Industri Peternakan Sapi Potong di Indonesia

pakan ternak, dan hanya 3,57 persen yang menggunakan konsentrat secara rutin. Perbedaan dalam pemberian pakan selain akan mempengaruhi kualitas sapi potong yang dihasilkan, juga akan mempengaruhi tingkat harga jual dan pendapatan peternak. Produksi Sapi Potong di Indonesia Produksi sapi potong menurut Kariyasa 2004, dipengaruhi oleh harga daging sapi dalam negeri, suku bunga, populasi ternak sapi, harga ternak sapi, dan harga pakan. Menurut penelitian tersebut, hanya peubah teknologi dan tingkat upah yang tidak mempengaruhi produksi daging sapi. Nilai produksi daging sangat responsif terhadap perubahan harga daging sapi dalam negeri dan harga ternak sapi. Sesuai dengan hukum permintaan yang menyebutkan bahwa ketika harga tinggi, maka suplai barang akan meningkat, maka ketika harga daging sapi tinggi, maka nilai produksi akan ikut meningkat, begitu juga sebaliknya yakni ketika harga daging sapi mengalami penurunan, maka produksi daging akan ikut turun. Harga sapi akan mempengaruhi jumlah sapi yang dapat atau akan dipotong. Ketika harga sapi tinggi maka pembelian sapi potong akan cenderung rendah, sehingga jumlah pemotongan akan berkurang, yang akibatnya jumlah produksi daging sapi akan berkurang, begitu sebaliknya Kariyasa, 2004. Menurut Taufik 2010, produksi dari peternakan sapi potong dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti penggunaan hijauan, lama pemeliharaan, dan jumlah ternak. Sebaliknya, faktor yang tidak berpengaruh nyata menurut penelitian ini adalah konsentrat, tenaga kerja, umur ternak, dan bobot awal ternak. Kondisi Pasar Sapi Potong di Indonesia Saat ini ketergantungan peternak terhadap jasa pengumpul dalam memasarkan ternaknya masih cukup tinggi meskipun telah tersedia pasar ternak dengan fasilitas yang cukup memadai. Beberapa faktor penyebabnya menurut Rahmanto 2004 serta Yusdja dan Ilham 2006 diantaranya adalah; pertama, tingkat skala usaha peternak yang relatif kecil sehingga pengeluaran biaya pemasaran seperti biaya angkut dalam pemasaran ternaknya menjadi tidak efisien dibandingkan dengan menjualnya pada pedagang pengumpul yang pembelian dan pembayarannya dilakukan di kandang. Kedua , peternak tidak memiliki pengetahuan yang cukup mengenai kondisi pasar. Kurangnya informasi pasar dapat menyebabkan peternak mengalami kerugian dari sisi harga maupun penipuan. Ketiga, transaksi didasarkan pada taksiran pembeli. Tidak adanya ketentuan dalam penetapan harga seperti bobot ternak maupun kondisi-kondisi lainnya akan melemahkan posisi tawar dari peternak, sehingga peternak akan mengalami kerugian apabila penjualan dilakukan atas dasar kebutuhan, bukan pada sistem bahwa ternak sapi tersebut telah mencapai umur jual. Keempat, banyaknya makelar yang berada di pasar yang berpotensi mengurangi penerimaan dari peternak. Usaha peternakan sapi potong, baik secara langsung maupun tidak langsung berkompetisi dengan perusahaan besar yang melakukan kegiatan impor. Di Jawa Timur, menurut penelitian yang dilakukan Rahmanto 2004, impor sapi hidup berpengaruh positif terhadap pengeluaran ternak di daerah tersebut. Hal ini disebabkan karena sebagian besar ternak impor sapi terdiri dari sapi bibit dan sapi bakalan yang menyumbang terhadap jumlah populasi ternak. Perbandigannya adalah bahwa setiap 1 ton berat hidup sapi impor setara dengan 3-4 ekor sapi hidup akan menyumbang peningkatan pengeluaran ternak dari Jawa Timur sebesar 0,976 ekor. Sebaliknya impor daging berpengaruh negatif terhadap pengeluaran ternak di Jawa Timur. Perbandingan pengaruh ini adalah tiap impor daging sapi sebesar 1 ton akan menurunkan jumlah pengeluaran ternak sebesar 3,7 ekor. Keadaan tersebut akan sangat mempengaruhi pasar di daerah DKI Jakarta dan Jawa Barat yang merupakan daerah pemasaran utama ternak sapi potong. Pangsa pemasukan ternak sapi potong dikedua provinsi tersebut adalah pangsa terbesar di Indonesia, yaitu sebesar 31 persen dan 42 persen Ilham et al, 2001. Menurut Yusdja et al 2001 43 persen dari pengadaan daging sapi untuk kedua daerah tersebut berasal dari impor, sedangkan 57 persen lainnya berasal dari peternak domestik. Pertukaran atau definisi pasar akan terjadi dengan adanya harga. Kondisi harga pada pasar dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berbeda. Menurut Rahmanto 2004, harga penjualan sapi potong di Jawa Timur, khususnya Magetan, didasarkan pada volume bobot karkas setelah pemotongan, atau bukan berdasarkan pada berat hidup. Harga sapi potong di pasar internasional, dipengaruhi oleh nilai tukar mata uang suatu negara. Sebagai contoh, melemahnya nilai tukar rupiah terhadap US menyebabkan harga paritas impor menjadi lebih mahal.

III. KERANGKA PEMIKIRAN

3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Teori Daya Saing Berdasarkan sejarahnya, konsep daya saing dalam perdagangan suatu komoditas atau produk antar negara telah berkembang pesat. Konsep pertama dimulai dari konsep keunggulan absolut dari Adam Smith yang menyatakan bahwa dua negara akan mendapatkan keuntungan dari perdagangan apabila karena faktor-faktor alamiah masing-masing negara dapat mengadakan suatu produk yang lebih murah dibandingkan dengan memproduksinya sendiri. Menurut konsep ini, setiap negara sebaiknya mengkhususkan diri untuk memproduksi produk yang paling efisien yaitu produk yang biaya produksinya paling rendah Asheghian dan Ebrahimi, 1990 . Perkembangan konsep berikutnya merupakan konsep keunggulan komparatif yang berasal dari David Richardo. Dalam konsep ini disebutkan bahwa apabila suatu negara dapat memproduksi masing-masing dari dua produk dengan lebih efisien dibandingkan negara lainnya, dan dapat memproduksi satu dari dua produk tersebut dengan lebih efisien, maka sebaiknya negara tersebut mengkhususkan diri dan mengekspor produk yang secara komparatif lebih efisien, yaitu produk yang memiliki nilai absolut tertinggi. Sebaliknya, negara yang memiliki efisiensi yang lebih rendah sebaiknya mengkhususkan diri dan mengekspor komoditas yang secara komparatif lebih rendah inefisiensinya, yaitu komoditas yang paling rendah ketidakunggulannya Asheghian dan Ebrahimi, 1990. Implikasi penting dari teori ini adalah bahwa sekalipun suatu negara tidak memiliki suatu keunggulan absolut dalam barang apapun, negara tersebut maupun negara-negara lainnya masih akan mendapatkan manfaat dari perdagangan internasional. Teori penting mengenai daya saing berikutnya dikembangkan oleh Heckscher-Ohlin HO yang berpendapat bahwa faktor penentu utama keunggulan komparatif bagi masing-masing negara yang merupakan landasan dalam melakukan perdagangan adalah kelimpahan faktor secara relatif atau kepemilikan fator-faktor produksi yang berbeda antara satu negara dengan negara lain Salvatore, 1997. Atas dasar alasan ini maka model H-O disebut juga sebagai Teori Kepemilikan Faktor Factor Endowment theory atau Teori Proporsi Faktor Factor Proportion Theory. Teori Heckscher-Ohlin menyatakan bahwa negara akan mengekspor komoditi yang produksinya lebih banyak menyerap faktor produksi yang relatif melimpah dan murah di negara itu, dan dalam waktu bersamaan negara tersebut akan mengimpor komoditi yang produksinya memerlukan sumberdaya yang relatif langka dan mahal di negara tersebut Salvatore, 1997. Teori ini menjelaskan bahwa kelimpahan faktor dan harga faktor tersebut secara relatif merupakan penyebab perbedaan harga relatif antara dua negara yang menjadi dasar terjadinya perdagangan. Konsep selanjutnya merupakan penyempurnaan dari konsep keunggulan komparatif, yaitu konsep keunggulan kompetitif. Konsep keunggulan kompetitif yang dirancang oleh Porter pada tahun 1990 ini menyatakan bahwa daya saing suatu industri dari suatu bangsa atau negara tergantung pada keunggulan empat atribut yang dimilikinya. Konsep ini dikenal sebagai The Diamond of Porter, dimana artibut yang dimaksudkan terdiri dari 1 faktor kondisi; 2 kondisi permintaan; 3 industri terkait dan penunjang; dan 4 strategi, struktur, dan persaingan perusahaan. Keempat atribut tersebut secara bersama-sama akan mempengaruhi kemampuan bersaing suatu industri pada suatu negara apabila ditunjang oleh kebijakan pemerintah yang kondusif yang dapat mempercepat keunggulan dan koordinasi antar atribut tersebut. Menurut konsep teori diamond lokasi pusat kegiatan national home base suatu perusahaan akan menentukan daya saing perusahaan tersebut dalam kompetisi internasional. Secara rinci dijelaskan, dimana;

1. Faktor kondisi, adalah hal-hal yang berkaitan dengan faktor-faktor

produksi yang dimiliki oleh suatu negara, antara lain: sumber daya alam SDA, knowledge, modal, dan infrastruktur. Kekuatan sumber daya yang dimiliki suatu bangsa tidak seluruhnya merupakan anugerah alam endowment, namun dapat diciptakan, dibangun atau dikembangkan. Insiatif politik, kemajuan teknologi dan perubahan sosial merupakan hal- hal yang menentukan kualitas faktor kondisi suatu negara.

2. Faktor Permintaan domestik, adalah hal-hal yang berkaitan dengan

permintaan terhadap barang dan jasa yang dihasilkan suatu negara. Suatu negara dapat memiliki keunggulan daya saing di pasar atau industri tertentu apabila permintaan domestiknya jelas. Permintaan domestik itu sendiri dipengaruhi oleh tiga hal, yaitu: komposisi keinginan dan kebutuhan konsumen; jangkauan dan tingkat pertumbuhan pasar; dan mekanisme yang menyalurkan kebutuhan dan keinginan konsumen domestik ke pasar internasional. 3. Faktor-Faktor industri pendukung, yaitu ada tidaknya industri-industri pemasok bahan baku dan industri pendukung yang kompetitif dalam persaingan internasional. Industri pemasok yang kompetitif akan berperan penting terhadap pengembangan industri utama terutama untuk memperkuat inovasi dan upaya internasionalisasi. Industri pendukung merupakan industri yang secara bersama-sama dengan industri utama melaksanakan kegiatan bisnis tertentu.

4. Faktor strategi, struktur dan persaingan perusahaan, yaitu hal-hal

yang berkaitan dengan pola manajemen dan karakteristik persaingan usaha di suatu negara. Faktor-faktor tersebut akan berbeda-beda kondisi dan penerapannya di masing-masing negara. Hal ini akan menjadi keunggulan daya saing dan sebaliknya akan menjadi faktor kelemahan terhadap suatu perusahaan atau negara. Wolff, Schmitt, dan Hochfeld 2007 mendefinisikan daya saing pada tiga tingkatan, yaitu pada level perusahaan, industri, dan level nasional negara. Pada level perusahaan, daya saing didefinisikan sebagai kemampuan perusahaan untuk menghasilkan barang dan jasa lebih efisien dan efektif dibandingkan dengan perusahaan lain pesaing yang sejenis. Daya saing ini juga mencakup kepada keberhasilan perusahaan untuk sukses dan berhasil di pasar internasional dengan sedikit pengaruh intervensi pemerintah, ataupun subsidi. Suatu perusahaan dianggap mempunyai daya saing jika mampu mempertahankan keuntungan serta dapat dipandang sebagai pesaing yang kuat jika perusahaan tersebut mampu meningkatkan pangsa pasar dan keuntungannya. Keunggulan kompetitif atau daya saing mikro juga dapat diartikan sebagai kemampuan perusahaan perusahaan domestik untuk menjual produk-produknya dalam pasar global berdasarkan daya tarik relatif dari harga dan mutunya dibandingkan dengan pesaing asingnya. Daya saing pada level industri merupakan kemampuan perusahaan- perusahaan nasional untuk berhasil atau sukses secara berkesinambungan dibanding dengan perusahaan-perusahaan dari luar pesaing, tanpa adanya proteksi dan subsidi dari pemerintah. Mengukur daya saing pada tingkat industri mencakup profitabilitas dari keseluruhan perusahaan-perusahaan nasional yang ada dalam sektor industri yang bersangkutan, keseimbangan perdagangan industri, juga keseimbangan antara masuk dan keluar pada investasi asing langsung, serta ukuran langsung dari biaya dan kualitas yang dihasilkan pada level industri. Beberapa faktor yang sangat mempengaruhi daya saing diantaranya adalah teknologi yang digunakan dalam penggunaan input, diferensiasi produk, ekonomi produksi, dan faktor eksternal Harrison dan Lynn, 1997; Kagochi, 2007. Di sisi lain, Russel dan Taylor 2005 menyatakan bahwa faktor terpenting dalam daya saing adalah produktivitas. Peningkatan produktivitas akan diikuti oleh peningkatan upah tanpa memproduksi inflasi, yang akan meningkatkan standar hidup. Peningkatan produktivitas juga memperlihatkan seberapa cepat ekonomi dapat memperluas kapasitas suplai barang. Daya saing dari sisi industri atau perusahaan lebih intens ketika perusahaan secara relatif seimbang dalam ukuran-ukuran; sumber daya, produk, dan jasa yang telah distandarisasikan; perkembangan industri cenderung pelan yang menyebabkan perusahaan mendapatkan keunggulan dengan mengorbankan perusahaan lain; atau eksponensial. Daya saing pada level industri atau perusahaan dapat diukur berdasarkan jumlah pemain utama dalam industri tersebut dan market shared dari industri yang memimpin. Industri yang memiliki daya saing tinggi merupakan industri yang memiliki hambatan pasar paling sedikit. Dalam suatu pasar global, hambatan pasar yang harus dihadapi oleh perusahaan merupakan orientasi operasional, seperti; 1. Economic of scale Ketika volume produksi meningkat, biaya yang dikeluarkan menurun. Perusahaan yang baru masuk dalam pasar internasional biasanya memiliki unit cost yang lebih tinggi, sehingga mereka tidak dapat memenuhi kpermintaan dalam jumlah besar. 2. Capital Invesment Perusahaan yang memiliki investasi besar dalam fasilitas, perlengkapan, dan pelatihan bisa dianggap menjadi “player” pada beberapa industri. 3. Access to Supply and Distribution Channels Perusahaan yang telah ada dalam suatu industri memiliki suplai tetap dan channel distribusi yang akan sulit untuk digantikan perusahaan baru. 4. Learning Curves Kurangnya pengalaman dalam pasar global akan menjadi hambatan besar pada perusahaan untuk masuk dalam suatu industri internasional Russel dan Taylor, 2005. Pada level nasional atau negara, daya saing diartikan sebagai kemampuan warga negara untuk berhasil meraih keberhasilan yang lebih tinggi, dan juga mampu untuk meningkatkan taraf hidupnya. Taraf hidup dapat diukur melalui produktivitas masyarakat per tenaga kerja, atau dari sebaran modal yang dimiliki. Suatu negara dengan produktivitas masyarakat yang tinggi dapat menjadikan negara tersebut semakin berdaya saing. Efektif atau tidaknya suatu bangsa atau negara bersaing pada pasar global mempengaruhi keberhasilan ekonomi bangsa dan kualitas hidup warganya Russel dan Taylor, 2005. Dari penjelasan diatas disimpulkan bahwa daya saing adalah kemampuan dari suatu sumber baik perusahaan, industri ataupun negara dalam mempengaruhi pasar baik dalam bentuk suplai maupun permintaan pasar. Suatu perusahaan, industri atau negara dikatakan memiliki daya saing ketika mampu memenuhi kebutuhan pasar dengan mengoptimalkan sumber dayanya sendiri tanpa adanya intervensi dari luar. Konsep ini merupakan landasan teoritis daya saing yang digunakan dalam penelitian ini.

3.1.2. Ukuran Daya Saing

Pengertian dan definisi daya saing mengarah pada langkah-langkah yang digunakan sebagai indikator daya saing. Banyak langkah-langkah yang dapat digunakan untuk menganalisis daya saing bila dilihat dari definisinya.