GAMBARAN UMUM INDUSTRI SAPI POTONG LOKAL INDONESIA

sapi potong lokal itu sendiri yang berdampak pada kepunahan dalam jangka panjang. Oleh karena itu, ketahanan pangan hewani khususnya daging sapi tidak akan terwujud tanpa; i Penguatan sistem pembibitan yang benar, efektif, dan efisien, dan ii Pengembangan usaha pengembangbiakan sapi cow calf operation yang handal, berbasis pakan lokal, yang didukung oleh teknologi yang inovatif, sumber daya manusia yang lebih dinamis, dan kebijakan yang mampu menciptakan suasana kondusif Ditjennak, 2010. Program Swasembada Daging Program swasembada daging merupakan upaya pemerintah dalam mewujudkan ketahanan pangan hewani asal ternak berbasis sumber daya lokal. kondisi impor yang tinggi dan memperlihatkan kecenderungan yang meningkat secara otomatis akan menguras devisa negara. Kondisi ini dapat menyebabkan kemandirian dan kedaulatan pangan asal hewan khususnya daging sapi semakin jauh dari harapan, yang dalam jangka panjang berpotensi masuk kedalam food trap negara eksportir Ditjennak, 2010. Dalam rangka memperkuat produksi daging sapi lokal sehingga dapat menjamin ketersediaan daging sapi secara nasional, pemerintah mengeluarkan beberapa kebijakan antara lain; 1. Kebijakan Hulu : Adanya jaminan ketersediaan input produksi secara mudah, murah, dan berkelanjutan. Dukungan Kredit Usaha Pembibitan Sapi KUPS harus dioptimalkan dan terus dikembangkan. Kredit murah untuk usaha penggemukan juga sangat diperlukan agar tunda potong dapat diwujudkan dengan baik. Ekspor bahan pakan, seperti bungkil inti sawit BIS, tetes, wafer pucuk tebu, onggok, dan lain-lain harus dibatasi atau bahkan dilarang apabila kebutuhan dalam negeri berlum terpenuhi. 2. Kebijakan Budidaya : Adanya kepastian usaha, terkait pada tata ruang, pola integrasi tanaman-ternak, dan lain-lain. 3. Kebijakan Harga dan Perdagangan : Adanya kepastian kepada pelaku usaha agar harga daging tetap atraktif namun masih terjangkau. Praktek monopoli atau kartel, impor produk tidak berkualitas dengan cara dumping , impor daging ilegal, dan lain-lain harus dicegah sebagai bentuk perlindungan bagi peternak kecil dan pelaku usaha lainnya. Selain itu, bentuk perlindungan dalam konteks perdagangan internasional dapat memanfaatkan instrumen non-tariff seperti ASUH Aman Sehat Utuh dan Halal dan SPS Sanitary Phytosanitary Ditjennak, 2010. Pengembangan sumber daya lokal khususnya sapi potong memiliki potensi yang sangat besar. Diluar ketersediaan lahan yang masih cukup tinggi di Indonesia, sapi potong lokal memiliki kemampuan dalam berkompetisi dengan produk impor. Sapi lokal yang terdapat di Indonesia terdiri dari jenis sapi Bali 33,73 persen , sapi Peranakan Ongole PO dan keturunannya 23,88 persen , sapi Madura 5,96 persen , dan sapi lokal lainnya sperti sapi Aceh dan sapi Pesisir 13,45 persen , serta sapi persilangan 22,97 persen Ditjennak, 2010. Potensi pengembangan sapi potong lokal juga didukung oleh ketersediaan pakan dan lahan. Potensi pakan yang ada diantaranya berupa Tanaman Pakan Ternak TPT, Limbah Tanaman Pangan LTP seperti jagung, padi, dan kedelai, serta limbah dari perkebunan sawit yang mencapai 89,20 juta ton bahan kering per tahun. Diperkirakan masih terdapat kelebihan potensi pakan mencapai 68 juta ton bahan kering pertahun Ditjennak, 2010. Secara teoritis, potensi tersebut mampu menampung tambahan ternak sapi potong hingga 39,76 juta ekor. Pemanfaatan potensi ini perlu dilakukan pemilahan dan pemilihan wilayah yang layak secara teknis maupun ekonomis. Kekurangan dari potensi pakan tersebut adalah terpusat dalam satu daerah, sedangkan sapi potong lokal terdapat menyebar di seluruh Indonesia. Dalam rangka menguatkan posisi daya saing sapi potong lokal terhadap impor pada kondisi yang ada, agar dapat mewujudkan program swasembada daging tahun 2014, pemerintah mengeluarkan beberapa kebijakan. Kebijakan tersebut ditujukan untuk memperkuat peraturan yang terkait dengan pengembangan sapi potong lokal. Kebijakan tersebut menyangkut dalam beberapa aspek, yaitu; 1. Pemasukan dan Pengeluaran Daging Sapi dan Sapi Hidup Importasi dilakukan pemerintah dengan tujuan memenuhi kebutuhan daging dalam negeri dan mengatasi harga daging sapi yang semakin meningkat. Berdasarkan UU No.182009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan PKH, importasi sapi bakalan dapat dilakukan dari negara manapun jika memenuhi persyaratan dan mengikuti tatacara pemasukan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia. Pemasukan dan pengeluaran daging dan sapi hidup dari dan ke wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia NKRI juga diatur dalam berbagai peraturan perundangan dan kebijakan lainnya. Salah satunya adalah peraturan yang dikeluarkan oleh Menteri Pertanian dalam Permentan No.20PermentanOT.14042009 tentang Pemasukan dan Pengawasan Peredaran Karkas, Daging, danatau Jeroan Dari Luar Negeri. Peraturan tersebut mencakup 7 ruang lingkup pengaturan yang meliputi: i Jenis karkas, daging, danatau jeroan yang dapat masuk ke wilayah NKRI; ii Persyaratan pemasukan yang mengatur tentang perilaku pemaskan; iii Kriteria negara danatau zona asal; iv Persyaratan unit usaha di negara asal dan persyaratan kemasanlabel dan pengangkutan; v Tatacara pemasukan; vi Tindakan karantina hewan; dan vii Pengaturan tentang pengawasan peredaran-nya dan sanksi terhadap pelanggaran. Untuk pengeluaran ternak dari wilayah RI, UU no.182009 tentang PKH menyatakan bahwa pengeluaran benih, bibit, danatau bakalan dari wilayah NKRI dapat dilakukan apabila kebutuhan dalam negeri telah dapat dicukupi dan kelestarian ternak lokal dapat terjamin. Operasional peraturan tersebut terdapat dalam Permentan No.07PermentanOT.1401 2008 tentang Syarat dan Tatacara Pemasukan dan Pengeluaran Bibit, Benih, dan Ternak Potong. 2. Pembibitan dan Pembesaran Kebijakan pembibitan sapi potong mengacu pada UU No.182009 dimana pemerintah berkewajiban untuk melakukan pengembangan usaha pembibitan dengan melibatkan peran masyarakat untuk menjamin ketersediaan benih, bibit, dan bakalan. Pembibitan sapi potong dilaksanakan berdasarkan pada Permentan No.36PermentanOT.1408 2006 tentang Sistem Pembibitan Nasional. Sistem ini dimaksudkan untuk memberi jaminan kepada peternak untuk mendapatkan bibit unggul secara berkelanjutan dan dapat mengoptimalkan keterkaitan dan saling ketergantungan pelaku pembibitan dalam upaya penyediaan benih danatau bibit ternak dalam jumlah, jenis, dan mutu yang sesuai dengan kebutuhan. Dalam usaha pembibitan ternak, pemerintah selain berperan sebagai regulator dan fasilitator, juga bertindak sebagai penyedia bibitbenih unggul. Benih untuk sapi potong dapat berupa semen atau embrio yang berasal dari dalam maupun luar negeri. Usaha penyediaan dapat dilakukan oleh lembaga penelitian, pusat pembibitan, swastakoperasi, atau oleh masyarakat dalam bentuk pembibitan rakyat Village Breeding CenterVBC. 3. Penggemukan Kebijakan pemerintah lainnya yang mendukung upaya pencapaian Program Swasembada Daging Sapi tahun 2014 adalah terus memfasilitasi pengembangan usaha penggemukan. Usaha tersebut dapat dilakukan oleh pihak swastakoperasi yang pada umumnya melakukan importasi, kelompok-kelompok peternak sapi potong skala kecil menengah yang mendapat fasilitas dari pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Pengembangan usaha penggemukan dapat memanfaatkan sapi lokal maupun hasil IB. Kebijakan pemerintah untuk menjaga populasi sapi potong lokal adalah dengan kebijakan tunda potong. Angka populasi sangat mempengaruhi terwujudnya PSDS 2014 yang berkaitan dengan jaminan ketersediaan jumlah sapi potong yang dapat diproduksi, tanpa mengganggu populasi dalam jangka panjang. 4. Produksi dan Pemotongan Kebijakan pemerintah dalam mendukung PSDS 2014 dalam produksi dan pemotongan adalah kebijakan penyembelihan ternak produktif. Kebijakan tersebut diatur dalam UU No.182009 tentang PKH yang menjelaskan tentang larangan penyembelihan ternak betina produktif kecuali untuk keperluan penelitian, pemuliaan, atau pengendalian dan penanggulangan penyakit hewan. Kebijakan-kebijakan lanjutan dari UU tersebut adalah penyediaan dana talangan untuk penjaringan sapi-sapi betina produktif yang akan dijual oleh peternak. Ternak-ternak yang terjaring tersebut kemudian ditampung dan dijadikan indukan bagi penyediaan bibit.

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis daya saing sapi potong lokal dalam penelitian ini dilakukan berdasarkan indeks competitiveness di tingkat industri penggemukan sapi potong dari tahun 1999 hingga 2010 dengan menggunakan tiga indikator yaitu profitabilitas, produktivitas, dan pertumbuhan output. Industri penggemukan sapi potong merupakan salah satu rantai agribisnis usaha peternakan sapi potong lokal yang cukup penting dalam mewujudkan swasembada daging 2014. Hal ini dikarenakan hasil produksi dari industri penggemukan sapi potong merupakan produk yang dikonsumsi langsung oleh masyarakat dan menjadi ukuran tercapai atau tidaknya kecukupan daging dan kemandirian pangan atau swasembada daging.

6.1. Kondisi Profitabilitas Industri Penggemukan Sapi Potong Lokal

Analisis profitabilitas dalam penelitian ini menggunakan perbandingan antara laba operasional dengan nilai penjualan pada periode waktu tertentu. Analisis indeks profitabilitas menunjukkan kemampuan dari usaha penggemukan sapi potong lokal dalam menciptakan keuntungan. Hasil analisis menyatakan bahwa industri penggemukan sapi potong lokal di Indonesia memiliki indeks profitabilitas rata-rata 14,08 persen selama 12 tahun terakhir, masing-masing 13,63 persen periode 1: 9902, 13,63 persen periode 2: 0306, dan 15 persen periode 3: 0710 Gambar 7. Indeks tersebut terus mengalami peningkatan dengan laju pertumbuhan 0,04persen pada periode 1 ke periode 2 dan 10,04 persen pada periode 2 ke periode 3. Gambar 7 Indeks Rata-rata Profitabilitas Industri Penggemukan Sapi Potong lokal 13 13.5 14 14.5 15 15.5 16 indeks rata-rata Kondisi pertumbuhan indeks profitabilitas Tabel 5 memberikan gambaran sebagai berikut; 1. Rata-rata pertumbuhan indeks industri penggemukan sapi potong pada periode 19992002 hingga 20032006 bernilai positif 0,03 yang artinya profitabilitas industri penggemukan sapi potong lokal mengalami peningkatan profitabilitas sebesar 3 persen per tahun. Pada periode berikutnya menunjukkan peningkatan sebesar 12 persen atau menjadi 12,54 persen per tahun pada periode 20032006 dan 20072010. Kondisi ini menunjukkan bahwa industri penggemukan sapi potong lokal secara nasional masih memiliki potensi untuk dikembangkan karena masih mampu memberikan keuntungan yang positif, sehingga dapat dikatakan masih dapat bersaing di pasar nasional dengan produk sejenis seperti sapi eks impor. Tabel 5. Pertumbuhan Indeks Profitabilitas Industri Penggemukan Sapi Potong Lokal ProvinsiTahun Indeks 99-02 Indeks 03-06 Indeks 07-10 Pertumbuhan Indeks 9902 – 0306 Pertumbuhan Indeks 0306 – 0710 Aceh 13.64 13.71 13.83 0.57 0.85 Sumatera Utara na 13.66 13.67 na 0.06 Sumatera Barat 13.71 13.68 13.58 -0.19 -0.76 Riau na na 13.37 na na Jambi 13.59 13.55 13.66 -0.32 0.83 Sumatera selatan 13.49 13.51 15.52 0.21 14.84 Lampung 13.38 12.84 7.85 -4.03 -38.83 Jawa Barat 13.59 13.55 13.06 -0.33 -3.55 Jawa Tengah 13.63 13.61 13.72 -0.10 0.82 DI Yogyakarta 13.60 13.54 13.71 -0.45 1.27 Jawa Timur 13.68 13.65 13.92 -0.16 1.95 Bali 13.41 13.46 13.72 0.36 1.94 NTB 13.69 13.71 17.79 0.16 29.78 NTT 13.73 13.79 15.06 0.46 9.20 Kalimantan Barat 13.58 13.68 13.74 0.74 0.47 Kalimantan Selatan 13.71 13.62 13.49 -0.65 -0.97 Sulawesi Tengah 13.86 14.46 13.72 4.31 -5.09 Sulawesi Selatan 13.66 13.64 13.87 -0.13 1.63 Sulawesi Tenggara 13.65 13.67 42.54 0.11 211.30 Gorontalo na na 10.14 na na 2. Industri penggemukan sapi potong lokal di beberapa daerah bagian timur Indonesia memiliki kemampuan untuk memberikan profit yang lebih baik dibandingkan daerah lain. Daerah seperti Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur memiliki nilai indeks yang positif dan terus mengalami peningkatan profitabilitas. Daerah-daerah ini memiliki rata-rata harga jual yang sama dengan beberapa daerah Jawa dan beberapa daerah Sumatera seperti Riau dan Sumatera Selatan yakni berkisar pada harga 3 juta per ekornya. Pertumbuhan nilai jual untuk daerah timur Indonesia juga memiliki rata rata yang sama dengan Indonesia bagian tengah dan barat yakni berkisar antara 0,10 persen hingga 0,13 persen Lampiran 1. 3. Pertumbuhan harga bakalan di daerah timur rata-rata adalah 7 persen per tahunnya, dengan pertumbuhan terkecil di daerah Kalimantan Selatan 0,02 atau 2 persen tahun dan pertumbuhan tertinggi di Kalimantan barat 0,09 atau 9 persen tahun. Dibandingkan daerah lain seperti Sumatera dan Jawa yang masing-masing adalah 8 persen dan 6 persen per tahun, pertumbuhan harga bakalan di daerah timur memliki sebaran yang merata di beberapa daerah, seperti pada daerah NTB, Sulawesi Tengah, Selawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Gorontalo, masing-masing sebesar 8 persen per tahun. Wilayah Jawa, sebaliknya, sebaran pertumbuhan harga bakalan sangat tinggi, seperti Jawa Barat 1 persen tahun, Jawa Tengah 6 persen tahun, DI Yogyakarta 9 persen tahun, Jawa Timur 7 persen tahun dan Bali 5 persen tahun. Nilai pertumbuhan di pulau Sumatera sangat variatif, seperti Aceh 4 persen tahun, Sumatera Utara 10 persen tahun, Sumatera Barat 9 persen tahun, Riau 16 persen tahun, Jambi 3 persen tahun, Sumatera Selatan 5 persen tahun, dan Lampung 8 persen tahun. 4. Ketersediaan pakan di wilayah timur Indonesia yang sebagian besar adalah ladang rumput merupakan faktor lain meningkatnya profitabilitas industri penggemukan sapi potong di daerah timur. Sistem pemeliharaan yang sebagian besar masih tradisional dilakukan dengan cara memberikan pakan rumput lokal atau digembalakan. Hal ini memiliki keuntungan tersendiri bagi peternak rakyat yakni pengurangan biaya pakan. Selain itu, di daerah daerah seperti Kalimantan dan Sulawesi merupakan wilayah pengembangan investasi kelapa sawit. Kondisi tersebut dapat dijadikan salah satu faktor minimalnya biaya pakan sapi potong lokal, apabila diintegrasikan dalam lahan sawit. Lahan sawit dapat menyediakan pakan berupa HAT Hijauan Antar Tanaman, limbah kelapa sawit, dan limbah industri pengolahan kelapa sawit. Memanfaatkan lahan yang tersedia, peternak sapi potong lokal dapat menghemat biaya pengeluaran untuk pakan dan menjualnya dengan harga pasar. 5. Daerah dengan kepadatan penduduk yang tinggi seperti pada pulau Jawa dan Bali, akan sulit mengurangi penggunaan biaya pakan karena lahan yang tersedia untuk tanaman pakan yang minim. Daerah lain seperti provinsi Jawa Barat banyak terdapat pabrik pengolahan kedelai seperti pabrik tahu dan pabrik tebu yang banyak ditemukan di provinsi Lampung merupakan salah satu sumber pakan yang dapat digunakan sebagai input usaha dan mengurangi biaya operasional, sehingga nilai profitabilitas dapat ditingkatkan. Namun hal ini masih belum termanfaatkan dengan baik karena masih belum terjalinnya kerjasama yang baik antara pabrik dengan peternak lokal yang mengakibatkan peternak harus membeli limbah pabrik dengan harga yang relatif tinggi bila dibandingkan dengan biaya memotong rumput lokal. Selain itu, Jawa Barat sebagai lumbung padi terbesar di Indonesia hanya memiliki populasi sapi potong 5 persen dari populasi sapi di Jawa Timur, padahal pada umumnya terdapat korelasi yang kuat atara luas areal sawah dan produksi padi dengan populasi sapi Diwyanto, 2008. Kondisi seperti ini membuat usaha penggemukan sapi potong lokal di Jawa Barat tidak menunjukkan profitabilitas yang baik.

6. Umumnya peternakan dengan skala besar lebih memilih untuk

menggemukkan sapi bakalan impor dengan alasan hasil penjualan yang lebih tinggi dibandingkan dengan sapi potong lokal. Dengan mengeluarkan biaya operasional yang sedikit lebih tinggi untuk menggemukkan bakalan impor, mereka dapat memperoleh keuntungan yang jauh lebih besar dibandingkan ternak lokal dengan masa pemeliharaan yang sama. Hal inilah yang membuat usaha penggemukan sapi potong lokal tidak diangap menguntungkan oleh peternak skala besar. Indikasi profitabilitas yang rendah akan menjadi hambatan bagi pengembangan potensi sumber daya lokal, apabila ternak sapi potong lokal hanya dikembangkan oleh peternakan berskala kecil hingga menengah.

7. Pengembangan industri penggemukan sapi potong di wilayah sentra produksi

seperti Bali, Jawa Timur, Jawa Tengah dan DI Yogyakarta menunjukkan kondisi yang semakin membaik selama 12 tahun terakhir dengan memberikan pertumbuhan positif terhadap profitabilitas penggemukan sapi potong lokal. Profitabilitas yang meningkat merupakan salah satu daya tarik bagi pengusahaan industri ini, terutama bagi peternak besar yang dapat mempertimbangkan untuk menggunakan input lokal secara menyeluruh.

6.2. Kondisi Produktivitas Industri Penggemukan Sapi Potong Lokal

Hasil analisis menunjukkan bahwa indeks efisiensi dari industri penggemukan sapi lokal sangat rendah. Nilai efisiensi yang rendah dalam 12 tahun terakhir rata-rata 0,17 atau 17 persen dari skala 1 atau 100 persen menunjukkan bahwa penggemukan sapi lokal di Indonesia tidak memiliki kemampuan bersaing yang cukup dalam jangka panjang. Nilai efisiensi dari 1 menunjukkan bahwa penggunaan input belum efisien dalam menghasilkan outputnya. Dalam hal ini, populasi sapi potong lokal masih tidak sesuai dengan jumlah ternak yang dikeluarkan. Artinya, perbandingan antara jumlah populasi sapi lokal dengan jumlah sapi yang dapat diproduksi untuk dikonsumsi masih tidak seimbang, sehingga kebutuhan konsumen akan dipenuhi oleh produk impor. Hal ini yang menjadi salah satu alasan industri penggemukan sapi potong lokal tidak memiliki kemampuan bersaing dalam jangka panjang. Berdasarkan hasil analisis, indeks efisiensi tertinggi pada tahun 2007 hingga 2010 berada pada daerah Jawa Barat Tabel 6. Indeks tersebut meningkat dari tahun-tahun sebelumnya, setelah menjadi indeks terkecil pada tahun 1999 hingga 2002 3,57 persen. Provinsi Jawa Barat memiliki dua dimensi dalam subsektor peternakan, yaitu sebagai konsumen daging terbesar nasional dan sebagai pemasok daging nasional dengan share yang relatif kecil, yaitu sekitar 14persen Deptan, 2008 dari pasokan daging nasional. Kedua dimensi ini memberi tekanan tentang pentingnya memacu peningkatan produksi sapi di Jawa Barat karena secara tradisional, penggemukan sapi potong berkembang hampir di seluruh wilayah Jawa Barat. Kondisi ini berkaitan dengan Jawa Barat sebagai lumbung beras nasional sehingga meskipun ketersediaan rumput sedikit di Jawa Barat karena merupakan daerah padat penduduk, namun jerami padi dapat dijadikan salah satu pakan bagi peternak sapi lokal dengan biaya yang murah dan terjangkau. Meningkatnya nilai indeks efisiensi pada tahun 2007-2010 disebabkan karena berkurangnya jumlah pemotongan ternak lokal hingga 4,75 persen per tahun selama 5 tahun terakhir. Selain itu, populasi sapi potong lokal dari dalam Jawa Barat mengalami peningkatan yaitu mencapai rata-rata 6,3 persenper tahun. Angka tersebut dinilai cukup tinggi apabila dibandingkan dengan pertumbuhan populasi sapi nasional yang hanya mencapai 3,2 persen per tahun. Tabel 6 Pertumbuhan Indeks Efisiensi Industri Penggemukan Sapi Potong Lokal ProvinsiTahun Indeks 99-02 Indeks 03-06 Indeks 07-10 Pertumbuhan Indeks 9902 – 0306 Pertumbuhan Indeks 0306 – 0710 Aceh 5.08 5.03 5.02 -1.02 -0.21 Sumatera Utara 5.33 5.21 4.89 -2.39 -6.09 Sumatera Barat 5.27 5.93 4.98 12.61 -16.01 Riau 5.44 4.58 4.62 -15.77 0.88 Jambi 5.25 4.92 5.15 -6.24 4.71 Sumatera selatan 5.99 5.09 5.82 -15.01 14.31 Lampung 6.45 5.51 5.93 -14.55 7.54 Jawa Barat 3.57 8.32 34.19 133.08 310.74 Jawa Tengah 5.90 5.85 5.93 -0.84 1.28 DI Yogyakarta 5.78 5.51 5.73 -4.63 3.98 Jawa Timur 5.79 5.90 5.70 1.90 -3.38 Bali 5.98 5.71 5.45 -4.52 -4.57 NTB 5.82 5.55 5.36 -4.64 -3.50 NTT 5.72 5.66 5.82 -1.19 2.91 Kalimantan Barat 5.23 5.39 5.19 3.09 -3.70 Kalimantan Selatan 5.52 5.14 5.05 -6.97 -1.73 Sulawesi Tengah 5.44 5.71 5.29 5.13 -7.48 Sulawesi Selatan 5.45 5.38 5.20 -1.23 -3.43 Sulawesi Tenggara 5.67 5.54 5.13 -2.27 -7.47 Gorontalo na 4.93 4.93 na -0.04 Selain kondisi diatas, nilai indeks efisiensi Tabel 6 juga memberikan gambaran antara lain; 1. Pertumbuhan indeks efisiensi menunjukkan perubahan kemampuan produksi sapi potong lokal dari suatu daerah pada satu periode tertentu. Rata-rata pertumbuhan indeks adalah 3,92 pada tahun 1999-2002 hingga 2003-2006 dan 14,44 pada tahun 2003-2006 hingga 2007-2010. Kondisi ini menunjukkan bahwa industri penggemukan sapi potong lokal memiliki efisiensi yang terus meningkat dari tahun ke tahun sehingga secara nasional masih layak untuk dikembangkan.