Hubungan Antara Produktivitas dan Daya Saing

Pembibitan dan Pakan Ternak Sapi Potong Pembibitan sapi potong dapat dilakukan secara alami maupun dengan menggunakan teknologi atau buatan. Menurut Rahmanto 2004, pembibitan yang dilakukan oleh peternak-peternak kecil umumnya bertujuan untuk tabungan. Teknik kawin suntik inseminasi buatan-IB yang dilakukan biasanya berhasil dengan frekuensi 2-4 kali penyuntikan dengan biaya persuntik adalah Rp 30.000. Sapi bakalan jantan biasanya dipelihara selama 1,5 hingga 2 tahun untuk siap dijual. Sebagian besar bibit sapi potong lokal betina dijual dari umur 4 bulan hingga 2 tahun, bergantng kepada kebutuhan peternak. Di daerah Magetan, ternak diberikan pakan hijauan berupa jerami padi, jerami jagung, dan rumput serta pakan konsentrat seperti katul, ubi kayu, dan garam. Selama masa pemeliharaan 720 hari, sapi bakalan menghabiskan 1800 Kg pakan dengan harga rata-rata untuk daerah tersebut adalah Rp 1500kg. Berikutnya dijelaskan oleh Rahmanto 2004, usaha penggemukan sapi potong di wilayah Magetan umumnya dilakukan dengan memelihara 1-2 ekor sapi bakalan. Pemeliharaan dalam sistem penggemukan ini lebih bersifat komersil dibandingkan dengan sapi bakalan atau bibit. Dalam 1 periode penggemukan atau sekitar 6 bulan, satu ekor sapi dapat menghabiskan 73 Kg hijauan dan 800 kg pakan konsentrat. Apabila dibandingkan dengan sapi impor atau jenis sapi limousin di daerah yang sama dan peternakan yang sama satu ekor sapi dapat menghabiskan 220 Kg pakan hijauan dan 2384 kg pakan konsentrat selama 12 bulan, atau setara dengan 110Kg pakan hijauan dan 1192kg pakan konsentrat selama 6 bulan. Menurut Yusdja et al 2001, untuk daerah Nusa Tenggara Barat, Jawa Timur, dan Sumatera Utara, akan menunjukkan bahwa usaha sapi kreman akan mengalami kerugian jika seluruh biaya usaha tani diperhitungkan dalam analisis, kecuali untuk daerah Jawa Timur pada skala usaha 6 ekor peternak. Peternakan semi intensif yang banyak dikembangkan di daerah Garut, menurut Permana 2002 kebanyakan menggunakan jerami padi dan ampas tahu sebagai pakan utama. Pakan tersebut banyak digunakan dengan alasan merupakan sumber daya lokal atau potensi daerah setempat. Sebagian besar peternak di daerah tersebut 96,43 persen menggunakan jerami padi dan ampas tahu sebagai pakan ternak, dan hanya 3,57 persen yang menggunakan konsentrat secara rutin. Perbedaan dalam pemberian pakan selain akan mempengaruhi kualitas sapi potong yang dihasilkan, juga akan mempengaruhi tingkat harga jual dan pendapatan peternak. Produksi Sapi Potong di Indonesia Produksi sapi potong menurut Kariyasa 2004, dipengaruhi oleh harga daging sapi dalam negeri, suku bunga, populasi ternak sapi, harga ternak sapi, dan harga pakan. Menurut penelitian tersebut, hanya peubah teknologi dan tingkat upah yang tidak mempengaruhi produksi daging sapi. Nilai produksi daging sangat responsif terhadap perubahan harga daging sapi dalam negeri dan harga ternak sapi. Sesuai dengan hukum permintaan yang menyebutkan bahwa ketika harga tinggi, maka suplai barang akan meningkat, maka ketika harga daging sapi tinggi, maka nilai produksi akan ikut meningkat, begitu juga sebaliknya yakni ketika harga daging sapi mengalami penurunan, maka produksi daging akan ikut turun. Harga sapi akan mempengaruhi jumlah sapi yang dapat atau akan dipotong. Ketika harga sapi tinggi maka pembelian sapi potong akan cenderung rendah, sehingga jumlah pemotongan akan berkurang, yang akibatnya jumlah produksi daging sapi akan berkurang, begitu sebaliknya Kariyasa, 2004. Menurut Taufik 2010, produksi dari peternakan sapi potong dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti penggunaan hijauan, lama pemeliharaan, dan jumlah ternak. Sebaliknya, faktor yang tidak berpengaruh nyata menurut penelitian ini adalah konsentrat, tenaga kerja, umur ternak, dan bobot awal ternak. Kondisi Pasar Sapi Potong di Indonesia Saat ini ketergantungan peternak terhadap jasa pengumpul dalam memasarkan ternaknya masih cukup tinggi meskipun telah tersedia pasar ternak dengan fasilitas yang cukup memadai. Beberapa faktor penyebabnya menurut Rahmanto 2004 serta Yusdja dan Ilham 2006 diantaranya adalah; pertama, tingkat skala usaha peternak yang relatif kecil sehingga pengeluaran biaya pemasaran seperti biaya angkut dalam pemasaran ternaknya menjadi tidak efisien