2.3. Hubungan Antara Produktivitas dan Daya Saing
Produktivitas merupakan komponen yang turut menentukan dan menjadi syarat utama dalam keberhasilan suatu perusahaan. Produktivitas menunjukkan
tingkat kualitas perusahaan dalam menghadapi era persaingan sehingga perusahaan dapat mencapai tujuan yang ditentukan. Porter dalam Ketels 2006
menyatakan bahwa produktivitas merupakan akar penentu tingkat daya saing baik pada level individu, perusahaan, industri, maupun nasional. Produktivitas
merupakan standar hidup dan sumber pendapatan individual maupun per kapita, sedangkan daya saing pada dasarnya merupakan kemampuan untuk menciptakan
suatu tingkat kemakmuran. Dari penjelasan tersebut dapat dikatakan bahwa terdapat hubungan yang sejalan antara tingkat produktivitas dengan tingkat daya
saing. Penjelasan ini didukung oleh Laturffe 2010 yang menyatakan bahwa produktivitas yang menunjukkan tingkat efisiensi dapat dijadikan salah satu
ukuran utama untuk daya saing. Efisiensi juga dapat mengungkapkan potensi kompetitif yang dimiliki oleh perusahaan atau industri di masa yang akan datang.
Kurniawan 2008 dalam penelitiannya mendukung pernyataan di atas dengan menyatakan bahwa nilai efisiensi berbanding lurus dengan tingkat daya
saing. Dalam penelitiannya, Kurniawan 2008 menjelaskan bahwa ketika suatu komoditas dalam hal ini adalah jagung mengalami kenaikan nilai efisiensi maka
daya saing komoditas tersebut akan ikut meningkat. Dari keterangan di atas maka dapat disimpulkan bahwa produktivitas memiliki dampak yang positif terhadap
daya saing. Secara definisi, produktivitas merupakan ukuran output yang dapat
dihasilkan dengan menggunakan sejumlah input tertentu. Dalam beberapa penelitian, nilai produktivitas dihitung dengan menggunakan persentase
pertumbuhan tahunan dari populasi, pemotongan, dan produksi daging secara time series
Haeruddin, 2004; Rouf, 2010 sedangkan pada penelitian lain nilai produktivitas dapat diketahui dengan membandingkan nilai tambah per tenaga
kerja. Nilai tambah dapat ditentukan dengan mengetahui nilai pembelian dan penjualan dari perusahaan. Untuk mengetahui nilai tambah dari industri,
digunakan rasio penjualan dan pembelian dari perusahaan-perusahaan sejenis Susanty, 2000; Fischer dan Schornberg, 2007.
2.4. Hubungan Antara Pertumbuhan Output dan Daya Saing
Pertumbuhan merupakan aspek dinamis dari daya saing yang digunakan oleh Fischer dan Schornberg 2007. Pertumbuhan output menjelaskan proses
daya saing dari perusahaan industri. Untuk mengukur nilai tambah, penelitian Fischer dan Schornberg 2007 menggunakan pertumbuhan nilai produksi, dengan
alasan bahwa nilai produksi terdiri dari total aktivitas operasional termasuk perubahan stok dan produksi yang akan merefleksikan output riil per periode.
Pertumbuhan produksi menurut Badan Pusat Statistik BPS Provinsi Bali 2012 sangat menentukan daya saing. Pertumbuhan produksi industri yang
rendah disamping ketatnya persaingan pasar nasional maupun internasional, tidak mampu memberikan hasil produksi yang memiliki daya saing yang tinggi di pasar
yang akan berdampak pada sulitnya pengusaha industri baik industri kecil maupun industri menengah untuk dapat berkembang.
2.5. Industri Peternakan Sapi Potong di Indonesia
Industri peternakan sapi potong dapat diartikan sebagai kegiatan bisnis yang rantai kegiatannya tidak terbatas pada kegiatan budidaya saja, namun sampai
kegiatan industri berikut beserta kegiatan pendukungnya.
Perkembangan Kebijakan Peternakan Sapi Potong
Usaha pengembangan terhadap sapi potong di Indonesia menurut Arifin 2010 telah dimulai sejak tahun 1970-an meskipun hasil yang diperoleh tidak
begitu menggembirakan. Sebelum tahun 1974, pemerintah pernah meluncurkan program Bantuan Presiden Banpres sapi potong, Crash Program Sapi Potong
Impor, maupun Proyek Kredit Pedesaan yang tujuannya adalah untuk meningkatkan produksi ternak potong untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Pada tahun 19741975 hingga 19801981, pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan pengembangan sapi potong dalam bentuk program Panca Usaha Ternak
PUTP. Berbeda dengan pernyataan Arifin 2010, Rahmanto 2004 menyatakan bahwa pemerintah Indonesia melakukan kebijakan pengembangan ternak sapi
potong sejak awal periode 1990-an untuk memenuhi kebutuhan daging sapi yang terus meningkat. Kebijakan tersebut melalui dua pola pengusahaan, yaitu pola
pengusahaan yang dilakukan oleh peternakan rakyat, dan pola pengusahaan yang melibatkan perusahaan-perusahaan besar swasta feedlot.
Pada tahun anggaran 2002 pemerintah telah merencanakan upaya pengembangan ternak sapi potong melalui kegiatan Program Pengembangan
Kawasan Agribisnis Berbasis Peternakan, dan kegiatan tersebut diaplikasikan pada berbagai bentuk kegiatan pengembangan ternak potong. Pengembangan
Kawasan Agribisnis Berbasis Peternakan pada dasarnya merupakan suatu model atau pola pengembangan wilayah atau daerah yang diarahkan pada keterpaduan
usaha tani antara peternak dan tanaman pangan, perkebunan, dan perikanan kawasan peternakan terpadu dan kawasan peternakan khusus yang memiliki
kegiatan utama usaha peternakan sapi seperti lahan umum, ranch, dan kawasan khusus peternak KUNAK. Pengembangan dan pelaksanaannya dilakukan secara
bertahap dan berkesinambungan sehingga mengarah kepada wilayah atau daerah yang berkembang mandiri dan memiliki nilai ekonomis Ditjennak, 2002.
Dalam rangka upaya pengembangan ternak sapi potong, pada tahun 2003 upaya pengembangan ternak tersebut menyebar di 29 provinsi. Pada awalnya
upaya in i dilakukan melalui proyek pengembangan sapi potong sistem “Sumba
Kontrak”. Program tersebut cukup berhasil dalam memicu kinerja peternak rakyat. Program tersebut kemudian diikuti oleh program-program susulan seperti Proyek
Panca Usaha Ternak Potong PUTP dan terakhir adalah Program Bantuan Langsung Masyarakat BLM yang meliputi Program Peningkatan Rakyat
Terpadu P2RT. Program lainnya yang bertujuan untuk pengembangan ternak potong
adalah Program Pengembangan Kawasan Agribisnis Peternakan yang didalamnya terdapat Sistem Integrasi Padi-Ternak SIPT. Kebijakan terakhir yang
dikeluarkan pemerintah untuk peternakan sapi potong adalah kebijakan swasembada daging oleh pemerintah yang konsep dasarnya adalah optimalisasi
penggunaan sumber daya lokal untuk memenuhi kebutuhan daging sapi dalam negeri.
Usaha Peternakan Sapi Potong
Peternakan sapi potong di Indonesia terdiri dari peternak besar dan peternak rakyat. Peternak besar atau peternak komersial yang memelihara 1.000
ekorpeternak per tahun terdiri atas peternak penggemukan feeder dan peternak pembibitan breeder. Para peternak penggemukan umumnya mendapatkan ternak
sapi bakalan melalui impor berupa sapi jantanbetina Brahman cross dan hanya sedikit peternak komersial tersebut yang menggunakan sapi bakalan dalam negeri,
terutama karena alasan nilai ekonomis yang rendah. Dari pengalaman pada peternakan penggemukan inilah, akhirnya berkembang peternakan sumber bibit
atau bakalan Talib, Inounu, dan Bamualim, 2007. Indonesia masih belum memiliki peternakan breeder murni. Di Indonesia,
peternak komersial yang memanfaatkan sapi-sapi betina produktif ex-impor untuk menghasilkan keturunan. Sapi-sapi betina tersebut diseleksi dengan seksama akan
sifat-sifat reproduksinya, kemudian diinseminasi dan dijual sebagai ternak betina bunting. Sapi-sapi betina tersebut diminati oleh banyak pemerintah daerah untuk
dikembangkan dan digunakan untuk menambah populasi sapi potong di wilayahnya masing-masing. Pasar kedua produk tersebut, baik sapi penggemukan
maupun sapi bunting adalah pasar yang sangat prospektif Talib, Inounu, dan Bamualim, 2007.
Peternak rakyat atau peternak tradisional menurut Talib, Inounu, dan Bamualim 2007 juga mempunyai peran yang hampir sama, tetapi dalam skala
usaha yang sangat berbeda. Peternak penggemukan lebih dikenal sebagai peternak sapi kereman karena waktu yang dibutuhkan untuk mencapai bobot potong cukup
lama yaitu lebih dari 6 bulan. Sementara itu peternak penghasil sapi bakalan lebih tepat disebut sebagai peternak budidaya karena praktek seleksi untuk peningkatan
produktivitas belum ada dan memang tidak tepat untuk dilaksanakan karena skala pemilikan yang kecil 1
–5 ekorpeternak. Menurut Yusdja dan Ilham 2006, sebagian besar ternak sapi lokal di Indonesia dipelihara secara tradisional dalam
bentuk usaha rakyat.