BAB II LEMBAGA TRUST DALAM SISTEM ANGLO SAXON
A. Kelahiran Equity dan Trusts di Inggris
1. Sistem Hukum Anglo Saxon dan Equity
Pada negara-negara dengan tradisi hukum Anglo Saxon, trusts adalah suatu pranata atau institusi yang unik. Trusts tidaklah berdiri sendiri, melainkan
merupakan bagian dari suatu sistem yang lebih besar, yaitu equity. Trusts lahir karena adanya equity, tanpa equity tidak ada trusts.
10
Trusts merupakan salah satu kontribusi terbesar dari equity.
11
Sebagai suatu sistem yang berkembang dan berjalan seiring dengan berkembangan dan perjalanan common law, equity dan common law memiliki
hubungan yang saling melengkapi. Diantara keduanya, equity dan common law ada garis-garis merah yang menjadi dan merupakan batasan berhubungan dan
Kelahiran equity di Inggris tidak diketahui dengan pasti. Lebih kurang pada abad kelima belas menjelang abad keenam belas, lahir pandangan dan
persepsi bahwa penerapan dan pelaksanaan aturan hukum yang kaku common law yang pada saat itu seringkali dinilai tidak memberikan keadilan. Sejak saat
itulah mulai dikembangkan suatu sistem peradilan lain diluar hukum court of law yang berlaku. Hal ini dilakukan dengan asumsi bahwa raja harus terus
berupaya memberikan keadilan bagi rakyatnya.
10
Peter Joseph Loughlin, “The Domestication of The “Trust: Bridging the Gap between Common Law and Civil Law, hlm. 3,
http:jurisconsultsgroup.comTrusts.htm
11
Angela Sydenham, Nutshells: Equity Trusts, London: Sweet Maxwell, 2000, hlm. 1.
Universitas Sumatera Utara
sekaligus menjadi dasar bekerjanya equity dan common law secara bersama-sama. Prinsip-prinsip dasar yang menjadi batasan hubungan equity dan common law
tersebut dapat dilukiskan sebagai berikut:
12
a. Yurisdiksi common law tidak pernah mengakui equitable rights, titles and
interests. Dalam pandangan yang demikian, hanya trustee yang diakui oleh common law sebagai pemilik dari suatu benda, dan bukan beneficiary. Ini
berarti suatu gugatan yang berkaitan dengan pelanggaran terhadap equitable obligations tidak pernah dapat dimajukan dihadapan pengadilan common law.
b. Court of equity tidak berwenang untuk memutuskan perkara yang berkaitan
dengan legal rights and titles. Dengan demikian, setiap pihak yang dimaksud untuk menegakkan haknya dalam hukum common law harus memajukannya
dihadapan court of common law. c.
Equity tidak berwenang untuk memberikan hukuman ganti rugi. Court of chancery hanya berwenang untuk memberikan hukuman ganti rugi dalam
bentuk restitusi dan bukan jenis-jenis kerugian lainnya yang dikenal dalam common law. Jadi, dalam hal ini, court of chancery tidak mencampuri
kewenangan pemberian ganti rugi dalam common law. Hanya dalam common law tidak cukup memberikan restitusi bagi pemegang hak, court of chancery
akan memutuskan yang selayaknya. d.
Court of common law tidak mempunyai kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan sementara interlocutory relief, specific performance atau
12
Michael Evans, Outline of Equity and Trusts, Sdyney: Butterworths, 1995, hlm. 5-8.
Universitas Sumatera Utara
injunction.
13
e. Perkara yang tengah diperiksa di common law tidak dapat begitu saja
dialihkan proses pemeriksaannya ke court of chancery, demikian pula sebaliknya. Masing-masing peradilan mempunyai batas kewenangan
pemeriksaan dan yurisdiksinya sendiri-sendiri. Hanya court of chancery yang memiliki kewenangan yang
demikian. Court of chancery memiliki kewenangan untuk mengambil tindakan sementara seperti untuk menghentikan suatu perbuatan yang
merugikan, yang diperlukan agar penuntut dalam court of chancery tidak dirugikan lebih jauh.
a. Semua pengadilan harus mengakui equitable rights, titles and interests ;
b. Semua pengadilan tetap mempunyai kewenangan umum dalam memutuskan
hak-hak dalam hukum legal rights and titles
2. Prinsip – prinsip Equity
Equity merupakan konstruksi etikal,
14
13
Injuction adalah suatu istilah yang menunjuk pada kewenangan pengadilan, melalui penetapannya untuk melarang seseorang melakukan suatu tindakan atau perbuatan tertentu, atau
perintah untuk tidak melakukan tindakan yang merugikan harta benda atau fisik orang lain. Larangan yang dikeluarkan pengadilan atas permintaan penggugat dalam suatu perkara, yang
ditujukan kepada pihak tergugat atau yang selanjutnya dijadikan tergugat selama proses perkara berlangsung, dengan tujuan untuk melarang pihak tergugat tersebut untuk melakukan suatu
tindakan yang semula akan dilakukan olehnya, atau menghentikan tindakan yang semula dilakukan olehnya tersebut, atau menghentikan tindakan yang sudah dilakukan olehnya tersebut,
yang tidak adil atau merugikan kepentingan penggugat. Interlocutory Injuction adalah injunction yang dikeluarkan oleh pengadilan selama proses peradilan, untuk kepentingan jangka pendek
untuk menghentikan tindakan yang dapat menyebabkan kerugian yang tidak dapat diperbaiki, sebelum pada akhirnya pengadilan memutuskan untuk menerima atau menolak gugatan yang
dimajukan tersebut.
14
Alastair Hudson, Equity and Trusts, London: Cavendish Publishing, 2002, hlm. 13-14.
yang diterapkan secara kasuistis, ternyata pada akhirnya juga memperoleh bentuk-bentuk hukumnya, yang
Universitas Sumatera Utara
selanjutnya menghasilkan prinsip-prinsip hukum dalam equity, yang kemudian diterapkan setiap proses dalam peradilan, khususnya setelah berlakunya
Judicature Act Imp 1873. Prinsip-prinsip equity ini, pada mulanya terdiri dari dua belas preposisi
15
yang kemudian berkembang terus dari waktu ke waktu. Prinsip-prinsip equity secara garis besar dijelaskan berikut di bawah ini.
16
a. Equity will not suffer a wrong to be without remedy
Prinsip ini merupakan dasar atau pondasi equity. Pada dasarnya setiap pihak yang melakukan perbuatan yang melawan hukum atau yang bersalahan
dengan hukum termasuk perikatan yang lahir dari perjanjian dapat digugat dihadapan pengadilan untuk memberikan ganti rugi atau untuk
mengembalikan kerugian pada keadaan seperti semula, maupun untuk memenuhi kewajibannya. Dalam hal ketentuan hukum yang berlaku tidak
cukup memberikan penggantian yang layak atau pelaksanaan kewajiban yang sepadan, equity mencoba untuk menyeimbangkan kekurangan tersebut dengan
memberikan penggantian yang seimbang. Dalam konteks trusts, equity memberikan hak kepada beneficiary untuk menuntut pelaksanaan trusts oleh
trustee, suatu hak yang tidak diperoleh beneficiary dalam common law.
17
b. Equity follows the law
Court of chancery tidak berhak mengeluarkan putusan yang berbeda atau mengabaikan putusan yang dikeluarkan oleh court of common law, kecuali
15
Ibid, hlm. 17. Jill E. Martin dalam Hanbury and Maudsley Modern Equity, London: Stevens Sons, 1985, hlm. 26 menyebutnya sebagai Maxims of Equity. Demikian juga Robert A
Pearce dan John Stevens, op cit, hlm. 17. Paul Todd dan Sarah Lowrie, op cit, hlm. 14 menyebutnya sebagai the Equitable Maxims.
16
Hudson, op cit., hlm. 17-18. Martin dalam Hanbury and Maudsley, op cit, hlm. 27-29. Todd dan Lowrie, Textbook on Trusts, London: Blackstone Press Limited, 2000, hlm. 14.
17
Robert A Pearce dan John Stevens, op cit., hlm. 17-18.
Universitas Sumatera Utara
dalam hal terjadinya ketidakadilan. Court of chancery juga tidak boleh menyimpang dari ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
18
Jika suami isteri membeli harta kekayaan atas nama mereka berdua, tetapi rumah yang
dibeli hanya tercatat atas nama suami, equity memperlakukan mereka sebagai tenants in common, dan bukan joint tenancy.
19
Tenants in common adalah suatu bentuk kepemilikan di mana setiap pemilik tenant mempunyai
kepentingan yang tidak terbagi atas suatu benda.
20
Sementara itu, joint tenancy merupakan salah satu bentuk kepemilikan benda oleh dua atau lebih
pihak, yang masing-masing memiliki kepentingan yang tidak terbagi secara keseluruhan dan berlaku terhadapnya the rights of survivorship.
21
c. Where there is equal equity, the law shall prevail
Prinsip ketiga ini menunjukkan bahwa dalam hal terdapat dua orang secara bersama-sama memiliki hak dalam equity equitable right menuntut
kepemilikan atas suatu benda, dan salah satu dari orang tersebut memiliki titel hak dalam hukum legal rights, dalam equity-pun, orang yang memiliki titel
hak dalam hukum menjadi pemilik dari benda tersebut, meskipun hak dalam equity dari orang yang lainnya sudah diperolehnya lebih dahulu sebelum orang
yang memiliki titel hak dalam hukum ini memperoleh haknya dalam equity.
22
Sebagai contoh dapat diilustrasikan sebagai berikut : Katakanlah seseorang menyerahkan suatu benda kepada X, yang bertindak sebagai trusts
untuk kepentingan Y. X kemudian menjual benda tersebut kepada Z. Z
18
Ibid., hlm. 18.
19
Evans, op cit., hlm. 11
20
Black’s Law Dictionary 6th ed., hlm. 1465
21
Ibid.
22
Pearce dan Stevens, op cit., hlm. 18
Universitas Sumatera Utara
membeli benda tersebut dari X sebagai seorang pembeli yang bonafide dengan harga yang sepantasnya yang tidak mengetahui bahwa X adalah trustee dari
benda tersebut bonafide purchaser for value, without notice. Dalam konteks demikian, sebagai pembeli bonafide dengan harga yang pantas, Z juga
dilindungi oleh hukum, Z dianggap pada saat yang bersamaan memiliki titel hak dalam hukum dan hak dalam equity. Dengan demikian, court of equity
menyatakan Z sebagai pemilik benda tersebut, dan Y dapat menuntut X atas pelanggaran kewajiban X sebagai trustee dari benda yang dijual oleh X
tersebut.
23
d. Where the equities are equal, the first in time shall prevail
Prinsip ini mengemukakan bahwa jika ada dua orang yang memiliki hak dalam equity yang sama, dan tidak ada salah satupun dari mereka yang
memiliki titel hak dalam hukum, maka orang yang pertama kali memperoleh hak dalam equity merupakan pemilik dari benda tersebut.
24
Prinsip ini dapat dicontohkan sebagai berikut : A merupakan pemilik dari suatu bidang tanah, dan bermaksud untuk menjual bidang tanah tersebut.
A membuat perjanjian dengan B dengan tujuan untuk menjual bidang tanah tersebut kepada B estate contract. Pada lain kesempatan, A membuat
perjanjian serupa dengan C. Masing-masing B dan C memiliki hak dalam equity atas bidang tanah tersebut, namun karena jual beli yang sebenarnya
belum dilangsungkan, baik B maupun C tidak memiliki titel hak dalam hukum atas bidang tanah tersebut. Court of equity mengesahkan perjanjian antara A
23
Todd dan Lowrie,
__
op cit., hlm. 19
24
Pearce dan Stevens, op cit., hlm. 18
Universitas Sumatera Utara
dengan B sehingga dapat ditindaklanjuti dengan jual beli yang sebenarnya. C yang mengalami kerugian, dapat menuntut ganti rugi dari A di common law
berdasarkan estate contract tersebut.
25
e. He who seeks equity must do equity
Prinsip ini melihat ke depan.
26
Dalam konteks ini, seorang yang menyatakan dan menuntut haknya dalam equity harus melaksanakan juga kewajiban-
kewajiban dalam equity. Misalnya seorang beneficiary yang menuntut agar seorang trustee melaksanakan kewajiban sebagai trustee bagi beneficiary,
harus mau mengganti semua pengeluaran-pengeluaran yang telah dilakukan oleh trustee untuk memelihara dan atau menyelamatkan benda yang berada
dalam trust-nya tersebut.
27
f. He who comes to equity come with clean hands
Jika prinsip kelima melihat ke depan, prinsip keenam melihat ke belakang.
28
Menurut prinsip ini, setiap orang yang menuntut haknya dalam equity, harus dapat membuktikan bahwa ia telah memperoleh hak dalam equity-nya tersebut
tanpa melakukan pelanggaran hak orang lain. Jika terbukti bahwa dalam memperolehnya, ada hak pihak lain yang telah dilanggar, equity menolak
untuk peneguhan hak dalam equity-nya tersebut.
29
25
Todd dan Lowrie, op cit., hlm. 21
26
Pearce dan Stevens, op cit., hlm. 18
27
Evans, op cit., hlm. 11
28
Pearce dan Stevens, op cit., hlm. 19
29
Evans, op cit., hlm. 12
Universitas Sumatera Utara
g. Delay defeats equity
Prinsip ini sering juga disebut dengan ”Equity assists the diligent and not the tardy”.
30
Dalam prinsip ini, waktu untuk mempertahankan hak dalam equity menjadi perhatian yang penting. Seorang yang menuntut haknya dalam equity
tidak boleh mengabaikannya, begitu ia mengetahui adanya keadaan atau fakta hukum yang menunjukkan telah terjadi pelanggaran terhadap haknya dalam
equity.
31
Prinsip ini selanjutnya berkembang menjadi suatu doktrin yang dikenal dengan “Doctrine of laches”, yaitu suatu doktrin yang tidak mungkin
mengabulkan tuntutan hak dalam equity jika tuntutan itu dimajukan dengan lewatnya suatu jangka waktu tertentu.
32
h. Equity is equity
Jika ada lebih dari satu orang yang menikmati kepentingan yang sama atas suatu benda tertentu, tetapi tanpa adanya suatu ketentuan, kesepakatan atau
perjanjian bagaimana cara membagi benda tersebut diantara mereka, equity menyatakan bahwa benda tersebut harus dibagi di antara mereka secara adil
dan sama besarnya.
33
i. Equity looks to the intent rather than the form
Dalam common law, sesuatu perbuatan hukum dilaksanakan dengan memenuhi dua hal, yaitu formalitas dan substansi.
34
Dikatakan bahwa :
35
30
Ibid.
31
Hudson, op cit., hlm. 19
32
Ibid, hlm. 20
33
Pearce dan Stevens, op cit., hlm. 21
34
Hudson, op cit., hlm. 21
35
Pearce dan Stevens, op cit., hlm. 21-22 mengutip Romili MR dalam Parkin v. Thorold.
Universitas Sumatera Utara
“Courts of Equity make a distinction between that which is a matter of substance and that which is matter of form; and if it finds that by insisting on
the form, the substance will be defeated, it holds it to be inadequate to allow a person to insist on such form, and thereby defeat the substance.”
j. Equity looks on that as done which ought to be done
Prinsip ini menyatakan bahwa dalam hal suatu perjanjian adalah suatu perjanjian yang dapat dipaksakan pelaksanaannya, equity menganggap pihak
yang menjanjikan untuk melakukan prestasi telah melakukan prestasi yang dijanjikan olehnya tersebut, karena ia dapat dipaksa untuk melakukannya
dalam common law.
36
Dalam Walsh v. Lonsdale, suatu perjanjian untuk menyewakan dianggap telah menciptakan hak dalam equity untuk menyewa
bagi penyewa, meskipun persyaratan sewa menyewa dalam common law belum dipenuhi seluruhnya.
37
Ini berarti juga suatu perjanjian untuk melangsungkan jual beli dapat dianggap telah memberikan hak dalam equity
kepada pembeli atas benda yang dijanjikan untuk dijual oleh calon penjual dalam perjanjian untuk melangsungkan jual beli tersebut.
38
k. Equity imputes an intention to fulfil an obligation
Equity menempatkan tindakan manusia dalam konstruksi yang paling menguntungkan. Bilamana ada seseorang melakukan suatu tindakan yang
dapat dikonstruksikan untuk memenuhi kewajibannya yang harus dipenuhi, maka equity memperlakukan tindakan tersebut sebagai tindakan pemenuhan
kewajibannya tersebut.
39
36
Ibid., hlm. 22
37
Ibid., hlm. 22. Lihat juga Hudson, op cit., hlm. 21. Lihat juga Todd Lowrie, op cit., hlm. 15-16
38
Pearce dan Stevens, op cit., hlm. 22
39
Ibid, hlm. 23
Misalnya ada seorang, katakanlah A, yang
Universitas Sumatera Utara
mempunyai utang kepada B meninggal dunia, dan meninggalkan sejumlah uang kepada B. Equity akan memperlakukan uang yang ditinggalkan A kepada
B tersebut sebagai pemenuhan kewajiban pembayaran utang A kepada B, kecuali ada bukti lain yang menyatakan sebaliknya.
40
l. Equity acts in personam
Prinsip yang keduabelas ini merupakan prinsip yang diturunkan dari teori bahwa equity tidak memberikan tuntutan hak kebendaan atas harta kekayaan
tertentu, melainkan hanya memberikan hak untuk memajukan gugatan secara pribadi yang bersifat perorangan.
41
3. Kelahiran Trusts di Inggris
Trusts yang merupakan salah satu bentuk equity adalah produk yang tidak langsung dari feodalisme yang berkembang di Inggris setelah masa penundukan
dan pendudukan oleh Norman The Norman Conquest pada tahun 1066. Pada masa tersebut, kepemilikan atas tanah berada di tangan raja crown yang
didistribusikan kemanfaatannya kepada rakyat melalui para tuan tanah overlord.
42
40
Hudson, op cit., hlm. 22
41
Evans, op cit., hlm. 13
42
Paul Todd dan Sarah Lowrie, op cit., hlm. 5-6
Para tuan tanah ini mewakili raja mendistribusikan kemanfaatan beneficiary tanah-tanah yang secara hukum berada di bawah pemilikan raja.
Dalam sistem tersebut, tuan tanah yang menerima manfaat pertama dari raja dimungkinkan untuk menyerahkan hak kemanfaatan lebih lanjut yang bukan
merupakan jual beli dari tanah tersebut kepada pihak lain yang selanjutnya memanfaatkan dan menikmati tanah tersebut. Sistem yang demikian disebut
Universitas Sumatera Utara
dengan nama “sub-infeudation”. Pada umumnya penyerahan kemanfaatan atas tanah tersebut dilakukan secara terstruktur, yaitu dari seorang tuan tanah besar
overlord kepada beberapa tuan tanah kecil mense, yang selanjutnya menyerahkan lagi kemanfaatan tanah tersebut, baik secara utuh atau dipecah-
pecah kepada rakyat yang memerlukan. Proses sub-infeudation ini, pada akhirnya mengakibatkan terjadinya kesukaran bagi sebagian besar tuan tanah besar
overlord untuk melakukan pemanfaatan tanah. Sub-infeudation ini, yang berjalan secara turun temurun mengakibatkan terjadinya pendataan yang tidak lagi
akurat mengenai siapa yang diberikan hak dan siapa yang secara faktual memanfaatkan tanah yang dikenakan upeti.
43
Dalam perkembangan lebih lanjut dikeluarkanlah Quia Emptores di tahun 1290 oleh raja, yang melarang pemberian hak lebih lanjut dalam bentuk sub-
infeudation. Quia Emptores mengonstruksikan hubungan hukum dari setiap orang atau pihak yang memanfaatkan atau menikmati bidang tanah baru berdasarkan
pada Quia Emptores tersebut sebagai suatu bentuk hubungan hukum langsung dengan raja sebagai pemilik tanah. Orang atau pihak yang masih memanfaatkan
bidang tanah lama yang diperolehnya berdasarkan sub-infeudation, sejauh masih dapat dirunutkan asalnya, tetap terikat dalam sistem sebelumnya yang
mewajibkan mereka untuk tetap membayar upeti kepada tuan tanah, naamun mereka ini tidak lagi diperkenankan untuk melakukan tindakan sub-infeudation
kepada pihak lain.
44
43
Ibid, hlm. 7
44
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan pada Quia Emptores, peralihan hak atas tanah yang terkait dengan pemanfaatan tanah tersebut dilaksanakan dengan sistem jual beli hak dan
tidak lagi atau bukan lagi dengan cara melakukan sub-infeudation. Untuk keperluan jual-beli tersebut, guna menyempurnakan proses pengalihan dalam
hukum, setiap bentuk pengalihan hak atas tanah senantiasa dilakukan secara terbuka, terang dan jelas. Dalam hal penghuni atau pemanfaat suatu bidang tanah
pergi jauh dan atau meninggal dan meninggalkan anak-anak yang belum cakap danatau isteri yang dianggap tidak cakap bertindak dalam hukum, metode
pengalihan hak pemanfaatan atas tanah yang biasa, yang dilakukan secara terbuka, terang dan jelas tidak dapat dilaksanakan. Metode conveyancing yang
diperbolehkan oleh hukum untuk melaksanakan hal tersebut, dalam praktiknya membawa dampak pengenaan pajak yang cukup tinggi bagi anak-anak danatau
isteri yang ditinggalkan tersebut. Hal ini kemudian mengakibatkan banyak orang cenderung untuk melaksanakan sistem pengalihan hak pemanfaatan atas tanah
tersebut secara tertutup dan rahasia.
45
Salah satu hal yang berkembang terkait dengan aktivitas court of chancery sebagaimana dijelaskan sebelumnya adalah masalah ”kepemilikan” hak
Hal ini menyebabkan terjadinya perbedaan antara pihak yang namanya tercatat dengan pihak yang secara faktual menduduki,
mendiami, dan memanfaatkan bidang tanah tersebut untuk suatu jangka waktu tertentu. Perbedaan ini selanjutnya hilang dengan sendirinya pada saat anak yang
belum dewasa tersebut menjadi dewasa yang selanjutnya memperoleh kembali haknya dalam hukum.
45
Ibid, hlm. 8
Universitas Sumatera Utara
pemanfaatan atas tanah yang seringkali dialihkan tidak secara terbuka, terang dan jelas. Dengan konsepsi bahwa equity hanya merupakan pelengkap common law,
maka dalam sistem equity, orang atau pihak yang namanya terdaftar tetap diperlakukan sebagai pemilik dalam hukum trustee, sedangkan mereka yang
secara faktual memanfaatkan tanah tersebut diperlakukan sebagai pemilik dalam equity cestui que trusts atau beneficiary. Benda yang diserahkan dalam trusts
disebut dengan nama trusts corpus.
4. Trusts dan Hukum Perjanjian
Hukum perjanjian merupakan bagian dari common law, sedangkan trusts sebagaimana disinggung sebelumnya merupakan suatu produk equity, yang
memperoleh perlindungan hukum hanya dalam court of equity. Dengan konsepsi tersebut, trusts hanya didefinisikan sebagai
46
Dalam tradisi hukum Anglo Saxon “Contract is a private relationship between the parties to the contract; it is not of the essence of a trust that a setllor
can give property to his trustee on trust for a third party”. ”legal relationship created under the
laws of equity whereby property the corpus is held by one party the trustee for the benefit of other cestui que trusts or beneficiaries”. Konsepsi trusts tersebut
jelas berbeda dengan konsepsi perjanjian dalam tradisi hukum Anglo Saxon.
47
Dengan demikian berarti antara trusts dengan perjanjian dapat ditemukan beberapa perbedaan
prinsipil, yaitu sebagai berikut.
48
46
AR Fullarton, “The Common Law and Taxation of Trusts in Australia in the Twenty-First Century”, hlm. 3,
http:arfullartonassociation.com.autrusts20paper.htm
47
Beswick v Beswick 1968 pada 19.1 dikutip dari Gary Watt Briefcase on Equity and Trust, London: Cavendish Publishing Ltd., 1999, hlm. 3.
48
Angela Sydenham, op cit., hlm. 8-9
Universitas Sumatera Utara
a contracts are an invention of common law, trust of equity
b contracts generally create only a personal right, trust a right in the property
itself, a right in rem c
contracts are enforceable only if supported by consideration or made in a deed; a beneficiary under a property constituted trust can enforce the trust
even where he has not given any consideration d
contracts cannot usually be enforced by third parties, a rule which is subject to limited statutory exceptions…….A beneficiary can enforce a trust where
he or she is not a party to the Agreement between the settlor and the trustees Sehubungan dengan pernyataan tersebut, perlu diketahui hal-hal berikut
dalam tradisi hukum Anglo Saxon: a.
Perjanjian harus memiliki consideration, agar perjanjian tersebut sah, atau dalam hal tidak adanya consideration, perjanjian tersebut harus dibuat dalam
bentuk akta autentik.
49
Consideration tersebut harus memiliki nilai. A valuable consideration, in the sense of law, may consist either in some right,
interest, profit or benefit accruing to one party or some forbearance, detriment, loss or responsibility, given, suffered, or undertaken by the other.
50
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa suatu consideration adalah timbal balik, saling berjanji unuk melakukan suatu prestasi satu terhadap yang
lainnya reciprocity.
51
49
GH Treitel, Treitel: The Law of Contract, London: Sweet and Maxwell, 1995, hlm. 63
50
Currie v Misa 1875 dikutip dari Richard Stone, Principles of Contract Law, London: Cavendish Publishing Ltd, 2000, hlm. 49. Lihat juga Richard D Taylor, Law of Contract,
London: Blackstone Press Limited, 1998, hlm. 58
51
Treitel, op cit., hlm. 63-66. Lihat juga Stone, op cit., hlm. 50
Dengan demikian, dalam konsepsi hukum Anglo Saxon, tidak ada suatu perjanjian yang dibuat secara cuma-cuma. Setiap
Universitas Sumatera Utara
perjanjian harus berisikan prestasi secara bertimbal balik antara para pihak dalam perjanjian tersebut, kecuali dibuat dalam bentuk akta.
b. Perjanjian tidak dapat dibuat untuk kepentingan pihak ketiga. Dalam
pandangan tradisi hukum Anglo Saxon, asas privity of contract, meskipun dalam suatu perjanjian dicantumkan kepentingan pihak ketiga, namun pihak
ketiga tersebut tidak dapat memperoleh manfaat atau menuntut dipenuhinya hak pihak ketiga yang ada dalam perjanjian tersebut.
52
Dengan demikian jelaslah mengapa trusts berbeda dengan perjanjian, sehingga tidak berada dalam lapangan hukum perjanjian. Trusts merupakan
produk equity sedangkan contract adalah produk common law.
5. Perbedaan Trusts Dengan Berbagai Pranata Hukum Anglo Saxon
a. Perbedaan Trusts dengan Pengurusan, Perwakilan dan Keagenan
Pengurusan dan perwakilan adalah suatu konsepsi yang merupakan refleksi dari satu keping mata uang yang bersisi ganda. Pengurusan menunjuk
pada hubungan internal antara pemilik suatu benda atau kepentingan yang diurus dengan pihak yang melakukan pengurusan atas benda atau kepentingan
tersebut untuk dan atas nama dari pemilik benda dan atau kepentingan tersebut. Sedangkan perwakilan adalah hubungan eksternal atau tindakan keluar
dari pihak yang melakukan pengurusan atas benda atau kepentingan milik orang lain dengan seseorang atau pihak tertentu, yang mengikatkan diri pemilik benda
52
Stephen Graw, An Introduction to the Law of Contract, Melbourne: The Law Book Company Limited, 1993, hlm. 129. Lihat juga Sydenham, op cit, hlm. 9. Lihat juga David B.
Parker dan Anthony R Mellows, op cit., hlm. 8.
Universitas Sumatera Utara
atau kepentingan tersebut, serta bukan diri pengurus tersebut. Secara garis besar, pengurusan dan perwakilan dapat terjadi karena :
1 kehendak undang-undang semata-mata, yaitu pengurusan dan perwakilan
yang dilakukan oleh orang-perorangan tertentu terhadap harta kekayaan anak-anak atau orang dewasa yang dinyatakan tidak cakap untuk bertindak
dalam hukum ;
53
2 kehendak undang-undang yang disertai dengan perbuatan manusia ;
54
3 putusan dan atau penetapan pengadilan ;
4 pemberian kuasa yang merupakan salah satu bentuk perjanjian khusus ;
55
5 pengurusan yang dilakukan oleh orang-perorangan yang merupakan
pengurus dari suatu badan sebagai harta bersama yang terikat, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum, berdasarkan
pemberian wewenang, yang mempunyai aspek kehendak undang-undang dan perjanjian pemberian kuasa di dalamnya.
56
Agency adalah ”legal relationship under which one person the agent acts on behalf of another the principal.”
57
53
Dalam hak ini adalah pengurusan yang dilakukan oleh orangtua atas harta kekayaan anaknya yang masih di bawah umur, di mana orang tua tersebut adalah juga sebagai wakil dari
anaknya yang masih di bawah umur dalam setiap tindakan perdata yang dilakukan atas nama anaknya yang masih di bawah umur tersebut. Lihat Gunawan Widjaja, Aspek Hukum dalam Bisnis
: Pemilikan, Pengurusan, Perwakilan dan Pemberian Kuasa dalam Sudut Pandang KUH Perdata Jakarta : Prenada Media, 2004.
54
Dalam hukum perdata Belanda, pengurusan yang demikian disebut dengan nama zaakwaarneming. Lihat rumusan Pasal 1354 sampai dengan Pasal 1358 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata.
55
Pengurusan yang demikian dalam hukum perdata Belanda disebut dengan lastgeving.
56
Hukum perdata Belanda membedakan jenis pengurusan ini dari jenis pengurusan lainnya. Menurut hukum perdata Belanda pengurusan ini selalu disertai dengan kewenangan untuk
bertindak sesuai dengan maksud dan tujuan badan tersebut, yang dinamakan volmacht. Contoh aspek pemberian kuasa dalam pengurusan persekutuan perdata dapat ditemukan dalam rumusan
Pasal 1636 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
57
Stone, op cit., hlm. 4.
Menurut Black’s Law Dictionary,
Universitas Sumatera Utara
Agency adalah
58
“fiduciary relationship created by the express or implied contract or by law, in which one party the agent may act on behalf of another party the
principal and bind that other party by words or actions”. Dari definisi yang diberikan diatas dapat diketahui bahwa pada prinsipnya seorang agen bertindak
sebagai pengurus dari benda atau kepentingan seorang lain, serta mewakili orang tersebut dalam setiap tindakan hukumnya yang terkait dengan benda atau
kepentingan yang diurus oleh agen tersebut. Jika hubungan hukum dalam lapangan hukum perdata, maka hubungan hukum keagenan adalah hubungan
hukum yang berada dalam lapangan hukum dagang commercial.
59
Secara prinsip dapat dikatakan bahwa ada persamaan antara agency dan trusts, yaitu :
60
1 agent dan trustee memiliki hubungn fidusia fiduciary relationship dengan
principal maupun beneficiary, meskipun secara prinsip hubungan fidusia antara agent-principal dan trustee-beneficiary berbeda ;
2 agent dan trustee memiliki kontrol atau pengawasan terhadap benda milik
principal atau beneficiary ; walau demikian jika diperhatikan bahwa :
61
1. hubungan hukum yang melekat pada hubungan antara agent dengan benda
yang berada dalam pengawasannya berbeda dengan hubungan antara trustee dengan benda yang berada dalam pengawasannya ; agent sama
sekali tidak memiliki kepentingan yang bersifat kebendaan atas benda yang berada di bawah pengawasannya tersebut, sedangkan trustee adalah
58
Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary 8th ed St. Paul: West Publishing Co, 2004, hlm. 67
59
Stone, op cit., hlm. 11
60
Ibid, hlm. 9
61
Ibid
Universitas Sumatera Utara
pemilik dalam hukum dari benda yang berada dalam pengawasannya tersebut ;
2. seorang beneficiary tidaklah memiliki titel hak dalam hukum atas benda
yang tercatat sebagai milik trustee atau pihak lain atas nama trustee, sedangkan principal adalah pemilik sejati dari benda yang berada dalam
pengawasan agent ; 3.
tanggung jawab yang timbul dari hubungan hukum pihak ketiga-agent- principal dan pihak ketiga-trustee-beneficiary sangat jauh berbeda,
principal bertanggung jawab atas tindakan agent dengan pihak ketiga, sedangkan seorang beneficiary tidaklah bertanggung jawab atas tindakan
trustee dengan pihak ketiga ; 4.
hubungan fidusia antara trustee-beneficiary merupakan kewajiban yang merupakan suatu bentuk kewajiban dan tanggung jawab hukum yang
harus dilaksanakan oleh trustee kepada beneficiary : sedangkan hubungan fidusia agent-principal kepada agent untuk melaksanakan sesuatu untuk
dan demi kepentingan principal, yang tanpa kewenangan tersebut agent tidak berhak sama sekali untuk melakukannya privity of contract
Dengan demikian, jelas bahwa terdapat perbedaan yang cukup signifikan antara hubungan hukum dengan keagenan agency dengan trusts.
Universitas Sumatera Utara
b. Perbedaan Trusts dengan Power
Power adalah
62
“an authority vested in a person to deal with or dispose of property of not his own”. : Sehubungan dengan power ini, perlu dibedakan
antara :
63
1 bare power, atau personal power yaitu pemberian kewenangan yang bersifat
individual ; dan 2
trusts power, yaitu “power to which some fiduciary obligation is attached” Secara sederhana dapat dibedakan apakah suatu power termasuk dalam
bare power atau personal power atau mere power,
64
dan bukan suatu trusts powerkarena suatu mere power bersifat discretionary dengan pengertian
pelaksanaannya sepenuhnya diserahkan pada orang yang menerima power doneeappointer. Hal ini berbeda dengan trusts power, dimana pelaksanaan dari
suatu kewenangan yang diberikan dalam suatu trans bersifat imperatif. Ini berarti trust power wajib untuk dilaksanakan, dengan segala konsekuensi hukumnya.
65
Martin melihat sisi lain perbedaan antara bare power dengan trusts power, dimana bare power berakhir dengan meninggalnya donee, sedangkan trusts power tidak
berakhir dengan meninggalnya trustee.
66
c. Perbedaan Trusts dengan Penitipan Bailment
62
Martin., op. cit., hlm. 172
63
Istilah ini dipakai oleh Petitt., lihat op. cit., hlm. 25 dan seterusnya.
64
Ibid
65
Martin, op cit., hlm. 172
66
Evans, op cit., hlm. 220
Universitas Sumatera Utara
Bailment adalah
67
“a delivery of personal property by one person the bailor to another the bailee who holds the property for a certain purpose under
an express or implied-in-fact contract”. Berbeda dengan jual beli atau hibah, dalam bailment “involves a change in possession but not in title”.
68
Dalam penitipan bailment tidak terjadi peralihan hak milik dari pihak yang menitipkan bailor kepada pihak yang menerima penitipan suatu barang
bailee. Bailee berkewajiban untuk memelihara kebendaan yang dititipkan kepadanya, yang berada dalam penguasaannya tersebut menurut suatu standar
atau aturan yang telah ditetapkan dalam hukum common law. Dalam suatu trusts, trustee merupakan pemilik dari benda yang berada dalam trusts, sedangkan
beneficiary merupakan penikmat benda yang berada di bawah kepemilikan trustee.
69
d. Perbedaan Trusts dengan Hibah Gift
Gift atau hibah adalah suatu bentuk penyerahan dan seluruh hak kebendaan yang melekat pada suatu benda atau property tertentu dari seorang
pemilik sejati absolute owner kepada seorang lainnya yang disebut dengan volunteer.
70
Seorang volunteer adalah seseorang yang menerima penyerahan absolute dari suatu benda tanpa memberikan ”consideration for the transfer of
ownership”.
71
67
Garner, Black’s Law Dictionary, hlm. 151
68
Ibid., hlm. 152.
69
Martin, op cit., hlm. 48-49
70
Hudson, loc. cit., hlm. 41
71
Ibid
Setelah menerima hibah atau menyatakan suatu hibah, volunteer
Universitas Sumatera Utara
atau donee atau recepient menjadi pemilik sejati dari benda yang diserahkan kepadanya tersebut.
Dalam hubungan trusts, dimana settlor menyerahkan legal rights atas suatu benda kepada trustee dan equitable right kepada beneficiary, dapat
dikatakan juga bahwa beneficiary tersebut juga merupakan seorang volunteer karena beneficiary menerima equitable ownership dari suatu benda, menikmati
benda tersebut tanpa adanya kewajiban untuk memberikan kontra prestasi kepada settlor sebagai pihak yang menyerahkan benda tersebut = donor.
72
Meskipun secara sepintas hubungan antara settlor – beneficiary dalam trusts serupa dengan
donor-volunteer dalam gift; perlu diperhatikan bahwa dalam suatu trusts, kepemilikan dalam hukum legal owner diserahkan kepada trustee, dengan
tujuan agar trustee melakukan kontrol atau pengawasan agar beneficiary dapat menikmati benda yang diserahkan dalam trusts tersebut. Dalam trusts yang perlu
diperhatikan adalah kewajiban trustee untuk memenuhi kewajibannya dalam trusts kepada beneficiary.
73
B. Konsepsi Trusts Dalam Tradisi Hukum Anglo Saxon