Tolaki tidak mampu mewujudkan kesejahteraan yang merata dalam setiap elemen masyarakat. Pemimpin non-etnis Tolaki hanya membawa dampak kesejahteraan
bagi masyarakat etnisnya saja. Selain perbedaan antara apa yang diharapkan dengan kenyataan di lapangan, nilai kepemimpinan dalam ajaran Kalo juga
menjadi pemicu perilaku politik ketika figur politik merasa memiliki modal kepemimpinan seperti apa yang tertuang dalam ajarana Kalo. Kalo sebagai dasar
tindakan orang Tolaki mensyaratkan bahwa pemimpin ideal harus mampu menyatukan perbedaan yang dinamis dalam masyarakat, baik hal pemikiran,
perbuatan dan perasaan
19
. Ibu AMN, menyatakan bagaimana pentingnya menjadi pemimpin yang mampu mewadahi tidak saja masyarakat satu golongan tetapi juga
masyarakat secara luas. Selain itu, pemimpin juga harus mampu mengakomodir kepentingan dari setiap elemen masyarakat tidak saja kepentingan satu golongan.
Berikut penuturan informan: “Ibu Amn seorang wanita yang menjadi tim sukses kubu NUSA pada
masa pemilu 2007: masyarakat pasti membutuhkan perbaikan kehidupan dan mendambakan kesejahteraan. Aspek pembangunan sosial ekonomi
juga menjadi sangat penting di samping agenda perbaikan pemerintahan. Saya selalu memberi masukan bahwa kami harus mengangkat isu-isu yang
paling dekat dengan masyarakat dan tidak hanya itu, tetapi juga pelaksanaan riilnya diwaktu depan karena masyarakat kita sudah bosan
dengan janji jadi semua agenda harus dipikirkan aplikasinya. Kami dalam tim sukses bekerja keras bukan hanya menginginkan kemenangan dari tim
kami tetapi sebenarnya yang lebih utama adalah bagaimana kedepan pemimpin yang kami usung mampu menggiring kehidupan masyarakat
Sulawesi Tenggara pada umumnya ke arah lebih baik. Saya individu percaya kekuatan pemimpin dibantu dengan tim-timnya yang solid mampu
bekerja maksimal.”
6.1.1. Melahirkan Kembali HaluOleo
HaloOleo bagi masyarakat Sulawesi Tenggara dikenal sebagai sosok pahlawan. Pengakuan terhadap HaloOleo sebagai pahlawan daerah Sulawesi
Tenggara dapat dilihat dari penggunaan nama jalan, Universitas negeri dan berbagai penggunaan lainnya
20
. Bagi masyarakat yang beretnis Tolaki hal ini suatu kebanggaan, sebab HaluOleo diyakini merupakan pahlawan yang beretnis
19
Tulisan W. Patasik belum diterbitkan, sebagai bahan presentasi mengenai rekonsiliasi dalam budaya Tolaki.
20
Lihat juga Effendi, Rustam dalam Sejarah Sulawesi Tenggara dan 40 Tahun Sultra Membangun.
Tolaki. Kemampuan HaluOleo yang paling dibanggakan oleh masyarakat Sultra khususnya masyarakat beretnis Tolaki adalah kemampuannya menyatukan
masyarakat Sulawesi Tenggara dan menjadi Raja ataupun Sultan di seluruh wilayah Sulawesi Tenggara.
Bagi masyarakat Sultra yang beretnis lainnya, suka ataupun tidak suka mereka harus mengakui keberadaan HaluOleo yang akan dikukuhkan sebagai
pahlawan nasional. Tercatat HaluOleo pernah menjadi panglima perang di kerajaan Konawe, Mekongga dan Morenene yang merupakan kerajaan beretnis
Tolaki, kemudian menjadi Raja ke VII di kerajaan Muna dan terakhir menjadi Sultan Buton VI Effendi, Rustam, 2004.
Keteladanan terhadap sosok HaluOleo yang dianggap mampu menyatukan berbagai keragaman yang ada di wilayah Sulawesi Tenggara merupakan sebuah
harapan sekaligus mimpi yang ingin dicapai oleh para aktor politik beretnis Tolaki. Berikut pandangan aktor politik beretnis Tolaki terhadap sosok HaluOleo:
“Suka ataupun tidak suka, masyarakat Sulawesi Tenggara secara umum harus menerima keberadaan HaluOleo sebagai pahlawan pemersatu Sultra.
Meskipun banyak yang meragukan apakah Sultan atau Raja yang pernah menjabat di Muna dan Buton adalah HaluOleo, saya fikir banyak bukti
yang dapat membenarkan bahkan hasil studi dan seminar nasional tentang HaluOleo yang ditandatangani oleh pemerintah dan pemuka politik dari
berbagai kalangan etnis yang ada di Sulawesi Tenggara juga membenarkan hal tersebut. Bagi kami politikus dari etnis Tolaki bukan hal yang tidak
mungkin untuk melahirkan kembali sosok HaluOleo di jaman millennium ini meskipun butuh upaya yang tidak sedikit mengingat saat ini masyarakat
terlebih politikus juga masih sangat berpegang terhadap etnisnya, artinya masih menganggap etnisnya sebagai etnis paling baik sehingga pemimpin
yang paling baik pun harus merupakan pemimpin yang berasal dari etnisnya. Apalagi kebijakan otonomi daerah yang semakin memberi
dampak kewenangan full bagi pemerintah daerah sehingga kebanyakan yang terjadi pemimpin dari etnis tertentu berarati menjamin kedudukan
anggota-anggota pemerintahan dan aktor politik dari etnis yang sama dan hal ini tidak dapat kita pungkiri masih sering terjadi informan NRLN.”
Secara umum, pada proses pemilihan gubernur tidak begitu nampak perilaku-perilaku politik yang bertujuan untuk melahirkan kembali sosok
HaluOleo, namun hal ini mulai dapat disaksikan melalui kegiatan yang dilakukan ketika kubu NUSA dimana aktor politiknya beretnis Tolaki dan mampu
mengungguli pasangan yang lain. Saat ini, Gubernur telah menggagas kembali pengusulan HaluOleo sebagai pahlawan Nasional. Penggagasan ini dapat dikaji
dalam dua hal; pertama, penggagasan HaluOleo sebagai pahlawan nasioanl disebabkan berbagai jasanya terhadap masyarakat Sultra, kedua penggagasan
HaluOleo sebagai pahlawan Nasional juga merupakan upaya mengukuhkan anggapan dalam masyarakat bahwa aktor beretnis Tolaki mampu hadir sebagai
pemimpin sekaligus pemersatu masyarakat Sulawesi Tenggara yang beranekaragam budayanya.
Masa kejayaan orang Tolaki yang ditunjukkan dengan kemampuan sosok pahlawan beretnis Tolaki HaluOleo menjadi raja di setiap wilayah Sultra dengan
berbeda latar belakang, berangsur-angsur menurun ketika memasuki jaman pemerintahan modern terlebih jaman Orde Baru. Pemimpin masyarakat Sultra
selalu dimonopoli oleh figur-figur kepulauan, sedangkan figur daratan hanya berada pada posisi kedua. Meraih kembali kejayaan etnis Tolaki dalam kancah
politik Sultra menjadi motivasi penting perilaku elit politik beretnis Tolaki dalam mengoptimalisasikan setiap kekuatan politik untuk mencapai tujuan politik
tersebut yaitu; melahirkan kembali sosok HaluOleo. Selain menggagas HaluOleo sebagai pahlawan Nasional, pengakuan
terhadap kepemimpinan orang Tolaki pada masa sebelumnya ditunjukkan melalui kunjungan terhadap makam leluhur. Dua hari setelah gubernur yang baru telah
dilantik, gubernur yang pertamakali dipilih secara langsung oleh masyarakat Sultra dan berasal dari etnis Tolaki tersebut langsung mengunjungi makam
Lakidende, raja sekaligus nenek moyang orang Tolaki, didampingi oleh para anggotanya dan para pemuka adat.
Tujuan dari prosesi kunjungan makam leluhur serta segala prosesi adatnya ditujukan untuk mengenang jasa dan upaya para leluhur membawa masyarakat
Sultra ke arah lebih baik, selain itu juga ditujukan untuk menghormati apa yang telah dilakukan hingga saat ini dan mengambil nilai-nilai keteladanan. Gubernur
yang baru menganggap perlu untuk meminta restu untuk memimpin masyarakat Sulawesi Tenggara saat ini dan hal ini dilakukan melalui prosesi kunjungan
makam beserta prosesi lainnya yang dibimbing oleh pemuka adat Tolaki.
6.1.2 Masyarakat Tolaki dan Pemilihan Gubernur