur Sultra. Sederet figur tersebut mewakili kehadiran masyarakat Sultra bagian daratan dalam kancah sosial politik Sultra.
Politik Sultra yang berlangsung dalam proses pemilihan Gubernur secara langsung oleh masyarakat merupakan satu arena politik yang kembali
mempertemukan antara figur-figur daratan versus kepulauan. Figur daratan yang diwakili dua kubu politik menunjukkan eksistensi masyarakat daratan dengan
etnis Tolaki sebagai etnis dominan. Pemimpin dari etnis daratan versus pemimpin dari etnis kepulauan dalam pilkada Sultra 2007 menjadi menarik karena memiliki
signifikansi tersendiri terhadap kepemimpinan mayarakat Sultra. Isu pemekaran wilayah Sultra dimana wilayah kepulauan akan membentuk provinsi tersendiri
yaitu provinsi Buton Raya dengan lima daerah otonom Kota Bau-Bau, Kabupaten Muna, Buton Utara, Buton dan Wakatobi menjadikan pigub Sultra
2007 menjadi satu ajang pembuktian politik daratan – kepulauan. Bagi figur kepulauan, pilkada Sultra 2007 menjadi pembuktian akhir monopoli peta
kepemimpinan Sultra sedangkan bagi figur daratan pilkada Sultra 2007 sebagai ajang kompetisi perebutan monopoli kepemimpinan tersebut.
5.3 Kubu NUSA Dalam Pemilihan Gubernur Sultra 2007