Lembaga Trusts Di Indonesia (Transplantasi Dari Sistem Anglo Saxon Ke Sistem Eropa Kontinental)

(1)

LEMBAGA TRUSTS DI INDONESIA

(TRANSPLANTASI DARI SISTEM ANGLO SAXON KE SISTEM EROPA KONTINENTAL)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH

ANDRIE

050200169

DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

LEMBAGA TRUSTS DI INDONESIA

(TRANSPLANTASI DARI SISTEM ANGLO SAXON KE SISTEM EROPA KONTINENTAL)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH

ANDRIE 050200169

DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI

Ketua Departemen Hukum Ekonomi

NIP. 195603291986011001 (Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H. M.H.)

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

(Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H. M.H.) (

NIP. 195603291986011001 NIP. 196302151989032002 Dr. Sunarmi, S.H. M.HUM.)

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

KATA PENGANTAR

Namo Tassa Bhagavato Samma Sam Buddhasa... 3x

Segala puji syukur penulis panjatkan ke hadapan Sang Hyang Adhi Buddha, Tuhan Yang Maha Esa bahwa pada akhirnya penulisan skripsi ini dapat terselesaikan.

Skripsi ini diberi judul LEMBAGA TRUSTS DI INDONESIA (TRANSPLANTASI DARI SISTEM ANGLO SAXON KE SISTEM EROPA KONTINENTAL). Penulisan skripsi ini adalah merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum.

Penulis mengakui bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna dan masih banyak kekurangan yang harus dievaluasi. Hal ini karena keterbatasan pengetahuan dan kemampuan dari Penulis serta bahan-bahan referensi yang berkaitan dengan lembaga trusts ini. Oleh karena itu, Penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca demi perbaikan dan penyempurnaan skripsi ini.

Penulisan skripsi ini disadari oleh Penulis tidak lepas dari bantuan, arahan, petunjuk, dorongan dan perhatian dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini Penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada:

1. Kedua orang tua, dan adik perempuan, serta seluruh anggota keluarga besar Penulis yang Penulis hormati dan kasihi yang juga senantiasa memberi perhatian, mendoakan, mengasihi, membimbing, memperhatikan, menegur, dan menyediakan segala yang Penulis perlukan selama ini;


(4)

2. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

3. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.Hum. selaku Pembantu Dekan I, Bapak Syafruddin Hasibuan, S.H., M.Hum. selaku Pembantu Dekan II, dan Bapak Muhammad Husni, S.H., M.H. selaku Pembantu Dekan III;

4. Bapak Prof. DR. Bismar Nasution, SH, MH, selaku Ketua Bagian Departemen Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

5. Bapak Prof. DR. Bismar Nasution, SH, MH, Dosen Pembimbing I yang telah sangat peduli dan perhatian serta banyak memberikan pedoman bagi Penulis dalam penulisan skripsi ini;

6. Ibu DR. Sunarmi, SH, M.Hum selaku Dosen Pembimbing II yang telah sangat peduli dan perhatian serta banyak memberikan pedoman bagi Penulis dalam penulisan skripsi ini;

7. Bapak Edy Yunara, S.H., M.Hum. selaku Dosen Wali/Penasihat Akademik Penulis;

8. Bapak/Ibu Dosen Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah mendidik Penulis selama Penulis mengikuti perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

9. Teman-teman mahasiswa/i Fakultas Hukum USU stambuk 2005, antara lain: Syahreza, SH yang senantiasa membantu Penulis dalam segala urusan akademik maupun administrasi ketika Penulis mengalami kesulitan. Fandy Japto, SH (yang sering memberi Penulis tumpangan ketika Penulis baru tiba


(5)

selama masa kuliah yang juga banyak membantu baik dalam hal moral maupun materiil. Semoga sukses semuanya teman-teman! Serta teman-teman lainnya: F. Arif, SH, Wesi Gumilang, SH, Fauzi Arham, SH, yang telah banyak memberikan dukungan serta menghibur Penulis ketika mendapatkan masalah, dan para senior juga untuk seluruh teman-teman mahasiswa/i yang tidak dapat disebutkan semuanya di sini, namun tetap selalu ada di dalam hati Penulis;

10.Teman-teman akrab Penulis di luar Fakultas Hukum: Suwinto, SS, Michael, Suherman, Darwin Antoni, Yanuar, Mulyono, Debora, Herieyanto, Dedi, yang selalu memberikan banyak dukungan dan warna-warni dalam kehidupan Penulis. Friends are the colours you have in your life;

11.Teman dekat Penulis, Jessica Muliawaty yang selalu memberikan nasehat-nasehat untuk segera menyelesaikan skripsi ini, dan juga yang selalu membahagiakan, serta menemani Penulis dalam melewati suka dan duka. You

have enlightened my life, Baby;

12.Semua teman di tempat kerja Penulis, IEC, mulai dari Director, Tony Tjioe (yang telah banyak memberikan Penulis bimbingan, serta kesempatan untuk

bergabung dengan IEC), rekan kerja lainnya, Gunawan Chandra, Hans K.

Gozali, Riani Halim, Linda Yap, Hertanto, Stephanie Gunawan, Sherly (yang

suka menggangu Penulis), Kelvin (yang sering Penulis ganggu), Herlina

(sang komedian), Fransiska Suh (yang sering membantu Penulis ketika

mengalami kesulitan). Rekan kerja Penulis di Inti Edukasi Utama, Ramses,


(6)

juga sering mendukung Penulis dalam mengambil keputusan, Edo, SS (yang

senantiasa berperan sebagai sang Pastor), serta teman-teman lainnya yang

tidak dapat Penulis sebutkan satu persatu.

13.Seluruh pihak yang telah membantu dan memberikan sumbangan moral maupun materi demi selesainya penulisan skripsi ini.

Akhirnya Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi setiap orang yang membacanya, khususnya bagi perkembangan dan kemajuan Hukum di Indonesia tanah air kita yang tercinta ini. Sadhu 3x.

Medan, Mei 2010 Penulis,


(7)

DAFTAR ISI

Halaman LEMBAR PENGESAHAN

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... v

ABSTRAKSI ... ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Penulisan ... 1

B. Perumusan Masalah ... 3

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 4

D. Keaslian Penulisan ... 5

E. Tinjauan Kepustakaan ... 5

F. Metode Penulisan ... 6

G. Sistematika Penulisan ... 7

BAB II LEMBAGA TRUSTS DALAM SISTEM ANGLO SAXON . 9 A. Kelahiran Equity dan Trusts di Inggris ... 9

1. Sistem Huku m Anglo Saxon dan Equity... 9

2. Prinsip-prinsip Equity ... 11

3. Kelahiran Trusts di Inggris ... 18

4. Trusts dan Hukum Perjanjian ... 21

5. Perbedaan Trusts dengan Berbagai Pranata Hukum Anglo Saxon ... 23


(8)

B. Konsepsi Trusts dalam Tradisi Hukum Anglo Saxon ... 29

1. Konsepsi dan Pengertian Trusts ... 29

2. Klasifikasi Trusts ... 32

3. Terciptanya (Express Trusts) ... 39

C. Ciri-ciri dan Karakteristik Unik Trusts dalam Perkembangan Awal Tradisi Hukum Anglo Saxon ... 45

1. Pemilikan Ganda dan Penyerahan Pemilikan dalam Hukum Kepada Trustee ... 46

2. Pemisahan Kepemilikan Trusts Corpus dengan Harta Kekayaan Milik Trustee Pribadi ... 47

3. Hubungan dan Kewajiban Fidusia dari Trustee kepada Beneficiary ... 48

4. Pelacakan dalam Equity dan Hak Kebendaaan Tersembunyi (Remedies) ... 56

D. Transplantasi Trusts di Amerika Serikat ... 59

1. Perkembangan Trusts di Amerika Serikat ... 59

2. Perubahan Ciri-ciri dan Karakteristik Trusts di Amerika Serikat ... 63

BAB III TRANSPLANTASI LEMBAGA TRUSTS KE DALAM SISTEM HUKUM INDONESIA (SISTEM EROPA KONTINENTAL) ... 69

A. Eksistensi Equity dan Pranata Serupa Trusts dalam Tradisi Hukum Eropa kontinental ... 69


(9)

B. Transplantasi Trusts pada Negara-negara yang Menganut Sistem Hukum Eropa Kontinental ... 73 1. Transplantasi Trusts ke dalam Kitab Undang-Undang

(Code) ... 74 2. Transplantasi Trusts ke Dalam Undang-Undang

Tersendiri ... 76 C. Ciri-ciri Karakteristik Pranata Serupa Trusts dan

Trusts dalam Tradisi Hukum Eropa Kontinental ... 78 D. KUH Perdata dan KUHD sebagai Model Transplantasi

Hukum ... 85 1. Analisis Keberadaan Pranata Serupa Trusts dalam KUH

Perdata ... 87 2. Analisis Keberadaan Trusts dalam KUHD ... 95 E. Undang-undang Pasar Modal sebagai Model

Transplantasi Hukum ... 99 Analisis Transplantasi Kelembagaan Trusts dalam Undang-Undang Pasar Modal ... 102

BAB IV URGENSI DALAM PENGATURAN HUKUM DARI

LEMBAGA TRUSTS DALAM SISTEM HUKUM INDONESIA ... 112 A. Pranata Trusts Terkait dengan Pengakuan Keberadaan


(10)

B. Tuntutan Perhitungan dan Pertanggungjawaban

Pengurus/Trustee menurut Hukum Acara Perdata ... 117

C. Pelacakan Benda yang Hilang dan Penggantian oleh Pengurus/Trustee dalam Hukum Perdata Indonesia ... 119

D. Larangan bagi Pengurus/Trustee untuk Menjual Benda yang Diurusnya ... 122

E. Actio Pauliana ... 124

F. Hal-hal yang Harus Diatur dalam Undang-Undang Trusts... 128

G. Urgensi Pembentukan Undang-Undang Trusts di Indonesia ... 140

BAB V PENUTUP ... 146

A. Kesimpulan ... 146

B. Saran ... 159 DAFTAR PUSTAKA


(11)

ABSTRAKSI

Prof. DR. Bismar Nasution, S.H., M.H 1 DR. Sunarmi, S.H., M.Hum.2

Andrie.3

1

Ketua Departemen Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan. 2

Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan. 3

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan.

Sekarang ini dalam hukum bisnis, penggunaan pranata trusts di Indonesia, sebagai negara dengan tradisi hukum Eropa Kontinental, masih sering menimbulkan persoalan, misalnya adanya upaya pembatalan perjanjian pinjaman yang mengandung unsur trusts. Jika keadaan ini terus dibiarkan, dapat dipastikan tidak ada kreditor dari luar negeri yang mau memberikan pinjaman kepada perusahaan Indonesia. Hal ini pada akhirnya dapat membawa akibat buruk tidak hanya dari sisi mikro, tetapi juga makro karena semakin mengurangi kepercayaan investor asing kepada Indonesia.

Padahal seharusnya persoalan tersebut dapat diatasi karena jika dikaji lebih lanjut, pranata serupa trusts (civil law trusts) terdapat dalam KUH Perdata dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), dan Undang-Undang Pasar Modal (UUPM) contohnya adalah pasal 56 ayat 1, 2, dan 3 UUPM yang mengatur mengenai penitipan kolektif, yang memisahkan antara kepemilikan terdaftar (registered ownership) dan kepemilikan manfaat (beneficial ownership).

Bahwa sebenarnya keberadaan pranata serupa trusts ini merupakan hasil dari proses transformasi equity trusts (yang semula berada dalam lapangan equity) menjadi common law trusts (yang tunduk kepada aturan common law) pada tradisi hukum Anglo Saxon. Common law trusts ini selanjutnya ditransplantasikan masuk ke dalam negara-negara yang mempunyai tradisi hukum Eropa Kontinental, kemudian menjadi bagian dari hukum positif negara tersebut. Jadi, sebelum unndang-undang khusus mengenai trusts dibenttuk, ketentuan-keteantuan mengnai pranata serupa trusts dalam KUH Perdata, KUHD, dan Undang-Undang Pasar Modal bisa menjadi acuan.


(12)

ABSTRAKSI

Prof. DR. Bismar Nasution, S.H., M.H 1 DR. Sunarmi, S.H., M.Hum.2

Andrie.3

1

Ketua Departemen Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan. 2

Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan. 3

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan.

Sekarang ini dalam hukum bisnis, penggunaan pranata trusts di Indonesia, sebagai negara dengan tradisi hukum Eropa Kontinental, masih sering menimbulkan persoalan, misalnya adanya upaya pembatalan perjanjian pinjaman yang mengandung unsur trusts. Jika keadaan ini terus dibiarkan, dapat dipastikan tidak ada kreditor dari luar negeri yang mau memberikan pinjaman kepada perusahaan Indonesia. Hal ini pada akhirnya dapat membawa akibat buruk tidak hanya dari sisi mikro, tetapi juga makro karena semakin mengurangi kepercayaan investor asing kepada Indonesia.

Padahal seharusnya persoalan tersebut dapat diatasi karena jika dikaji lebih lanjut, pranata serupa trusts (civil law trusts) terdapat dalam KUH Perdata dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), dan Undang-Undang Pasar Modal (UUPM) contohnya adalah pasal 56 ayat 1, 2, dan 3 UUPM yang mengatur mengenai penitipan kolektif, yang memisahkan antara kepemilikan terdaftar (registered ownership) dan kepemilikan manfaat (beneficial ownership).

Bahwa sebenarnya keberadaan pranata serupa trusts ini merupakan hasil dari proses transformasi equity trusts (yang semula berada dalam lapangan equity) menjadi common law trusts (yang tunduk kepada aturan common law) pada tradisi hukum Anglo Saxon. Common law trusts ini selanjutnya ditransplantasikan masuk ke dalam negara-negara yang mempunyai tradisi hukum Eropa Kontinental, kemudian menjadi bagian dari hukum positif negara tersebut. Jadi, sebelum unndang-undang khusus mengenai trusts dibenttuk, ketentuan-keteantuan mengnai pranata serupa trusts dalam KUH Perdata, KUHD, dan Undang-Undang Pasar Modal bisa menjadi acuan.


(13)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Globalisasi, sebagai suatu fenomena sosial telah merasuk dalam hampir setiap aspek kehidupan manusia, baik dalam lapangan ekonomi, politik, sosial budaya, ilmu pengetahuan maupun teknologi.4 Perubahan-perubahan yang terjadi dalam lapangan ekonomi dan sosial, mau tidak mau, juga membawa pengaruh dan memasuki wilayah hukum. Hukum sebagai suatu subsistem sosial tidak dapat lepas dari berbagai macam perubahan yang terjadi dalam masyarakat, termasuk perubahan dalam kegiatan ekonomi dan sosial.5

Indonesia, sebagai salah satu negara di dunia yang turut aktif dalam kegiatan perdagangan dunia, juga tidak lepas dari pengaruh globalisasi sehingga juga turut dipengaruhi oleh masuknya berbagai macam pranata ekonomi dan

Pengaruh globalisasi dalam lapangan ekonomi membawa perubahan dalam paradigma hukum pada hampir seluruh negara di dunia ini, tidak hanya negara-negara maju, melainkan juga negara-negara berkembang. Setiap perubahan dalam kegiatan ekonomi, pasti akan membawa perubahan dalam hukum dan praktik hukum. Dengan demikian, disadari atau tidak, disukai atau tidak, suatu proses interaksi antara berbagai pranata, kaidah dan sistem yang saling berhubungan satu dengan yang lainnya juga dapat menghasilkan konflik hukum.

4

Khudzaifah Dimyati dan Kelik Wardiono, ed., Problema Globalisasi (Perspektif Sosiologi Hukum, Ekonomi, dan Agama), (Surakarta; Muhammadiyah Univesity Press, 2000), hlm. vi.

5


(14)

hukum asing kedalamnya. Dalam uraian masalah dan rekomendasi untuk rancang tindak bidang ekuin, yang dihasilkan dari Seminar Pembangunan Hukum Nasional VII, yang diselenggarakan di Bali tanggal 14 sampai 18 Juli 2003, khusus mengenai aspek masalah keuangan dikatakan sebagai berikut6

Dengan demikian, tampak jelaslah bahwa sebagai negara yang menganut tradisi hukum Eropa Kontinental, Indonesia juga mengalami benturan tradisi hukum dengan tradisi hukum Anglo Saxon.

Kebijakan di bidang EKUIN pada umumnya mengambil ketentuan dari sistem hukum Common Law, yang kadang kala tidak cocok diterapkan di negara kita yang menganut Civil Law terutama yang menyangkut prosedur yang dibentuk dari sejarah, budaya, dan tradisi hukum masing-masing negara yang berbeda.

7

Salah satu benturan tradisi hukum yang belum memperoleh penyelesaian yang memuaskan adalah eksistensi pranata Trusts dalam tradisi hukum Anglo Saxon. Pranata Trusts dalam pandangan banyak ahli tidak terdapat dalam tradisi hukum Eropa Kontinental.8

6

BPHN, Seminar Pembangunan Hukum Nasional VII Buku I, (Jakarta: BPHN, 2003, hlm. 10 dan 52.

7

Tradisi hukum Anglo Saxon yang sering kali disebut juga dengan tradisi hukum

Common Law, menurut William Tetley dalam “Mixed Jurisdictions: “Common Law Vs Civil Law (Codified and Uncodified) “, Lousiana Law Review (60, 2000): 684 adalah “Legal Tradition which evolved in England from the 11th century onwards. Its principals appear for the most part in reported judgements, usually of the higher courts, in relation to specific fact situations arising in disputes which courts have adjudicated. The Common Law is usually much more detailed in each prescription and the Civil Law. Common Law is the foundation of the Private Law, not only for England, Wales, and Ireland, but also in forty nine U.S. States, nine Canadian provinces and most countries which first received that Law as colonies of the British Empire and which, in many cases, have preserved it as independent states of the British Commonwealth.“

8

Lihat HR Sardjojo, Bunga Rampai Perbandingan Hukum Perdata, (Jakarta: Ind Hill Co, 1991), hlm. 79. Trusts adalah suatu pranata yang lahir sebagai produk dari Equity, yang hanya dikenal dalam sistem Anglo Saxon.


(15)

Sri Sunarni Sunarto dalam penelitiannya yang berjudul “Penerapan Konsepsi Trusts dalam Rangka Pembangunan Hukum Nasional Indonesia “ telah mencoba menjelaskan konsepsi Trusts dalam tradisi hukum Anglo Saxon dan kemungkinan penerapannya di Indonesia, dalam rangka penempatan hukum Trusts dalam sistem hukum Indonesia, yang menurut kesimpulan hasil penelitian tersebut, haruslah berada dalam hukum Perikatan. Selanjutnya telah disarankan pula untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai hubungan hukum yang mempunyai ciri-ciri yang menyerupai Trusts.

Sebagai tindak lanjut dari saran tersebut, yaitu guna melakukan penelitian lanjut mengenai pranata atau hubungan hukum yang mempunyai ciri-ciri Trusts, maka diambil bahan penelitian berupa Undang-Undang Pasar Modal (UUPM). Undang-Undang yang diundangkan pada tahun 1995 ini di bawah Undang-Undang nomor 8 tahun 1995 yang memasukkan institusi pasar modal modern yang berkembang di Amerika Serikat ke Indonesia adalah salah satu Undang-Undang yang membawa serta pranata Trusts di dalamnya.

B. Perumusan Masalah

Dari beberapa penjelasan yang telah diberikan sebelumnya di dalam tulisan ini, maka penulis mencoba mengangkat beberapa permasalahan yang terjadi yaitu sebagai berikut :


(16)

2. Apakah yang mendasari transplantasi lembaga trusts ke dalam sistem Civil Law dan bagaimana prosesnya?

3. Bagaimanakah urgensi kedudukan dan pengaturan hukum dari lembaga trusts dalam sistem hukum Indonesia?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui tentang asal-usul, pengertian, dan perkembangan trusts yang berasal dari sistem hukum Anglo Saxon.

2. Untuk mengetahui tentang kedudukan trusts dalam sistem hukum Indonesia (sistem hukum yang menganut tradisi Eropa Kontinental).

Sedangkan manfaat dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Manfaat secara teoritis, yakni untuk pengembangan studi ilmu hukum selanjutnya, khususnya di bidang Hukum Ekonomi. Serta penulis berharap agar hasil penulisan skripsi ini dapat menambah khasanah kepustakaan Hukum Ekonomi.

2. Manfaat secara praktis, yakni menjadi sumbangsih pada peningkatan kualitas sumber daya manusia khususnya di bidang lembaga trusts.

Manfaat yang diharapkan oleh penulis dari penulisan skripsi ini juga adalah untuk menyelesaikan masa pendidikan penulis. Dan tentunya untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(17)

D. Keaslian Penulisan

Sehubungan dengan judul skripsi ini, maka telah dilakukan pemeriksaan di arsip yang ada pada Departemen Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Berdasarkan hasil pemeriksaan, judul skripsi di atas tidak ada yang sama dengan judul skripsi lainnya baik yang ditulis sekarang maupun yang terdahulu.

Dengan demikian judul skripsi ini adalah asli dan dapat dipertanggungjawabkan secara akademik.

E. Tinjauan Kepustakaan

Ditinjau dari judulnya, “Lembaga Trusts di Indonesia (Transplantasi dari Sistem Anglo Saxon ke Sistem Eropa Kontinental)”, maka mengandung makna sebagai berikut9

1. Lembaga artinya Bentuk (rupa, wujud) yang asli; Badan (organisasi) yang tujuannya melakukan suatu penyelidikan keilmuan atau melakukan suatu usaha.

2. Trusts (Wali Amanat) artinya Wali: Orang yang menurut hukum diserahi kewajiban mengurus anak yatim serta hartanya sebelum anak itu dewasa. Amanat: Pesan; Perintah (dari atas).

3. Indonesia artinya nama negara kepulauan di Asia Tenggara yang terletak di antara Benua Asia dan Benua Australia.

9

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi


(18)

4. Transplantasi artinya Sebuah proses informal berupa tindakan yang diam-diam meletakkan dasar untuk memuluskan beberapa perubahan atau proyek yang diusulkan.

5. Sistem artinya Perangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas.

6. Anglo Saxon artinya Tradisi hukum yang berkembang di Inggris yang dimulai dari abad sebelas.

7. Eropa artinya Benua yang terletak diatas Benua Afrika. 8. Kontinental artinya Bertalian dengan benua.

F. Metode Penulisan

Dalam rangka untuk mengumpulkan data-data dan bahan-bahan dalam penyusunan skripsi ini, dan agar suatu penulisan mempunyai suatu manfaat, maka penulis merasakan perlu adanya suatu metode tertentu yang dipakai dalam pengumpulan data guna mencapai tujuan dari penulisan itu sendiri.

Di dalam penulisan skripsi ini penulis memakai metode pengumpulan data yang bersumber dari perpustakaan, berbagai literatur dan berbagai media informasi yang ada, yang mengangkat permasalahan khusus mengenai judul skripsi ini.

Dengan melakukan suatu metode penggabungan data-data yang telah diperoleh melalui library research, yaitu dengan menggunakan buku-buku, literatur-literatur, data-data dari berbagai media informasi yang dapat mendukung selesainya penulisan skripsi ini.


(19)

Maka dengan demikian diharapkan dengan metode penggabungan pengumpulan data ini dapat membantu penulis dalam memahami permasalahan yang diangkat dan menjadi landasan pemikiran penulis dalam menganalisa permasalahan tersebut. Kiranya diharapkan tujuan untuk mendapatkan kebenaran akan jawaban yang sesungguhnya dari permasalahan yang telah penulis angkat dalam skripsi ini dapat tercapai dengan baik.

G. Sistematika Penulisan

Untuk menguraikan rangkaian materi dari skripsi ini penulis berusaha membuat suatu model-model penulisan sehingga menjadi suatu sistematika dari skripsi ini. Tujuan dari penentuan model-model tersebut adalah untuk mempermudah penguraiannya dan sekaligus pula untuk pemahamannya.

Oleh karena itu penulis membagi skripsi ini ke dalam 5 bab dan dilengkapi dengan sub-sub bab dari setiap babnya, yakni sebagai berikut:

BAB I: PENDAHULUAN

Pada bab ini penulis hendak menguraikan beberapa uraian hal-hal yang bersifat umum, yaitu tentang latar belakang penulisan, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penulisan dan sistematika penulisan.

BAB II: LEMBAGA TRUSTS DALAM SISTEM ANGLO SAXON

Pada bab ini penulis mencoba menyampaikan dan menguraikan tentang kelahiran serta konsepsi trusts dan equity dalam tradisi


(20)

hukum Anglo Saxon, serta perkembangan trusts dalam sistem hukum Amerika Serikat.

BAB III: TRANSPLANTASI LEMBAGA TRUSTS KE DALAM SISTEM HUKUM INDONESIA (SISTEM EROPA KONTINENTAL) Bab ketiga menjelaskan tentang eksistensi ekuiti dalam tradisi hukum Eropa Kontinental. Selain itu dalam bab ini juga dijelaskan tentang keberadaan pranata serupa dalam kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang serta Undang-Undang Pasar Modal sebagai model transplantasi huku m.

BAB IV: URGENSI DALAM PENGATURAN HUKUM DARI

LEMBAGA TRUSTS DALAM SISTEM HUKUM INDONESIA Bab keempat menjelaskan tentang urgensi atas pembentukan Undang-Undang yang mengatur tentang lembaga Trusts ini di Indonesia. Selain itu bab ini juga memaparkan tentang beberapa hal-hal yang terkait terhadap lembaga Trusts.

BAB V: PENUTUP

Sebagai bab terakhir dalam penulisan skripsi ini, maka pada bab ini berisikan kesimpulan dan saran.


(21)

BAB II

LEMBAGA TRUST DALAM SISTEM ANGLO SAXON

A.

Kelahiran Equity dan Trusts di Inggris

1.

Sistem Hukum Anglo Saxon dan Equity

Pada negara-negara dengan tradisi hukum Anglo Saxon, trusts adalah suatu pranata atau institusi yang unik. Trusts tidaklah berdiri sendiri, melainkan merupakan bagian dari suatu sistem yang lebih besar, yaitu equity. Trusts lahir karena adanya equity, tanpa equity tidak ada trusts.10 Trusts merupakan salah satu kontribusi terbesar dari equity.11

Sebagai suatu sistem yang berkembang dan berjalan seiring dengan berkembangan dan perjalanan common law, equity dan common law memiliki hubungan yang saling melengkapi. Diantara keduanya, equity dan common law ada garis-garis merah yang menjadi dan merupakan batasan berhubungan dan

Kelahiran equity di Inggris tidak diketahui dengan pasti. Lebih kurang pada abad kelima belas menjelang abad keenam belas, lahir pandangan dan persepsi bahwa penerapan dan pelaksanaan aturan hukum yang kaku (common

law) yang pada saat itu seringkali dinilai tidak memberikan keadilan. Sejak saat

itulah mulai dikembangkan suatu sistem peradilan lain diluar hukum (court of

law) yang berlaku. Hal ini dilakukan dengan asumsi bahwa raja harus terus

berupaya memberikan keadilan bagi rakyatnya.

10

Peter Joseph Loughlin, “The Domestication of The “Trust: Bridging the Gap between

Common Law and Civil Law, hlm. 3, 11

Angela Sydenham, Nutshells: Equity & Trusts, (London: Sweet & Maxwell, 2000), hlm. 1.


(22)

sekaligus menjadi dasar bekerjanya equity dan common law secara bersama-sama. Prinsip-prinsip dasar yang menjadi batasan hubungan equity dan common law tersebut dapat dilukiskan sebagai berikut: 12

a. Yurisdiksi common law tidak pernah mengakui equitable rights, titles and

interests. Dalam pandangan yang demikian, hanya trustee yang diakui oleh common law sebagai pemilik dari suatu benda, dan bukan beneficiary. Ini

berarti suatu gugatan yang berkaitan dengan pelanggaran terhadap equitable

obligations tidak pernah dapat dimajukan dihadapan pengadilan common law.

b. Court of equity tidak berwenang untuk memutuskan perkara yang berkaitan

dengan legal rights and titles. Dengan demikian, setiap pihak yang dimaksud untuk menegakkan haknya dalam hukum (common law) harus memajukannya dihadapan court of common law.

c. Equity tidak berwenang untuk memberikan hukuman ganti rugi. Court of chancery hanya berwenang untuk memberikan hukuman ganti rugi dalam

bentuk restitusi dan bukan jenis-jenis kerugian lainnya yang dikenal dalam

common law. Jadi, dalam hal ini, court of chancery tidak mencampuri

kewenangan pemberian ganti rugi dalam common law. Hanya dalam common

law tidak cukup memberikan restitusi bagi pemegang hak, court of chancery

akan memutuskan yang selayaknya.

d. Court of common law tidak mempunyai kewenangan untuk melakukan

tindakan-tindakan sementara (interlocutory relief, specific performance atau

12


(23)

injunction).13

e. Perkara yang tengah diperiksa di common law tidak dapat begitu saja dialihkan proses pemeriksaannya ke court of chancery, demikian pula sebaliknya. Masing-masing peradilan mempunyai batas kewenangan pemeriksaan dan yurisdiksinya sendiri-sendiri.

Hanya court of chancery yang memiliki kewenangan yang demikian. Court of chancery memiliki kewenangan untuk mengambil tindakan sementara seperti untuk menghentikan suatu perbuatan yang merugikan, yang diperlukan agar penuntut dalam court of chancery tidak dirugikan lebih jauh.

a. Semua pengadilan harus mengakui equitable rights, titles and interests ; b. Semua pengadilan tetap mempunyai kewenangan umum dalam memutuskan

hak-hak dalam hukum (legal rights and titles)

2.

Prinsip – prinsip Equity

Equity merupakan konstruksi etikal,14

13

Injuction adalah suatu istilah yang menunjuk pada kewenangan pengadilan, melalui penetapannya untuk melarang seseorang melakukan suatu tindakan atau perbuatan tertentu, atau perintah untuk tidak melakukan tindakan yang merugikan harta benda atau fisik orang lain. Larangan yang dikeluarkan pengadilan atas permintaan penggugat dalam suatu perkara, yang ditujukan kepada pihak tergugat atau yang selanjutnya dijadikan tergugat selama proses perkara berlangsung, dengan tujuan untuk melarang pihak tergugat tersebut untuk melakukan suatu tindakan yang semula akan dilakukan olehnya, atau menghentikan tindakan yang semula dilakukan olehnya tersebut, atau menghentikan tindakan yang sudah dilakukan olehnya tersebut, yang tidak adil atau merugikan kepentingan penggugat. Interlocutory Injuction adalah injunction yang dikeluarkan oleh pengadilan selama proses peradilan, untuk kepentingan jangka pendek untuk menghentikan tindakan yang dapat menyebabkan kerugian yang tidak dapat diperbaiki, sebelum pada akhirnya pengadilan memutuskan untuk menerima atau menolak gugatan yang dimajukan tersebut.

14

Alastair Hudson, Equity and Trusts, (London: Cavendish Publishing, 2002), hlm. 13-14. yang diterapkan secara kasuistis, ternyata pada akhirnya juga memperoleh bentuk-bentuk hukumnya, yang


(24)

selanjutnya menghasilkan prinsip-prinsip (hukum) dalam equity, yang kemudian diterapkan setiap proses dalam peradilan, khususnya setelah berlakunya

Judicature Act (Imp) 1873. Prinsip-prinsip equity ini, pada mulanya terdiri dari

dua belas preposisi15 yang kemudian berkembang terus dari waktu ke waktu. Prinsip-prinsip equity secara garis besar dijelaskan berikut di bawah ini.16

a. Equity will not suffer a wrong to be without remedy

Prinsip ini merupakan dasar atau pondasi equity. Pada dasarnya setiap pihak yang melakukan perbuatan yang melawan hukum atau yang bersalahan dengan hukum (termasuk perikatan yang lahir dari perjanjian) dapat digugat dihadapan pengadilan untuk memberikan ganti rugi atau untuk mengembalikan kerugian pada keadaan seperti semula, maupun untuk memenuhi kewajibannya. Dalam hal ketentuan hukum yang berlaku tidak cukup memberikan penggantian yang layak atau pelaksanaan kewajiban yang sepadan, equity mencoba untuk menyeimbangkan kekurangan tersebut dengan memberikan penggantian yang seimbang. Dalam konteks trusts, equity memberikan hak kepada beneficiary untuk menuntut pelaksanaan trusts oleh

trustee, suatu hak yang tidak diperoleh beneficiary dalam common law.17

b. Equity follows the law

Court of chancery tidak berhak mengeluarkan putusan yang berbeda atau

mengabaikan putusan yang dikeluarkan oleh court of common law, kecuali

15

Ibid, hlm. 17. Jill E. Martin dalam Hanbury and Maudsley Modern Equity, (London:

Stevens & Sons, 1985), hlm. 26 menyebutnya sebagai Maxims of Equity. Demikian juga Robert A Pearce dan John Stevens, op cit, hlm. 17. Paul Todd dan Sarah Lowrie, op cit, hlm. 14 menyebutnya sebagai the Equitable Maxims.

16

Hudson, op cit., hlm. 17-18. Martin dalam Hanbury and Maudsley, op cit, hlm. 27-29.

Todd dan Lowrie, Textbook on Trusts, London: Blackstone Press Limited, 2000, hlm. 14.

17


(25)

dalam hal terjadinya ketidakadilan. Court of chancery juga tidak boleh menyimpang dari ketentuan perundang-undangan yang berlaku.18 Jika suami isteri membeli harta kekayaan atas nama mereka berdua, tetapi rumah yang dibeli hanya tercatat atas nama suami, equity memperlakukan mereka sebagai

tenants in common, dan bukan joint tenancy.19 Tenants in common adalah suatu bentuk kepemilikan di mana setiap pemilik (tenant) mempunyai kepentingan yang tidak terbagi atas suatu benda.20 Sementara itu, joint

tenancy merupakan salah satu bentuk kepemilikan benda oleh dua atau lebih

pihak, yang masing-masing memiliki kepentingan yang tidak terbagi secara keseluruhan dan berlaku terhadapnya the rights of survivorship.21

c. Where there is equal equity, the law shall prevail

Prinsip ketiga ini menunjukkan bahwa dalam hal terdapat dua orang secara bersama-sama memiliki hak dalam equity (equitable right) menuntut kepemilikan atas suatu benda, dan salah satu dari orang tersebut memiliki titel hak dalam hukum (legal rights), dalam equity-pun, orang yang memiliki titel hak dalam hukum menjadi pemilik dari benda tersebut, meskipun hak dalam

equity dari orang yang lainnya sudah diperolehnya lebih dahulu sebelum orang

yang memiliki titel hak dalam hukum ini memperoleh haknya dalam equity.22 Sebagai contoh dapat diilustrasikan sebagai berikut : Katakanlah seseorang menyerahkan suatu benda kepada X, yang bertindak sebagai trusts untuk kepentingan Y. X kemudian menjual benda tersebut kepada Z. Z

18

Ibid., hlm. 18. 19

Evans, op cit., hlm. 11 20

Black’s Law Dictionary 6th ed., hlm. 1465 21

Ibid. 22


(26)

membeli benda tersebut dari X sebagai seorang pembeli yang bonafide dengan harga yang sepantasnya yang tidak mengetahui bahwa X adalah trustee dari benda tersebut (bonafide purchaser for value, without notice). Dalam konteks demikian, sebagai pembeli bonafide dengan harga yang pantas, Z juga dilindungi oleh hukum, Z dianggap pada saat yang bersamaan memiliki titel hak dalam hukum dan hak dalam equity. Dengan demikian, court of equity menyatakan Z sebagai pemilik benda tersebut, dan Y dapat menuntut X atas pelanggaran kewajiban X sebagai trustee dari benda yang dijual oleh X tersebut.23

d. Where the equities are equal, the first in time shall prevail

Prinsip ini mengemukakan bahwa jika ada dua orang yang memiliki hak dalam equity yang sama, dan tidak ada salah satupun dari mereka yang memiliki titel hak dalam hukum, maka orang yang pertama kali memperoleh hak dalam equity merupakan pemilik dari benda tersebut.24

Prinsip ini dapat dicontohkan sebagai berikut : A merupakan pemilik dari suatu bidang tanah, dan bermaksud untuk menjual bidang tanah tersebut. A membuat perjanjian dengan B dengan tujuan untuk menjual bidang tanah tersebut kepada B (estate contract). Pada lain kesempatan, A membuat perjanjian serupa dengan C. Masing-masing B dan C memiliki hak dalam

equity atas bidang tanah tersebut, namun karena jual beli yang sebenarnya

belum dilangsungkan, baik B maupun C tidak memiliki titel hak dalam hukum atas bidang tanah tersebut. Court of equity mengesahkan perjanjian antara A

23

Todd dan Lowrie, __ op cit., hlm. 19 24


(27)

dengan B sehingga dapat ditindaklanjuti dengan jual beli yang sebenarnya. C yang mengalami kerugian, dapat menuntut ganti rugi dari A di common law berdasarkan estate contract tersebut.25

e. He who seeks equity must do equity

Prinsip ini melihat ke depan.26 Dalam konteks ini, seorang yang menyatakan dan menuntut haknya dalam equity harus melaksanakan juga kewajiban-kewajiban dalam equity. Misalnya seorang beneficiary yang menuntut agar seorang trustee melaksanakan kewajiban sebagai trustee bagi beneficiary, harus mau mengganti semua pengeluaran-pengeluaran yang telah dilakukan oleh trustee untuk memelihara dan atau menyelamatkan benda yang berada dalam trust-nya tersebut.27

f. He who comes to equity come with clean hands

Jika prinsip kelima melihat ke depan, prinsip keenam melihat ke belakang.28 Menurut prinsip ini, setiap orang yang menuntut haknya dalam equity, harus dapat membuktikan bahwa ia telah memperoleh hak dalam equity-nya tersebut tanpa melakukan pelanggaran hak orang lain. Jika terbukti bahwa dalam memperolehnya, ada hak pihak lain yang telah dilanggar, equity menolak untuk peneguhan hak dalam equity-nya tersebut.29

25

Todd dan Lowrie, op cit., hlm. 21 26

Pearce dan Stevens, op cit., hlm. 18 27

Evans, op cit., hlm. 11 28

Pearce dan Stevens, op cit., hlm. 19 29


(28)

g. Delay defeats equity

Prinsip ini sering juga disebut dengan ”Equity assists the diligent and not the

tardy”.30 Dalam prinsip ini, waktu untuk mempertahankan hak dalam equity menjadi perhatian yang penting. Seorang yang menuntut haknya dalam equity tidak boleh mengabaikannya, begitu ia mengetahui adanya keadaan atau fakta hukum yang menunjukkan telah terjadi pelanggaran terhadap haknya dalam

equity.31 Prinsip ini selanjutnya berkembang menjadi suatu doktrin yang dikenal dengan “Doctrine of laches”, yaitu suatu doktrin yang tidak mungkin mengabulkan tuntutan hak dalam equity jika tuntutan itu dimajukan dengan lewatnya suatu jangka waktu tertentu.32

h. Equity is equity

Jika ada lebih dari satu orang yang menikmati kepentingan yang sama atas suatu benda tertentu, tetapi tanpa adanya suatu ketentuan, kesepakatan atau perjanjian bagaimana cara membagi benda tersebut diantara mereka, equity menyatakan bahwa benda tersebut harus dibagi di antara mereka secara adil dan sama besarnya.33

i. Equity looks to the intent rather than the form

Dalam common law, sesuatu perbuatan hukum dilaksanakan dengan memenuhi dua hal, yaitu formalitas dan substansi.34 Dikatakan bahwa :35

30

Ibid. 31

Hudson, op cit., hlm. 19 32

Ibid, hlm. 20 33

Pearce dan Stevens, op cit., hlm. 21 34

Hudson, op cit., hlm. 21 35


(29)

“Courts of Equity make a distinction between that which is a matter of substance and that which is matter of form; and if it finds that by insisting on the form, the substance will be defeated, it holds it to be inadequate to allow a person to insist on such form, and thereby defeat the substance.”

j. Equity looks on that as done which ought to be done

Prinsip ini menyatakan bahwa dalam hal suatu perjanjian adalah suatu perjanjian yang dapat dipaksakan pelaksanaannya, equity menganggap pihak yang menjanjikan untuk melakukan prestasi telah melakukan prestasi yang dijanjikan olehnya tersebut, karena ia dapat dipaksa untuk melakukannya dalam common law.36 Dalam Walsh v. Lonsdale, suatu perjanjian untuk menyewakan dianggap telah menciptakan hak dalam equity untuk menyewa bagi penyewa, meskipun persyaratan sewa menyewa dalam common law belum dipenuhi seluruhnya.37 Ini berarti juga suatu perjanjian untuk melangsungkan jual beli dapat dianggap telah memberikan hak dalam equity kepada pembeli atas benda yang dijanjikan untuk dijual oleh calon penjual dalam perjanjian untuk melangsungkan jual beli tersebut.38

k. Equity imputes an intention to fulfil an obligation

Equity menempatkan tindakan manusia dalam konstruksi yang paling

menguntungkan. Bilamana ada seseorang melakukan suatu tindakan yang dapat dikonstruksikan untuk memenuhi kewajibannya yang harus dipenuhi, maka equity memperlakukan tindakan tersebut sebagai tindakan pemenuhan kewajibannya tersebut.39

36

Ibid., hlm. 22 37

Ibid., hlm. 22. Lihat juga Hudson, op cit., hlm. 21. Lihat juga Todd & Lowrie, op cit., hlm. 15-16

38

Pearce dan Stevens, op cit., hlm. 22 39

Ibid, hlm. 23


(30)

mempunyai utang kepada B meninggal dunia, dan meninggalkan sejumlah uang kepada B. Equity akan memperlakukan uang yang ditinggalkan A kepada B tersebut sebagai pemenuhan kewajiban pembayaran utang A kepada B, kecuali ada bukti lain yang menyatakan sebaliknya.40

l. Equity acts in personam

Prinsip yang keduabelas ini merupakan prinsip yang diturunkan dari teori bahwa equity tidak memberikan tuntutan hak kebendaan atas harta kekayaan tertentu, melainkan hanya memberikan hak untuk memajukan gugatan secara pribadi yang bersifat perorangan.41

3.

Kelahiran Trusts di Inggris

Trusts yang merupakan salah satu bentuk equity adalah produk yang tidak

langsung dari feodalisme yang berkembang di Inggris setelah masa penundukan dan pendudukan oleh Norman (The Norman Conquest) pada tahun 1066. Pada masa tersebut, kepemilikan atas tanah berada di tangan raja (crown) yang didistribusikan kemanfaatannya kepada rakyat melalui para tuan tanah (overlord).42

40

Hudson, op cit., hlm. 22 41

Evans, op cit., hlm. 13 42

Paul Todd dan Sarah Lowrie, op cit., hlm. 5-6

Para tuan tanah ini mewakili raja mendistribusikan kemanfaatan (beneficiary) tanah-tanah yang secara hukum berada di bawah pemilikan raja. Dalam sistem tersebut, tuan tanah yang menerima manfaat pertama dari raja dimungkinkan untuk menyerahkan hak kemanfaatan lebih lanjut (yang bukan merupakan jual beli) dari tanah tersebut kepada pihak lain yang selanjutnya memanfaatkan dan menikmati tanah tersebut. Sistem yang demikian disebut


(31)

dengan nama “sub-infeudation”. Pada umumnya penyerahan kemanfaatan atas tanah tersebut dilakukan secara terstruktur, yaitu dari seorang tuan tanah besar (overlord) kepada beberapa tuan tanah kecil (mense), yang selanjutnya menyerahkan lagi kemanfaatan tanah tersebut, baik secara utuh atau dipecah-pecah kepada rakyat yang memerlukan. Proses sub-infeudation ini, pada akhirnya mengakibatkan terjadinya kesukaran bagi sebagian besar tuan tanah besar (overlord) untuk melakukan pemanfaatan tanah. Sub-infeudation ini, yang berjalan secara turun temurun mengakibatkan terjadinya pendataan yang tidak lagi akurat mengenai siapa yang diberikan hak dan siapa yang secara faktual memanfaatkan tanah yang dikenakan upeti.43

Dalam perkembangan lebih lanjut dikeluarkanlah Quia Emptores di tahun 1290 oleh raja, yang melarang pemberian hak lebih lanjut dalam bentuk

sub-infeudation. Quia Emptores mengonstruksikan hubungan hukum dari setiap orang

atau pihak yang memanfaatkan atau menikmati bidang tanah baru berdasarkan pada Quia Emptores tersebut sebagai suatu bentuk hubungan hukum langsung dengan raja sebagai pemilik tanah. Orang atau pihak yang masih memanfaatkan bidang tanah lama (yang diperolehnya berdasarkan sub-infeudation), sejauh masih dapat dirunutkan asalnya, tetap terikat dalam sistem sebelumnya yang mewajibkan mereka untuk tetap membayar upeti kepada tuan tanah, naamun mereka ini tidak lagi diperkenankan untuk melakukan tindakan sub-infeudation kepada pihak lain.44

43

Ibid, hlm. 7 44


(32)

Berdasarkan pada Quia Emptores, peralihan hak atas tanah yang terkait dengan pemanfaatan tanah tersebut dilaksanakan dengan sistem jual beli hak dan tidak lagi atau bukan lagi dengan cara melakukan sub-infeudation. Untuk keperluan jual-beli tersebut, guna menyempurnakan proses pengalihan dalam hukum, setiap bentuk pengalihan hak atas tanah senantiasa dilakukan secara terbuka, terang dan jelas. Dalam hal penghuni atau pemanfaat suatu bidang tanah pergi jauh dan atau meninggal dan meninggalkan anak-anak yang belum cakap dan/atau isteri yang dianggap tidak cakap bertindak dalam hukum, metode pengalihan hak pemanfaatan atas tanah yang biasa, yang dilakukan secara terbuka, terang dan jelas tidak dapat dilaksanakan. Metode conveyancing yang diperbolehkan oleh hukum untuk melaksanakan hal tersebut, dalam praktiknya membawa dampak pengenaan pajak yang cukup tinggi bagi anak-anak dan/atau isteri yang ditinggalkan tersebut. Hal ini kemudian mengakibatkan banyak orang cenderung untuk melaksanakan sistem pengalihan hak pemanfaatan atas tanah tersebut secara tertutup dan rahasia.45

Salah satu hal yang berkembang terkait dengan aktivitas court of chancery sebagaimana dijelaskan sebelumnya adalah masalah ”kepemilikan” hak

Hal ini menyebabkan terjadinya perbedaan antara pihak yang namanya tercatat dengan pihak yang secara faktual menduduki, mendiami, dan memanfaatkan bidang tanah tersebut untuk suatu jangka waktu tertentu. Perbedaan ini selanjutnya hilang dengan sendirinya pada saat anak yang belum dewasa tersebut menjadi dewasa (yang selanjutnya memperoleh kembali haknya dalam hukum).

45


(33)

pemanfaatan atas tanah yang seringkali dialihkan tidak secara terbuka, terang dan jelas. Dengan konsepsi bahwa equity hanya merupakan pelengkap common law, maka dalam sistem equity, orang atau pihak yang namanya terdaftar tetap diperlakukan sebagai pemilik dalam hukum (trustee), sedangkan mereka yang secara faktual memanfaatkan tanah tersebut diperlakukan sebagai pemilik dalam

equity (cestui que trusts atau beneficiary). Benda yang diserahkan dalam trusts

disebut dengan nama trusts corpus.

4.

Trusts dan Hukum Perjanjian

Hukum perjanjian merupakan bagian dari common law, sedangkan trusts sebagaimana disinggung sebelumnya merupakan suatu produk equity, yang memperoleh perlindungan hukum hanya dalam court of equity. Dengan konsepsi tersebut, trusts hanya didefinisikan sebagai46

Dalam tradisi hukum Anglo Saxon “Contract is a private relationship

between the parties to the contract; it is not of the essence of a trust that a setllor can give property to his trustee on trust for a third party”.

”legal relationship created under the

laws of equity whereby property (the corpus) is held by one party (the trustee) for the benefit of other (cestui que trusts or beneficiaries)”. Konsepsi trusts tersebut

jelas berbeda dengan konsepsi perjanjian dalam tradisi hukum Anglo Saxon.

47

Dengan demikian berarti antara trusts dengan perjanjian dapat ditemukan beberapa perbedaan prinsipil, yaitu sebagai berikut.48

46

AR Fullarton, “The Common Law and Taxation of Trusts in Australia in the Twenty-First Century”, hlm. 3,

47

Beswick v Beswick (1968) pada 19.1 dikutip dari Gary Watt Briefcase on Equity and Trust, (London: Cavendish Publishing Ltd., 1999), hlm. 3.

48


(34)

(a) contracts are an invention of common law, trust of equity

(b) contracts generally create only a personal right, trust a right in the property itself, a right in rem

(c) contracts are enforceable only if supported by consideration or made in a deed; a beneficiary under a property constituted trust can enforce the trust even where he has not given any consideration

(d) contracts cannot usually be enforced by third parties, a rule which is subject to limited statutory exceptions…….A beneficiary can enforce a trust where he or she is not a party to the Agreement between the settlor and the trustees

Sehubungan dengan pernyataan tersebut, perlu diketahui hal-hal berikut dalam tradisi hukum Anglo Saxon:

a. Perjanjian harus memiliki consideration, agar perjanjian tersebut sah, atau dalam hal tidak adanya consideration, perjanjian tersebut harus dibuat dalam bentuk akta (autentik).49 Consideration tersebut harus memiliki nilai. A

valuable consideration, in the sense of law, may consist either in some right, interest, profit or benefit accruing to one party or some forbearance, detriment, loss or responsibility, given, suffered, or undertaken by the other.50

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa suatu consideration adalah timbal balik, saling berjanji unuk melakukan suatu prestasi satu terhadap yang lainnya (reciprocity).

51

49

GH Treitel, Treitel: The Law of Contract, (London: Sweet and Maxwell, 1995), hlm. 63 50

Currie v Misa (1875) dikutip dari Richard Stone, Principles of Contract Law, (London: Cavendish Publishing Ltd, 2000), hlm. 49. Lihat juga Richard D Taylor, Law of Contract, (London: Blackstone Press Limited, 1998), hlm. 58

51

Treitel, op cit., hlm. 63-66. Lihat juga Stone, op cit., hlm. 50

Dengan demikian, dalam konsepsi hukum Anglo


(35)

perjanjian harus berisikan prestasi secara bertimbal balik antara para pihak dalam perjanjian tersebut, kecuali dibuat dalam bentuk akta.

b. Perjanjian tidak dapat dibuat untuk kepentingan pihak ketiga. Dalam pandangan tradisi hukum Anglo Saxon, asas privity of contract, meskipun dalam suatu perjanjian dicantumkan kepentingan pihak ketiga, namun pihak ketiga tersebut tidak dapat memperoleh manfaat atau menuntut dipenuhinya hak pihak ketiga yang ada dalam perjanjian tersebut.52

Dengan demikian jelaslah mengapa trusts berbeda dengan perjanjian, sehingga tidak berada dalam lapangan hukum perjanjian. Trusts merupakan produk equity sedangkan contract adalah produk common law.

5.

Perbedaan Trusts Dengan Berbagai Pranata Hukum Anglo Saxon

a. Perbedaan Trusts dengan Pengurusan, Perwakilan dan Keagenan

Pengurusan dan perwakilan adalah suatu konsepsi yang merupakan refleksi dari satu keping mata uang yang bersisi ganda. Pengurusan menunjuk pada hubungan internal antara pemilik suatu benda (atau kepentingan) yang diurus dengan pihak yang melakukan pengurusan atas benda (atau kepentingan tersebut) untuk dan atas nama dari pemilik benda (dan atau kepentingan) tersebut.

Sedangkan perwakilan adalah hubungan eksternal atau tindakan keluar dari pihak yang melakukan pengurusan atas benda (atau kepentingan) milik orang lain dengan seseorang atau pihak tertentu, yang mengikatkan diri pemilik benda

52

Stephen Graw, An Introduction to the Law of Contract, (Melbourne: The Law Book Company Limited, 1993), hlm. 129. Lihat juga Sydenham, op cit, hlm. 9. Lihat juga David B. Parker dan Anthony R Mellows, op cit., hlm. 8.


(36)

(atau kepentingan) tersebut, serta bukan diri pengurus tersebut. Secara garis besar, pengurusan dan perwakilan dapat terjadi karena :

1) kehendak undang-undang semata-mata, yaitu pengurusan dan perwakilan yang dilakukan oleh orang-perorangan tertentu terhadap harta kekayaan anak-anak atau orang dewasa yang dinyatakan tidak cakap untuk bertindak dalam hukum ;53

2) kehendak undang-undang yang disertai dengan perbuatan manusia ;54 3) putusan dan atau penetapan pengadilan ;

4) pemberian kuasa yang merupakan salah satu bentuk perjanjian khusus ;55 5) pengurusan yang dilakukan oleh orang-perorangan yang merupakan

pengurus dari suatu badan sebagai harta bersama yang terikat, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum, berdasarkan pemberian wewenang, yang mempunyai aspek kehendak undang-undang dan perjanjian pemberian kuasa di dalamnya.56

Agency adalah ”legal relationship under which one person (the agent)

acts on behalf of another (the principal).”57

53

Dalam hak ini adalah pengurusan yang dilakukan oleh orangtua atas harta kekayaan anaknya yang masih di bawah umur, di mana orang tua tersebut adalah juga sebagai wakil dari anaknya yang masih di bawah umur dalam setiap tindakan perdata yang dilakukan atas nama anaknya yang masih di bawah umur tersebut. Lihat Gunawan Widjaja, Aspek Hukum dalam Bisnis

: Pemilikan, Pengurusan, Perwakilan dan Pemberian Kuasa dalam Sudut Pandang KUH Perdata

(Jakarta : Prenada Media, 2004). 54

Dalam hukum perdata Belanda, pengurusan yang demikian disebut dengan nama zaakwaarneming. Lihat rumusan Pasal 1354 sampai dengan Pasal 1358 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

55

Pengurusan yang demikian dalam hukum perdata Belanda disebut dengan lastgeving. 56

Hukum perdata Belanda membedakan jenis pengurusan ini dari jenis pengurusan lainnya. Menurut hukum perdata Belanda pengurusan ini selalu disertai dengan kewenangan untuk bertindak sesuai dengan maksud dan tujuan badan tersebut, yang dinamakan volmacht. Contoh aspek pemberian kuasa dalam pengurusan persekutuan perdata dapat ditemukan dalam rumusan Pasal 1636 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

57

Stone, op cit., hlm. 4.


(37)

Agency adalah58 “fiduciary relationship created by the express or implied contract

or by law, in which one party (the agent) may act on behalf of another party (the principal) and bind that other party by words or actions”. Dari definisi yang

diberikan diatas dapat diketahui bahwa pada prinsipnya seorang agen bertindak sebagai pengurus dari benda (atau kepentingan) seorang lain, serta mewakili orang tersebut dalam setiap tindakan hukumnya yang terkait dengan benda (atau kepentingan) yang diurus oleh agen tersebut. Jika hubungan hukum dalam lapangan hukum perdata, maka hubungan hukum keagenan adalah hubungan hukum yang berada dalam lapangan hukum dagang (commercial).59

Secara prinsip dapat dikatakan bahwa ada persamaan antara agency dan

trusts, yaitu :60

1) agent dan trustee memiliki hubungn fidusia (fiduciary relationship) dengan principal maupun beneficiary, meskipun secara prinsip hubungan fidusia

antara agent-principal dan trustee-beneficiary berbeda ;

2) agent dan trustee memiliki kontrol atau pengawasan terhadap benda milik principal atau beneficiary ; walau demikian jika diperhatikan bahwa :61

1. hubungan hukum yang melekat pada hubungan antara agent dengan benda yang berada dalam pengawasannya berbeda dengan hubungan antara

trustee dengan benda yang berada dalam pengawasannya ; agent sama

sekali tidak memiliki kepentingan yang bersifat kebendaan atas benda yang berada di bawah pengawasannya tersebut, sedangkan trustee adalah

58

Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary 8th ed (St. Paul: West Publishing Co, 2004), hlm. 67

59

Stone, op cit., hlm. 11 60

Ibid, hlm. 9 61


(38)

pemilik dalam hukum dari benda yang berada dalam pengawasannya tersebut ;

2. seorang beneficiary tidaklah memiliki titel hak dalam hukum atas benda yang tercatat sebagai milik trustee (atau pihak lain atas nama trustee), sedangkan principal adalah pemilik sejati dari benda yang berada dalam pengawasan agent ;

3. tanggung jawab yang timbul dari hubungan hukum pihak

ketiga-agent-principal dan pihak ketiga-trustee-beneficiary sangat jauh berbeda, principal bertanggung jawab atas tindakan agent dengan pihak ketiga,

sedangkan seorang beneficiary tidaklah bertanggung jawab atas tindakan

trustee dengan pihak ketiga ;

4. hubungan fidusia antara trustee-beneficiary merupakan kewajiban yang merupakan suatu bentuk kewajiban dan tanggung jawab hukum yang harus dilaksanakan oleh trustee kepada beneficiary : sedangkan hubungan fidusia agent-principal kepada agent untuk melaksanakan sesuatu untuk dan demi kepentingan principal, yang tanpa kewenangan tersebut agent tidak berhak sama sekali untuk melakukannya (privity of contract)

Dengan demikian, jelas bahwa terdapat perbedaan yang cukup signifikan antara hubungan hukum dengan keagenan (agency) dengan trusts.


(39)

b. Perbedaan Trusts dengan Power

Power adalah62 “an authority vested in a person to deal with or dispose

of property of not his own”. : Sehubungan dengan power ini, perlu dibedakan

antara :63

1) bare power, atau personal power yaitu pemberian kewenangan yang bersifat

individual ; dan

2) trusts power, yaitu “power to which some fiduciary obligation is attached”

Secara sederhana dapat dibedakan apakah suatu power termasuk dalam

bare power atau personal power atau mere power,64 dan bukan suatu trusts

powerkarena suatu mere power bersifat discretionary dengan pengertian

pelaksanaannya sepenuhnya diserahkan pada orang yang menerima power (donee/appointer). Hal ini berbeda dengan trusts power, dimana pelaksanaan dari suatu kewenangan yang diberikan dalam suatu trans bersifat imperatif. Ini berarti

trust power wajib untuk dilaksanakan, dengan segala konsekuensi hukumnya.65

Martin melihat sisi lain perbedaan antara bare power dengan trusts power, dimana

bare power berakhir dengan meninggalnya donee, sedangkan trusts power tidak

berakhir dengan meninggalnya trustee.66

c. Perbedaan Trusts dengan Penitipan (Bailment)

62

Martin., op. cit., hlm. 172 63

Istilah ini dipakai oleh Petitt., lihat op. cit., hlm. 25 dan seterusnya. 64

Ibid 65

Martin, op cit., hlm. 172 66


(40)

Bailment adalah67 “a delivery of personal property by one person (the

bailor) to another (the bailee) who holds the property for a certain purpose under an express or implied-in-fact contract”. Berbeda dengan jual beli atau hibah,

dalam bailment “involves a change in possession but not in title”.68

Dalam penitipan (bailment) tidak terjadi peralihan hak milik dari pihak yang menitipkan (bailor) kepada pihak yang menerima penitipan suatu barang (bailee). Bailee berkewajiban untuk memelihara kebendaan yang dititipkan kepadanya, yang berada dalam penguasaannya tersebut menurut suatu standar atau aturan yang telah ditetapkan dalam hukum (common law). Dalam suatu

trusts, trustee merupakan pemilik dari benda yang berada dalam trusts, sedangkan beneficiary merupakan penikmat benda yang berada di bawah kepemilikan trustee.69

d. Perbedaan Trusts dengan Hibah (Gift)

Gift atau hibah adalah suatu bentuk penyerahan dan seluruh hak kebendaan yang melekat pada suatu benda atau property tertentu dari seorang pemilik sejati (absolute owner) kepada seorang lainnya yang disebut dengan

volunteer.70 Seorang volunteer adalah seseorang yang menerima penyerahan

absolute dari suatu benda tanpa memberikan ”consideration for the transfer (of ownership)”.71

67

Garner, Black’s Law Dictionary, hlm. 151 68

Ibid., hlm. 152. 69

Martin, op cit., hlm. 48-49 70

Hudson, loc. cit., hlm. 41 71

Ibid


(41)

(atau donee atau recepient) menjadi pemilik sejati dari benda yang diserahkan kepadanya tersebut.

Dalam hubungan trusts, dimana settlor menyerahkan legal rights atas suatu benda kepada trustee dan equitable right kepada beneficiary, dapat dikatakan juga bahwa beneficiary tersebut juga merupakan seorang volunteer karena beneficiary menerima equitable ownership dari suatu benda, menikmati benda tersebut tanpa adanya kewajiban untuk memberikan kontra prestasi kepada

settlor (sebagai pihak yang menyerahkan benda tersebut = donor).72 Meskipun secara sepintas hubungan antara settlor – beneficiary dalam trusts serupa dengan

donor-volunteer dalam gift; perlu diperhatikan bahwa dalam suatu trusts,

kepemilikan dalam hukum (legal owner) diserahkan kepada trustee, dengan tujuan agar trustee melakukan kontrol atau pengawasan agar beneficiary dapat menikmati benda yang diserahkan dalam trusts tersebut. Dalam trusts yang perlu diperhatikan adalah kewajiban trustee untuk memenuhi kewajibannya dalam

trusts kepada beneficiary.73

B.

Konsepsi Trusts Dalam Tradisi Hukum Anglo Saxon

1. Konsepsi dan Pengertian Trusts

Dalam pandangan tradisi hukum Anglo Saxon,74

72

Ibid. 73

Ibid. 74

Ibid., hlm. 30

”trust is created where the absolute owner of property (the settlor) passes the legal title in that property


(42)

to a person (the trustee) to hold that property on trust for the benefit of another person (the beneficiary) in accordance with terms set out by the settler”.

Konsepsi awal trusts tersebut menunjukkan bahwa “trusts is a

relationship recognized by equity which arises where property is vested in (a person or) persons called the trustees, which those trustees are obligated to hold for the benefit of other persons called cestuis que trust or beneficiaries”.75

Mengutip Underhill, Pettit dalam Equity and the Law of Trusts, menyatakan sebagai berikut.76

a. settler (settler) ;

A trust is an equitable obligation, binding a person (who is called a trustee) to deal with property over which he has control (which is called the trust property) either for the benefit of persons (who are called the beneficiaries or cestui que trust) of whom he may himself be one, and anyone of whom may enforce the obligation, or for a charitable purpose, which may be enforced at the instance of the Attorney-General, or for some other purpose permitted by law though unenforceable.

Dalam pengertian yang demikian berarti trusts merupakan suatu pranata unik yang berada dalam sistem equity, yang melibatkan eksistensi tiga pihak, yaitu :

b. trustee ;

c. beneficiary.

75

Jill E Martin, op cit., hlm. 47. 76

Pettit, op cit., hlm. 22. Settlor

Trustee


(43)

Secara teoritis, dalam suatu pernyataan trusts, settlor menyerahkan suatu benda untuk diletakkan dalam trusts yang tercatat atas nama atau dalam kepemilikan trustee. Pemberian oleh seorang settlor ini disertai dengan kewajiban kepada trustee untuk menyerahkan kenikmatan atau kemanfaatan benda tersebut kepada pihak ketiga yang disebut dengan beneficiary. Ini menunjukkan bahwa

settlor sebagai pemberi suatu benda, setelah pernyataan trusts yang diucapkan

olehnya dilaksanakan tidak lagi menguasai, memiliki atau mempunyai kepentingan apapun atas benda yang sudah diserahkan dalam trusts tersebut. Penyerahan benda tersebut tidak disertai dengan suatu kontra prestasi langsung yang harus dilakukan oleh trustee kepada settlor, melainkan kepada seorang pihak ketiga yang disebutkan oleh settlor dalam pernyataan trusts-nya tersebut. Dalam konteks tersebut, antara settlor, trustee dan beneficiary tidak ada perjanjian (kontrak) sama sekali. Beneficiary tidaklah mempunyai kewenangan dalam hukum (common law) untuk menuntut pemenuhan kewajiban trustee, demikian juga settlor (oleh karena settlor sudah kehilangan haknya atas benda tersebut dalam hukum).

Penjelasan diatas menunjukkan bahwa seorang trustee adalah pihak yang mempunyai kewenangan atas benda yang berada dalam trusts, yang merupakan bagian dari kewajibannya terhadap beneficiary atau cestui que trust, meskipun kewenangan tersebut hanya sebatas pencatatan atau pendaftaran atas nama trustee


(44)

tersebut.77 Bahkan dalam perkembangan selanjutnya sebagaimana dikatakan oleh Gary Watt dalam Briefcase Equity & Trusts : 78

a. the assets constitute a separate fund and are not part of the trustee’s estate;

A trust has the following characteristics:

b. title to the trust assets stands in the name of the trustee or in the name of another person on behalf of the trustee;

c. the trustee has the power and the duty, in respect of which he is accountable, to manage, to employ or dispose of the assets in accordance with the terms of the trusts and the special duties imposed upon him by law

The reservation by the settlor of certain rights and powers, and the fact that the trustee may himself have rights as a beneficiary, are not necessarily inconsistent with the existence of a trusts.

2. Klasifikasi Trusts

Diagram 2 : Klasifikasi Trusts

77

Ibid., hlm. 23. 78

Gary Watt, op cit., hlm. 2-3.

TRUST

EXPRESS NON EXPRESS Public /

Charitable Private

Un-Enforceable Trust of Imperfect Obligation

Implied & Resulting

Cons-tructive

Fixed Protective Discretionary Traditional New Model

Under Trust Instrument

By the Operation of Law


(45)

a. Express Trusts

Express trusts terjadi jika seorang settlor membuat pernyataan bahwa harta

kekayaan tertentu diserahkan dalam trusts untuk kepentingan orang-orang atau tujuan tertentu.79

1) private trusts;

Express trusts selanjutnya dibedakan ke dalam :

2) public trusts;

3) trusts of imperfect obligation.

1) Private dan Public Trusts80

Express trusts dapat melahirkan private trusts maupun public trusts. Express trusts melahirkan private trusts jika benda yang diletakkan dalam trusts

tersebut hanya dimanfaatkan oleh satu orang atau satu kelompok orang tertentu. Sementara itu, express trusts dinilai melahirkan public trusts jika benda yang diletakkan dalam trusts tersebut dipergunakan untuk suatu tujuan sosial tertentu, yang dapat dinikmati oleh banyak orang, seperti misalnya suatu charitable trusts.

Private trusts selanjutnya dibedakan ke dalam fixed trusts, protective

trusts, dan discretionary trusts.

a) Discretionary dan Fixed Trusts81

Discretionary trusts adalah suatu trusts di mana trustee diberikan kebebasan

(kebijakan) untuk melakukan suatu tindakan untuk kepentingan dari salah satu atau lebih beneficiary tertentu dalam suatu kelompok orang yang telah

79

Margaret Halliwell, Equity and Trusts (London: Old Bailey Press, 2002), hlm. 3. 80

Ibid., hlm. 4. 81


(46)

ditentukan oleh settlor atau kepada seluruh beneficiary dalam kelompok tersebut, semata-mata atas pertimbangan dari trustee. Sementara itu, dalam

fixed trusts, kewajiban trustee sudah ditentukan dengan pasti. Trustee hanya

melaksanakan segala sesuatu yang telah ditentukan dalam pernyataan trusts dan wajib untuk melaksanakannya untuk kepentingan dari seluruh beneficiary, serta tidak diperkenankan untuk bertindak berdasarkan pada kebijakannya sendiri.

b) Protective Trusts82

Protective trusts adalah trusts yang dengan sengaja secara khusus diciptakan

oleh settlor agar beneficiary tidak menghabiskan atau menghilangkan atau meniadakan dengan cara apapun juga hak-haknya dalam equity (beneficiary

rights) kepada pihak lain, selama benda yang dinikmatinya tersebut masih

berada dalam trusts di bawah pemilikan trustee83

2) Charitable Trusts

Charitable trusts adalah suatu public trusts yang dengan sengaja dibuat

atau dibentuk untuk kegiatan bagi kepentingan umum yang diakui oleh pengadilan sebagai charitable (suatu bentuk amal atau kedermawanan).84

82

Ibid., hlm. 4-5 83

Ibid. hlm. 5 84

Ibid

Charity adalah pengertian hukum, sehingga apa yang dikandung atau dirasakan oleh donor (sebagai settlor) tidaklah penting. Pengadilan menentukan apakah suatu tindakan yang dilakukan termasuk ke dalam tindakan charity atau bukan. Dalam Re.


(47)

sebagian harta peninggalannya untuk mendirikan sekolah yang melatih orang-orang dalam bidang kerohanian untuk tujuan amal. Mengenai hal tersebut Russie LJ mengemukakan :85

Pada sisi lain, meskipun dalam pandangan pemberi wasiat suatu tindakan hanya ditujukan untuk kepentingan pemberi wasiat, namun jika dalam pandangan pengadilan hal tersebut membawa kepentingan bagi masyarakat banyak, wasiat yang ditinggalkan tersebut dapat menjadi suatu charitable trusts.

“In my opinion the question whether a gift is or may be operative

for the public benefit is the question to be answered by the court by forming an opinion on the evidence before it.”

86

Untuk menilai apakah suatu tindakan pemberian adalah charitable trusts atau bukan, ada tiga hal pokok yang diperhatikan oleh pengadilan yaitu sebagai berikut.87

a) Trusts must be of a charitable nature within the spirit and intendment of the preamble to the Statute of Elizabeth as interpreted by the courts and extended by statute;

b) It must promote a public benefit of a nature recognized by the courts as a public benefit;

c) The purpose of the trusts must be wholly and exclusively charitable

85

Ibid., hlm. 171. 86

Dalam Re King [1923] I Ch 243 dikatakan bahwa suatu wasiat untuk membangun jendela dengan kaca berpatri dengan warna warni (stained-glass) di gereja yang semula ditujukan bagi kepentingan pewasiat dianggap sebagai charitable trusts karena hal tersebut ternyata telah memberikan manfaat bagi gereja, yang terwujud dalam bentuk peningkatan peribadatan di gereja tersebut.

87


(48)

3) Purpose Trusts (Trusts of Imperfect Obligations)

Purpose trusts adalah trusts yang dibuat untuk tujuan tertentu dan bagi

kepentingan tujuan tersebut daripada untuk kepentingan seorang atau lebih

beneficiary. Purpose trusts ini sering kali disebut juga dengan nama “trusts of imperfect obligation”. Secara umum trusts yang demikian batal dan tidak

memiliki kekuatan hukum, karena dalam konsepsi private trusts, trusts dibuat dan diciptakan untuk kepentingan dari seorang atau lebih beneficiary tertentu dan bukan untuk tujuan atau kepentingan tertentu.88 Roxburgh J dengan tegas mengemukakan bahwa suatu trusts bukanlah trusts jika tidak ada objek yang tertuju pada kepentingan orang perorangan tertentu.89

Ada tiga kondisi yang harus diperhatikan dalam suatu purpose trusts, yang sering kali dipergunakan oleh pengadilan untuk menyatakan bahwa suatu purpose

trusts adalah purpose trusts yang memiliki akibat hukum dan atau memiliki

kekuatan hukum. Ketiga kondisi tersebut adalah sebagai berikut.90

a) The trusts must be for a purpose which has been previously upheld by the court

b) The trusts must be limited in perpetuity91

c) There must be someone who will execute the purpose trusts

Dengan demikian pada dasarnya suatu purpose trusts merupakan pengecualian dari berlakunya ketentuan trusts secara umum. Purpose trusts hanya dibatasi pada pelaksanaan suatu wasiat yang jika tidak dilaksanakan akan

88

Ibid., hlm. 5 89

Ibid., hlm. 155 90

Ibid., hlm. 157 91

Hal ini terkait dengan ketentuan umum bahwa ”Trusts must not be continue beyond the


(49)

menyebabkan terjadinya hibah atas sisa benda milik pewasiat. Pengadilan dapat secara tidak langsung melaksanakan trusts tersebut dengan meminta jaminan dari

trustee untuk melaksanakan wasiat tersebut sesuai dengan dan untuk kepentingan

yang telah ditentukan tersebut, dan selanjutnya memberikan kepada para penerima wasiat sisa (lainnya) untuk melaksanakan wasiat tersebut secara bebas jika hal tersebut tidak dilaksanakan.92

b. Not-Express Trusts

Not-express trusts dapat dibedakan lagi ke dalam : 1) resulting trusts;

2) constructive trusts.

1) Resulting Trusts

Resulting trusts sering kali dinamakan juga implied trusts.93 Suatu trusts dikatakan merupakan implied atau resulting trusts jika, misalnya seorang settlor menyatakan kehendaknya untuk memberikan kepada seorang beneficiary uang sejumlah tertentu untuk keperluan selama hidup dari orang tersebut. Trusts yang demikian tidak menjelaskan ke mana perginya sisa uang yang diletakkan dalam

trusts tersebut, ketika beneficiary telah meninggal dunia. Dalam konteks yang

demikian kepada settlor atau masuk ke dalam harta kekayaan settlor pada saat meninggal dunia.94

92

Pettit, op cit., hlm. 49. 93

Halliwell, op cit., hlm. 5. 94


(50)

Dalam konteks yang lain, resulting trusts dapat terjadi misalnya dalam hal dua atau lebih orang membeli sesuatu benda secara bersama-sama, baik atas nama seseorang dari mereka atau atas nama bersama. Dalam hal ini, equity mengatakan bahwa suatu resulting trusts telah terjadi untuk kepentingan atas benda yang dibeli tersebut untuk kepentingan dari seluruh pihak yang telah berkontribusi untuk membeli benda tersebut.95

2) Constructive Trusts

Suatu trusts adalah constructive trusts jika trusts tersebut dipaksakan pelaksanaannya oleh Pengadilan karena perilaku dari pihak tertentu dalam trusts tersebut yang tidak adil yang berkehendak untuk mempertahankan seluruh atau sebagian kepentingan atau manfaat atas suatu benda tertentu hanya untuk kepentingan dirinya sendiri. Dalam trusts jenis ini, kehendak dari settlor tidak lagi menjadi perhatian (penting), oleh karena constructive trusts ini berjalan demi hukum dan diatur sepenuhnya menurut ketentuan atau aturan hukum yang berlaku.

Beberapa hal penting yang dapat menyebabkan terjadinya constructive

trusts adalah misalnya :96

a) Seorang pihak ketiga (di luar instrumen trusts), yang bukan bona fide

purchaser for value without notice, menguasai suatu benda yang diletakkan

atau diserahkan dalam trusts diwajibkan untuk menjadi constructive trustee bagi beneficiary benda yang berada dalam kekuasaannya tersebut ;

95

Ibid. 96


(51)

b) Trustee memperoleh manfaat pribadi dari suatu trusts, yang selanjutnya

diwajibkan untuk tetap memeliharanya dalam trusts untuk kepentingan dari

beneficiary ;

c) Dalam suatu perjanjian yang bertujuan untuk melaksanakan jual beli tanah, pemilik menjadi constructive trustee bagi pembeli hingga seluruh proses jual beli diselesaikan dan pembeli menjadi pemilik.

Dengan demikian, secara umum dapat dikatakan bahwa jika ada pemisahan kepemilikan, sedangkan tidak ada express trusts, implied trusts atau

resulting trusts, pihak terhadap siapa suatu benda diserahkan penguasaan dan

kepemilikannya menjadi trustee dalam suatu constructive trusts.97 Constructive

trusts lahir karena kehendak hukum semata-mata.98 Dikatakan karena kehendak hukum, oleh karena constructive trusts diwajibkan oleh dan berdasarkan pada putusan pengadilan tanpa perlu memerhatikan kehendak dari para pihak yang ada dalam hubungan hukum tersebut.99

3. Terciptanya (Express) Trusts

Seperti telah dijelaskan di atas, pada dasarnya suatu trusts diciptakan dari pernyataan trusts yang diucapkan oleh settlor yang dinamakan dengan express

trusts. Pernyataan trusts sendiri, dalam konsepsi tradisi hukum Anglo Saxon dapat

mengambil bentuk sebagai berikut.100

97

Ibid. 98

Hudson, op cit., hlm. 342. 99

Ibid. 100

Creation of Trusts: Is there a Valid trusts? Hlm. 3, dikutip dari :


(52)

a. Declaration of trusts, dengan pengertian bahwa dengan dinyatakannya

deklarasi tersebut, settlor yang semula merupakan pemilik sejati (dominium) atas suatu benda tertentu, demi hukum berubah statusnya menjadi trustee yang hanya memiliki kewenangan sebagai pemilik dalam hukum, dan tidak lagi berhak untuk menikmati benda tersebut, yang selanjutnya berubah pula statusnya menjadi benda yang berada dalam trusts. Dengan deklarasi tersebut, seorang atau lebih pihak yang ditunjuk dalam deklarasi tersebut demi hukum menjadi beneficiary yang berhak atas kenikmatan benda tersebut. Jadi dalam hal ini tidak terjadi perpindahan hak milik dari settlor kepada trustee oleh karena settlor sendiri adalah trustee.

b. Deed of trusts, dalam suatu akta yang bertujuan untuk menyerahkan suatu benda kepada trustee yang merupakan pihak ketiga di luar settlor, dengan tidak menutup kemungkinan bahwa settlor sendiri menjadi salah satu trustee (dalam hal diangkat lebih dari seorang trustee). Deed of trusts ini pada umumnya dibuat selama hidup seseorang. Deed of trusts ini pada umumnya dibuat selama hidup seseorang. Deed of trusts ini sering kali disebut juga dengan trusts instrument.

c. Trusts will, yang pembuatannya tunduk pada ketentuan yang mengatur

mengenai tata cara pemberian wasiat. Dalam konteks yang terakhir ini, settlor tidak mungkin menjadi trustee, dan penyerahan benda ke dalam kepemilikan

trustee-pun hanya terjadi setelah settlor meninggal dunia.

Sehubungan dengan Express trusts tersebut perlu juga untuk diperhatikan bahwa tidak semua pernyataan trusts (express trusts) yang dibuat (oleh settlor)


(53)

menjadi atau melahirkan suatu trusts yang sah. Untuk membuat suatu pernyataan

trusts sah, perlu dipenuhi 3 syarat berikut di bawah ini :101

a. certainty of words or intention (kepastian kata-kata dan kehendak);

b. certainty of subject-matter (kepastian mengenai benda dan kepentingannya);

c. certainty of objects (kepastian mengenai pihak penerima manfaat).

Berikut di bawah ini adalah diagram yang menggambarkan kewajiban pemenuhan tiga syarat agar suatu pernyataan ‘trusts (express trusts) yang diucapkan oleh’ settlor menjadi sah.102

Diagram 3 : Terciptanya Trusts

a. Kepastian Kata-kata dan Kehendak

Kepastian mengenai kata-kata dan kehendak menunjukkan bahwa settlor sudah mantap dengan keputusannya untuk menciptakan (create) trusts.

101

Halliwell, op cit., hlm. 14. Lihat juga Mohamed Ramjohn, Sourcebook on Law of Trusts (London: Cavendish Publishing Limited, 1998), hlm. 60-61.

102

Michael Doherty, Revision Workbook Equity and Trusts (London: Old Bailey Press, 2004), hlm. 11.

Trusts the Three Certainties

Words / Intention

Subject Matter

Objects / Beneficiary

Beneficial Interest

Property Fixed Trusts


(54)

Sementara itu, kata-kata trusts itu sendiri tidak perlu ternyata dengan tegas dalam rumusan kata-kata yang dibuat oleh settlor, selama rumusan kata-kata itu sendiri dengan tegas mengisyaratkan bahwa settlor bermaksud untuk menciptakan trusts.103

b. Kepastian Mengenai Benda dan Kepentingannya

Kepastian mengenai hal tertentu dalam penciptaan trusts terwujud dalam sebagai berikut.

1) Benda atau property yang diserahkan atau diletakkan dalam trusts haruslah sesuatu yang telah ditentukan secara pasti. Dalam Sprange v. Barnard (1989) dua Bro CC pemberian sejumlah uang tertentu (300 Poundsterling) oleh pewasiat kepada suaminya untuk dipergunakan selama hidup suaminya dan selanjutnya menyerahkan sisanya untuk bagian yang sama besar kepada saudara laki-laki dan saudara perempuan pewasiat tidaklah diperlakukan sebagai trusts, melainkan sebagai hibah murni. Hal ini diputuskan dengan mengingat bahwa tidak ada suatu kepastian berapa jumlah sisa yang masih ada yang dapat diserahkan oleh suaminya (setelah meninggal) kepada saudara laki-laki dan saudara perempuan pewasiat.104

2) Beneficial interest harus telah pasti. Dalam Boyce v. Boyce (1849) 16 Sim

476, trusts yang dibuat oleh pewasiat atas sejumlah rumah tertentu kepada isterinya sebagai trustee selama hidupnya dan selanjutnya menyerahkan salah satunya kepada anak perempuannya A dengan hak untuk memilih terlebih dahulu dan anak perempuan lainnya B untuk sisanya; telah dianggap batal

103

Sydenham, loc. cit., hlm. 15. Lihat juga Halliwell, op cit., hlm. 17. 104


(1)

Undang-Undang Hukum Dagang, maupun trusts dalam sistem (peradilan) equity pada perkembangan awal tradisi hukum Anglo Saxon.

C. Berangkat dari konsepsi bahwa harta terpisah merupakan salah satu unsur terpenting bagi pelaksanaan sekuritisasi aset, dan pentingnya perwakilan bersama dalam melakukan tindakan hukum atas nama pemegang Efek Beragun Aset (EBA), penerapan pranata trusts dalam proses sekuritisasi aset di Indonesia, secara sederhana dapat mengambil bentuk berupa owner trustee, dan/atau indenture trustee.

Dalam penerbitan Efek Beragun Aset bersifat ekuitas, Bank Kustodian menjadi trustee pemilik, yaitu pihak yang mencatatkan seluruh harta kekayaan yang menjadi dasar penerbitan Efek Beragun Aset bersifat ekuitas tersebut atas namanya (custodian trustee). Dalam konteks ini, Bank Kustodian tidaklah dapat berdiri sendiri. Bank Kustodian memerlukan bantuan trustee pengurus atau pengelola, yang di Indonesia dapat dijalankan oleh Manajer Investasi, yang melakukan kegiatan pengurusan dan pengelolaan seluruh trusts corpus yang dicatatkan atas nama Bank Kustodian.

Dalam penerbitan Efek Beragun Aset bersifat utang, selain keterlibatan wali amanat (indenture trustee) sebagai wakil investor pemegang Efek Beragun Aset bersifat utang, pemisahan yang dilakukan terhadap harta kekayaan dalam bentuk piutang yang dijadikan sebagai jaminan pembayaran Efek Beragun Aset bersifat utang, memerlukan juga


(2)

keterlibatan Bank Kustodian sebagai pihak yang menyimpan dan selanjutnya mencatatkan trusts corpus dipisahkan (custodian trustee), dan juga manajer investasi sebagai trustee yang melakukan pengurusan dan pengelolaan terhadap seluruh trusts corpus yang dicatatkan atas nama bank kustodian tersebut.

Pemisahan fungsi-fungsi trustee tersebut di atas sangatlah diperlukan, agar kepentingan dan perlindungan terhadap investor pemegang Efek Beragun Aset bersifat utang tersebut dapat lebih terjamin. Dengan dilakukannya pemisahan penyimpanan, pencatatan dan pengurusan serta pengelolaan trusts corpus tidak mungkin terjadi lagi pencampuran harta kekayaan milik penerbit, baik itu issuer dalam bentuk Kontrak Investasi Kolektif yang tidak berbadan hukum maupun suatu Special Purpose Vehicle yang berbadan hukum berbentuk perseroan terbatas, yang dijadikan sebagai dasar pembayaran dan jaminan penerbitan Efek Beragun Aset dengan harta kekayaan lainnya yang mungkin ada.

Pemisahan juga perlu dilakukan jika penerbit Efek Beragun Aset adalah Special Purpose Vehicle berbentuk badan hukum, yang hanya melakukan satu kali penerbitan selama hidupnya Special Purpose Vehicle tersebut, meskipun secara teoretis tidak mungkin terjadi percampuran harta kekayaan milik Special Purpose Vehicle tersebut, karena Special Purpose Vehicle tersebut hanya memiliki satu jenis harta kekayaan. Pemisahan tetap diperlukan dengan mengingat bahwa pada umumnya pemegang saham Special Purpose Vehicle adalah juga originator atau settlor dari trusts


(3)

corpus, yang dikhawatirkan dapat memengaruhi kebijakan Special Purpose Vehicle dalam melakukan pengelolaan dan pengurusan trusts corpus sebagai suatu perseroan terbatas.

Dalam hal perdagangan Efek Beragun Aset sudah dilakukan secara tanpa warkat, fungsi penyimpanan Efek Beragun Aset secara kolekt if diserahkan kepada dan untuk dicatatkan atas nama Kustodian Sentral Efek Indonesia, sebagai kustodian sentral dalam kapasitasnya sebagai custodian trustee.

B.

Saran

1. Kesimpulan memperlihatkan bahwa selain hal-hal yang oleh undang-undang diatur secara tegas, misalnya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, hal-hal lain yang terkait dengan hak dan kewajiban Trustee dalam setiap hubungan hukum yang membawa serta pranata Trusts di dalamnya, sebagai bagian dari asas kebebasan berkontrak dalam hukum perjanjian, semata-mata diatur dalam perjanjian yang melahirkan Trusts itu sendiri. Ini berarti luas sempitnya tanggung jawab dari Trustee bergantung sepenuhnya pada kemampuan Trustee untuk melakukan penawaran (Bargaining) terhadap perjanjian yang dibuat olehnya.

2. Pengakuan keberadaan atau eksistensi Trusts dalam pasar modal perlu mendapat tindak lanjut, dengan misalnya memperkenalkan berbagai macam instrumen pasar modal lainnya yang diharapkan dapat menjadi alternatif sumber pendanaan baru bagi perusahaan pelaku usaha atau menjadi alternatif dalam


(4)

berinvestasi bagi investor pasar modal seperti misalnya Real Estate Investment Trusts (REIT) sebagai suatu bentuk Mutual Fund yang menjadi pemilik dari sejumlah Real Estate yang menghasilkan uang atau kas di kemudian hari.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Ahmad, Z Ansori. Sejarah dan Kedudukan BW di Indonesia. Jakarta: Cv Rajawali, 1986.

Arnaud, AA. Investment Trusts Explained 2nd ed. Cambridge: Woodhead- Faulkner, 1983.

Black, Henry Campbell. Black’s Law Dictionary 6th ed. St. Paul Minn.: West Publishing Co., 1990.

Cracknell, DG., et. All. English Legal System 3rd ed. London: old Bailey Press, 2001.

Dimyati, Khudzaifah dan Kelik Wardiono, ed. Problema Globalisasi: Perspektif Sosiologi Hukum, Ekonomi, dan Agama. Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2000.

Gautama, Sudargo. Hukum Antar Tata Hukum (Kumpulan Karangan). Bandung: Alumni, 1977.

Hanbury, Harold Greville. Hanbury and Maudsley Modern Equity 16th ed by Jill E. Martin. London: Stevens and Sons, 1985.

Hudson, Alastair. Equity and Trusts 2nd ed. London: Cavendish Publishing Ltd., 2002.

Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja. Seri Hukum Perikatan: Perikatan Pada Umumnya. Jakarta: PT RajaGranfindo Persada, 2003.

, Seri Hukum Harta Kekayaan: Hak Milik dan Kedudukan Berkuasa dalam Sudut Pandang KUH Perdata. Jakarta: Kencana, 2003.

Parker, David B dan Anthony R. Mellows. The Modern Law of Trusts 5th ed, London: Sweet and Maxwell Ltd., 1983.

Pearce, Robert A. Dan John Stevens. The Law of Trusts and Equitable Obligations. London: Butterworths, 1998.

Sunarto, Sri Sunarni. Penerapan Konsepsi Trusts dalam rangka Pembangunan Hukum Nasional Indonesia. Disertasi dipertahankan di Universitas Padjajaran, Bandung, 2003.

Sydenham, Angela. Nutshells: Equity and Trusts. London: Sweet and Maxwell, 2000.

Tood, Paul dan Sarah Lowrie. Textbook on Trusts 5th ed. London: Blackstone Press Ltd., 2000.

Wart, Gary. Briefcase Equity and Trusts 2nd ed. London: Cavendish Publishing Ltd., 1999.

Widjaja, Gunawan. Transplantasi Trusts dalam KUH Perdata, KUHD, dan Undang-Undang Pasar Modal Indonesia. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008.


(6)

B. Sumber-sumber Lainnya http//:wikipedia.co.id