91
3. Pengaruh Frekuensi Rapat Komite Audit Terhadap Pengungkapan
CSR dalam Sustainability Report
Berdasarkan pengujian yang telah dilakukan, hasil penelitian ini menunjukan bahwa variabel frekuensi rapat Komite Audit memiliki t
hitung
negatif sebesar -0,318 dengan tingkat signifikansi sebesar 0,752 0,05. Dengan demikian hipotesis ketiga H
3
ditolak, variabel frekuensi rapat Komite Audit tidak berpengaruh terhadap penggungkapan CSR dalam
sustainability report. Hasil penelitian ini tidak konsisten dengan penelitian yang dilakukan oleh Risty dan Sanny 2015, namun konsisten dengan
Yunita Prastiwi 2011, Nair, A., Ilham, E., dan Utara 2014. Risty dan Sanny 2015 berpendapat bahwa semakin sering Komite
Audit mengadakan rapat, maka semakin banyak hal yang dievaluasi, salah satunya adalah melaksanakan pengawasan terhadap manajemen dengan
lebih efektif dan diharapkan dapat mendukung peningkatan pengungkapan informasi sosial dan lingkungan yang dilakukan oleh perusahaan.
Namun, hasil penelitian ini konsisten dengan Yunita Prastiwi 2011, Nair, A., Ilham, E., dan Utara 2014 yang menemukan bahwa
frekuensi rapat Komite Audit tidak berpengaruh terhadap penggungkapan CSR dalam sustainability report.
Pertemuan Komite
Audit merupakan
wadah untuk
mempertanggungjawabkan fungsi dari Komite Audit kepada perusahaan melalui Dewan Komisaris. Frekuensi pertemuan yang tinggi menjadi
92 tuntutan bagi Komite Audit dalam rangka mempertanggungjawabkan
tugasnya sekaligus memberikan informasi terbaru kepada pihak-pihak yang berkepentingan dalam perusahaan. Oleh sebab itu, semakin tingginya
frekuensi pertemuan yang dilakukan oleh Komite Audit, maka semakin banyak hal-hal yang akan dievaluasi, salah satunya adalah mengenai
penggungkapan laporan berkelanjutan Risty dan Sany, 2010. Peneliti menduga ketidakefektifan rapat yang dilakukan oleh
Komite Audit dikarenakan adanya dominasi suara dari anggota Komite Audit yang mementingkan kepentingan pribadi atau kelompoknya
sehingga mengesampingkan kepentingan perusahaan dalam melakukan penggungkapan laporan berkelanjutan. Selain itu, hal ini juga mungkin
terjadi karena kurangnya kompetensi yang memadai dari anggota Komite Audit sehingga tidak mampu menjalankan tugasnya secara efektif
Waryanto, 2010. Hasil penelitian ini juga menunjukan bahwa terdapat perusahaan
yang dengan frekuensi rapat Komite Audit yang tinggi namun, memiliki tingkat pengungkapan tanggung jawab sosial yang rendah yaitu seperti PT.
Bukit Asam, PT. Bank Negara Indonesia. Kedua perusahaan ini memiliki frekuensi rapat Komite Audit diatas 30 kali, namun belum secara konsisten
mengungkapan tanggung jawab sosialnya dalam sustainability report dengan tingkat pengungkapan dibawah 50 dari seluruh indikator yang
ditetapkan GRI. Artinya, besarnya frekuensi rapat Komite Audit belum
93 tentu meningkatkan atau mendorong perusahaan untuk melakukan
pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan.
4. Pengaruh