1
1BAB I PENDAHULUAN BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Sejak abad ke-18, alat produksi didominasi oleh mesin. Dominasi mesin ini menimbulkan perubahan teknologi, sosial, ekonomi dan budaya.
Revolusi ini melahirkan industri dan kapitalisme modern dimana uang memegang peranan yang sangat penting. Hal ini memberikan dampak yang
besar bagi masyarakat, sosial dan lingkungan. Dampak positif dari revolusi ini telah meningkatkan mutu dan kualitas hidup masyarakat. Namun, disisi
lain industri juga melahirkan kaum buruh dan kerusakan-kerusakan lingkungan seperti polusi udara, limbah pabrik, eksploitasi alam yang
berlebihan dan lain sebagainya Purnasiwi, 2010. Dampak negatif yang ditimbulkan tersebut akibat dari tujuan
perusahaan yang semata-mata untuk mendapatkan laba yang setinggi- tingginya tanpa memperhatikan dampak yang muncul dari kegiatan usahanya.
Akuntansi konvensional yang memusatkan perhatiannya hanya terhadap kepentingan stakeholders dan bondholders menuai kritik dari masyarakat,
sebab dinilai belum mampu mengakomodir kepentingan masyarakat secara luas, sehingga perusahaan dituntut untuk meningkatkan perhatiannya kepada
lingkungan dan sosial.
2 Pada akhirnya hal tersebut melahirkan konsep akuntansi yang dikenal
sebagai Akuntansi
Pertanggungjawaban Sosial.
Akuntansi Pertanggungjawaban Sosial adalah ilmu Socio Economic Accounting SEA
yang merupakan bidang ilmu akuntansi yang berfungsi mengidentifikasi, mengukur, menilai, melaporkan aspek-aspek social benefit dan social cost
yang ditimbulkan oleh lembaga Harahap, 2002. Perusahaan diharapkan tidak hanya mementingkan kepentingan manajemen dan pemilik modal
investor dan kreditor saja, akan tetapi juga mementingkan tanggung jawabnya terhadap masyarakat dan lingkungan sosial. Tanggung jawab sosial
perusahaan terhadap masyarakat ini lebih dikenal dengan Corporate Social Responsibility CSR.
Definisi CSR menurut World Bisnis Council for Sustainable Development WBCD merupakan suatu komitmen berkelanjutan oleh dunia
usaha untuk bertindak etis dan memberikan kontribusi kepada pengembangan ekonomi dari komunitas setempat ataupun masyarakat luas, bersamaan
dengan peningkatan taraf hidup pekerjanya beserta seluruh keluarga. Dalam konteks global, istilah Corporate Social Responsibility CSR mulai
digunakan sejak tahun 1970an. Elkingston, 1998 mengemas CSR dalam tiga fokus 3P yaitu profit, planet dan people. Perusahaan yang baik tidak
hanya memburu keuntungan ekonomi profit, tetapi juga memiliki kepedulian terhadap kelestarian lingkungan planet dan kesejahteraan
masyarakat people.
3 Kasus Lumpur Lapindo di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur pada tahun
2006 menjadi salah satu contoh perusahaan yang memberikan dampak negatif terhadap lingkungan. Hal ini dikarenakan PT Lapindo Brantas tidak
memenuhi standar operasional pengeboran yang dilakukan oleh perusahaan. Dalam program tertulis, dinding harus dipasang hingga kedalaman 8.500
kaki, namun pada kenyataannya hal tersebut tidak dikerjakan oleh perusahaan, bahkan pengeboran terus dilakukan hingga kedalaman 9,297
kaki. Akibat dari dinding yang tidak dipasang hingga kedalaman tersebut maka tekanan air dari dalam terus naik ke atas dan mencari celah yang
akhirnya menyembur
tidak jauh
dari sumur
pengeboran Suara Pembaruan, 2012
Kasus Lumpur Lapindo mengakibatkan kerugian yang dialami oleh berbagai pihak. Protes warga datang terhadap pengeboran minyak dan gas di
sejumlah daerah di Jawa timur karena warga mengalami ketakutan bencana Lumpur Lapindo akan terulang lagi. Akibatnya, banyak investor minyak dan
gas yang mengalami kerugian karena terpaksa menghentikan kegiatan eksplorasinya. Hal ini kemudian dapat berdampak terhadap terganggunya
iklim investasi di Jawa timur karena investor menjadi enggan untuk berinvestasi.
Permasalahan yang sama juga terjadi pada PT Caltex Pacific Indonesia CPI yang berlokasi di wilayah Provinsi Riau. Kegiatan
operasional dari PT Caltex Pacific Indonesia menimbulkan masalah pencemaran lingkungan yang menyebabkan terjadinya konflik dengan
4 masyarakat sekitar. Masyarakat menuntut kompensasi atas kerusakan
lingkungan yang diakibatkan oleh kegiatan eksploitasi lingkungan yang berlebihan. Tuntutan masyarakat tersebut sudah sampai ketingkat DPR pusat
yang terkait dampak negatif operasional perusahaan tersebut terhadap kondisi ekonomi, kesehatan dan lingkungan yang semakin memburuk Mulyadi,
2003. Menurut Anggraini 2006, saat ini kesadaran masyarakat akan peran
perusahaan terhadap lingkungan sosial semakin meningkat. Skandal bisnis seperti kasus Enron dan WoldCom pada tahun 2001 serta beberapa kerusakan
lingkungan yang terjadi seperti polusi, deplesi sumber daya, pencemaran lingkungan, hak dan status karawan membuat pertanggungjawaban sosial
perusahaan akan semakin disoroti. Perusahaan diharapkan menciptakan hubungan timbal balik yang saling sinergis antara perusahaan dengan
masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Harte dan Owen 1991 dalam
Kolk 2003 bahwa pelaporan non financial issues aspek sosial dan lingkungan mengalami peningkatan selama tahun 1998-2002. Masyarakat
membutuhkan informasi mengenai sejauh mana perusahaan telah melaksanakan aktivitas CSR dalam memenuhi hak-hak masyarakat luas.
Menurut Clarie 1991, alasan dari keputusan untuk menyediakan informasi yang berkaitan dengan aspek sosial dan lingkungan yaitu pertimbangan stock
market, menentramkan masyarakat dan pemerintah, mengubah persepsi, maupun mengurangi berbagai political costs.
5 Pelaporan non financial issues aspek sosial dan lingkungan juga
telah diatur dalam PSAK Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan No. 1 tahun 2004 tentang Penyajian Laporan Keuangan, bagian Tanggung
Jawab atas Laporan Keuangan paragraf 09, menyatakan bahwa perusahaan dapat pula menyajikan laporan tambahan seperti laporan mengenai
lingkungan hidup dan laporan nilai tambah value added statement, khususnya bagi industri dimana faktor-faktor lingkungan hidup memegang
peranan penting dan bagi industri yang menganggap pegawai sebagai kelompok pengguna laporan yang memegang peranan penting.
Dalam hal ini, PSAK No.1 2004 menginstruksikan kepada perusahaan khususnya perusahaan yang bergerak di industri yang berkaitan dengan
sumber daya alam, untuk menyajikan laporan tambahan mengenai pengungkapan tanggung jawab sosial CSR yang telah dilakukan oleh
perusahaan. Peraturan CSR yang sebelumnya bersifat sukarela menjadi wajib dengan terbitnya beberapa undang-undang dan peraturan pemerintah yaitu
Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Dalam Pasal 74 mengatur perseroan yang kegiatan usahanya dibidang dan atau berkaitan
dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Untuk melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan
tersebut, kegiatan tanggung jawab sosial dan lingkungan harus dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang dilaksanakan dengan
memperhatikan kepatutan dan kewajaran.
6 Peraturan lain yang menyinggung CSR adalah UU no. 25 tahun 2007
tentang Penanaman Modal. Dalam UU no. 25 tahun 2007 dinyatakan bahwa setiap penanam modal berkewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial
perusahaan. Dengan adanya peraturan perundang-undangan tersebut, CSR menjadi sebuah konsep penting untuk dilaksanakan serta dilaporkan oleh
perusahaan. Dilling 2010 berpendapat bahwa setiap catatan atas kegiatan CSR
Corporate Social Responsibility yang dilakukan, dibuat, dan dipublikasikan oleh perusahaan dalam bentuk laporan keberlanjutan sustainability
reporting. Laporan ini telah dikembangkan untuk mencapai keseragaman dalam penggungkapannya yang dikembangkan berdasarkan panduan yang
diterbitkan oleh Global Reporting Initiative GRI. Negara-negara di Eropa telah mewajibkan publikasi laporan ini berdasarkan standar. Laporan ini
berisi semua kegiatan yang menyangkut pertanggungjawaban sosial kepada para
stakeholder. Sustainability
Report merupakan
bentuk pertanggungjawaban yang didasarkan pada tiga aspek yaitu ekonomi,
lingkungan, dan sosial yang dikenal dengan triple bottom line Boyd, 2009. Carol dan Carlos 2007 berpendapat bahwa sustainability report
merupakan bagian dari komunikasi antara stakeholder dengan perusahaan sebagai penyedia informasi setiap aktivitas perusahaan yang digunakan
sebagai acuan dari persepsi dan harapan stakeholder terhadap perusahaan. Kegiatan CSR dalam sustainability report dipandang dapat membantu
perusahaan memperbaiki kinerja keuangan dan akses pada modal,
7 meningkatkan brand image dan penjualan, memelihara kualitas kekuatan
kerja, memperbaiki pembuatan keputusan pada isu-isu kritis, menangani resiko secara lebih efisien dan mengurangi cost jangka panjang. Namun
menurut Runhaar dan Lafferty 2009 dalam hal penerapannya, seringkali motif perusahaan hanya sebatas karena adanya tuntutan peraturan dan
menghindarkan pandangan yang buruk dari masyarakat. Ikatan Akuntan Indonesia Kompartemen Akuntan Manajemen sejak
tahun 2005 mengadakan Indonesia Sustainability Reporting Award ISRA dalam upaya meningkatkan daya saing melalui peningkatan transparansi dan
akuntabilitas perusahaan. ISRA adalah penghargaan yang diberikan kepada perusahaan-perusahaan yang telah membuat pelaporan atas kegiatan yang
menyangkut aspek lingkungan dan sosial disamping aspek ekonomi untuk memelihara keberlanjutan sustainability perusahaan itu sendiri, baik yang
diterbitkan secara terpisah maupun terintegrasi dalam laporan tahunan annual report.
Menurut Wibisono 2007 implementasi CSR pada umumnya dipengaruhi oleh faktor-faktor terkait dengan komitmen pemimpin, penerapan
Good Corporate Governance GCG, ukuran perusahaan, kematangan umur perusahaan, regulasi dan system perpajakan. Disini peneliti hanya
memfokuskan untuk meneliti penggaruh corporate governance dan profitabilitas perusahaan terhadap penggungkapan CSR dan sustainability
report.
8 Penerapan mekanisme GCG menuntut perusahaan tidak hanya
memperhatikan nilai ekonomi dari perusahaannya tetapi juga nilai tambah lain, seperti keseimbangan kepentingan stakeholder, dan kepatuhan terhadap
peraturan serta norma yang berlaku atas kegiatan yang dilakukan oleh perusahaan Putri, 2013. Sehingga semakin baik penerapan GCG maka
semakin baik pengungkapan CSR perusahaan Handayani, 2007. Awal bulan September 2015 ini, publik di gegerkan oleh kasus yang
baru-baru ini dialami oleh PT. Pertamina Foundation atas dugaan korupsi dana CSR senilai Rp.160 Milyar. Dalam kasus ini, Direktur Ekskutif
Pertamina Foundation, Nina Nurlina Pramono, telah ditetapkan sebagai
tersangka korupsi. Kasus ini masih dalam proses penyelidikan oleh Badan Reserse Kriminal Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Dana CSR yang di korupsi tersebut sebenarnya digunakan kegiatan CSR PT. Pertamina
Foundation dalam program gerakan menabung pohon, sekolah sobat bumi, serta sekolah sepak bola Pertamina. Dana CSR yang digunakan untuk
program-program tersebut diragukan kebenarannya dan dindikasi sebagai lahan pencucian uang.
Kasus PT. Pertamina Foundation yang mencerminkan bahwa kurangnya pengawasan atas pengelolaan dana CSR dan pengungkapannya.
Pada pasal 1 dalam Peraturan Pemerintah No.47 tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan, menyebutkan bahwa Dewan
Komisaris bertugas melakukan pengawasan secara umum dan khusus sesuai dengan anggaran dasar serta memberi nasihat kepada Direksi sebagai
9 penanggungjawab. Komite Audit sebagai bagian dari Dewan Komisaris ikut
andil bertugas membantu Komisaris dalam mengkaji kebijakan GCG secara menyeluruh yang disusun oleh Direksi perusahaan serta menilai konsistensi
penerapannya, termasuk yang berkaitan dengan etika bisnis dan tanggung jawab sosial perusahaan Corporate Social Responsibility.
Kasus PT. Pertamina Foundation yang kini sedang menjadi sorotan publik ini menjadi menarik untuk diteliti lebih lanjut. Berdasarkan kasus
tersebut peneliti tertarik untuk meneliti sejauhmana peran Komite Audit sebagai struktur corporate governance, yang diukur dari independensi,
keahlian, frekuensi rapat, dan jumlah anggota Komite Audit dapat mempengaruhi pengungkapan Corporate Social Responsibility CSR dalam
sustainability report. Peran Komite Audit sebagai penggawas di harap dapat membantu
Dewan Komisaris
dalam mengawasi
pengganggaran, penggelolaan, serta pendistribusian dana CSR guna meminimalisir terjadinya
penyelewengan dana CSR. Menurut Baxter dan Cotter 2009 dalam Risty dan Sanny 2015,
independensi Komite Audit sering dianggap sebagai karakteristik yang penting dalam mempengaruhi efektivitas Komite Audit dalam mengawasi
proses pelaporan keuangan. Hasil penelitian yang dilakukan Said et. al. 2009 menemukan bahwa independensi Komite Audit berpengaruh positif
dan signifikan terhadap luas pengungkapan Corporate Social Responsibility. Hal tersebut diindikasikan bahwa keberadaan Komite Audit yang independen
dapat mendorong Dewan Komisaris untuk menggambil keputusan secara
10 objektif yang dapat melindungi seluruh pemangku kepentingan dari tindakan
agen yang menyimpang. Jika pengawasan Komite Audit telah dilakukan dengan efektif, maka pengelolaan perusahaan akan dilakukan dengan baik
pula, dan manajemen akan menggungkapkan semua informasi yang ada termasuk tanggungjawab sosial.
Risty dan Sany 2015 menemukan bahwa keahlian Komite Audit tidak memberikan berpengaruh terhadap pengungkapan sustainability report.
Hal ini diindikasi bahwa organisasi yang melakukan pengungkapan sustainability report tidak sepenuhnya dilatarbelakangi karena adanya Komite
Audit yang memiliki keahlian di bidang akuntansi dan keuangan, sebaliknya perusahaan yang melakukan penerbitan sustainability report memiliki
keahlian di luar di bidang akuntansi dan keuangan. Yunita Prastiwi 2011 menemukan bahwa bahwa frekuensi rapat
Dewan Komisaris dan frekuensi rapat Komite Audit tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap luas pengungkapan sustainability report.
Penelitian ini didukung oleh penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Waryanto 2010, menemukan hasil yang menunjukkan temuan bahwa tidak
terdapat hubungan antara frekuensi pertemuan dewan komisaris dengan pengungkapan informasi sosial perusahaan. Namun, Risty dan Sany 2015
dalam penelitiannya menunjukkan hasil yang berbeda bahwa frekuensi rapat Komite Audit berpengaruh terhadap pengungkapan sustainability report.
Sembiring 2005 menghasilkan temuan bahwa profitabilitas tidak terbukti berpengaruh terhadap pengungkapan CSR. Sembiring 2005
11 menunjukkan hasil bahwa variabel profitabilitas dan leverage tidak
berpengaruh signifikan terhadap pengungkapan CSR. Anggraini 2006 dalam penelitiannya menunjukkan hasil yang berbeda. Profitabilitas dan ukuran
perusahaan tidak berpengaruh terhadap pengungkapan informasi sosial. Dari fenomena-fenomena yang terjadi dan dari hasil penelitian
terdahulu terdapat
beberapa variabel
yang berpengaruh
terhadap pengungkapan CSR masih menunjukan hasil yang berbeda, bahkan
bertentangan dengan
antara hasil
penelitian yang
satu dengan
yang lainnnya. Hal inilah yang akan menjadi research gap dalam penelitian ini, sehingga sangat menarik dan perlu dilakukan penelitian lebih lanjut yang
berkaitan dengan research gap tersebut. Penelitian ini mengadopsi GRI Global Reporting Initiative versi 3.0
yang telah disesuaikan dengan kondisi pelaksanaan CSR di Indonesia sebagai item pengukur variabel dependen pada sustainability report perusahaan.
Penelitian ini mengambil judul “Pengaruh Komite Audit Sebagai Struktur Corporate
Governance Terhadap
Pengungkapan Corporate
Social Responsibility Dalam Sustainability Report. Studi Empiris Perusahaan yang
Terdaftar di BEI Periode 2010-2014 ”.
Penelitian ini merupakan pengembangan dari penelitian sebelumnya, yaitu penelitian yang dilakukan oleh Risty dan Sanny 2015. Namun ada
yang berbeda dengan penelitian sebelumnya, yaitu sebagai berikut: 1. Terdapat penambahan variabel independen yaitu profitabilitas perusahaan
yang merupakan rekomendasi dari penelitian sebelumnya.
12 2. Penggungkapan sustainability report pada penelitian ini memfokuskan
kepada aktifitas CSR yang penggukurannya mengadopsi GRI Global Reporting Initiative versi 3.0. Sedangkan penelitian sebelumnya hanya
menggunakan variabel dummy jika menerbitkan sustainability report. 3. Sempel yang digunakan dalam penelitian ini lebih luas yaitu mencakup
seluruh perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. 4. Periode pada penelitian ini dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2014.
B. Perumusan Masalah