Hubungan Antara Daya Saing dan Profitabilitas
Usaha Peternakan Sapi Potong
Peternakan sapi potong di Indonesia terdiri dari peternak besar dan peternak rakyat. Peternak besar atau peternak komersial yang memelihara 1.000
ekorpeternak per tahun terdiri atas peternak penggemukan feeder dan peternak pembibitan breeder. Para peternak penggemukan umumnya mendapatkan ternak
sapi bakalan melalui impor berupa sapi jantanbetina Brahman cross dan hanya sedikit peternak komersial tersebut yang menggunakan sapi bakalan dalam negeri,
terutama karena alasan nilai ekonomis yang rendah. Dari pengalaman pada peternakan penggemukan inilah, akhirnya berkembang peternakan sumber bibit
atau bakalan Talib, Inounu, dan Bamualim, 2007. Indonesia masih belum memiliki peternakan breeder murni. Di Indonesia,
peternak komersial yang memanfaatkan sapi-sapi betina produktif ex-impor untuk menghasilkan keturunan. Sapi-sapi betina tersebut diseleksi dengan seksama akan
sifat-sifat reproduksinya, kemudian diinseminasi dan dijual sebagai ternak betina bunting. Sapi-sapi betina tersebut diminati oleh banyak pemerintah daerah untuk
dikembangkan dan digunakan untuk menambah populasi sapi potong di wilayahnya masing-masing. Pasar kedua produk tersebut, baik sapi penggemukan
maupun sapi bunting adalah pasar yang sangat prospektif Talib, Inounu, dan Bamualim, 2007.
Peternak rakyat atau peternak tradisional menurut Talib, Inounu, dan Bamualim 2007 juga mempunyai peran yang hampir sama, tetapi dalam skala
usaha yang sangat berbeda. Peternak penggemukan lebih dikenal sebagai peternak sapi kereman karena waktu yang dibutuhkan untuk mencapai bobot potong cukup
lama yaitu lebih dari 6 bulan. Sementara itu peternak penghasil sapi bakalan lebih tepat disebut sebagai peternak budidaya karena praktek seleksi untuk peningkatan
produktivitas belum ada dan memang tidak tepat untuk dilaksanakan karena skala pemilikan yang kecil 1
–5 ekorpeternak. Menurut Yusdja dan Ilham 2006, sebagian besar ternak sapi lokal di Indonesia dipelihara secara tradisional dalam
bentuk usaha rakyat.
Pembibitan dan Pakan Ternak Sapi Potong
Pembibitan sapi potong dapat dilakukan secara alami maupun dengan menggunakan teknologi atau buatan. Menurut Rahmanto 2004, pembibitan yang
dilakukan oleh peternak-peternak kecil umumnya bertujuan untuk tabungan. Teknik kawin suntik inseminasi buatan-IB yang dilakukan biasanya berhasil
dengan frekuensi 2-4 kali penyuntikan dengan biaya persuntik adalah Rp 30.000. Sapi bakalan jantan biasanya dipelihara selama 1,5 hingga 2 tahun untuk siap
dijual. Sebagian besar bibit sapi potong lokal betina dijual dari umur 4 bulan hingga 2 tahun, bergantng kepada kebutuhan peternak. Di daerah Magetan, ternak
diberikan pakan hijauan berupa jerami padi, jerami jagung, dan rumput serta pakan konsentrat seperti katul, ubi kayu, dan garam. Selama masa pemeliharaan
720 hari, sapi bakalan menghabiskan 1800 Kg pakan dengan harga rata-rata untuk daerah tersebut adalah Rp 1500kg.
Berikutnya dijelaskan oleh Rahmanto 2004, usaha penggemukan sapi potong di wilayah Magetan umumnya dilakukan dengan memelihara 1-2 ekor sapi
bakalan. Pemeliharaan dalam sistem penggemukan ini lebih bersifat komersil dibandingkan dengan sapi bakalan atau bibit. Dalam 1 periode penggemukan atau
sekitar 6 bulan, satu ekor sapi dapat menghabiskan 73 Kg hijauan dan 800 kg pakan konsentrat.
Apabila dibandingkan dengan sapi impor atau jenis sapi limousin di daerah yang sama dan peternakan yang sama satu ekor sapi dapat menghabiskan
220 Kg pakan hijauan dan 2384 kg pakan konsentrat selama 12 bulan, atau setara dengan 110Kg pakan hijauan dan 1192kg pakan konsentrat selama 6 bulan.
Menurut Yusdja et al 2001, untuk daerah Nusa Tenggara Barat, Jawa Timur, dan Sumatera Utara, akan menunjukkan bahwa usaha sapi kreman akan
mengalami kerugian jika seluruh biaya usaha tani diperhitungkan dalam analisis, kecuali untuk daerah Jawa Timur pada skala usaha 6 ekor peternak.
Peternakan semi intensif yang banyak dikembangkan di daerah Garut, menurut Permana 2002 kebanyakan menggunakan jerami padi dan ampas tahu
sebagai pakan utama. Pakan tersebut banyak digunakan dengan alasan merupakan sumber daya lokal atau potensi daerah setempat. Sebagian besar peternak di
daerah tersebut 96,43 persen menggunakan jerami padi dan ampas tahu sebagai