sapi potong lokal itu sendiri yang berdampak pada kepunahan dalam jangka panjang. Oleh karena itu, ketahanan pangan hewani khususnya daging sapi tidak
akan terwujud tanpa; i Penguatan sistem pembibitan yang benar, efektif, dan efisien, dan ii Pengembangan usaha pengembangbiakan sapi cow calf
operation yang handal, berbasis pakan lokal, yang didukung oleh teknologi yang
inovatif, sumber daya manusia yang lebih dinamis, dan kebijakan yang mampu menciptakan suasana kondusif Ditjennak, 2010.
Program Swasembada Daging
Program swasembada daging merupakan upaya pemerintah dalam mewujudkan ketahanan pangan hewani asal ternak berbasis sumber daya lokal.
kondisi impor yang tinggi dan memperlihatkan kecenderungan yang meningkat secara otomatis akan menguras devisa negara. Kondisi ini dapat menyebabkan
kemandirian dan kedaulatan pangan asal hewan khususnya daging sapi semakin jauh dari harapan, yang dalam jangka panjang berpotensi masuk kedalam food
trap negara eksportir Ditjennak, 2010.
Dalam rangka memperkuat produksi daging sapi lokal sehingga dapat menjamin ketersediaan daging sapi secara nasional, pemerintah mengeluarkan
beberapa kebijakan antara lain; 1.
Kebijakan Hulu : Adanya jaminan ketersediaan input produksi secara mudah, murah, dan berkelanjutan. Dukungan Kredit Usaha Pembibitan
Sapi KUPS harus dioptimalkan dan terus dikembangkan. Kredit murah untuk usaha penggemukan juga sangat diperlukan agar tunda potong dapat
diwujudkan dengan baik. Ekspor bahan pakan, seperti bungkil inti sawit BIS, tetes, wafer pucuk tebu, onggok, dan lain-lain harus dibatasi atau
bahkan dilarang apabila kebutuhan dalam negeri berlum terpenuhi. 2.
Kebijakan Budidaya : Adanya kepastian usaha, terkait pada tata ruang, pola integrasi tanaman-ternak, dan lain-lain.
3. Kebijakan Harga dan Perdagangan : Adanya kepastian kepada pelaku
usaha agar harga daging tetap atraktif namun masih terjangkau. Praktek monopoli atau kartel, impor produk tidak berkualitas dengan cara
dumping , impor daging ilegal, dan lain-lain harus dicegah sebagai bentuk
perlindungan bagi peternak kecil dan pelaku usaha lainnya. Selain itu, bentuk perlindungan dalam konteks perdagangan internasional dapat
memanfaatkan instrumen non-tariff seperti ASUH Aman Sehat Utuh dan Halal dan SPS Sanitary Phytosanitary Ditjennak, 2010.
Pengembangan sumber daya lokal khususnya sapi potong memiliki potensi yang sangat besar. Diluar ketersediaan lahan yang masih cukup tinggi di
Indonesia, sapi potong lokal memiliki kemampuan dalam berkompetisi dengan produk impor. Sapi lokal yang terdapat di Indonesia terdiri dari jenis sapi Bali
33,73 persen , sapi Peranakan Ongole PO dan keturunannya 23,88 persen , sapi Madura 5,96 persen , dan sapi lokal lainnya sperti sapi Aceh dan sapi
Pesisir 13,45 persen , serta sapi persilangan 22,97 persen Ditjennak, 2010. Potensi pengembangan sapi potong lokal juga didukung oleh ketersediaan
pakan dan lahan. Potensi pakan yang ada diantaranya berupa Tanaman Pakan Ternak TPT, Limbah Tanaman Pangan LTP seperti jagung, padi, dan kedelai,
serta limbah dari perkebunan sawit yang mencapai 89,20 juta ton bahan kering per tahun. Diperkirakan masih terdapat kelebihan potensi pakan mencapai 68 juta ton
bahan kering pertahun Ditjennak, 2010. Secara teoritis, potensi tersebut mampu menampung tambahan ternak sapi potong hingga 39,76 juta ekor. Pemanfaatan
potensi ini perlu dilakukan pemilahan dan pemilihan wilayah yang layak secara teknis maupun ekonomis. Kekurangan dari potensi pakan tersebut adalah terpusat
dalam satu daerah, sedangkan sapi potong lokal terdapat menyebar di seluruh Indonesia.
Dalam rangka menguatkan posisi daya saing sapi potong lokal terhadap impor pada kondisi yang ada, agar dapat mewujudkan program swasembada
daging tahun 2014, pemerintah mengeluarkan beberapa kebijakan. Kebijakan tersebut ditujukan untuk memperkuat peraturan yang terkait dengan
pengembangan sapi potong lokal. Kebijakan tersebut menyangkut dalam beberapa aspek, yaitu;
1. Pemasukan dan Pengeluaran Daging Sapi dan Sapi Hidup
Importasi dilakukan pemerintah dengan tujuan memenuhi kebutuhan daging dalam negeri dan mengatasi harga daging sapi yang
semakin meningkat. Berdasarkan UU No.182009 tentang Peternakan dan
Kesehatan Hewan PKH, importasi sapi bakalan dapat dilakukan dari negara manapun jika memenuhi persyaratan dan mengikuti tatacara
pemasukan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia. Pemasukan dan pengeluaran daging dan sapi hidup dari dan ke
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia NKRI juga diatur dalam berbagai peraturan perundangan dan kebijakan lainnya. Salah satunya
adalah peraturan yang dikeluarkan oleh Menteri Pertanian dalam Permentan No.20PermentanOT.14042009 tentang Pemasukan dan
Pengawasan Peredaran Karkas, Daging, danatau Jeroan Dari Luar Negeri. Peraturan tersebut mencakup 7 ruang lingkup pengaturan yang meliputi:
i Jenis karkas, daging, danatau jeroan yang dapat masuk ke wilayah NKRI; ii Persyaratan pemasukan yang mengatur tentang perilaku
pemaskan; iii Kriteria negara danatau zona asal; iv Persyaratan unit usaha di negara asal dan persyaratan kemasanlabel dan pengangkutan; v
Tatacara pemasukan; vi Tindakan karantina hewan; dan vii Pengaturan tentang pengawasan peredaran-nya dan sanksi terhadap pelanggaran.
Untuk pengeluaran ternak dari wilayah RI, UU no.182009 tentang PKH menyatakan bahwa pengeluaran benih, bibit, danatau bakalan dari
wilayah NKRI dapat dilakukan apabila kebutuhan dalam negeri telah dapat dicukupi dan kelestarian ternak lokal dapat terjamin. Operasional
peraturan tersebut terdapat dalam Permentan No.07PermentanOT.1401 2008 tentang Syarat dan Tatacara Pemasukan dan Pengeluaran Bibit,
Benih, dan Ternak Potong.
2. Pembibitan dan Pembesaran
Kebijakan pembibitan sapi potong mengacu pada UU No.182009 dimana pemerintah berkewajiban untuk melakukan pengembangan usaha
pembibitan dengan melibatkan peran masyarakat untuk menjamin ketersediaan benih, bibit, dan bakalan. Pembibitan sapi potong
dilaksanakan berdasarkan pada Permentan No.36PermentanOT.1408 2006 tentang Sistem Pembibitan Nasional. Sistem ini dimaksudkan untuk
memberi jaminan kepada peternak untuk mendapatkan bibit unggul secara
berkelanjutan dan dapat mengoptimalkan keterkaitan dan saling ketergantungan pelaku pembibitan dalam upaya penyediaan benih
danatau bibit ternak dalam jumlah, jenis, dan mutu yang sesuai dengan kebutuhan.
Dalam usaha pembibitan ternak, pemerintah selain berperan sebagai regulator dan fasilitator, juga bertindak sebagai penyedia
bibitbenih unggul. Benih untuk sapi potong dapat berupa semen atau embrio yang berasal dari dalam maupun luar negeri. Usaha penyediaan
dapat dilakukan
oleh lembaga
penelitian, pusat
pembibitan, swastakoperasi, atau oleh masyarakat dalam bentuk pembibitan rakyat
Village Breeding CenterVBC.
3. Penggemukan
Kebijakan pemerintah lainnya yang mendukung upaya pencapaian Program Swasembada Daging Sapi tahun 2014 adalah terus memfasilitasi
pengembangan usaha penggemukan. Usaha tersebut dapat dilakukan oleh pihak swastakoperasi yang pada umumnya melakukan importasi,
kelompok-kelompok peternak sapi potong skala kecil menengah yang mendapat fasilitas dari pemerintah, baik pemerintah pusat maupun
pemerintah daerah.
Pengembangan usaha
penggemukan dapat
memanfaatkan sapi lokal maupun hasil IB. Kebijakan pemerintah untuk menjaga populasi sapi potong lokal
adalah dengan kebijakan tunda potong. Angka populasi sangat mempengaruhi terwujudnya PSDS 2014 yang berkaitan dengan jaminan
ketersediaan jumlah sapi potong yang dapat diproduksi, tanpa mengganggu populasi dalam jangka panjang.
4. Produksi dan Pemotongan
Kebijakan pemerintah dalam mendukung PSDS 2014 dalam produksi dan pemotongan adalah kebijakan penyembelihan ternak
produktif. Kebijakan tersebut diatur dalam UU No.182009 tentang PKH yang menjelaskan tentang larangan penyembelihan ternak betina produktif
kecuali untuk keperluan penelitian, pemuliaan, atau pengendalian dan penanggulangan penyakit hewan. Kebijakan-kebijakan lanjutan dari UU
tersebut adalah penyediaan dana talangan untuk penjaringan sapi-sapi betina produktif yang akan dijual oleh peternak. Ternak-ternak yang
terjaring tersebut kemudian ditampung dan dijadikan indukan bagi penyediaan bibit.
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis daya saing sapi potong lokal dalam penelitian ini dilakukan berdasarkan indeks competitiveness di tingkat industri penggemukan sapi potong
dari tahun 1999 hingga 2010 dengan menggunakan tiga indikator yaitu profitabilitas, produktivitas, dan pertumbuhan output. Industri penggemukan sapi
potong merupakan salah satu rantai agribisnis usaha peternakan sapi potong lokal yang cukup penting dalam mewujudkan swasembada daging 2014. Hal ini
dikarenakan hasil produksi dari industri penggemukan sapi potong merupakan produk yang dikonsumsi langsung oleh masyarakat dan menjadi ukuran tercapai
atau tidaknya kecukupan daging dan kemandirian pangan atau swasembada daging.
6.1. Kondisi Profitabilitas Industri Penggemukan Sapi Potong Lokal
Analisis profitabilitas dalam penelitian ini menggunakan perbandingan antara laba operasional dengan nilai penjualan pada periode waktu tertentu.
Analisis indeks profitabilitas menunjukkan kemampuan dari usaha penggemukan sapi potong lokal dalam menciptakan keuntungan. Hasil analisis menyatakan
bahwa industri penggemukan sapi potong lokal di Indonesia memiliki indeks profitabilitas rata-rata 14,08 persen selama 12 tahun terakhir, masing-masing
13,63 persen periode 1: 9902, 13,63 persen periode 2: 0306, dan 15 persen periode 3: 0710 Gambar 7. Indeks tersebut terus mengalami peningkatan
dengan laju pertumbuhan 0,04persen pada periode 1 ke periode 2 dan 10,04 persen pada periode 2 ke periode 3.
Gambar 7 Indeks Rata-rata Profitabilitas Industri Penggemukan Sapi Potong lokal
13 13.5
14 14.5
15 15.5
16
indeks rata-rata
Kondisi pertumbuhan indeks profitabilitas Tabel 5 memberikan gambaran sebagai berikut;
1. Rata-rata pertumbuhan indeks industri penggemukan sapi potong pada
periode 19992002 hingga 20032006 bernilai positif 0,03 yang artinya profitabilitas industri penggemukan sapi potong lokal mengalami peningkatan
profitabilitas sebesar 3 persen per tahun. Pada periode berikutnya menunjukkan peningkatan sebesar 12 persen atau menjadi 12,54 persen per
tahun pada periode 20032006 dan 20072010. Kondisi ini menunjukkan bahwa industri penggemukan sapi potong lokal secara nasional masih
memiliki potensi untuk dikembangkan karena masih mampu memberikan keuntungan yang positif, sehingga dapat dikatakan masih dapat bersaing di
pasar nasional dengan produk sejenis seperti sapi eks impor.
Tabel 5. Pertumbuhan Indeks Profitabilitas Industri Penggemukan Sapi Potong Lokal
ProvinsiTahun Indeks
99-02 Indeks
03-06 Indeks
07-10 Pertumbuhan
Indeks 9902
– 0306 Pertumbuhan
Indeks 0306
– 0710
Aceh 13.64
13.71 13.83
0.57 0.85
Sumatera Utara na
13.66 13.67 na
0.06 Sumatera Barat
13.71 13.68
13.58 -0.19
-0.76 Riau
na na
13.37 na na
Jambi 13.59
13.55 13.66
-0.32 0.83
Sumatera selatan 13.49
13.51 15.52
0.21 14.84
Lampung 13.38
12.84 7.85
-4.03 -38.83
Jawa Barat 13.59
13.55 13.06
-0.33 -3.55
Jawa Tengah 13.63
13.61 13.72
-0.10 0.82
DI Yogyakarta 13.60
13.54 13.71
-0.45 1.27
Jawa Timur 13.68
13.65 13.92
-0.16 1.95
Bali 13.41
13.46 13.72
0.36 1.94
NTB 13.69
13.71 17.79
0.16 29.78
NTT 13.73
13.79 15.06
0.46 9.20
Kalimantan Barat 13.58
13.68 13.74
0.74 0.47
Kalimantan Selatan 13.71
13.62 13.49
-0.65 -0.97
Sulawesi Tengah 13.86
14.46 13.72
4.31 -5.09
Sulawesi Selatan 13.66
13.64 13.87
-0.13 1.63
Sulawesi Tenggara 13.65
13.67 42.54
0.11 211.30
Gorontalo na
na 10.14 na
na
2. Industri penggemukan sapi potong lokal di beberapa daerah bagian timur
Indonesia memiliki kemampuan untuk memberikan profit yang lebih baik dibandingkan daerah lain. Daerah seperti Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara
Barat, dan Nusa Tenggara Timur memiliki nilai indeks yang positif dan terus mengalami peningkatan profitabilitas. Daerah-daerah ini memiliki rata-rata
harga jual yang sama dengan beberapa daerah Jawa dan beberapa daerah Sumatera seperti Riau dan Sumatera Selatan yakni berkisar pada harga 3 juta
per ekornya. Pertumbuhan nilai jual untuk daerah timur Indonesia juga memiliki rata rata yang sama dengan Indonesia bagian tengah dan barat yakni
berkisar antara 0,10 persen hingga 0,13 persen Lampiran 1. 3.
Pertumbuhan harga bakalan di daerah timur rata-rata adalah 7 persen per tahunnya, dengan pertumbuhan terkecil di daerah Kalimantan Selatan 0,02
atau 2 persen tahun dan pertumbuhan tertinggi di Kalimantan barat 0,09 atau 9 persen tahun. Dibandingkan daerah lain seperti Sumatera dan Jawa
yang masing-masing adalah 8 persen dan 6 persen per tahun, pertumbuhan harga bakalan di daerah timur memliki sebaran yang merata di beberapa
daerah, seperti pada daerah NTB, Sulawesi Tengah, Selawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Gorontalo, masing-masing sebesar 8 persen per
tahun. Wilayah Jawa, sebaliknya, sebaran pertumbuhan harga bakalan sangat tinggi, seperti Jawa Barat 1 persen tahun, Jawa Tengah 6 persen tahun,
DI Yogyakarta 9 persen tahun, Jawa Timur 7 persen tahun dan Bali 5 persen tahun. Nilai pertumbuhan di pulau Sumatera sangat variatif, seperti
Aceh 4 persen tahun, Sumatera Utara 10 persen tahun, Sumatera Barat 9 persen tahun, Riau 16 persen tahun, Jambi 3 persen tahun, Sumatera
Selatan 5 persen tahun, dan Lampung 8 persen tahun. 4.
Ketersediaan pakan di wilayah timur Indonesia yang sebagian besar adalah ladang rumput merupakan faktor lain meningkatnya profitabilitas industri
penggemukan sapi potong di daerah timur. Sistem pemeliharaan yang sebagian besar masih tradisional dilakukan dengan cara memberikan pakan
rumput lokal atau digembalakan. Hal ini memiliki keuntungan tersendiri bagi peternak rakyat yakni pengurangan biaya pakan. Selain itu, di daerah daerah
seperti Kalimantan dan Sulawesi merupakan wilayah pengembangan investasi kelapa sawit. Kondisi tersebut dapat dijadikan salah satu faktor
minimalnya biaya pakan sapi potong lokal, apabila diintegrasikan dalam lahan sawit. Lahan sawit dapat menyediakan pakan berupa HAT Hijauan
Antar Tanaman, limbah kelapa sawit, dan limbah industri pengolahan kelapa sawit. Memanfaatkan lahan yang tersedia, peternak sapi potong lokal dapat
menghemat biaya pengeluaran untuk pakan dan menjualnya dengan harga pasar.
5. Daerah dengan kepadatan penduduk yang tinggi seperti pada pulau Jawa dan
Bali, akan sulit mengurangi penggunaan biaya pakan karena lahan yang tersedia untuk tanaman pakan yang minim. Daerah lain seperti provinsi Jawa
Barat banyak terdapat pabrik pengolahan kedelai seperti pabrik tahu dan pabrik tebu yang banyak ditemukan di provinsi Lampung merupakan salah
satu sumber pakan yang dapat digunakan sebagai input usaha dan mengurangi biaya operasional, sehingga nilai profitabilitas dapat ditingkatkan. Namun hal
ini masih belum termanfaatkan dengan baik karena masih belum terjalinnya kerjasama yang baik antara pabrik dengan peternak lokal yang
mengakibatkan peternak harus membeli limbah pabrik dengan harga yang relatif tinggi bila dibandingkan dengan biaya memotong rumput lokal. Selain
itu, Jawa Barat sebagai lumbung padi terbesar di Indonesia hanya memiliki populasi sapi potong 5 persen dari populasi sapi di Jawa Timur, padahal
pada umumnya terdapat korelasi yang kuat atara luas areal sawah dan produksi padi dengan populasi sapi Diwyanto, 2008. Kondisi seperti ini
membuat usaha penggemukan sapi potong lokal di Jawa Barat tidak menunjukkan profitabilitas yang baik.
6. Umumnya peternakan dengan skala besar lebih memilih untuk
menggemukkan sapi bakalan impor dengan alasan hasil penjualan yang lebih tinggi dibandingkan dengan sapi potong lokal. Dengan mengeluarkan biaya
operasional yang sedikit lebih tinggi untuk menggemukkan bakalan impor, mereka dapat memperoleh keuntungan yang jauh lebih besar dibandingkan
ternak lokal dengan masa pemeliharaan yang sama. Hal inilah yang membuat usaha penggemukan sapi potong lokal tidak diangap menguntungkan oleh
peternak skala besar. Indikasi profitabilitas yang rendah akan menjadi hambatan bagi pengembangan potensi sumber daya lokal, apabila ternak sapi
potong lokal hanya dikembangkan oleh peternakan berskala kecil hingga
menengah.
7. Pengembangan industri penggemukan sapi potong di wilayah sentra produksi
seperti Bali, Jawa Timur, Jawa Tengah dan DI Yogyakarta menunjukkan kondisi yang semakin membaik selama 12 tahun terakhir dengan memberikan
pertumbuhan positif terhadap profitabilitas penggemukan sapi potong lokal. Profitabilitas yang meningkat merupakan salah satu daya tarik bagi
pengusahaan industri ini, terutama bagi peternak besar yang dapat
mempertimbangkan untuk menggunakan input lokal secara menyeluruh.
6.2. Kondisi Produktivitas Industri Penggemukan Sapi Potong Lokal
Hasil analisis menunjukkan bahwa indeks efisiensi dari industri penggemukan sapi lokal sangat rendah. Nilai efisiensi yang rendah dalam 12
tahun terakhir rata-rata 0,17 atau 17 persen dari skala 1 atau 100 persen menunjukkan bahwa penggemukan sapi lokal di Indonesia tidak memiliki
kemampuan bersaing yang cukup dalam jangka panjang. Nilai efisiensi dari 1 menunjukkan bahwa penggunaan input belum efisien dalam menghasilkan
outputnya. Dalam hal ini, populasi sapi potong lokal masih tidak sesuai dengan jumlah ternak yang dikeluarkan. Artinya, perbandingan antara jumlah populasi
sapi lokal dengan jumlah sapi yang dapat diproduksi untuk dikonsumsi masih tidak seimbang, sehingga kebutuhan konsumen akan dipenuhi oleh produk impor.
Hal ini yang menjadi salah satu alasan industri penggemukan sapi potong lokal tidak memiliki kemampuan bersaing dalam jangka panjang.
Berdasarkan hasil analisis, indeks efisiensi tertinggi pada tahun 2007 hingga 2010 berada pada daerah Jawa Barat Tabel 6. Indeks tersebut meningkat
dari tahun-tahun sebelumnya, setelah menjadi indeks terkecil pada tahun 1999 hingga 2002 3,57 persen. Provinsi Jawa Barat memiliki dua dimensi dalam
subsektor peternakan, yaitu sebagai konsumen daging terbesar nasional dan sebagai pemasok daging nasional dengan share yang relatif kecil, yaitu sekitar
14persen Deptan, 2008 dari pasokan daging nasional. Kedua dimensi ini memberi tekanan tentang pentingnya memacu peningkatan produksi sapi di Jawa
Barat karena secara tradisional, penggemukan sapi potong berkembang hampir di seluruh wilayah Jawa Barat. Kondisi ini berkaitan dengan Jawa Barat sebagai
lumbung beras nasional sehingga meskipun ketersediaan rumput sedikit di Jawa
Barat karena merupakan daerah padat penduduk, namun jerami padi dapat dijadikan salah satu pakan bagi peternak sapi lokal dengan biaya yang murah dan
terjangkau. Meningkatnya nilai indeks efisiensi pada tahun 2007-2010 disebabkan karena berkurangnya jumlah pemotongan ternak lokal hingga 4,75 persen per
tahun selama 5 tahun terakhir. Selain itu, populasi sapi potong lokal dari dalam Jawa Barat mengalami peningkatan yaitu mencapai rata-rata 6,3 persenper tahun.
Angka tersebut dinilai cukup tinggi apabila dibandingkan dengan pertumbuhan populasi sapi nasional yang hanya mencapai 3,2 persen per tahun.
Tabel 6 Pertumbuhan Indeks Efisiensi Industri Penggemukan Sapi Potong Lokal
ProvinsiTahun Indeks
99-02 Indeks
03-06 Indeks
07-10 Pertumbuhan
Indeks 9902
– 0306 Pertumbuhan
Indeks 0306
– 0710
Aceh 5.08
5.03 5.02
-1.02 -0.21
Sumatera Utara 5.33
5.21 4.89
-2.39 -6.09
Sumatera Barat 5.27
5.93 4.98
12.61 -16.01
Riau 5.44
4.58 4.62
-15.77 0.88
Jambi 5.25
4.92 5.15
-6.24 4.71
Sumatera selatan 5.99
5.09 5.82
-15.01 14.31
Lampung 6.45
5.51 5.93
-14.55 7.54
Jawa Barat 3.57
8.32 34.19
133.08 310.74
Jawa Tengah 5.90
5.85 5.93
-0.84 1.28
DI Yogyakarta 5.78
5.51 5.73
-4.63 3.98
Jawa Timur 5.79
5.90 5.70
1.90 -3.38
Bali 5.98
5.71 5.45
-4.52 -4.57
NTB 5.82
5.55 5.36
-4.64 -3.50
NTT 5.72
5.66 5.82
-1.19 2.91
Kalimantan Barat 5.23
5.39 5.19
3.09 -3.70
Kalimantan Selatan 5.52
5.14 5.05
-6.97 -1.73
Sulawesi Tengah 5.44
5.71 5.29
5.13 -7.48
Sulawesi Selatan 5.45
5.38 5.20
-1.23 -3.43
Sulawesi Tenggara 5.67
5.54 5.13
-2.27 -7.47
Gorontalo na
4.93 4.93
na -0.04
Selain kondisi diatas, nilai indeks efisiensi Tabel 6 juga memberikan gambaran antara lain;
1. Pertumbuhan indeks efisiensi menunjukkan perubahan kemampuan produksi
sapi potong lokal dari suatu daerah pada satu periode tertentu. Rata-rata pertumbuhan indeks adalah 3,92 pada tahun 1999-2002 hingga 2003-2006
dan 14,44 pada tahun 2003-2006 hingga 2007-2010. Kondisi ini menunjukkan bahwa industri penggemukan sapi potong lokal memiliki
efisiensi yang terus meningkat dari tahun ke tahun sehingga secara nasional masih layak untuk dikembangkan.