BAB III TRANSPLANTASI LEMBAGA TRUSTS KE DALAM
SISTEM HUKUM INDONESIA SISTEM EROPA KONTINENTAL
A. Eksistensi Equity dan Pranata Serupa Trusts dalam Tradisi Hukum Eropa Kontinental
Seperti telah disinggung dalam uraian Bab II, dengan berdasarkan pada batasan hubungan antara equity dan common law
163
, jelas trusts tidak mungkin ada dalam tradisi hukum Eropa Kontinental “yang dianggap” tidak mengenal
sistem equity. Sebagaimana dinyatakan oleh Peter Joseph Loughlin dalam tulisannya “The Domestication of the Trusts: Bridging the Gap Between Common
Law and Civil Law” yang mengutip pernyataan KGC Reid, “[i]t is possible to have the trust and yet still remain virtuous. To adopt the trust is not, or not
necessarily, to sink into the arms of Equity”.
164
163
Michael Evans, Outline of Equity and Trusts, Sydney: Butterworths, 1995, hlm. 5-8.
Dari pernyataan Loughlin tersebut, berarti dimungkinkan untuk menemukan eksistensi trusts dalam negara-
negara yang menganut tradisi hukum Eropa Kontinental. Trusts dalam negara- negara dengan tradisi hukum Eropa Kontinental ini adalah trusts tanpa sistem
equity. Equity yang dimaksud oleh Loughlin di sini adalah sistem equity yang berdiri di samping sistem peradilan dalam hukum common law.
164
Peter Joseph Loughlin, “The Domestication of the” Trust: Bridging the Gap between Common Law and Civil Law”, hlm. 39,
http:jurisconsultsgroup.comtrust.htm
Universitas Sumatera Utara
Sejarah menunjukkan bahwa berjalannya equity di Romawi tidak terlepas dari perbedaan-perbedaan antara sistem hukum Romawi dengan negara-negara
sekitarnya, termasuk jajahannya. Untuk menyelesaikan berbagai macam persoalan yang muncul dari negara-negara kecil yang berada dalam imperiumnya, Kaisar
Romawi menunjuk magistrate khusus, yang dinamakan praetor peregrinus. Melalui praetor peregrinus inilah, Romawi dengan ius civile-nya yang kaku mulai
membuka mata terhadap eksistensi dari ius gentium yang bersifat fleksibel. Sistem peradilanpun mengalami perubahan dengan munculnya berbagai macam
penggantian kerugian dalam hukum yang semula tidak dapat ditemukan dalam ius civile. Dari sinilah mulai diperkenalkanlah bentuk-bentuk equity, yang tidak lain
merupakan konstruksi etis mengenai apa yang harus dan apa yang tidak boleh dilakukan. Melalui pengakuan dan penerapan ius gentium di luar aturan dan
ketentuan hukum yang ada dalam ius civile masuklah konstruksi etis tersebut ke dalam hukum Romawi yang terkodifikasi.
165
Ralph A. Newman dalam The General Principles of Equity mengemukakan bahwa sejarah menunjukkan adanya lima macam cara masuknya
equity ke dalam kitab undang-undang Romawi. Kelima hal yang dilakukan tersebut adalah :
166
a. by incorporating Roman equity and later infusions of equitable doctrine into
the statutory provisions;
165
Ibid., hlm. 75-76.
166
Ibid., hlm. 590-591
Universitas Sumatera Utara
b. by providing for the applications of specific principles of equity in connection
with statutory rules dealing with narrowly defined situations;
167
c. by incorporating some of general principles of equity into general statutory
provisions applicable to broad areas of law;
168
d. by resort of equitable doctrine in order to fill gaps in the code;
169
e. by interpreting statutory provisions as embodying related equitable principles
Penjelasan yang diberikan di atas menunjukkan bahwa secara historis, equity, dan bentuk-bentuknya juga dapat ditemukan dalam perkembngan sejarah
tradisi hukum Eropa Kontinental. Bentuk-bentuk equity tersebut dalam perkembangannya dimasukkan dan dijadikan sebagai bagian dari kitab undang-
undang code yang berkembang dari waktu ke waktu. Perkembangan ini, sesuai dengan perkembangan sejarah hukum yang diserap dalam masing-masing negara,
seberapa jauh juga mengakibatkan terjadinya perbedaan-perbedaan dalam bentuk- bentuk equity yang ada dalam tiap-tiap negara. Dengan demikian, dapat dikatakan
bahwa eksistensi equity dalam kitab undang-undang hukum perdata yang berlaku pada negara-negara dengan tradisi hukum Eropa Kontinental dapat berbeda-beda
antara satu dengan yang lainnya. Uraian di atas menjelaskan mengapa dalam hukum perdata dan khususnya
kitab undang-undang hukum perdata yang berlaku di negara-negara yang menganut tradisi hukum Eropa Kontinental dapat ditemukan berbagai macam
167
Contohnya adalah berlakunya doktrin laesio enormis dalam penjualan benda tidak bergerak.
168
Dalam hal ini meliputi penggunaan konsepsi ”good faith” iktikad baik dalam pembuatan, penafsiran dan pelaksanaan perjanjian.
169
Ketentuan ini merujuk pada berlakunya kebiasaan dalam hukum perjanjian yang harus dihormati oleh para pihak.
Universitas Sumatera Utara
pranata yang memiliki persamaan dengan pranata trusts yang berkembang dalam court of equity negara-negara yang menganut tradisi hukum Anglo Saxon.
Perkembangan historis tersebut di atas juga menunjukkan mengapa pada hampir semua kitab undang-undang hukum perdata dan kitab undang-undang hukum
dagang yang ada dapat ditemukan pranata-pranata yang serupa dengan trusts yang berkembang dalam court of equity pada tradisi hukum Anglo Saxon, meskipun
bentuk pranata tersebut dapat berbeda-beda antara negara yang satu dengan negara yang lainnya. Jika memerhatikan seluruh penjelasan yang diberikan di
atas, dapat dikatakan bahwa meskipun dalam tradisi hukum Eropa Kontinental tidak dikenal court of equity, sejarah menunjukkan bahwa konstruksi atau bentuk-
bentuk equity juga dikenal dalam tradisi hukum Eropa Kontinental, yang masuk ke dalam aturan hukum yang terdapat dalam kitab undang-undang hukum perdata,
termasuk kitab undang-undang hukum dagang dalam tiap-tiap negara dengan tradisi hukum Eropa Kontinental. Dengan demikian, keberadaan pranata hukum
serupa trusts dalam tradisi hukum Eropa Kontinental juga dapat ditemukan dalam kitab undang-undang hukum perdata dan kitab undang-undang hukum dagangnya.
Maurizio Lupoi mengemukakan adanya lima ciri-ciri atau karakteristik suatu trusts. Kelima ciri-ciri atau karakteristik tersebut adalah :
170
1. adanya penyerahan suatu benda kepada trustee, atau suatu pernyataan trusts;
2. adanya pemisahan kepemilikan benda dalam trusts tersebut dengan harta
kekayaan milik trustee yang lain;
170
Maurizio Lupoi, “The Civil Law Trust”, Vanderbilt Journal of Transnational Law [Vol. 32: 1999], hlm. 4. Bandingkan juga dengan Sri Sunarni Sunarto, “Penerapan Konsepsi Trust
Dalam Rangka Pembangunan Hukum Nasional Indonesia”, Disertasi Doktoral yang dipertahankan di Program Pascasarjana Universitas Padjajaran Bandung, 2003, hln. 86-97, dan 115-148, yang
tidak memasukkan pentingnya eksistensi settlor dalam penelitiannya.
Universitas Sumatera Utara
3. pihak yang menyerahkan benda tersebut settlor, kehilangan kewenangannya
atas benda tersebut; 4.
adanya pihak yang memperoleh kenikmatan beneficiary atau suatu tujuan penggunaan benda tersebut, yang dikaitkan dengan kewajiban trustee untuk
melaksanakannya 5.
adanya unsur kepercayaan fiduciary component dalam penyelenggaraan kewajiban trustee tersebut, khususnya yang berkaitan dengan benturan
kepentingan. Dengan berdasarkan pada kedua “set” ciri-ciri dan karakteristik tersebut di
atas, dapatlah ditelusuri berbagai macam bentuk pranata hukum di negara-negara dengan tradisi hukum Eropa Kontinental yang menyerupai trusts di negara-negara
dengan tradisi hukum Anglo Saxon.
B. Transplantasi Trusts pada Negara-negara yang Menganut Sistem Hukum Eropa Kontinental