Pertumbuhan output METODE PENELITIAN

Usaha cow-calf operation CCO bertujuan untuk menghasilkan pedet atau sapi bakalan yang selanjutkan dipelihara untuk penggemukan. Usaha ini dapat dilakukan dengan mengembang-biakkan sapi se-bangsa breed, atau dengan cara persilangan cross breeding antara sapi lokal dengan pejantan impor Brahman, Simental, Limousin, dsb. Parameter keberhasilan usaha CCO ini adalah jumlah anak yang dapat dilahirkan induk sapi dalam kurun waktu tertentu calf crop. Oleh karena itu keberhasilan usaha ini sangat terkait dengan performans reproduksi dan tingkat mortalitas induk dan anak. Performans reproduksi yang sangat penting antara lain adalah: i umur beranak pertama, ii jarak beranak atau calving interval CI, iii service per conception atau SC, serta iv masa produktivitas atau longivity Diwyanto dan Inounu, 2009. Masalah produktivitas reproduksi ternak merujuk pada pengembangan teknologi salah satunya yang sering digunakan adalah Artificial Insemination AI. AI atau yang biasa dikenal dengan Inseminasi Buatan IB pada ternak di Indonesia dimulai pada tahun 1976. Teknologi IB dapat dipergunakan untuk membantu pelaksanaan program seleksi pada sapi potong, karena akan meningkatkan intensitas seleksi. Direktorat Pemuliaan Ternak dibawah Direktorat Jenderal Peternakan mengoperasikan sentral bibit sapi dan kerbau dan sentral AI di Jawa untuk memproduksi semen sapi, kerbau, dan sapi perah untuk didistribusikan ke seluruh daerah di Indonesia. Tabel 3 Data Impor Semen Sapi di Indonesia Tahun 2004-2008 Negara Asal 2004 2005 2006 2007 2008 Australia 34.962 7.782 New Zeland 2.411 15.611 USA 29.127 45.241 36.375 144.555 United Kingdom 13.768 FOB Value US 34.962 39.320 45.241 36.375 173.934 Sumber: Stanton, Emms, dan Sia 2010 Pemerintah menyatakan bahwa Indonesia memiliki suplai yang cukup untuk semen dalam negeri yang dihasilkan oleh ternak lokal, sehingga tidak membutuhkan impor semen dari negara lain. Namun pada kenyataannya, Indonesia masih melakukan impor semen beku dari negara lain. Data yang ditunjukkan pada Tabel 2 menyatakan bahwa Indonesia masih melakukan impor dan cenderung mengalami tren yang meningkat dari tahun 2004. Usaha meningkatkan populasi sapi potong nasional dengan menggunakan semen impor juga diikuti dengan impor sapi murni yang sebagian besar berasal dari Australia dan New Zeland Tabel 3. Namun upaya peningkatan populasi dengan menggunakan sapi murni impor tersebut belum begitu berhasil karena kurang menarik bagi peternak lokal karena harus mengeluarkan biaya yang besar, tempat yang lebih luas, dan membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan mengimpor semen beku. Tabel 4 Impor Sapi Murni di Indonesia Tahun 2004-2008 Negara Asal 2004 2005 2006 2007 2008 Australia 2.500 20 210 New Zeland 150 1.180 Jumlah ekor 2.500 150 20 1.390 FOB Value US 992.265 181.972 65.467 2.921.944 Sumber: Stanton, Emms, dan Sia 2010 Pada pertengahan tahun 1980-an Indonesia mulai mengembangkan penggemukan sapi potong menggunakan sapi FH jantan. Seiring dengan perkembangannya pada awal tahun 1990an mulai berkembang industri penggemukan sapi potong ini dengan menggunakan sapi bakalan import dari Australia. Perkembangan impor sapi potong khususnya sapi bakalan di Indonesia terus mengalami peningkatan. Hal ini selain disebabkan oleh kurangnya kemampuan ternak lokal untuk memberikan suplai sapi bakalan untuk penggemukan, terdapat kondisi lain yang mempengaruhi. Sebagai contoh, beberapa kondisi yang mempengaruhi tingginya jumlah impor sapi potong dari Australia sebagai importir terbesar, dimana pada tahun 1999-2000 Australia secara besar-besaran melakukan ekspor ke Timur Tengah sehingga Indonesia hanya mendapatkan sisa ekspor dengan harga yang ditawarkan rendah. Pada tahun tersebut impor sapi potong ke Indonesia mencapai 296 ribu ekor. Pada tahun selanjutnya, muncul kasus BSE Bovine Spongiform Enchepalophaty yang menggunang dunia peternakan sapi potong. Dampak dari munculnya isu ini adalah konsumsi daging dunia yang menurun drastis, yang menyebabkan beberapa negara mengalami over supply. Australia sebagai salah satu negara dengan populasi sapi potong terbesar di dunia ikut mengalami dampak tersebut sehingga pada tahun tersebut harga sapi asal Australia mengalami penurunan drastis. Impotir Indonesia yang tidak terganggu dengan isu penyakit BSE disamping kebutuhan untuk mencukupi permintaan daging nasional, tetap melakukan impor dengan kuota sebesar 289 ribu ekor di tahun 2001 tersebut. Selanjutnya pada tahun 2002, Australia mengalami masa kering yang sangat parah sehingga ternak dijual secara besar-besaran sehingga harga terus merosot. Impor Indonesia terhadap sapi Australia meningkat menjadi 430 ribu ekor di tahun tersebut. Selanjutnya pada tahun 2003, pasar sapi Autralia- Timur Tengah terganggu oleh perang di Irak, sehingga terjadi fluktuasi kurs mata uang di Mesir. Kondisi ini berakibat pada biaya transportasi untuk pengengkutan sapi dari Australia menuju Timur Tengah melambung tinggi. Selain Australia, Indonesia juga melakukan impor ternak dari New Zeland dan beberapa negara lainnya seperti Brazil. Kondisi perkembangan kuota impor bakalan sapi potong dapat dilihat dalam Gambar 6. Gambar 6 Pertumbuhann Impor Bakalan Sapi Potong di Indonesia Kg Sumber: Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan Ditjennak, 2000-2011 Tren yang meningkat dari impor sapi potong bakalan di Indonesia menjadi permasalahan tersendiri bagi pertumbuhan populasi sapi potong lokal. Pada tahun 2000 pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk meningkatkan potensi sapi potong khususnya sapi potong lokal di Indonesia untuk memenuhi kecukupan -5000000 50000000 10000000 15000000 20000000 25000000 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Impor per KG daging nasional melalui swasembada daging. Dalam operasionalnya, hingga tahun 2009 kebijakan tersebut dapat dikembangkan melalui program optimalisasi ekseptor dan Intensifitasi kawin alam InKA, pengendalian pemotongan betina produktif, dan penanganan gangguan reproduksi. Dengan memperhatikan kinerja program pencapaian swasembada daging sapi P2SDS tahun 2010, program tersebut dipertajam menjadi lima kegiatan pokok, yaitu 1 penyediaan bakalan daging sapi lokal, 2 peningkatan produktivitas dan reproduktivitas ternak lokal, 3 pencegahan pemotongan betina produktif, 4 penyediaan bibit sapi lokal, dan 5 pengaturan stok daging sapi dalam negeri. Ketahanan Pangan dan Pembangunan Peternakan Ketahanan pangan pada tingkat nasional dapat diartikan sebagai kemampuan suatu bangsa untuk menjamin seluruh penduduknya memperoleh pangan yang cukup baik secara kualitas maupun kuantitas yang didasarkan pada optimalisasi pemanfaatan dan berbasis pada keragaman sumber daya lokal. Secara mikro, ketahanan pangan diartikan sebagai terpenuhinya kebutuhan pangan setiap rumah tangga untuk menjalani hidup yang sehat dan aktif. Aspek ketahanan pangan yang berkelanjutan identik dengan kebijakan dan strategi peningkatan kemandirian pangan nasional, sehingga perlu untuk diperhatikan Ditjennak, 2010. Ketahanan pangan dapat diukur dengan melihat ketergantungan ketersediaan pangan nasional pada produksi dalam negeri. Ketidakstabilan politik dan ekonomi yang merambat pada perdagangan dapat menyebabkan gangguan pada ketahanan pangan nasional. Terguncangnya industri peternakan sapi potong domestik akibat krisis moneter tahun 1997-1998 terjadi akibat ketergantungan yang tinggi terhadap bahan baku pakan dan bibit impor. Ketergantungan nasional terhadap daging dan sapi bakalan impor dapat melemahkan upaya peningkatan kemampuan produksi dalam negeri Ditjennak, 2010. Jika dalam pelaksanaannya terjadi gangguan impor, maka sapi lokal akan digunakan dalam upaya pemenuhan kebutuhan daging nasional. Kondisi peternakan sapi potong lokal yang lambat berkembang akibat masih tertutupinya kebutuhan oleh impor menyebabkan pengurasan pada populasi sapi potong lokal itu sendiri yang berdampak pada kepunahan dalam jangka panjang. Oleh karena itu, ketahanan pangan hewani khususnya daging sapi tidak akan terwujud tanpa; i Penguatan sistem pembibitan yang benar, efektif, dan efisien, dan ii Pengembangan usaha pengembangbiakan sapi cow calf operation yang handal, berbasis pakan lokal, yang didukung oleh teknologi yang inovatif, sumber daya manusia yang lebih dinamis, dan kebijakan yang mampu menciptakan suasana kondusif Ditjennak, 2010. Program Swasembada Daging Program swasembada daging merupakan upaya pemerintah dalam mewujudkan ketahanan pangan hewani asal ternak berbasis sumber daya lokal. kondisi impor yang tinggi dan memperlihatkan kecenderungan yang meningkat secara otomatis akan menguras devisa negara. Kondisi ini dapat menyebabkan kemandirian dan kedaulatan pangan asal hewan khususnya daging sapi semakin jauh dari harapan, yang dalam jangka panjang berpotensi masuk kedalam food trap negara eksportir Ditjennak, 2010. Dalam rangka memperkuat produksi daging sapi lokal sehingga dapat menjamin ketersediaan daging sapi secara nasional, pemerintah mengeluarkan beberapa kebijakan antara lain; 1. Kebijakan Hulu : Adanya jaminan ketersediaan input produksi secara mudah, murah, dan berkelanjutan. Dukungan Kredit Usaha Pembibitan Sapi KUPS harus dioptimalkan dan terus dikembangkan. Kredit murah untuk usaha penggemukan juga sangat diperlukan agar tunda potong dapat diwujudkan dengan baik. Ekspor bahan pakan, seperti bungkil inti sawit BIS, tetes, wafer pucuk tebu, onggok, dan lain-lain harus dibatasi atau bahkan dilarang apabila kebutuhan dalam negeri berlum terpenuhi. 2. Kebijakan Budidaya : Adanya kepastian usaha, terkait pada tata ruang, pola integrasi tanaman-ternak, dan lain-lain. 3. Kebijakan Harga dan Perdagangan : Adanya kepastian kepada pelaku usaha agar harga daging tetap atraktif namun masih terjangkau. Praktek monopoli atau kartel, impor produk tidak berkualitas dengan cara dumping , impor daging ilegal, dan lain-lain harus dicegah sebagai bentuk