The Competitiveness Analysis of the Feedlot Industries of Local Beef Cattle in Indonesia

(1)

PUTRI INDAH NUGROHO WANTI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2013


(2)

(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Daya Saing Industri Penggemukan Sapi Potong Lokal di Indonesia adalah karya saya dengan arahan pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Februari 2013

Putri Indah NW NIM H451100381


(4)

ABSTRACT

PUTRI INDAH NW. The Competitiveness Analysis of the Feedlot Industries of Local Beef Cattle in Indonesia. Supervised by ANDRIYONO KILAT ADHI and JUNIAR ATMAKUSUMA.

The competitiveness of the local cattle industry is analyzed to determine the direction and development of supporting factors to achieve meat self-sufficiency program in 20 priority areas of local beef cattle. Methode used is the Industrial Competitiveness Index (ICI) which aims to combine multidimensional economic performance including profitability, productivity, and output growth, using 1999-2010 data series. The results show that the profitability and productivity of local cattle feedlot industry is not efficient and effective way to cultivate despite an upward trend. This caused the low competitiveness of feedlot industries of local beef cattle. Condition of low competitiveness is empirically illustrate that the local cattle feedlot industry is still not capable to achieve self-sufficiency of meat in the short term.


(5)

RINGKASAN

PUTRI INDAH NW. Analisis Daya Saing Industri Penggemukan Sapi Potong Lokal di Indonesia. Dibimbing oleh ANDRIYONO KILAT ADHI dan JUNIAR ATMAKUSUMA.

Industri sapi potong berperan penting dalam perekonomian nasional. Tingginya nilai impor produk sapi potong menjadikan Indonesia sebagai net importer bagi subsektor peternakan. Permintaan yang terus meningkat dan ketergantungan yang tinggi terhadap produk impor menjadikan perkembangan sumber daya lokal berupa sapi potong lokal melemah. Mengatasi masalah tersebut, Pemerintah mengeluarkan kebijakan swasembada daging yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan daging nasional dengan memanfaatkan sumber daya dan potensi lokal. Terwujudnya swasembada daging tidak terlepas dari kemampuan bersaing sapi potong lokal. Optimalisasi pengembangan sumber daya lokal akan memberikan keuntungan bagi industri sapi potong lokal yang menjadi landasan swasembada daging. Pengembangan sumber daya lokal dapat diketahui dengan mengetahui terlebih dahulu kondisi empirik daya saing dari industri penggemukan sapi potong lokal di Indonesia. Dengan demikian pengembangan sumber daya lokal dapat terfokus dalam upaya pencapaian swasembada daging.

Tujuan dari penelitian ini adalah : (i) Menganalisis perkembangan profitabilitas, efisiensi, dan pertumbuhan output dari industri penggemukan sapi potong lokal secara empirik di Indonesia dan (ii) Menganalisis perkembangan daya saing industri penggemukan sapi potong lokal di Indonesia untuk dapat dioptimalkan dalam mewujudkan program swasembada daging. Metode yang digunakan adalah model analisis Industrial Competitiveness Index dengan pendekatan menggunakan indikator produktivitas, profitabilitas, dan pertumbuhan output. Model ini dikembangkan oleh Fischer dan Schornberg (2007) sebagai pendekatan analisis daya saing suatu industri pada satu negara.

Hasil analisis menunjukkan bahwa industri penggemukan sapi potong lokal di Indonesia hanya memiliki nilai profitabilitas yang tinggi dibeberapa daerah, sedangkan sebagian besar daerah pengusahaan penggemukan sapi potong lokal memiliki nilai profitabilitas rendah. Kondisi ini dalam jangka panjang akan berdampak pada penurunan jumlah peternak yang memelihara sapi potong lokal, sehingga daya saing akan menurun. Produktivitas industri penggemukan sapi potong lokal rendah dan dapat dikatakan tidak efisien dalam menghasilkan output sapi potong. Perkembangan dinamis dari output industri sapi potong menunjukkan peningkatan dengan laju yang menurun.

Indeks daya saing yang meningkat terdapat di daerah prioritas IB meskipun tidak semua daerah dapat dikembangkan untuk pencapaian swasembada daging 2014 sehingga secara nasional, swasembada akan sulit untuk dapat dilaksanakan. Daerah-daerah yang memiliki potensi daya saing antara lain NTT, NTB, Bali, Sulsel, Lampung, Aceh, Sumsel, Jawa Barat, dan DI Yogyakarta. Kata kunci : daya saing, sapi potong lokal, indeks.


(6)

©Hak cipta milik IPB, tahun 2013

Hak cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa seizin IPB


(7)

ANALISIS DAYA SAING INDUSTRI PENGGEMUKAN

SAPI POTONG LOKAL DI INDONESIA

PUTRI INDAH NUGROHO WANTI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Agribisnis

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2013


(8)

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Ratna Winandi, MS Penguji Wakil Komisi Pendidikan : Dr. Ir. Dwi Rachmini, M.Si


(9)

Judul : Analisis Daya Saing Industri Penggemukan Sapi Potong Lokal di Indonesia

Nama : Putri Indah Nugroho Wanti

NIM : H451100381

Disetujui Oleh Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Andriyono Kilat Adhi Ketua

Ir. Juniar Atmakusuma, MS Anggota

Diketahui Oleh Ketua Program Studi/Mayor

Agribisnis

Prof. Dr. Ir. Rita Nurmalina, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dahrul Syah,M.Sc.Agr

Tanggal Ujian : Tanggal Lulus :


(10)

(11)

PRAKATA

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga tersis ini dapat diselesaikan. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan studi dan memperoleh gelar Master pada Program Studi Agribisnis, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada seluruh pihak yang telah banyak memberikan bantuan, terutama kepada :

1. Dr. Ir. Andriyono Kilat Adhi, dan Ir. Juniar Atmakusuma, MS, Ketua Komisi Pembimbing dan Anggota Komisi Pembimbing yang telah meluangkan waktu serta memberikan bimbingan, arahan, dan motivasi kepada penulis.

2. Dr. Amzul Rifin, SP, MA, Dosen Evaluator pada pelaksanaan kolokium proposal penelitian dan Dr. Ir. Ratna Winandi, MS, Penguji Luar Komisi pada ujian tesis, serta Dr. Ir. Dwi Rachmini, M.Si, Penguji Wakil Komisi Pendidikan yang telah memberikan masukan dan arahan yang bermanfaat kepada penulis.

3. Prof. Dr. Ir. Rita Nurmalina, MS, Ketua Program Studi Agribisnis, beserta seluruh Staf Pengajar pada Program Studi Agribisnis.

4. Kepala Bagian Direktorat Harga Perdagangan Besar, Badan Pusat Statistik, beserta seluruh staf, yang telah membantu penulis dalam perolehan data yang penulis butuhkan.

5. Ayahanda Drs. Sri Hariyanto, M.Pd, Ibunda Dra. Egi Sandiana, M.Pd, serta Kakak Tresna Giharto, S.Pt dan Adik Nur Rahmi Puji Rahayu tercinta yang telah memberi kepercayaan pada penulis untuk menyelesaikan studi, dan memberikan dukungan moril, materil, dan doa.

6. Para sahabat MSA Angkatan 1, Alumni Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran Bandung, dan seluruh rekan-rekan Mega-kost yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang penulis banggakan atas kebersamaan, kekompakan, dan canda tawanya, serta Effyanto Agung Darmawan yang telah memberi doa, motivasi, dan dukungan kepada penulis.


(12)

Semoga segala bantuan serta motivasi yang telah diberikan mendapatkan balasan yang berlimpah dari Allah SWT, Amin. Akhir kata, semoga tesis ini dapat berguna bagi berbagai pihak, khususnya bagi penulis sendiri.

Bogor, Februari 2013


(13)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Padang, Sumatera Barat, pada tanggal 18 Maret 1989 dari Ayah Sri Hariyanto, dan Ibu Egi Sandiana. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara.

Pendidikan formal tingkat SMA diselesaikan pada tahun 2006 dari Sekolah Menengah Umum Negeri 3 Padang. Pada tahun yang sama, penulis lulus SPMB di Universitas Padjadjaran pada Fakultas Ilmu Peternakan dan lulus pada bulan Mei tahun 2010 dari jurusan Sosial Ekonomi Peternakan. Selanjutnya penulis meneruskan studi di Program Studi Agribisnis Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.


(14)

(15)

DAFTAR ISI

Halaman DAFTAR ISI ...

DAFTAR TABEL ...

xv xvii DAFTAR GAMBAR ... xviii DAFTAR LAMPIRAN ... xix 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1.2. Perumusan Masalah ... 1.3. Tujuan Penelitian ... 1.4. Manfaat Penelitian ... 1.5. Ruang Lingkup Penelitian ...

1 4 9 10 10 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 11

2.1.Daya Saing ... 2.2.Hubungan Antara Profitabilitas dan Daya Saing ... 2.3. Hubungan Antara Produktivitas dan Daya Saing ... 2.4. Hubungan Antara Pertumbuhan Output dan Daya Saing ... 2.5. Industri Peternakan Sapi Potong di Indonesia ...

11 14 15 16 16 3 KERANGKA PEMIKIRAN ... 23

3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis ... 3.2. Kerangka Pemikiran Operasional ...

23 36 4 METODE PENELITIAN ... 39

4.1. Objek dan Waktu Penelitian ... 4.2. Jenis dan Sumber Data ... 4.3. Metode Analisis ... 4.4. Model Analisis ...

39 39 40 40

5 GAMBARAN UMUM INDUSTRI PENGGEMUKAN SAPI

POTONG LOKAL DI INDONESIA ... 47 6 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 57

6.1. Profitabilitas Industri Penggemukan Sapi Potong Lokal ... 6.2. Efisiensi Industri Penggemukan Sapi Potong Lokal ... 6.3. Pertumbuhan Output Industri Penggemukan Sapi Potong

Lokal ... 6.4. Daya Saing Industri Penggemukan Sapi Potong Lokal ...

54 57 63 64 7 KESIMPULAN DAN SARAN ... 85 7.1. Kesimpulan ... 85


(16)

7.2. Saran ... 85 DAFTAR PUSTAKA ... 87 LAMPIRAN ...

.


(17)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Penyediaan dan Komsumsi Daging Sapi (2005-2009) ... 4

2. Jenis dan Sumber Data ... 40

3. Data Impor Semen Sapi di Indonesia Tahun 2004-2008 ... 48

4. Impor Sapi Murni di Indonesia Tahun 2004-2008 ... 49

5. Pertumbuhan Indeks Profitabilitas Industri Penggemukan Sapi Potong Lokal ... 58

6. Pertumbuhan Indeks Efisiensi Industri Penggemukan Sapi Potong Lokal ... 62

7. Pertumbuhan indeks Growth Industri Penggemukan Sapi Potong Lokal ... 65

8. Ranking Indeks Daya Saing Industri Penggemukan Sapi Potong Lokal ... 66

9. Indeks dan Ranking Indeks Daya Saing Industri Penggemukan Sapi Potong Lokal di Jawa Barat ... 68

10. Indeks dan Ranking Indeks Daya Saing Industri Penggemukan Sapi Potong Lokal di Bali ... 70

11. Indeks dan Ranking Indeks Daya Saing Industri Penggemukan Sapi Potong Lokal di Jawa Tengah ... 71

12. Indeks dan Ranking Indeks Daya Saing Industri Penggemukan Sapi Potong Lokal di Jawa Timur ... 72

13. Indeks dan Ranking Indeks Daya Saing Industri Penggemukan Sapi Potong Lokal di DI Yogyakarta ... 75

14. Pertumbuhan Pendapatan Daerah Regional Bruto (PDRB) Atas Dasar Harga Konstan Menurut Lapangan Usaha DI Yogyakarta (%). 75 15. Pertumbuhan Indeks Daya Saing Industri Penggemukan Sapi Lokal di Daerah Prioritas IB dan Kawin Alam ... 80

16. Pertumbuhan Indeks Daya Saing Industri Penggemukan Sapi Potong Lokal Prioritas Kawin Alam ... 81


(18)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Populasi Sapi Potong Tahun 2005-2009 ... 3

2. Populasi Sapi Potong Menurut Pulau Tahun 2011 ... 6

3. Perbedaan Harga Daging Impor dan Daging Dalam Negeri ... 7

4. Kerangka Pemikiran Operasional ... 38

5. Diagram Alur Kalkulasi Industrial Competitiveness Index (ICI) ... 45

6. Pertumbuhan Impor Bakalan Sapi Potong di Indonesia (Kg) ... 50

7. Indeks Rata-Rata Profitabilitas Industri Penggemukan Sapi Potong Lokal ... 58

8. ICI Industri Penggemukan Sapi Potong Lokal Daerah Prioritas IB ... 67

9 Proporsi Impor Sapi Potong Impor Tahun 1999-2010 ... 68

10. Pengeluaran Ternak Sapi Lokal di Jawa Tengah ... 71

11. Perbandingan Populasi Sapi Potong Lokal Nasional dan Jawa Timur, dan Pengeluaran Ternak Lokal di Jawa Timur ... 73

12. Perkembangan Indeks Daya Saing Industri Penggemukan Sapi Potong Lokal di Daerah Prioritas Campuran ... 77

13. Pergerakan Harga Bakalan Sapi Lokal di Daerah Lampung dan Sumatera Selatan ... 79

14. Indeks Daya Saing Industri Penggemukan Sapi Lokal di Daerah Prioritas Kawin Alam ... 81


(19)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. Pertumbuhan Harga Jual Sapi Potong Lokal di Indonesia ... 96 2. Perkembangan Nilai Rata-Rata Pertumbuhan Output dari Industri

Penggemukan Sapi Potong Lokal ... 96 3. Indeks Daya Saing Industri Penggukan Sapi Potong Lokal ... 97


(20)

(21)

I.1. Latar Belakang

Sektor pertanian telah terbukti memiliki peranan penting bagi pembangunan perekonomian suatu bangsa. Selain memberikan kontribusi dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB), penciptaan kesempatan kerja, peningkatan pendapatan masyarakat, dan perolehan devisa, pertanian juga dipandang sebagai sektor yang memiliki kemampuan khusus dalam memadukan pertumbuhan dan pemerataan (growth with equity). Keberhasilan sektor ini sangat bergantung pada pembangunan yang dapat menjadi landasan pertumbuhan ekonomi. Banyak bukti empirik menyatakan bahwa sektor pertanian mempunyai peranan yang sangat penting dan strategis dalam perekonomian dunia. Kontribusi sektor pertanian dalam pembentukan devisa negara dapat dilihat dari kontribusi sektor tersebut dalam perdagangan internasional yang ditunjukkan oleh posisi beberapa komoditas di pasar dunia. Volume ekspor produk pertanian hingga tahun 2008 terbagi dalam empat subsektor, yaitu subsektor tanaman pangan, holtikultura, perkebunan, dan peternakan (Daryanto, 2010).

Subsektor peternakan secara konsisten sejak tahun 2006 hingga tahun 2008 menyandang status “net importer” yang merupakan kondisi ketika nilai impor suatu negara lebih besar dari nilai ekspor pada komoditas atau produk yang sama. Dilihat dari perkembangannya, Indonesia mengimpor susu (70 persen ), daging sapi (30 ribu ton), dan sapi hidup (450 ribu ekor) per tahunnya (Daryanto, 2010). Dari angka-angka tersebut dapat dikatakan bahwa sapi potong merupakan salah satu subsektor peternakan yang mempengaruhi perkonomian nasional.

Berdasarkan sejarahnya, subsektor peternakan sapi potong pada awalnya merupakan usaha rakyat yang tidak dikomersialkan. Pada tahun 1970an investor mulai tertarik dengan industri ini. Industri sapi potong mulai bangkit pada tahun 1980-an dengan menggunakan bibit sapi muda jantan lokal dan inovasi baru untuk penggemukan sapi potong yang berskala besar, intensif, dan waktu penggemukan yang singkat (2-3 bulan). Program tersebut dimaksudkan untuk mengalihkan usaha ternak yang sebelumnya merupakan backyard farming menjadi suatu lapangan bisnis yang padat modal. Keadaan tersebut dalam jangka panjang tidak


(22)

berjalan dengan baik karena sulitnya memperoleh bakalan sapi potong lokal karena sebagian besar usaha peternakan sapi potong yang menghasilkan bakalan diusahakan oleh peternak kecil yang memiliki skala usaha kecil dan kurang efisien. Kondisi ini membuat peternak mulai menggunakan sapi bakalan dari Australia yang mudah didapatkan dalam jumlah besar dan harga yang tidak jauh berbeda dibandingkan sapi bakalan lokal. Hal ini menyebabkan pasar daging di dalam negeri yang pada awalnya dipasok dari daging sapi potong lokal bergeser menjadi daging sapi asal bakalan impor dan daging sapi impor. Impor terus berkembang hingga mencapai 40 persen dari produksi nasional, sehingga dikhawatirkan akan mengganggu kedaulatan dan ketahanan pangan (Boediyana, 2012)1.

Salah satu upaya yang diambil pemerintah untuk mengatasi permasalahan ini adalah dengan melalui program swasembada daging. Pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan swasembada daging pertama pada tahun 2000 dengan pencapaian pada tahun 2004. Program ini tidak berhasil terlaksana pada tahun yang ditentukan, karena masih tidak terpenuhinya kebutuhan daging nasional dengan sumber daya lokal, sehingga jumlah impor masih tergolong tinggi. Program ini kemudian kembali direvisi untuk pencapaian tahun 2014.

Menurut naskah kebijakan program swasembada daging tahun 2010, kebijakan izin impor sapi bakalan dan daging sapi yang dikeluarkan pemerintah pada tahun 1980an pada awalnya hanya untuk menyediakan daging murah, sehingga konsumsi daging masyarakat meningkat. Saat ini program swasembada daging bertujuan untuk pemenuhan kebutuhan daging sapi nasional dengan menggunakan sumber daya lokal dan impor maksimal 10 persen dari total produksi nasional. Sehingga dapat dikatakan bahwa industri sapi potong lokal sangat mempengaruhi terwujudnya program swasembada daging tersebut.

Populasi sapi potong nasional mengalami peningkatan selama periode 2005 hingga 2009 (Gambar 1). Pada tahun 2005 populasi sapi sebesar 10,6 juta ekor dan pada tahun 2006 menjadi 10,9 juta ekor atau meningkat 2,8 persen . Kenaikan populasi sapi meningkat tajam pada tahun 2007 dan 2008 yakni masing-masing 5,5 persen dan 6,9 persen. Kenaikan populasi sapi ini kemudian melambat 2,4 persen pada tahun 2009 (Ditjennak, 2010). Saat ini populasi sapi potong

1


(23)

nasional berdasarkan hasil Pendataan Sapi Potong, Sapi Perah, dan Kerbau (PSPK) tahun 2011 mencapai 14,8 juta ekor yang terdiri atas sapi potong lokal, hasil penggemukan bakalan impor, dan hasil persilangan impor dan atau domestikasi sapi impor.

Gambar 1 Populasi Sapi Potong Tahun 2005-2009 (Sumber: Direktorat Jendral Peternakan, 2010)

Berdasarkan data yang ada, laju pertumbuhan penyediaan produksi daging dari produksi lokal pada periode 2007 hingga 2009 lebih rendah dibandingkan konsumsi (Tabel 1). Pada tahun 2010, kebutuhan daging sapi nasional mencapai 2,5 juta ekor. Untuk mencukupi kebutuhan daging nasional hingga saat ini, Indonesia masih sangat tergantung pada daging impor dan sapi bakalan impor yang berkisar ± 40 persen dari total konsumsi daging sapi nasional. Perkembangan impor sapi potong dan daging sapi di Indonesia terus mengalami fluktuasi, namun cenderung terus meningkat.

Hingga tahun 2004, impor daging sapi masih didominasi oleh negara Australia dan New Zeland. Namun sejak tahun 2007 secara berturut turut dibuka impor dari USA (2007), Kanada (2008), Brasil (2009), dan Irlandia (2009). Khusus impor sapi hidup untuk pembibitan, Indonesia masih tergantung dari 2 (dua) negara, Australia dan New Zealand. Sedangkan untuk kebutuhan sapi bakalan, impor hanya berasal dari Australia ( Ditjennak, 2010).


(24)

Tabel 1 Penyediaan dan Konsumsi Daging Sapi (2005-2009)

No Uraian Tahun

2005 2006 2007 2008 2009

1

(000 ton)

Produksi Lokal 217,4 259,5 210,8 233,6 250,8

2 Total Impor 111,3 119,2 124,8 150,4 142,8

a. Bakalan 55,1 57,1 60,8 80,4 72,8

b. Daging 56,2 62,0 64,0 70,0 70,0

Total prod. Lokal+impor 328,7 378,7 335,6 384,0 393,6

Konsumsi daging sapi 314,0 313,3 325,9

Selisih prod. Lokal dan konsumsi

(103,2) (79,7) (75,0) Selisih (impor dan

kekurangan prod lokal)

21,5 70,7 67,8

Sumber: Direktotar Jendral Peternakan, 2010.

Importasi ternak sapi dan daging yang semakin besar dan melebihi kebutuhan daging dalam negeri. Tingginya ketergantungan impor ini akan meningkatkan ketergantungan bangsa Indonesia terhadap bangsa lain, mengancam kedaulatan pangan sumber protein hewani sebagai salah satu komponen pencerdas bangsa, mengancam eksistensi industri sapi potong lokal di Indonesia dan melemahnya kemandirian pangan nasional.

I.2. Perumusan Masalah

Sapi potong lokal di Indonesia merupakan sumber daya yang memiliki peluang untuk dikembangkan. Peternakan sapi potong masih memiliki peluang karena selain kemampuan untuk menghasilkan input produksi lokal, juga tersedia tenaga kerja, lahan, dan konsumsi yang terus meningkat. Untuk itu, Pemerintah bersama masyarakat (peternak skala kecil) dan swasta bersama-sama melakukan program pengembangan peternakan sapi potong.

Pemerintah berperan dalam penetapan aturan, fasilitas, dan pengendalian mutu, sedangkan peternak dan swasta berperan dalam memenuhi kebutuhan produk melalui kegiatan produksi, impor, pengolahan, pemasaran, dan distribusi produk sapi potong. Kerjasama berbagai pihak yang saling terkait ini oleh pemerintah diwujudkan dalam suatu strategi pengembangan yaitu swasembada daging pada tahun 2014.


(25)

Dalam rangka mewujudkan swasembada daging yang telah diprogramkan pemerintah, terdapat beberapa masalah yang harus dihadapi oleh peternak. Permasalahan peternak sapi potong lokal di Indonesia dalam memanfaatkan sumberdaya diantaranya adalah; Pertama, skala usaha dan tujuan usaha peternakan. Menurut data yang ada, 60-80 persen peternakan sapi potong di Indonesia masih merupakan usaha rakyat yang tujuan pemeliharaan ternak oleh sebagian besar peternak tesebut tidak diarahkan untuk tujuan pasar (Yusdja dan Winarso, 2009). Usaha ternak sapi potong rakyat tidak memiliki tujuan ekonomi dalam pemeliharaannya, sehingga dapat dikatakan bahwa peternakan dijalankan tanpa mempertimbangkan efektifitas dan efisiensi dari usaha tersebut.

Pada tahun 1990, pemerintah Indonesia mencanangkan program usaha ternak sapi potong pola rakyat yang tujuannya adalah pertambahan jumlah sapi potong dalam waktu yang panjang. Usaha pemerintah ini tidak dapat dikatakan berhasil karena peternak sapi potong rakyat tidak memperhitungkan biaya input pada pemeliharaannya. Selain itu, peternak tidak akan menjual sapi potongnya atau anakan sapi potongnya apabila belum membutuhkan uang. Sehingga program tersebut, tidak dapat dikatakan berhasil untuk dilaksanakan berkelanjutan di beberapa daerah.

Ciri khas dari petermakan rakyat adalah skala usaha relatif kecil, merupakan usaha rumah tangga, cara pemeliharaan yang masih tradisional, dan ternak sering digunakan sebagi tenaga kerja (Yusdja dan Ilham, 2004). Artinya, peternak tidak menganggap penting usaha peternakan mereka dan tidak mengharapkan ternak sebagai penghasil daging. Hal ini membuat kualitas daging yang dihasilkan kurang baik karena sistem pemeliharaannya yang tidak sesuai dengan standar yang seharusnya. Karena itu, usaha rakyat menjadi salah satu masalah yang harus dihadapi industri peternakan sapi potong lokal di Indonesia. Keadaaan ini berkaitan dengan profitabilitas dari usaha pertenakan sapi potong lokal karena peternak rakyat sebagian besar tidak memperhitungkan usaha sapi potong yang mereka jalankan secara ekonomi.

Masalah Kedua adalah kontribusi yang kecil dari sentra usaha sapi potong. Pulau Jawa merupakan sentra industri sapi potong di Indonesia, namun menurut data tersedia, pulau Jawa hanya menyumbang 45 persen dari produksi nasional.


(26)

Angka tersebut dianggap kecil bila dibandingkan dengan populasi sapi potong lokal yang mencapai 70 persen berada di pulau Jawa. Hal ini disebabkan karena ternak dipelihara masih secara tradisional di pedesaan, ternak hanya diberi pakan hijau perkarangan dan limbah pertanian (teknologi budidaya rendah), serta budidaya sapi potong dengan tujuan untuk menghasilkan daging dan berorientasi pasar masih rendah. Selain itu, sentra produksi sapi di Kawasan Timur Indonesia hanya mampu menghasilkan 16 persen dari produksi nasional, padahal kawasan ini memiliki padang penggembalaan yang masih sangat luas (Subagyo, 2009).

Secara regional sebagian besar populasi terdapat di pulau Jawa sebanyak 7,5 juta ekor atau 50,74 persen dari total populasi sapi potong di Indonesia pulau Sumatera sebanyak 2,7 juta ekor atau 18,40 persen; Bali dan Nusa Tenggara 2,1 juta ekor atau 14,19 persen; Sulawesi 1,8 juta ekor atau 11,97 persen, sedangkan sisanya berada di Kalimantan, serta Maluku dan Papua dengan jumlah populasi masing-masing kurang dari 0,5 juta ekor (Gambar 2). Populasi sapi potong tersebut terdiri atas sapi potong lokal dan sapi ex-import yang telah digemukkan di feedlot-feedlot di Indonesia.

Gambar 2 Populasi Sapi Potong Menurut Pulau Tahun 2011 (Sumber: Kementrian Pertanian – Badan Pusat Statistik, 2011)

Masalah Ketiga berada pada tingkat produktivitas ternak sapi potong lokal yang rendah. Industri sapi potong di Indonesia yang banyak dikembangkan dalam skala kecil oleh peternak rakyat akan mempengaruhi produktivitasnya. Produktivitas pada sapi potong merupakan sifat gabungan dari produksi dan reproduksi. Sifat produksi dan reproduksi sapi potong pada suatu populasi dapat dinilai dari jumlah sapi yang dapat dikeluarkan per tahun tanpa mengganggu


(27)

perkembangan populasi atau total bobot sapi yang dikeluarkan dari suatu populasi per tahunnya. Kuantitas dan kualitas produktivitas sapi potong juga ditentukan oleh faktor genetik dan lingkungan. Peternakan sapi potong rakyat akan kesulitan dalam menjaga genetik dan lingkungannya sehingga besar kemungkinan produktivitas sapi potong akan rendah. Rendahnya produktivitas genetik ternak mengakibatkan sulitnya dalam penyediaan bakalan yang merupakan input utama dalam industri sapi potong lokal selain pakan.

Ketiga permasalahan diatas membuat industri peternakan sapi potong lokal di Indonesia terus mengalami kesulitan dalam pemenuhan kebutuhan daging. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi permasalahan dalam penyediaan daging sapi konsumsi adalah dengan melakukan impor. Pada tahun 1994, impor daging sapi Indonesia adalah 4700 ton atau sekitar 1,3 persen dari total produksi daging sapi domestik. Angka impor ini memang relatif kecil, namun sangat mengganggu peternak sapi lokal karena mutu daging impor lebih baik dengan harga bersaing. Selain itu, pada tahun 1990 impor daging mencapai 59,4 persen per tahun (Yusdja dan Ilham, 2004). Sedangkan pada tahun 2010, kebutuhan daging sapi di Indonesia terpenuhi oleh daging sapi lokal 70 persen dan daging sapi impor 30 persen (Ditjennak, 2010).

Gambar 3 Perbedaan Harga Daging Impor dan Daging Dalam Negeri (Sumber:Kementerian Perdagangan RI, 2012)


(28)

Keadaan impor menjadi semakin sulit bagi peternak sapi lokal karena harga daging impor, yang memiliki kualitas daging yang lebih baik, lebih rendah dibandingkan dengan daging sapi potong lokal (Gambar 3). Artinya, peternakan sapi potong lokal harus bersaing dengan sapi potong impor yang memiliki keunggulan harga yang merupakan poin penting dalam persaingan pasar. Peningkatan selera konsumen ikut serta dalam memperkuat masuknya daging sapi impor, dan dengan ini, pangsa pasar daging sapi impor semakin meluas. Rendahnya harga daging sapi lokal disebabkan oleh adanya inefisiensi sistem usaha peternakan sapi lokal berupa tingginya biaya produksi dan pemasaran. Permasalahan inefisiensi ini akan berakibat pada terhambatnya perkembangan usaha peternakan sapi lokal baik dibidang feedlot maupun peternak rakyat.

Selain daging, Indonesia juga mengimpor sapi bakalan untuk digemukkan di Indonesia. Sapi impor banyak digemukkan di Indonesia karena memiliki kualitas karkas dan daging yang baik, pertumbuhan harian yang tinggi, dan harga per kg bobot hidup lebih murah (Hafid, 1998). Sebagian besar sapi bakalan ini dibeli dan digemukkan oleh peternak feedlot skala besar. Hal ini tentunya akan menjadi salah satu ancaman tersendiri bagi para peternak sapi lokal yang rata-rata dikembangkan oleh peternak kecil dan rumah tangga. Besarnya dorongan impor sapi bakalan dan deregulasi oleh pemerintah yang membebaskan tarif impor sapi bakalan, akan melemahkan usaha peternakan rakyat secara perlahan (Yusdja dan Ilham, 2004).

Kompetisi antara sapi lokal dengan produk impor berupa sapi maupun daging akan terus terjadi. Perbedaan karakteristik antara sapi potong lokal dan impor tentunya akan mempengaruhi daya saing dari kedua jenis sapi tersebut. Menurut Daryanto (2010), daya saing peternakan mencerminkan upaya negara dan bangsa untuk tetap memanfaatkan secara maksimal kompetensi sumber daya peternakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pemanfaatan sumber daya peternakan sapi potong lokal secara optimum akan meningkatkan daya saing industri peternakan sapi potong di Indonesia.

Tingginya ketergantungan impor terhadap ketersediaan daging sapi di Indonesia akan mempengaruhi produksi daging sapi lokal karena melemahnya daya saing terhadap produk sapi impor. Regulasi tentang pemberdayaan ternak


(29)

lokal sangat diperlukan untuk membuat sapi lokal mencapai performa sebenarnya. Penyebaran sapi potong lokal yang tidak merata menyebabkan daya saing dari industri sapi potong lokal dari masing-masing daerah akan berbeda. Dengan mengetahui secara empirik perkembangan daya saing dari industri peternakan sapi potong lokal khususnya industri penggemukan sapi potong lokal pada masing-masing daerah, akan dapat ditentukan kondisi daya saing terbaik yang dapat ditingkatkan untuk meningkatkan daya saing industri penggemukan sapi potong lokal secara agregat. Kondisi ini diharapkan akan dapat mengetahui apakah swasembada daging di Indonesia dapat tercapai pada waktu yang telah ditentukan. Penelitian ini juga akan memudahkan pengambil keputusan untuk merancang dan menetapkan suatu peraturan yang sesuai dan dibutuhkan oleh industri sapi potong lokal di Indonesia.

Berdasarkan rumusan permasalahan tersebut, maka permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah;

1. Bagaimana kondisi perkembangan profitabilitas, produktivitas, dan pertumbuhan output dari industri penggemukan sapi potong lokal di Indonesia?

2. Bagaimana kondisi daya saing industri penggemukan sapi potong lokal di Indonesia dalam mewujudkan swasembada daging?

I.3. Tujuan Penelitian

Sehubungan dengan perumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah:

1. Menganalisis perkembangan profitabilitas, efisiensi, dan pertumbuhan output dari industri penggemukan sapi potong lokal secara empirik di Indonesia

2. Menganalisis perkembangan daya saing industri penggemukan sapi potong lokal di Indonesia untuk dapat dioptimalkan dalam mewujudkan program swasembada daging.


(30)

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai kemampuan atau daya saing sapi lokal di pasar domestik. Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan juga dapat memberikan informasi mengenai perkembangan daya saing industri penggemukan sapi potong lokal di Indonesia. Informasi tersebut dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan bagi pengambil keputusan dalam merumuskan kebijakan yang lebih tepat yang berkaitan dengan perdagangan dan pengembangan populasi sapi potong lokal di Indonesia dalam rangka mensukseskan program swasembada daging 2014.

I.5. Ruang Lingkup Penelitian

Mengacu pada perumusan masalah dan tujuan penelitian, maka penelitian ini memiliki ruang lingkup;

1. Indikator daya saing yang akan diteliti yaitu indeks profitabilitas, efisiensi, dan pertumbuhan output dari industri penggemukan peternakan sapi potong lokal di Indonesia.

2. Industri penggemukan sapi potong merupakan suatu kegiatan atau usaha pengolahan input berupa sapi bakalan menjadi output yang memiliki nilai guna dan nilai tambah berupa sapi potong yang siap untuk dipasarkan. 3. Sapi potong lokal terdiri dari sapi Bali, sapi Madura, sapi Peranakan

Ongol, Sapi Aceh, dan sapi persilangan yang telah didomestikasi di Indonesia.

4. Industri sapi potong yang akan dianalisis dalam penelitian ini adalah industri penggemukan sapi potong lokal yang terdapat di Indonesia. 5. Daya saing industri penggemukan sapi potong lokal di Indonesia

merupakan analisis daya saing dari industri penggemukan sapi potong lokal dari masing-masing daerah dan diagregasikan kepada daya saing nasional berdasarkan daerah pengembangan sapi lokal.

6. Daerah pengembangan sapi potong lokal merupakan daerah yang telah ditetapkan oleh pemerintah untuk dikembangkan industri sapi potong lokal untuk mencapai tujuan swasembada daging.


(31)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Daya Saing

Daya saing merupakan kemampuan suatu sektor, industri, atau perusahaan untuk bersaing dengan sukses mencapai suatu pertumbuhan yang berkelanjutan di dalam lingkungan global selama biaya imbangannya lebih rendah dari penerimaan sumber daya yang digunakan (Daryanto, 2009). Menurut World Economic Forum (WEF) tahun 2009, Indonesia menghadapi persoalan-persoalan yang sangat penting untuk ditangani dalam rangka peningkatan daya saing nasional. Persoalan tersebut antara lain adalah (a) kualitas birokrasi yang tidak efisien, (b) ketersediaan infrastruktur yang tidak memadai, (c) kebijakan pemerintah yang tidak konsisten, (d) tingginya tingkat korupsi, dan (e) kesulitan dalam akses permodalan atau pembiayaan.

Definisi lain diungkapkan oleh Van Duren et aldalam Aguiar dan Andrea (2002), yaitu sebagai kemampuan pertambahan keuntungan dan menjaga pangsa pasar pada pasar domestik atau internasional, dan berdasarkan kepada tiga pendekatan studi competitiveness. Ketiga pendekatan tersebut antara lain adalah ekonomi neoklasik yang menyimpulkan daya saing sebagai perubahan pangsa pasar, pendekatan organisasi industrial yang menggambarkan peningkatan daya saing melalui persaingan sedangkan penurunan daya saing melalui penggunaan koperasi, dan pendekatan manajemen strategi yang menggunakan faktor yang menggerakkan atau mengganggu daya saing dari industri dalam arti dinamik. Perbedaan dalam mendefinisikan daya saing dapat mempengaruhi cara pandang sehingga mempengaruhi penggunaan indikator dalam menganalisis daya saing itu sendiri.

Pengukuran daya saing harus menggunakan patokan yang jelas, karena merupakan konsep yang relatif, baik untuk mengukur daya saing internasional maupun domestik. Laturffe (2010) mengatakan bahwa banyak penelitian yang menganalisis daya saing hanya dengan menggunakan satu ukuran (seperti indeks ekspor, biaya produksi, atau pertumbuhan produktivitas saja) meskipun telah terdapat bukti bahwa daya saing dapat berbeda sesuai dengan komponen yang diukur.


(32)

Daya saing secara internasional dapat diukur dalam bentuk komparasi daya saing antar produk-produk ekspor seperti yang digunakan dalam penelitian Hadi dan Mardianto (2004). Penelitian tersebut mengukur daya saing dengan menggunakan pertumbuhan standar, efek komposisi produk, efek distribusi pasar, dan efek daya saing. Parameter pertumbuhan standar menurut penelitian tersebut mengindikasikan pertumbuhan ekspor produk negara-negara dunia ke kawasan ASEAN. Parameter ini mencerminkan kinerja ekspor dari negara atau kelompok negara pesaing terhadap Indonesia atau negara ASEAN lainnya. Efek distribusi pasar digunakan untuk menggambarkan perhatian yang akan diberikan suatu negara terhadap eksportir terbesar, sedangkan efek daya saing digunakan untuk mengetahui kenaikan atau penurunan pangsa pasar ekspor Indonesia secara relatif terhadap standar setelah diperhitungkan perubahan komposisi produk dan distribusi pasar.

Hadi dan Mardianto (2004) mengasumsikan bahwa efek daya saing hanya dapat terjadi selama periode analisis sebagai respon terhadap perubahan harga relatif pada pasar ASEAN. Efek distribusi pasar menurut penelitian tersebut hanya cocok untuk melihat penjualan pasar. Penggunaan parameter pertumbuhan output standar akan memberikan gambaran mengenai aktifitas operasional termasuk didalamnya perubahan stok atau ketersediaan produk, produksi modal, dan gambaran output riil dalam suatu periode tertentu.

Daya saing internasional juga dapat diketahui dengan menggunakan permintaan suatu produk dengan menganalisis faktor yang mempengaruhinya baik faktor internal maupun faktor eksternal. Penelitian dengan menggunakan pendekatan ini salah satunya dilakukan oleh Kagochi (2007) yang menyatakan bahwa indikator utama yang sangat mempengaruhi permintaan dari produk gandum US menurut penelitian tersebut adalah harga dan kualitas, sedangkan faktor peningkatan investasi yang berkelanjutan pada sisi produksi akan memberikan dampak meningkatnya daya saing karena menurunkan biaya produksi dan strategi pemasaran yang tepat. Harga yang lebih rendah dan peningkatan kualitas membuat produk gandum US lebih kompetitif dibandingkan produk lainnya. Permintaan juga mempengaruhi daya saing kakao asal Indonesia di pasar internasional, berkaitan dengan mutu atau kualitasnya. Mutu kakao asal


(33)

Indonesia yang rendah mengakibatkan permintaan dunia akan kakao asal Indonesia menjadi rendah, sahingga daya saing industri untuk kakao asal Indonesia akan rendah di mata internasional (Widodo, 2000).

Berkaitan dengan permintaan konsumen, daya saing dapat diketahui dengan melihat perkembangan permintaan produk di pasar oleh konsumen. Seperti yang dilakukan oleh Sudiyarto dan Hanani (2005), ketika konsumen lebih memilih atau berminat terhadap suatu produk dibandingkan dengan produk lainnya, maka ini dapat menggambarkan daya saing produk tersebut di pasar.

Jika permintaan suatu produk tinggi, maka dikatakan bahwa produk tersebut memiliki keunggulan bersaing terhadap produk sejenis lainnya. Menurut penelitian ini, daya saing tidak dapat dinyatakan tinggi hanya ketika suatu produk memiliki harga yang tinggi ataupun memiliki keunggulan ekonomi. Hal ini disebabkan karena ketika produk sampai dipasar, permintaan konsumen atau pemilihan dalam pembelian produk akan menunjukkan apakah produk tersebut berdaya saing tinggi, sehingga harga yang mahal dapat dikatakan berdaya saing ketika konsumen memberikan sikap positif dalam mengkonsumsi produk tersebut, begitu juga sebaliknya.

Daya saing dapat digunakan untuk melihat apakah suatu produk yang dihasilkan dan dipasarkan oleh suatu perusahaan/industri baik secara nasional maupun internasional memiliki peluang untuk bertahan terhadap persaingan terhadap produk lain, baik produk yang sama yang berasal dari perusahaan atau negara lain, maupun produk substitusi dan komplementer dari produk tersebut. Indikator lain yang menjelaskan daya saing adalah indikator performance. Indikator performance dapat diukur dengan menggunakan beberpa variabel, diantaranya yang banyak digunakan untuk menjelaskan daya saing adalah produktivitas, profitabilitas, dan growth (Perdana, 2003; Malian, Banny, dan Adimesra, 2004; Fischer dan Schornberg , 2007; Laturffe, 2010). Kelebihan pendekatan daya saing dengan indikator performa adalah kemungkinan untuk mempertimbangkan dua strategi bisnis, yaitu; (1) strategi pemasaran dengan produktivitas tinggi namun memiliki profitabilitas per unit yang rendah, dan (2) strategi “kualitas tinggi” dengan margin profit per unit yang tinggi dengan hasil produktivitas relatif lebih rendah.


(34)

2.2. Hubungan Antara Daya Saing dan Profitabilitas

Profitabilitas merupakan salah satu indikator untuk menilai efektifitas dari suatu industri atau produk yang menunjukkan tujuan utama atau objektif yang akan dicapai. Untuk menentukan daya saing dari suatu perusahaan/ industri/ negara dapat digunakan profitabilitas sebagai indikator untuk menggambarkan efektifitas. Menurut Purnama dan Setiawan (2003), profitabilitas dapat menggambarkan kinerja dari suatu perusahaan atau industri yang berkorelasi dengan kompetensi pemasarannya. Ketika kinerja perusahaan tinggi, maka profitabilitas perusahaan akan ikut meningkat sehingga tingkat kompetensi perusahaan pada pasar juga ikut meningkat.

Desianti (2002) dalam penelitiannya juga menyatakan bahwa profitabilitas merupakan variabel penting dalam mengetahui daya saing suatu komoditas. Seperti pada komoditas kopi robusta, dimana profitabilitas mempengaruhi tingkat daya saing komoditas tersebut di pasar. Nilai profitabilitas yang tinggi menurut Desianti (2002) menandakan bahwa kopi robusta dapat membiayai dan memproduksi biji kopi secara efisien dan secara finansial memiliki daya saing di pasar domestik dan internasional.

Berdasarkan Fischer dan Schornberg (2007) serta Notta dan Vlachvei (2011), profitabilitas merupakan variabel kunci untuk mengetahui daya saing sektor yang akan menggambarkan kinerja komparatif dari industri. Pangsa pasar atau market share merupakan salah satu indikator yang dapat menentukan daya saing. Pangsa pasar dapat didefinisikan sebagai proporsi (persentase) dari total pasar output yang tersedia (atau segmen) atau output atau penjualan yang dihasilkan atau dijual oleh suatu perusahaan/ industri. Fischer dan Schornberg (2007) serta Notta dan Vlachvei (2011) dalam penelitiannya menggunakan margin profit operasional bruto, yaitu perbandingan antara profit operasional bruto untuk menentukan profitabilitas. Menurut penelitian tersebut, nilai profitabilitas yang tinggi akan meningkatkan daya saing dari suatu industri.


(35)

2.3. Hubungan Antara Produktivitas dan Daya Saing

Produktivitas merupakan komponen yang turut menentukan dan menjadi syarat utama dalam keberhasilan suatu perusahaan. Produktivitas menunjukkan tingkat kualitas perusahaan dalam menghadapi era persaingan sehingga perusahaan dapat mencapai tujuan yang ditentukan. Porter dalam Ketels (2006) menyatakan bahwa produktivitas merupakan akar penentu tingkat daya saing baik pada level individu, perusahaan, industri, maupun nasional. Produktivitas merupakan standar hidup dan sumber pendapatan individual maupun per kapita, sedangkan daya saing pada dasarnya merupakan kemampuan untuk menciptakan suatu tingkat kemakmuran. Dari penjelasan tersebut dapat dikatakan bahwa terdapat hubungan yang sejalan antara tingkat produktivitas dengan tingkat daya saing. Penjelasan ini didukung oleh Laturffe (2010) yang menyatakan bahwa produktivitas yang menunjukkan tingkat efisiensi dapat dijadikan salah satu ukuran utama untuk daya saing. Efisiensi juga dapat mengungkapkan potensi kompetitif yang dimiliki oleh perusahaan atau industri di masa yang akan datang.

Kurniawan (2008) dalam penelitiannya mendukung pernyataan di atas dengan menyatakan bahwa nilai efisiensi berbanding lurus dengan tingkat daya saing. Dalam penelitiannya, Kurniawan (2008) menjelaskan bahwa ketika suatu komoditas (dalam hal ini adalah jagung) mengalami kenaikan nilai efisiensi maka daya saing komoditas tersebut akan ikut meningkat. Dari keterangan di atas maka dapat disimpulkan bahwa produktivitas memiliki dampak yang positif terhadap daya saing.

Secara definisi, produktivitas merupakan ukuran output yang dapat dihasilkan dengan menggunakan sejumlah input tertentu. Dalam beberapa penelitian, nilai produktivitas dihitung dengan menggunakan persentase pertumbuhan tahunan dari populasi, pemotongan, dan produksi daging secara time series (Haeruddin, 2004; Rouf, 2010) sedangkan pada penelitian lain nilai produktivitas dapat diketahui dengan membandingkan nilai tambah per tenaga kerja. Nilai tambah dapat ditentukan dengan mengetahui nilai pembelian dan penjualan dari perusahaan. Untuk mengetahui nilai tambah dari industri, digunakan rasio penjualan dan pembelian dari perusahaan-perusahaan sejenis (Susanty, 2000; Fischer dan Schornberg, 2007).


(36)

2.4. Hubungan Antara Pertumbuhan Output dan Daya Saing

Pertumbuhan merupakan aspek dinamis dari daya saing yang digunakan oleh Fischer dan Schornberg (2007). Pertumbuhan output menjelaskan proses daya saing dari perusahaan/ industri. Untuk mengukur nilai tambah, penelitian Fischer dan Schornberg (2007) menggunakan pertumbuhan nilai produksi, dengan alasan bahwa nilai produksi terdiri dari total aktivitas operasional termasuk perubahan stok dan produksi yang akan merefleksikan output riil per periode.

Pertumbuhan produksi menurut Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bali (2012) sangat menentukan daya saing. Pertumbuhan produksi industri yang rendah disamping ketatnya persaingan pasar nasional maupun internasional, tidak mampu memberikan hasil produksi yang memiliki daya saing yang tinggi di pasar yang akan berdampak pada sulitnya pengusaha industri baik industri kecil maupun industri menengah untuk dapat berkembang.

2.5. Industri Peternakan Sapi Potong di Indonesia

Industri peternakan sapi potong dapat diartikan sebagai kegiatan bisnis yang rantai kegiatannya tidak terbatas pada kegiatan budidaya saja, namun sampai kegiatan industri berikut beserta kegiatan pendukungnya.

Perkembangan Kebijakan Peternakan Sapi Potong

Usaha pengembangan terhadap sapi potong di Indonesia menurut Arifin (2010) telah dimulai sejak tahun 1970-an meskipun hasil yang diperoleh tidak begitu menggembirakan. Sebelum tahun 1974, pemerintah pernah meluncurkan program Bantuan Presiden (Banpres) sapi potong, Crash Program Sapi Potong Impor, maupun Proyek Kredit Pedesaan yang tujuannya adalah untuk meningkatkan produksi ternak potong untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Pada tahun 1974/1975 hingga 1980/1981, pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan pengembangan sapi potong dalam bentuk program Panca Usaha Ternak (PUTP). Berbeda dengan pernyataan Arifin (2010), Rahmanto (2004) menyatakan bahwa pemerintah Indonesia melakukan kebijakan pengembangan ternak sapi potong sejak awal periode 1990-an untuk memenuhi kebutuhan daging sapi yang terus meningkat. Kebijakan tersebut melalui dua pola pengusahaan, yaitu pola


(37)

pengusahaan yang dilakukan oleh peternakan rakyat, dan pola pengusahaan yang melibatkan perusahaan-perusahaan besar swasta (feedlot).

Pada tahun anggaran 2002 pemerintah telah merencanakan upaya pengembangan ternak sapi potong melalui kegiatan Program Pengembangan Kawasan Agribisnis Berbasis Peternakan, dan kegiatan tersebut diaplikasikan pada berbagai bentuk kegiatan pengembangan ternak potong. Pengembangan Kawasan Agribisnis Berbasis Peternakan pada dasarnya merupakan suatu model atau pola pengembangan wilayah atau daerah yang diarahkan pada keterpaduan usaha tani antara peternak dan tanaman pangan, perkebunan, dan perikanan (kawasan peternakan terpadu) dan kawasan peternakan khusus yang memiliki kegiatan utama usaha peternakan sapi seperti lahan umum, ranch, dan kawasan khusus peternak (KUNAK). Pengembangan dan pelaksanaannya dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan sehingga mengarah kepada wilayah atau daerah yang berkembang mandiri dan memiliki nilai ekonomis (Ditjennak, 2002).

Dalam rangka upaya pengembangan ternak sapi potong, pada tahun 2003 upaya pengembangan ternak tersebut menyebar di 29 provinsi. Pada awalnya upaya ini dilakukan melalui proyek pengembangan sapi potong sistem “Sumba Kontrak”. Program tersebut cukup berhasil dalam memicu kinerja peternak rakyat. Program tersebut kemudian diikuti oleh program-program susulan seperti Proyek Panca Usaha Ternak Potong (PUTP) dan terakhir adalah Program Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) yang meliputi Program Peningkatan Rakyat Terpadu (P2RT).

Program lainnya yang bertujuan untuk pengembangan ternak potong adalah Program Pengembangan Kawasan Agribisnis Peternakan yang didalamnya terdapat Sistem Integrasi Padi-Ternak (SIPT). Kebijakan terakhir yang dikeluarkan pemerintah untuk peternakan sapi potong adalah kebijakan swasembada daging oleh pemerintah yang konsep dasarnya adalah optimalisasi penggunaan sumber daya lokal untuk memenuhi kebutuhan daging sapi dalam negeri.


(38)

Usaha Peternakan Sapi Potong

Peternakan sapi potong di Indonesia terdiri dari peternak besar dan peternak rakyat. Peternak besar atau peternak komersial (yang memelihara >1.000 ekor/peternak per tahun) terdiri atas peternak penggemukan (feeder) dan peternak pembibitan (breeder). Para peternak penggemukan umumnya mendapatkan ternak sapi bakalan melalui impor berupa sapi jantan/betina Brahman cross dan hanya sedikit peternak komersial tersebut yang menggunakan sapi bakalan dalam negeri, terutama karena alasan nilai ekonomis yang rendah. Dari pengalaman pada peternakan penggemukan inilah, akhirnya berkembang peternakan sumber bibit atau bakalan (Talib, Inounu, dan Bamualim, 2007).

Indonesia masih belum memiliki peternakan breeder murni. Di Indonesia, peternak komersial yang memanfaatkan sapi-sapi betina produktif ex-impor untuk menghasilkan keturunan. Sapi-sapi betina tersebut diseleksi dengan seksama akan sifat-sifat reproduksinya, kemudian diinseminasi dan dijual sebagai ternak betina bunting. Sapi-sapi betina tersebut diminati oleh banyak pemerintah daerah untuk dikembangkan dan digunakan untuk menambah populasi sapi potong di wilayahnya masing-masing. Pasar kedua produk tersebut, baik sapi penggemukan maupun sapi bunting adalah pasar yang sangat prospektif (Talib, Inounu, dan Bamualim, 2007).

Peternak rakyat atau peternak tradisional menurut Talib, Inounu, dan Bamualim (2007) juga mempunyai peran yang hampir sama, tetapi dalam skala usaha yang sangat berbeda. Peternak penggemukan lebih dikenal sebagai peternak sapi kereman karena waktu yang dibutuhkan untuk mencapai bobot potong cukup lama yaitu lebih dari 6 bulan. Sementara itu peternak penghasil sapi bakalan lebih tepat disebut sebagai peternak budidaya karena praktek seleksi untuk peningkatan produktivitas belum ada dan memang tidak tepat untuk dilaksanakan karena skala pemilikan yang kecil (1–5 ekor/peternak). Menurut Yusdja dan Ilham (2006), sebagian besar ternak sapi lokal di Indonesia dipelihara secara tradisional dalam bentuk usaha rakyat.


(39)

Pembibitan dan Pakan Ternak Sapi Potong

Pembibitan sapi potong dapat dilakukan secara alami maupun dengan menggunakan teknologi atau buatan. Menurut Rahmanto (2004), pembibitan yang dilakukan oleh peternak-peternak kecil umumnya bertujuan untuk tabungan. Teknik kawin suntik (inseminasi buatan-IB) yang dilakukan biasanya berhasil dengan frekuensi 2-4 kali penyuntikan dengan biaya persuntik adalah Rp 30.000. Sapi bakalan jantan biasanya dipelihara selama 1,5 hingga 2 tahun untuk siap dijual. Sebagian besar bibit sapi potong lokal betina dijual dari umur 4 bulan hingga 2 tahun, bergantng kepada kebutuhan peternak. Di daerah Magetan, ternak diberikan pakan hijauan berupa jerami padi, jerami jagung, dan rumput serta pakan konsentrat seperti katul, ubi kayu, dan garam. Selama masa pemeliharaan (720 hari), sapi bakalan menghabiskan 1800 Kg pakan dengan harga rata-rata untuk daerah tersebut adalah Rp 1500/kg.

Berikutnya dijelaskan oleh Rahmanto (2004), usaha penggemukan sapi potong di wilayah Magetan umumnya dilakukan dengan memelihara 1-2 ekor sapi bakalan. Pemeliharaan dalam sistem penggemukan ini lebih bersifat komersil dibandingkan dengan sapi bakalan atau bibit. Dalam 1 periode penggemukan atau sekitar 6 bulan, satu ekor sapi dapat menghabiskan 73 Kg hijauan dan 800 kg pakan konsentrat.

Apabila dibandingkan dengan sapi impor atau jenis sapi limousin (di daerah yang sama dan peternakan yang sama) satu ekor sapi dapat menghabiskan 220 Kg pakan hijauan dan 2384 kg pakan konsentrat selama 12 bulan, atau setara dengan 110Kg pakan hijauan dan 1192kg pakan konsentrat selama 6 bulan. Menurut Yusdja et al (2001), untuk daerah Nusa Tenggara Barat, Jawa Timur, dan Sumatera Utara, akan menunjukkan bahwa usaha sapi kreman akan mengalami kerugian jika seluruh biaya usaha tani diperhitungkan dalam analisis, kecuali untuk daerah Jawa Timur pada skala usaha 6 ekor/ peternak.

Peternakan semi intensif yang banyak dikembangkan di daerah Garut, menurut Permana (2002) kebanyakan menggunakan jerami padi dan ampas tahu sebagai pakan utama. Pakan tersebut banyak digunakan dengan alasan merupakan sumber daya lokal atau potensi daerah setempat. Sebagian besar peternak di daerah tersebut (96,43 persen ) menggunakan jerami padi dan ampas tahu sebagai


(40)

pakan ternak, dan hanya 3,57 persen yang menggunakan konsentrat secara rutin. Perbedaan dalam pemberian pakan selain akan mempengaruhi kualitas sapi potong yang dihasilkan, juga akan mempengaruhi tingkat harga jual dan pendapatan peternak.

Produksi Sapi Potong di Indonesia

Produksi sapi potong menurut Kariyasa (2004), dipengaruhi oleh harga daging sapi dalam negeri, suku bunga, populasi ternak sapi, harga ternak sapi, dan harga pakan. Menurut penelitian tersebut, hanya peubah teknologi dan tingkat upah yang tidak mempengaruhi produksi daging sapi. Nilai produksi daging sangat responsif terhadap perubahan harga daging sapi dalam negeri dan harga ternak sapi. Sesuai dengan hukum permintaan yang menyebutkan bahwa ketika harga tinggi, maka suplai barang akan meningkat, maka ketika harga daging sapi tinggi, maka nilai produksi akan ikut meningkat, begitu juga sebaliknya yakni ketika harga daging sapi mengalami penurunan, maka produksi daging akan ikut turun.

Harga sapi akan mempengaruhi jumlah sapi yang dapat atau akan dipotong. Ketika harga sapi tinggi maka pembelian sapi potong akan cenderung rendah, sehingga jumlah pemotongan akan berkurang, yang akibatnya jumlah produksi daging sapi akan berkurang, begitu sebaliknya (Kariyasa, 2004). Menurut Taufik (2010), produksi dari peternakan sapi potong dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti penggunaan hijauan, lama pemeliharaan, dan jumlah ternak. Sebaliknya, faktor yang tidak berpengaruh nyata menurut penelitian ini adalah konsentrat, tenaga kerja, umur ternak, dan bobot awal ternak.

Kondisi Pasar Sapi Potong di Indonesia

Saat ini ketergantungan peternak terhadap jasa pengumpul dalam memasarkan ternaknya masih cukup tinggi meskipun telah tersedia pasar ternak dengan fasilitas yang cukup memadai. Beberapa faktor penyebabnya menurut Rahmanto (2004) serta Yusdja dan Ilham (2006) diantaranya adalah; pertama, tingkat skala usaha peternak yang relatif kecil sehingga pengeluaran biaya pemasaran seperti biaya angkut dalam pemasaran ternaknya menjadi tidak efisien


(41)

dibandingkan dengan menjualnya pada pedagang pengumpul yang pembelian dan pembayarannya dilakukan di kandang.

Kedua, peternak tidak memiliki pengetahuan yang cukup mengenai kondisi pasar. Kurangnya informasi pasar dapat menyebabkan peternak mengalami kerugian dari sisi harga maupun penipuan. Ketiga, transaksi didasarkan pada taksiran pembeli. Tidak adanya ketentuan dalam penetapan harga seperti bobot ternak maupun kondisi-kondisi lainnya akan melemahkan posisi tawar dari peternak, sehingga peternak akan mengalami kerugian apabila penjualan dilakukan atas dasar kebutuhan, bukan pada sistem bahwa ternak sapi tersebut telah mencapai umur jual. Keempat, banyaknya makelar yang berada di pasar yang berpotensi mengurangi penerimaan dari peternak.

Usaha peternakan sapi potong, baik secara langsung maupun tidak langsung berkompetisi dengan perusahaan besar yang melakukan kegiatan impor. Di Jawa Timur, menurut penelitian yang dilakukan Rahmanto (2004), impor sapi hidup berpengaruh positif terhadap pengeluaran ternak di daerah tersebut. Hal ini disebabkan karena sebagian besar ternak impor sapi terdiri dari sapi bibit dan sapi bakalan yang menyumbang terhadap jumlah populasi ternak. Perbandigannya adalah bahwa setiap 1 ton berat hidup sapi impor (setara dengan 3-4 ekor sapi hidup) akan menyumbang peningkatan pengeluaran ternak dari Jawa Timur sebesar 0,976 ekor. Sebaliknya impor daging berpengaruh negatif terhadap pengeluaran ternak di Jawa Timur. Perbandingan pengaruh ini adalah tiap impor daging sapi sebesar 1 ton akan menurunkan jumlah pengeluaran ternak sebesar 3,7 ekor.

Keadaan tersebut akan sangat mempengaruhi pasar di daerah DKI Jakarta dan Jawa Barat yang merupakan daerah pemasaran utama ternak sapi potong. Pangsa pemasukan ternak sapi potong dikedua provinsi tersebut adalah pangsa terbesar di Indonesia, yaitu sebesar 31 persen dan 42 persen (Ilham et al, 2001). Menurut Yusdja et al (2001) 43 persen dari pengadaan daging sapi untuk kedua daerah tersebut berasal dari impor, sedangkan 57 persen lainnya berasal dari peternak domestik.

Pertukaran atau definisi pasar akan terjadi dengan adanya harga. Kondisi harga pada pasar dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berbeda. Menurut Rahmanto


(42)

(2004), harga penjualan sapi potong di Jawa Timur, khususnya Magetan, didasarkan pada volume bobot karkas setelah pemotongan, atau bukan berdasarkan pada berat hidup. Harga sapi potong di pasar internasional, dipengaruhi oleh nilai tukar mata uang suatu negara. Sebagai contoh, melemahnya nilai tukar rupiah terhadap US$ menyebabkan harga paritas impor menjadi lebih mahal.


(43)

III. KERANGKA PEMIKIRAN

3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Teori Daya Saing

Berdasarkan sejarahnya, konsep daya saing dalam perdagangan suatu komoditas atau produk antar negara telah berkembang pesat. Konsep pertama dimulai dari konsep keunggulan absolut dari Adam Smith yang menyatakan bahwa dua negara akan mendapatkan keuntungan dari perdagangan apabila karena faktor-faktor alamiah masing-masing negara dapat mengadakan suatu produk yang lebih murah dibandingkan dengan memproduksinya sendiri. Menurut konsep ini, setiap negara sebaiknya mengkhususkan diri untuk memproduksi produk yang paling efisien yaitu produk yang biaya produksinya paling rendah (Asheghian dan Ebrahimi, 1990) .

Perkembangan konsep berikutnya merupakan konsep keunggulan komparatif yang berasal dari David Richardo. Dalam konsep ini disebutkan bahwa apabila suatu negara dapat memproduksi masing-masing dari dua produk dengan lebih efisien dibandingkan negara lainnya, dan dapat memproduksi satu dari dua produk tersebut dengan lebih efisien, maka sebaiknya negara tersebut mengkhususkan diri dan mengekspor produk yang secara komparatif lebih efisien, yaitu produk yang memiliki nilai absolut tertinggi. Sebaliknya, negara yang memiliki efisiensi yang lebih rendah sebaiknya mengkhususkan diri dan mengekspor komoditas yang secara komparatif lebih rendah inefisiensinya, yaitu komoditas yang paling rendah ketidakunggulannya (Asheghian dan Ebrahimi, 1990). Implikasi penting dari teori ini adalah bahwa sekalipun suatu negara tidak memiliki suatu keunggulan absolut dalam barang apapun, negara tersebut maupun negara-negara lainnya masih akan mendapatkan manfaat dari perdagangan internasional.

Teori penting mengenai daya saing berikutnya dikembangkan oleh Heckscher-Ohlin (HO) yang berpendapat bahwa faktor penentu utama keunggulan komparatif bagi masing-masing negara yang merupakan landasan dalam melakukan perdagangan adalah kelimpahan faktor secara relatif atau kepemilikan fator-faktor produksi yang berbeda antara satu negara dengan negara lain


(44)

(Salvatore, 1997). Atas dasar alasan ini maka model H-O disebut juga sebagai Teori Kepemilikan Faktor (Factor Endowment theory) atau Teori Proporsi Faktor (Factor Proportion Theory).

Teori Heckscher-Ohlin menyatakan bahwa negara akan mengekspor komoditi yang produksinya lebih banyak menyerap faktor produksi yang relatif melimpah dan murah di negara itu, dan dalam waktu bersamaan negara tersebut akan mengimpor komoditi yang produksinya memerlukan sumberdaya yang relatif langka dan mahal di negara tersebut (Salvatore, 1997). Teori ini menjelaskan bahwa kelimpahan faktor dan harga faktor tersebut secara relatif merupakan penyebab perbedaan harga relatif antara dua negara yang menjadi dasar terjadinya perdagangan.

Konsep selanjutnya merupakan penyempurnaan dari konsep keunggulan komparatif, yaitu konsep keunggulan kompetitif. Konsep keunggulan kompetitif yang dirancang oleh Porter pada tahun 1990 ini menyatakan bahwa daya saing suatu industri dari suatu bangsa atau negara tergantung pada keunggulan empat atribut yang dimilikinya. Konsep ini dikenal sebagai The Diamond of Porter, dimana artibut yang dimaksudkan terdiri dari (1) faktor kondisi; (2) kondisi permintaan; (3) industri terkait dan penunjang; dan (4) strategi, struktur, dan persaingan perusahaan. Keempat atribut tersebut secara bersama-sama akan mempengaruhi kemampuan bersaing suatu industri pada suatu negara apabila ditunjang oleh kebijakan pemerintah yang kondusif yang dapat mempercepat keunggulan dan koordinasi antar atribut tersebut. Menurut konsep teori diamond lokasi pusat kegiatan (national home base) suatu perusahaan akan menentukan daya saing perusahaan tersebut dalam kompetisi internasional. Secara rinci dijelaskan, dimana;

1. Faktor kondisi, adalah hal-hal yang berkaitan dengan faktor-faktor produksi yang dimiliki oleh suatu negara, antara lain: sumber daya alam (SDA), knowledge, modal, dan infrastruktur. Kekuatan sumber daya yang dimiliki suatu bangsa tidak seluruhnya merupakan anugerah alam (endowment), namun dapat diciptakan, dibangun atau dikembangkan. Insiatif politik, kemajuan teknologi dan perubahan sosial merupakan hal-hal yang menentukan kualitas faktor kondisi suatu negara.


(45)

2. Faktor Permintaan domestik, adalah hal-hal yang berkaitan dengan permintaan terhadap barang dan jasa yang dihasilkan suatu negara. Suatu negara dapat memiliki keunggulan daya saing di pasar atau industri tertentu apabila permintaan domestiknya jelas. Permintaan domestik itu sendiri dipengaruhi oleh tiga hal, yaitu: komposisi keinginan dan kebutuhan konsumen; jangkauan dan tingkat pertumbuhan pasar; dan mekanisme yang menyalurkan kebutuhan dan keinginan konsumen domestik ke pasar internasional.

3. Faktor-Faktor industri pendukung, yaitu ada tidaknya industri-industri pemasok bahan baku dan industri pendukung yang kompetitif dalam persaingan internasional. Industri pemasok yang kompetitif akan berperan penting terhadap pengembangan industri utama terutama untuk memperkuat inovasi dan upaya internasionalisasi. Industri pendukung merupakan industri yang secara bersama-sama dengan industri utama melaksanakan kegiatan bisnis tertentu.

4. Faktor strategi, struktur dan persaingan perusahaan, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan pola manajemen dan karakteristik persaingan usaha di suatu negara. Faktor-faktor tersebut akan berbeda-beda kondisi dan penerapannya di masing-masing negara. Hal ini akan menjadi keunggulan daya saing dan sebaliknya akan menjadi faktor kelemahan terhadap suatu perusahaan atau negara.

Wolff, Schmitt, dan Hochfeld (2007) mendefinisikan daya saing pada tiga tingkatan, yaitu pada level perusahaan, industri, dan level nasional/ negara. Pada level perusahaan, daya saing didefinisikan sebagai kemampuan perusahaan untuk menghasilkan barang dan jasa lebih efisien dan efektif dibandingkan dengan perusahaan lain (pesaing) yang sejenis. Daya saing ini juga mencakup kepada keberhasilan perusahaan untuk sukses dan berhasil di pasar internasional dengan sedikit pengaruh (intervensi) pemerintah, ataupun subsidi. Suatu perusahaan dianggap mempunyai daya saing jika mampu mempertahankan keuntungan serta dapat dipandang sebagai pesaing yang kuat jika perusahaan tersebut mampu meningkatkan pangsa pasar dan keuntungannya. Keunggulan kompetitif atau daya saing mikro juga dapat diartikan sebagai kemampuan perusahaan perusahaan


(46)

domestik untuk menjual produk-produknya dalam pasar global berdasarkan daya tarik relatif dari harga dan mutunya dibandingkan dengan pesaing asingnya.

Daya saing pada level industri merupakan kemampuan perusahaan-perusahaan nasional untuk berhasil atau sukses secara berkesinambungan dibanding dengan perusahaan-perusahaan dari luar (pesaing), tanpa adanya proteksi dan subsidi dari pemerintah. Mengukur daya saing pada tingkat industri mencakup profitabilitas dari keseluruhan perusahaan-perusahaan nasional yang ada dalam sektor industri yang bersangkutan, keseimbangan perdagangan industri, juga keseimbangan antara masuk dan keluar pada investasi asing langsung, serta ukuran langsung dari biaya dan kualitas yang dihasilkan pada level industri. Beberapa faktor yang sangat mempengaruhi daya saing diantaranya adalah teknologi yang digunakan dalam penggunaan input, diferensiasi produk, ekonomi produksi, dan faktor eksternal (Harrison dan Lynn, 1997; Kagochi, 2007). Di sisi lain, Russel dan Taylor (2005) menyatakan bahwa faktor terpenting dalam daya saing adalah produktivitas. Peningkatan produktivitas akan diikuti oleh peningkatan upah tanpa memproduksi inflasi, yang akan meningkatkan standar hidup. Peningkatan produktivitas juga memperlihatkan seberapa cepat ekonomi dapat memperluas kapasitas suplai barang.

Daya saing dari sisi industri atau perusahaan lebih intens ketika perusahaan secara relatif seimbang dalam ukuran-ukuran; sumber daya, produk, dan jasa yang telah distandarisasikan; perkembangan industri cenderung pelan (yang menyebabkan perusahaan mendapatkan keunggulan dengan mengorbankan perusahaan lain); atau eksponensial. Daya saing pada level industri atau perusahaan dapat diukur berdasarkan jumlah pemain utama dalam industri tersebut dan market shared dari industri yang memimpin. Industri yang memiliki daya saing tinggi merupakan industri yang memiliki hambatan pasar paling sedikit. Dalam suatu pasar global, hambatan pasar yang harus dihadapi oleh perusahaan merupakan orientasi operasional, seperti;

1. Economic of scale

Ketika volume produksi meningkat, biaya yang dikeluarkan menurun. Perusahaan yang baru masuk dalam pasar internasional biasanya memiliki


(47)

unit cost yang lebih tinggi, sehingga mereka tidak dapat memenuhi kpermintaan dalam jumlah besar.

2. Capital Invesment

Perusahaan yang memiliki investasi besar dalam fasilitas, perlengkapan, dan pelatihan bisa dianggap menjadi “player” pada beberapa industri. 3. Access to Supply and Distribution Channels

Perusahaan yang telah ada dalam suatu industri memiliki suplai tetap dan channel distribusi yang akan sulit untuk digantikan perusahaan baru. 4. Learning Curves

Kurangnya pengalaman dalam pasar global akan menjadi hambatan besar pada perusahaan untuk masuk dalam suatu industri internasional (Russel dan Taylor, 2005).

Pada level nasional atau negara, daya saing diartikan sebagai kemampuan warga negara untuk berhasil meraih keberhasilan yang lebih tinggi, dan juga mampu untuk meningkatkan taraf hidupnya. Taraf hidup dapat diukur melalui produktivitas masyarakat per tenaga kerja, atau dari sebaran modal yang dimiliki. Suatu negara dengan produktivitas masyarakat yang tinggi dapat menjadikan negara tersebut semakin berdaya saing. Efektif atau tidaknya suatu bangsa atau negara bersaing pada pasar global mempengaruhi keberhasilan ekonomi bangsa dan kualitas hidup warganya (Russel dan Taylor, 2005).

Dari penjelasan diatas disimpulkan bahwa daya saing adalah kemampuan dari suatu sumber baik perusahaan, industri ataupun negara dalam mempengaruhi pasar baik dalam bentuk suplai maupun permintaan pasar. Suatu perusahaan, industri atau negara dikatakan memiliki daya saing ketika mampu memenuhi kebutuhan pasar dengan mengoptimalkan sumber dayanya sendiri tanpa adanya intervensi dari luar. Konsep ini merupakan landasan teoritis daya saing yang digunakan dalam penelitian ini.

3.1.2. Ukuran Daya Saing

Pengertian dan definisi daya saing mengarah pada langkah-langkah yang digunakan sebagai indikator daya saing. Banyak langkah-langkah yang dapat digunakan untuk menganalisis daya saing bila dilihat dari definisinya.


(48)

Berdasarkan sejarahnya, teori pertama menggambarkan spesialisasi (SPECs) suatu negara sebagai sektor yang relevan terhadap daya daing (COMPs). Teori tersebut dapat dituangkan dalam bentuk persamaan:

COMPs = f(SPECs)

Teori daya saing sebagai spesialisai berkembang dari kebutuhan untuk membangun dan memanfaatkan keunggulan komparatif yang dihasilkan dari perbedaan teknologi dari teori Richardo, faktor endowment atau increasing return to scale. Richardo dalam teorinya menyatakan bahwa dengan berpindahnya sumber daya dari suatu sektor ke sektor lain, opportunity cost dari masing-masing unit tambahan akan meningkat. Biaya yang meningkat seperti ini muncul karena faktor produksi bervariasi dalam hal kualitas dan dalam kesesuaiannya untuk memproduksi komoditas yang berbeda. Dalam keadaan inilah teori Richardo dapat memperkirakan bahwa suatu negara akan melakukan spesialisasi hingga pada titik dimana perolehan dari spesialisasi menjadi sama dengan biaya spesialisasi meningkat.

Teori faktor endowments yang dikembangkan oleh Heckscher-Olin menyatakan bahwa setiap negara yang berbeda akan memilih metode produksi yang berbeda tergatung pada harga faktor di negara tersebut. H-O menyimpulkan bahwa pola produksi dan perdagangan dijelaskan dengan faktor endowmen atau harga faktor produksi yang berbeda. Pada dasarnya model H-O mengansumsikan constant return to scale yang menggambarkan jika produsen menggunakan dua kali lipat input, maka output yang dihasilkan harus dua kali lipat juga.

Apabila penggunaan input dua kali lipat dapat menghasilkan output lebih dari dua kali lipat, maka terdapat skala ekonomi (increasing return). Keberadaan skala ekonomi dapat menjelaskan bahwa suatu negara akan mendapatkan manfaat jika melakukan spesialisasi dalam produksi suatu jangkauan produk yang terbatas. Mengacu pada teori spesialisasi dari H-O, Krugaman dan Helpman secara terpisah mengembangkan model-model perdagangan dalam produk terdeferensiasi.

Pada prakteknya, akan sulit untuk menemukan tingkat optimum dari spesialisasi, disamping nilai pangkat yang terlalu tinggi dari spesialisasi akan memberikan konsekuensi negatif. Konsekuensi negatif tersebut dapat berupa resiko ekonomi akan meningkat karena spesialisasi berimplikasi terhadap


(49)

diferesifikasi. Salah satu contoh pendekatan yang menggunakan teori spesialisai adalah RCA (RevealedComparativeAdvantage).

Menurut Oginsky, Stiefelmeyer, dan Al Mussell (2011), gagasan dibalik RCA adalah bahwa daerah menunjukkan kemampuan yang lebih untuk mengkhususkan diri dalam memproduksi produk dengan biaya oportunitas yang lebih rendah dibandingkan pesaingnya. Hal ini dilakukan dengan dengan membandingkan pangsa pasar ekspor produk tertentu dari suatu wilayah dengan pangsa pasar pesaingnya, atau dunia. Pendekatan ini berasal dari gagasan keunggulan komparatif perdagangan; dalam artian bahwa wilayah yang memiliki spesialisasi produk tersebut, akan lebih memiliki daya saing. Kelemahan dari pendekatan ini adalah kurangnya penggunaan faktor-faktor utama yang dibutuhkan, selain itu juga dapat membuat suatu daerah terlihat lebih kompetitif dibandingkan daerah lainnya karena luasan ekonomi yang kecil atau nondifersifikasi, dan perbedaan format data dapat memberikan hasil yang sangat berbeda. Sehingga secara teknis indikasi RCA tidak dapat disamakan pada ukuran negara yang berbeda, karena nilai produksi, ekspor, dan impor tiap negara akan berbeda.

Secara konseptual, keunggulan komparatif tidak sama dengan keunggulan kompetitif. Keunggulan komparatif dari perekonomian mendeskripsikan posisi dari aktivitas ekonomi yang berbeda dalam hal biaya oportunitas yang relatif terhadap yang lainnya. Singkatnya, suatu negara dikatakan memiliki keunggulan komparatif pada suatu industri jika biaya produksi salah dari satu sektor tersebut lebih rendah dibandingkan sektor-sektor lainnya. Negara tesebut kemudian harus melakukan spesialisasi terhadap produk yang memiliki keunggulan komparatif tersebut, dan menukar produk ekspor yang tidak memiliki keunggulan komparatif dengan produk spesialisasi tersebut. Kenyataannya, terdapat kemungkinan banyak negara memiliki keunggulan komparatif yang sama pada produk yang sama.

Pendekatan berikutnya dalam menganalisis daya saing suatu sektor adalah dengan menggunakan indikator efisiensi (EFF) dan pertumbuhan (GRO). Pendekatan ini dapat dituliskan dalam persamaan sebagai berikut;


(50)

COMPs = f(EFFs, GROs)

Efisiensi ekonomi didefinisikan sebagai tingkat output yang dapat dihasilkan dari penggunaan input dalam suatu sistem. Efisiensi sering digunakan sebagai ukuran perfomance atau daya guna dari suatu sistem. Beberapa argumen mengatakan bahwa daya saing lebih dari sekedar efisiensi atau produktivitas (sebagai indikator yang dihitung).

Pada skala yang luas, produktivitas hampir memiliki persamaan dengan daya saing. World Economic Forum (WEF) mendefinisikan daya saing sebagai “suatu kumpulan institusi, peraturan, dan faktor-faktor yang menentukan tingkat produktivitas dari suatu negara”. Produktivitas secara esensial merefleksikan kemampuan suatu wilayah mengubah capital dan tenaga kerja menjadi suatu produk dan jasa yang nilainya ditambah dengan menggunakan faktor-faktor sepertu pendidikan, inovasi, dan partisipasi tenaga kerja. Meskipun produktivitas merupakan faktor penting dalam menentukan daya saing, akan sulit menjadi kompetitif jika hanya memiliki tingkat produktivitas tinggi namun tidak efisien. Hal itu mengarah pada penjelasan bahwa menjadi negara yang produktif dalam menghasilkan suatu produk tidak menjamin negara tersebut memiliki keunggulan kompetitif.

Pendekatan untuk menentukan produktivitas sangat banyak, namun umumnya relatif mengunakan input tetap seperti tenaga kerja atau modal. Langkah-langkah ini mengikuti pendekatan keunggulan absolut, yang akan menemukan bahwa daerah yang lebih produktif dalam memproduksi suatu produk dapat mengkhususkan diri dapat memproduksi produk tersebut, dan pasar melayani perdagangan produk tersebut (Oginskyy, Stiefelmeyer, dan Al Mussell, 2011).

Angka pertumbuhan atau growth rates sangat penting karena mampu memperlihatkan pertumbuhan dinamik dari aspek kunci daya saing. Hubungan ini diperjelas dengan pernyataan Scherer dan Ross (1990) yang menyebutkan bahwa peneliti menggunakan angka pertumbuhan industri, konsentrasi, dan hambatan masuk dalam menjelaskan daya saing dinamik. Berkenaan dengan teori, untuk memprediksi hubungan antara struktur industri, aksi dan reaksi daya saing, digunakan paradigma structure-conduct-performance.


(51)

Pertumbuhan merupakan salah satu variabel yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi suatu wilayah. Pertumbuhan dari output suatu sistem digunakan untuk menilai pertumbuhan kapasitas produksi yang dipengaruhi oleh adanya peningkatan tenaga kerja dan modal di wilayah tersebut. Pertumbuhan output per tenaga kerja sering digunakan sebagai indikator adanya perubahan daya saing wilayah tersebut (Bhinadi, 2003).

Literatur lain menggambarkan profitabilitas (PROs) dan market shares (MSs) sebagai indikator pembentuk daya saing. Fungsi dari kedua indikator ini dapat dituliskan dalam bentuk;

COMPs = f(PROs, MSs)

Pendekatan profitabilitas mengacu kepada teori keunggulan komparatif dimana keunggulan bersaing akan didapatkan apabila perusahaan atau industri dapat memperoleh keuntungan yang lebih besar dengan menggunakan jumlah dan jenis input yang sama pada produk yang sama. Oginskyy, Stiefelmeyer, dan Al Mussell (2011) yang menggambarkan ukuran alternatif daya saing sebagai profitabilitas produksi disuatu wilayah dengan wilayah lainnya, menyatakan bahwa pendekatan tersebut berasal dari gagasan absolute advantage dan pertumbuhan perdagangan. Dimana pendekatan ini memungkinkan profit mengarah pada spesialisasi dalam produksi, dan pasar untuk mengalokasikan produk.

Orbán dan Dékán (2009) mengatakan bahwa profitabilitas tidak dapat dipertimbangkan hanya dengan menggunakan definisi tunggal, karena berbagai pendekatan menegaskan profitabilitas sebagai inti dari pendapatan dengan cara yang berbeda. Profitabilitas dapat diinterpretasikan sebagai rasio yang mencerminkan angka dari jumah profit yang ditandai sebagai persentase ( persen ). Rasio dari nilai profitabilitas ini dapat digunakan untuk melihat kemampuan finansial dalam suatu bisnis. Rasio profitabilitas menurut Bringham dan Western (1990) adalah rasio yang mengukur tingkat efektivitas manajemen seperti ditunjukkan oleh laba yang dihasilkan dari penjualan dan dari pendapatan investasi.

Profitabilitas didefinisikan juga sebagai accounting profit atau economic profit. Accounting profit merupakan perbedaan antara pendapatan (revenues) dan


(1)

Kariyasa K. 2004. Analisis Penawaran dan Permintaan Daging Sapi di Indonesia Sebelum dan Saat Krisis Ekonomi: Suatu Analisis Proyeksi Swesembada Daging Sapi 2005. Jurnal SOCA, Vol. 4 No.3:283-293.

Ketels CHM. 2006. Michael Porter‟s Competitiveness Framework – Recent Learnings and New Research Priorities. Journal of Industry, Competition and Trade 6 No.2: 115-136.

Kotler P. 1997. Manajemen Pemasaran (Edisi Terjemahan) Jilid I, Jakarta: PT. Prehallindo.

Kurniawan AY. 2008. Analisis Efisiensi Ekonomi dan Daya Saing Usaha Tani Jagung Pada Lahan Kering di Kabupaten Tanah Laut Kalimantan Selatan [Tesis]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana IPB.

Laturffe, L. 2010. Competitiveness, Productivity, adn Efficiency in the

Agricultural and Agri-Food Sectors [OECD Food, Agriculture and Fisheries Working Papers]. OECD Publishing, No.30. <http://dx.doi:

10.1787/5km91nkdt6d6-en>

Malian A H, Benny R, Adimesra D. 2004. Permintaan Ekspor dan Daya Saing Panili di Provinsi Sulawesi Utara. Jurnal Agro Ekonomi, Vol.22 No.1:26-45. Natasasmita A, K Mudikdjo. 1985. Beternak Sapi Daging. Fakultas Peternakan.

Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Notta O, Vlachvei A. 2011. Competitiveness In Food And Beverage Manufacturing Industries. ICOAE:437-442.

Oginskyy A, Stiefelmeyer K, Al-Mussell. 2011. Competitiveness: Demystifying concepts, with application to the agri-food sector. Gorge Morris Centre. http://www.georgemorris.org/publications/file.aspx?id=752fa978-64cb-4190-ba98-317d6abcf891 [11 Desember 2012] .

Orbán I, Dékán T. 2009. Definition Questions (Profit – Profitability). 4th Aspect and Visions of Applied Economics and Informatics: 671-674.

Perdana T. 2003. Competitiveness and Compartive Advantage of Beef Cattle Faatening in Bandung Regency. Bandung: Padjadjaran University.

http://www.stanford.edu/group/FRI/indonesia/research/beef.pdf [30 Oktober 2011].

Permana R. 2002. Karakteristik Sistem Produksi dan Produk Sapi Potong di Peternakan Rakyat Desa Kandang Mukti Kabupaten Garut [Tesis]. : Sekolah Pasca Sarjana IPB.


(2)

Purnama N, Setiawan H. 2003. Analisis Pengaruh Sumber-Sumber Keunggulan Bersaing Bidang Pemasaran Terhadap Kinerja Perusahaan Manufaktur di Indonesia. Jurnal Siasat Bisnis No.8(2): 105-130.

Rahmanto, B. 2004. Analisis Usaha Peternakan Sapi Potong Rakyat. ICASERD Working Paper No. 59. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian. Rouf AA. 2010. Petensi Limbah Pertanian Sebagai Pakan Provinsi Gorontalo.

Naskah Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2010.

http://peternakan.litbang.deptan.go.id/fullteks/semnas/pro10-36.pdf. ( 15 April 2012)

Russel RS, Taylor BW. 2005. Operations Management: Quality and

Competitiveness in a Global Market (fifth edition). USA: Library of Congress Cataloging-in-Publication Data.

Salvatore D. 1997. Ekonomi Internasional (Edisi kelima). Jakarta:Erlangga. Scherer FM, Ross D. 1990. Industrial Market Structure And Economic

Performance (3rd Edition).Houhgton Mifflin. Boston.

Stanton, Emms, Sia. 2010. Competitive Industry Report on the Indonesian Cattle and Goats Sectors: Opportunities for Canadian Animal Genetics. Canada: Agriculture and Agri-food Canada.

Subagyo I. 2009. Potret Komoditas Daging Sapi. Economic Review no.217:1-8. Sudiyarto, Hanani N. 2005. Analisis Daya Saing Buah Jeruk Lokal Terhadap

Buah Jeruk Impor Melalui Sikap Konsumen Terhadap Atribut Produk [Naskah Seminar Holtikultura]. Malang: Universitas Brawijaya.

Susanti SL. 2000. Strategi Peningkatan Produktivitas Berdasarkan Analisis Nilai Tambah Pabrik Minyak Goreng Sawit [Tesis]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana IPB.

Susilorini TE, Manik ES, Muharlien. 2008. Budidaya 22 Ternak Potensial. Di dalam: Surip Prayogo, Editor. Jakarta: Penebar Swadaya.

Talib C, I Inounu, A Bamualim. 2007. Restrukturisasi Peternakan Di Indonesia. Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian. Vol. 5 No. 1; 1-14

Taufik. 2010. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Sapi Potong Pada Peternakan Rakyat di Kecamatan Kuranji Kota Padang [Skripsi]. Padang: Universitas Andalas.


(3)

Wariyanto A. 1986. Macam-Macam Sapi Potong Unggul. Trubus No.205: 364-365.

World Economics Forum WEF. 2011. Global Competitiveness Report 2011-2012: a comparison of 142 countries on 111 indicators of competitiveness

representing twelve „pillars of competitiveness‟.

Widodo L. 2000. Analisis Daya Saing Kakao dan Kakao Olahan Indonesia [Tesis]. Jakarta: Universitas Indonesia.

Williamson G, WJA Payne. 1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis. Terjemahan: S. G. N. Djiwa Darmadja. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Winaya, A. 2010. Variasi genetik dan hubungan filogenetik populasi sapi lokal Indonesia berdasarkan penciri molekuler DNA mikrosatelit kromosom Y dan gen cytochrome b[Disertasi]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana, IPB.

Wolff F, Schmitt K, Hochfeld C. 2007. Competitiveness, innovation and sustainability – clarifying the concepts and their interrelations. Berlin : Institut fur angewandte Okologie.

Yusdja Y, Ilham N. 2002. Problem dan Prospek Pengembangan Usaha Pembibitan Sapi Potong di Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian 21(4): 148-158 _________. 2004. Tinjauan Kebijakan Pengembangan Agribisnis Sapi Potong.

Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian. Vol. 2 No 2: 183-203.

_________. 2006. Arah Kebijakan Pembangunan Peternakan Rakyat. Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian. Vol.4 No1: 18-38

Yusdja Y, H Malian, B Winarso, R Sayuti, A.SSubagyo. 2001. Analisis Kebijaksanaan Pengembangan Agribisnis Komoditas Unggulan Peternakan. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi. Yusdja Y, B Winarso. 2009.Kebijakan Pembangunan Sosial Ekonomi Menuju Sistem Peternakan Yang Diharapkan. Analisis Kebijakan Pertanian. Vol 7 No.3: 268-282.


(4)

(5)

Lampiran 1. Pertumbuhan Harga Jual Sapi Potong Lokal di Indonesia

Lampiran 2. Perkembangan nilai rata-rata pertumbuhan output dari industri penggemukan sapi potong lokal

-1,000,000.00 2,000,000.00 3,000,000.00 4,000,000.00 5,000,000.00 6,000,000.00 7,000,000.00 8,000,000.00 9,000,000.00

1996 1998 2000 2002 2004 2006 2008 2010

Sumatera Jawa Bali dan Nusa Tenggara Kalimantan&Sulawesi

(500.00) (400.00) (300.00) (200.00) (100.00) -100.00 200.00 300.00 N A D S um at er a Uta ra S um at er a B ar at R iau Jam bi S um a ter a S el a ta n Lam pun g Jaw a B ar at Jaw a T eng ah D I Y o g ya ka rta Jaw a T im ur B al i N. T . B ar at N .T . T im ur K al im an ta n B ar at K al im an ta n S el at an S ul a wes i T engah S ul aw es i S el at an S ul aw es i T eng g ar a G o ro nta lo

Gro 99-02 Gro 03-06 Gro 07-10


(6)

Lampiran 3. Indeks Daya Saing Industri Penggemukan Sapi Potong Lokal

Provinsi/Tahun Indeks 99-02 Indeks 03-06 Indeks 07-10

Aceh 29.20 29.17 30.32

Sumatera Utara n/a 29.46 26.79

Sumatera Barat 29.28 30.64 28.48

Riau n/a n/a 26.24

Jambi 26.66 27.61 27.83

Sumatera selatan 29.10 25.63 30.62

Lampung 29.23 25.42 28.09

Jawa Barat 24.56 29.46 38.26

Jawa Tengah 29.69 29.38 29.45

DI Yogyakarta 21.70 31.62 33.27

Jawa Timur 29.51 29.66 29.53

Bali 29.47 29.19 29.78

NTB 29.59 29.56 30.75

NTT 29.76 29.64 31.10

Kalimantan Barat 29.99 29.72 29.25

Kalimantan Selatan 29.58 29.02 25.36

Sulawesi Tengah 29.64 29.55 29.53

Sulawesi Selatan 29.43 29.34 29.52

Sulawesi Tenggara 29.71 29.39 38.72