Prioritas Inseminasi Buatan IB

Daya Saing Industri Penggemukan Sapi Potong Lokal di Prov. Jawa Timur Kondisi daya saing penggemukan sapi potong di Jawa Timur selama tahun pengamatan yaitu 1999 hingga 2010 memperlihatkan penurunan. Pada periode ke 2 yakni tahun 2003 hingga 2006, daya saing penggemukan sapi potong di Jawa timur meningkat dari 29,51 pada tahun 1999-2002 menjadi 29, 66. Peningkatan ini sangat kecil mengingat Jawa Timur merupakan pemasok bagi provinsi- provinsi lain disekitarnya. Kondisi ini menjadi lebih buruk pada periode berikutnya yaitu 2007 hingga 2010 yang menurun menjadi 29,53. Berdasarkan peringkatnya, Jawa Timur menduduki posisi ke 8 pada tahun 1999 hingga 2002 dan meningkat menjadi peringkat 4 pada periode berikutnya. Kondisi tersebut tidak dapat dipertahankkan hingga berakibat menurunnya peringkat pada tahun 2007-2010 menjadi posisi ke 10 Tabel 12. Tabel 12 Indeks dan Ranking Indeks Daya Saing Industri Penggemukan Sapi Potong Lokal di Jawa Timur No Periode Indeks Daya Saing Ranking 1 2 3 1999 – 2002 2003 – 2006 2007 – 2010 29,51 29,66 29,53 8 4 10 Rata - rata 29,57 Jawa Timur merupakan provinsi dengan jumlah populasi sapi potong lokal yang tinggi gambar 11. Hampir sepertiga populasi sapi potong lokal berada di provinsi ini sehingga pergeseran jumlah populasi di wilayah ini sangat mempengaruhi populasi sapi potong nasional. Menurut data Direktorat Jenderal Peternakan tahun 2002, selama kurun waktu 1990 hingga 2002, ternak dari Jawa Timur yang dikirim keluar wilayah mengalami penurunan rata-rata 14,2 persen per tahun. Sementara pemotongan ternak sapi potong yang dilakukan diwilayah Jawa Timur selama 1992 hingga 2002 juga mengalami penurunan dengan rata- rata 1,02 persen per tahun. Gambar 11 Perbandingan Populasi Sapi Lokal Nasional dan Jawa Timur, dan Pengeluaran ternak lokal di Jawa Timur Sumber: Badan Pusat Statistik dan Direktorat Jenderal Peternakandiolah Jawa Timur merupakan daerah penyangga ternak sapi potong terbesar nasional, sehingga wilayah ini seharusnya mampu memenuhi kebutuhan konsumsi daging dalam negerinya, sehingga mampu mensuplai kebutuhan ternak hidup dan daging ke beberapa wilayah lain di Indonesia. Penurunan populasi sapi potong lokal di Jawa Timur pada tahun 2002 dapat diakibatkan oleh penyusutan lahan pada tahun 2001 dimana total lahan pertanian beririgasi menyusut sebesar 0,35 persen dari tahun 1990. Penyusutan tersebut terjadi pada kelas lahan beririgasi setengah teknis, lahan beririgasi sederhana, dan lahan tadah hujan. Alih fungsi lahan di Jawa Timur secara rata-rata mencapai 8.800 Ha per tahun yang diakibatkan oleh konversi lahan pola pemukiman, pola industri, sarana, dan prasarana serta pola-pola lainnya. Kondisi ini selainmengancam populasi ternak potong lokal di Jawa Timur, juga memunculkan migrasi tenaga kerja dari peternak sapi potong menjadi profesi lain diluar peternakan, bahkan diluar pertanian. Pada tahun 2002, terjadi masa Otonomi daerah yang berakibat pada meningkatnya biaya angkut antar daerah dan wilayah karena adanya biaya retribusi sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah tersebut. Pada tahun tersebut, populasi ternak di Jawa Timur menurun hingga 24,85 persen. Kondisi tersebut kemungkinan disebabkan oleh: 1. Pada masa otonomi daerah, pemerintah masih terkonsentrasi pada struktur organisasi sehingga kinerja pemerintah daerah dalam upaya - 2,000,000 4,000,000 6,000,000 8,000,000 10,000,000 12,000,000 14,000,000 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 populasi Jawa Timur nasional pengeluaran ternak penumbuhan usaha pembibitan dan penggemukan sapi potong mengalami penurunan. 2. Masuknya kompetitor sapi potong dari daerah lain ke daerah tujuan pasar dari Jawa Timur, seperti Lampung yang mana sebagian besar ternaknya menggunakan bibit impor. 3. Terjadi ketidakseimbangan peningkatan harga masukan dengan peningkatan harga sapi potong dan daging sapi. Kondisi otonomi daerah pada tahun 2002 yang mempengaruhi populasi sapi potong lokal di Jawa Timur terus membaik pada tahun-tahun berikutnya, namun tidak menjadikan daya saing pengemukan sapi potong lokal di Provinsi ini menjadi lebih baik. Pada periode 2007-2010, terlihat pada gambar 12 bahwa populasi ternak lokal di Jawa Timur cenderung meningkat namun memiliki peringkat indeks daya saing yang menurun dibanding periode sebelumnya. Apabila ditelusuri, pada tahun 2007 hingga 2010 jumlah ternak yang dapat dihasilkan terus menurun dengan rata-rata penurunan 11,54 persen per tahunnya. Hal ini menyebabkan inefisiensi dalam usaha penggemukan sapi potong lokal di Jawa Timur yang berdampak pada rendahnya daya saing industri sapi potong lokal di Jawa Timur terhadap daerah lainnya. Daya Saing Industri Penggemukan Sapi Potong Lokal di Prov. DI Yogyakarta Peringkat indeks daya saing terkecil pada tahun 1999 hingga 2002 adalah DI Yogyakarta dengan indeks 21,70. Pada periode tersebut, wilayah DI Yogyakarta mengalami kondisi pertumbuhan produksi yang negatif dari industri penggemukan sapi potong lokal. Jumlah ternak lokal yang dapat dipotong untuk memenuhi konsumsi daerah cenderung negatif. Kondisi ini membaik pada periode berikutnya dimana DI Yogyakarta memiliki daya saing tertinggi pada tahun 2003 hingga 2006 dengan indeks 31,62. Selanjutnya pada tahun 2007 hingga 2010, penggemukan sapi potong lokal di DI Yogyakarta berada pada peringkat ke tiga setelah JawaBarat dengan indeks 33,27 Tabel 13. Nilai indeks yang meningkat diiringi dengan rangking yang menurun menunjukkan bahwa terjadi peningkatan daya saing pada indusri penggemukan sapi potong lokal secara nasional. Tabel 13 Indeks dan Ranking Indeks Daya Saing Industri Penggemukan Sapi Potong Lokal di DI Yogyakarta No Periode Indeks Daya Saing Ranking 1 2 3 1999 – 2002 2003 – 2006 2007 – 2010 21,70 31,62 33,27 17 1 3 Rata - rata 28,86 Bedasarkan analisis yang dikakukan, provinsi ini mengalami masa yang paling buruk pada tahun 1999 hingga 2002. Pada tahun 1999 dimana ekonomi Indonesia secara umum sedang mengalami masa pasca krisis, banyak sektor yang mengalami masa keterpurukan. Di provinsi Yogyakarta, sektor peternakan yang tercakup dalam sektor petanian mengalami pertumbuhan kontribusi PDRB yang terus menurun. Pada tahun 2003, perekonomian daerah ini mengalami peningkatan dan sektor pertanian meningkat positif Tabel 13. Tabel 14 Pertumbuhan Pendapatan Daerah Regional BrutoPDRB Atas Dasar Harga Konstan Menurut Lapangan Usaha Lapangan Usaha 1999 2000 2001 2002 2003 Pertanian -5,82 9,27 -1,62 -2,45 4,63 Pertambangan dan Penggalian 0,37 0,13 0,59 0,17 0,93 Industri Pengolahan 3,32 -2,76 1,97 3,82 2,32 Bangunan 3,11 4,39 2,79 9,38 9,35 Perdagangan, Hotel, dan Restoran 2,42 3,87 6,95 2,32 5,42 Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan 0,67 -1,24 3,49 10,00 4,74 Jasa-Jasa 2,26 2,60 1,52 4,04 1,40 Sumber: Badan Pusat Statistik DI Yogyakarta 2003 Berdasarkan pengamatan, industri penggemukan sapi potong lokal di DI Yogyakarta selama tahun 2003 hingga 2006 meningkat dari sisi penyediaan ternak yang siap konsumsi. Sebaliknya produktivitas industri penggemukan di provinsi ini cenderung menurun dari periode sebelumnya yakni tahun 1999 hingga 2002. Kondisi ini menunjukkan bahwa terjadi pengurasan populasi sapi lokal pada tahun 2003 hingga 2006 dengan pertumbuhan populasi yang tidak seimbang. Pada tahun tahun tersebut, terjadi penurunan impor daging di DI yogyakarta sebagai bentuk ketahanan pangan dari program swasembada daging yang dikeluarkan pemerintah. Pada tahun 2007 hingga 2010, produktivitas kembali meningkat dengan populasi yang bertambah, diiringi dengan peningkatan nilai pertumbuhan output dari daerah ini. Apabila swasembada diartikan dengan kecukupan kebutuhan akan daging di daerah, DI Yogyakarta dapat dikatakan dapat mencapai swasembada dalam jangka dekat, namun apabila tidak diiringi dengan peningkatan populasi maka dalam jangka panjang akan terjadi penurunan populasi sapi potong lokal. dampak dari kondisi jangka panjang tersebut adalah kurangnya pasokan daging lokal utnuk memenuhi kebutuhan, yang artinya swasembada tidak dapat dipertahankan. Melihat potensi sumberdaya alam dan sumberdaya manusia serta kelembagaan yang ada, usaha penggemukan sapi potong dapat dikembangkan melalui sentuhan teknologi untuk lebih mengoptimalkan sumberdaya lokal dengan menerapkan teknologi budidaya pakan, peningkatan sanitasi kandang, penanganan hama penyakit, pengolahan limbah kotoran sapi untuk pupuk, peningkatan kemampuan kelembagaan, dan peningkatan akses kelembagaan. Dengan demikian, program swasembada dapat terlaksana sesuai dengan tujuannya.

2. Prioritas Campuran IB dan Kawin Alam

Pengembangan peternakan sapi potong lokal dengan prioritas campuran Inseminasi Buatan IB dan kawin alam terdiri dari beberapa provinsi, yaitu Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Lampung, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, dan Gorontalo. Pada periode pertama yakni tahun 1999 hingga 2002 yang memiliki indeks daya saing yang tinggi dibandingkan dengan penggemukan sapi potong di daerah lain di Indonesia adalah Kalimantan Barat. Peringkat indeks daya saing di daerah ini terus menurun dari peringkat pertama menjadi peringkat 3 pada tahun 2003-2006 dan peringkat ke 13 pada tahun 2007- 2010. Kalimantan Barat memiliki beberapa wilayah merupakan daerah sentra produksi Sapi potong, seperti di Sanggau Ledo, Sambas, Samalantan, Sungai Raya, Mempawah Hilir, Sekadau, Sintang, Ketapang, Rasau Jaya dan Sungai Kakap. Sebagian besar ternak sapi potog di daerah ini dipelihara dengan pola pembibitan dan penggemukan dengan jenis sapi seperti peranakan ongole PO, sapi Bali, Sapi Lokal Kalimantan Barat, dan sapi hasil inseminasi buatan IB. Menurut Dinas Peternakan Prov. Kalimantan Barat 2012 terdapat beberapa permasalahan yang dihadapi oleh peternak di Kalimantan Barat saat ini, diantaranya adalah kesulitan mendapatkan sapi bakalan untuk dilakukan penggemukan dalam pemeliharaan. Saat ini, sapi bakalan tersebut sebagian besar didatangkan dari pulau Madura melalui transportasi kapal laut dalam periode dua mingguan atau bulanan. Kondisi tersebut terjadi salah satunya karena kecenderungan peternak untuk tidak melakukan pemeliharaan pola pembibitan ternak sapi potong, sehingga belum optimalnya produksi dan produktivitas anak sapi dari dalam wilayah Kalimantan Barat sendiri. Hal ini yang menjadi salah satu alasan terus menurunnya peringkat daya saing industri penggemukan sapi lokal di Kalimantan Barat dibandingkan dengan daerah lainnya. Gambar 12 Perkembangan Indeks Daya Saing Industri Penggemukan Sapi Potong Lokal di Daerah pengembangan Dengan Prioritas Campuran Berdasarkan pada Gambar 12, terlihat bahwa daerah dengan prioritas pengembangan campuran IB dan Kawin Alam cenderung berfluktuatif. Rata-rata terjadi penurunan dari periode pertama 1999-2002 ke periode kedua 2003- 2006 di daerah-daerah seperti Aceh, Sumsel, Lampung, NTB, KalBar, Kalsel, dan Sulsel. Daerah yang mengalami penurunan yang tinggi adalah Sumatera Selatan dan Lampung. Sumatera Selatan merupakan daerah yang berpotensi untuk pengembangan usaha peternakan dengan memanfaatkan lahan perkebunan sawit, 0.00 10.00 20.00 30.00 ICI 99-02 ICI 03-06 ICI 07-10 karet, dan kelapa. Selain itu, beternak merupakan bagian dari budaya masyarakat daerah tersebut, dimana sekitar 30 persen dari jumlah terumah tangga terlibat dalam usaha peternakan baik sebagai usaha sampingan, maupun usaha pokok. Pemanfaatan lahan perkebunan yang masih belum optimal menjadi suatu kelemahan bagi perkembangan industri penggemukan sapi potong lokal di daerah Sumatera Selatan, sehingga industri ini tidak dapat bersaing dengan daerah lainnya. Sama halnya dengan Sumatera Selatan, Lampung merupakan wilayah yang memiliki lahan perkebunan yang luas disamping merupakan salah satu pelabuhan impor di Indonesia. Kondisi Lampung sebagai pelabuhan impor menjadikan daerah ini sebagai importir terbesar kedua terbesar setelah Jawa Barat. Murahnya ternak impor yang masuk ke wilayah Lampung membuat peternak lebih memilih untuk mengusahakan bakalan impor dibandingkan dengan ternak lokal karna sulit didapatkan dalam jumlah banyak pada satu waktu. Kedua daerah ini pada periode berikutnya yaitu 2007-2010 mengalami kenaikan indeks daya saing, meskipun indeks daya saing industri penggemukan Lampung masih berada dibawah indeks tahun 1999-2002. Di Sumatera Selatan, kondisi ini disebabkan oleh peningkatan indeks profitabilitas dari 13,51 menjadi 15,52 pada periode 2007-2010 Lampiran 1 dan pertumbuhan output yang juga meningkat dari 58,23 menjadi 70,51 pada periode 2007-2010 dapat menjadi alasan meningkatnya indeks daya saing daerah ini Lampiran 3. Profitabilitas yang meningkat menunjukkan bahwa penggemukan sapi potong di Sumatera Selatan semakin memberikan manfaat ekonomi dalam pengusahaannya, sehingga indeks pertumbuhan output yang meningkat dapat dijelaskan bahwa pengusahaan penggemukan sapi potong semakin berkembang di Sumatera Selatan. Sebaliknya untuk daerah Lampung mengindikasikan penurunan profitabilitas yang cukup tinggi yakni dari 12,84 pada tahun 2003-2006 menjadi 7,85 pada periode 2007- 2010Penurunan indeks profitabilitas di Lampung disebabkan oleh meningkatnya harga sapi bakalan lokal. 4 Berita Karantina Lampung dipublikasikan di http:karantina-lampung.deptan.go.idnode142 Gambar 13 Perbandingan Pergerakan Harga Bakalan Sapi Lokal di Lampung dan Sumatera Selatan Sumber: Badan Pusat Statistik 1999-2010 Pertumbuhan harga sapi bakalan lokal di derah Lampung yang tinggi membuat industri penggemukan sapi potong lokal mengalami kemerosotan karena hanya memberikan keuntungan yang kecil. Perbandingan perkembangan harga bakalan sapi lokal di Lampung dan Sumatera Selatan dapat dilihat dalam gambar 17. Kondisi ini diperburuk dengan pertumbuhan populasi yang kecil hingga tahun 2010, yang menyebabkan kelangkaan dari sapi bakalan lokal. Provinsi lampung memiliki pelabuhan yang menjadi pintu gerbang bagi kegiatan ekspor impor ternak daerah ini. Kegiatan impor menurut berita yang di publikasikan oleh badan karantina Lampung dibawah departemen pertanian Lampung tahun 2008, bertujuan untuk mewujudkan program swasembada daging 2014 4 . Selain dikembangkan di Lampung, sapi bakalan impor yang masuk melewati Lampung juga di kirim ke beberapa daerah seperti Sumatera Selatan dan kep. Bangka Belitung. Naiknya indeks daya saing daerah Lampung dapat dijelaskan dari meningkatnya nilai otput yang dihasilkan. Indeks pertumbuhan output untuk daerah lampung meningkat 20 persen dari periode sebelumnya. Artinya, meskipun hanya memberikan keuntungan yang rendah, namun peternak sapi lokal masih terus mengusahakan penggemukan sapi lokal. Kemungkinan peternak lokal di daerah ini mengembangkan ternaknya dengan cara kawin alam sehingga biaya pembelian pedet tidak berpengaruh pada usaha mereka. - 500,000.00 1,000,000.00 1,500,000.00 2,000,000.00 2,500,000.00 3,000,000.00 3,500,000.00 4,000,000.00 1998 2000 2002 2004 2006 2008 2010 2012 Lampung Sumatera Selatan Tabel 15 Pertumbuhan Indeks Daya Saing Industri Penggemukan Sapi Potong Lokal Prioritas IB dan Kawin Alam Provinsi Pertumbuhan Pertumbuhan 99-02 ke 03-06 03-06 ke 07-10 Aceh -0.03 1.15 Sumatera Utara 0.00 -2.67 Sumatera Barat 1.36 -2.16 Riau 0.00 0.00 Jambi 0.95 0.22 Sumatera selatan -3.47 4.99 Lampung -3.81 2.67 NTB -0.03 1.19 Kalimantan Barat -0.27 -0.48 Kalimantan Selatan -0.56 -3.66 Sulawesi Selatan -0.09 0.18 Gorontalo 0.00 0.00 Berdasarkan uraian diatas, dapat dikatakan bahwa daya saing daerah prioritas campuran IB dan Kawin Alam cenderung mengalami penurunan daya saing dilihat dari indeksnya Tabel 14. Beberapa daerah seperti Sumatera Barat dan Jambi sempat memiliki pertumbuhan daya saing yang positif pada periode pertama ke periode kedua, namun menurun pada periode berikutnya. Permasalahan utama dari wilayah prioritas campuran ini adalah harga bakalan yang tinggi dan ketersediaan pakan yang belum teroptimalkan.

3. Prioritas Kawin Alam

Daerah lainnya yang dijadikan fokus pengembangan oleh pemerintah untuk mencapai swasembada daging 2014 adalah Nusa Tenggara Timur. Terlihat pada Gambar 14, NTT memiliki indeks daya saing yang meningkat dari tahun 1999 hingga 2010. Nusa Tenggara Timur merupakan salah satu daerah dengan kondisi padang yang luas karena belum termasuk fokus pengembangan untuk pemukiman. Pada tahun 2010, Pemerintah Provinsi NTT mengeluarkan program untuk menjadikan NTT sebagai provinsi ternak. Strategi yang dilakukan oleh pemerintah dalam mewujudkan program pengembangan ternak sapi sebagai salah satu komoditas unggulan, terbagi atas tiga kebijakan, yakni kebijakan teknis, kebijakan operasional, dan rencana aksi pengembangan ternak sapi di NTT. Gambar 14 Indeks Daya Saing Industri Penggemukan Sapi Potong Lokal Prioritas Kawin Alam Secara teknis, strategi utama yang dilakukan oleh pemerintah adalah optimalisasi pemanfaatan sumber daya peternakan untuk meningkatan pendapatan, percepatan pertumbuhan ekonomi demi peningkatan kesejahteraan masyarakat petani peternak. Daerah prioritas Kawin Alam lainnya adalah Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah. Potensi yang bagus juga diperlihatkan oleh Sulawesi Tenggara dimana pertumbuhan indeks daya saing meningkat pada pada periode ketiga 2007-2010. Perkembangan indeks daya saing untuk daerah dengan prioritas kawin alam dapat dilihat dalam Tabel 15. Dalam tabel dapat dilihat bahwa pertumbuhan daya saing yang meningkat terdapat pada daerah NTT dan Sulawesi Tenggara meskipun menurun pada periode pertama ke periode kedua. Tabel 16 Pertumbuhan Indeks Daya Saing Industri Penggemukan Sapi Potong Prioritas Kawin Alam Provinsi Pertumbuhan Pertumbuhan 99-02 ke 03-06 03-06 ke 07-10 NTT -0.12 1.46 Sulawesi Tengah -0.09 -0.02 Sulawesi Tenggara -0.32 9.33 Daerah dengan prioritas Kawin Alam di atas banyak dimanfaatkan dalam menghasilkan bakalan untuk daerah-daerah sekitarnya. Seperti misalnya Sulawesi Tenggara yang menjadi pemasok sapi bakalan bagi daerah Kalimantan dan 25.00 35.00 45.00 Sulawesi Tengah Sulawesi Tenggara NTT ICI 99-02 ICI 03-06 ICI 07-10