Upacara P OMBARUA dan K APIPIRIA

Upacara P OMBARUA dan K APIPIRIA

Setelah perahu selesai dibuat, akan diadakan upacara yang disebut sebagai pombarua. Dalam upacara tersebut diadakan pemotongan ayam dan kambing di lambo puse atau kabile perahu.

M aula ,r udyansJah 127 p rahara ,r atri

Selain itu, juga dilaksanakan upacara pemberian makan perahu atau yang disebut sebagai pakande bangka. Upacara yang serupa juga dilaksanakan oleh mereka ketika perahu yang mereka gunakan selesai diperbaiki misalnya menganti papan-papan yang telah lapuk. Berbeda dengan pombarua, dalam upacara yang dilaksanakan setelah memperbaiki perahu itu hanya dilakukan pemotongan ayam saja. Upacara ini disebut sebagai Kapipiria. Seperti halnya juga dengan pombarua, dalam Kapipiria juga dilaksanakan upacara pakande bangka. Dalam upacara-upacara itulah harapan-harapan memohon keberkahan kepada Yang Maha Kuasa diekspresikan dengan melakukan batata (berdoa) dan berjanji. Di sinilah upacara yang dilaksanakan itu memiliki sisi spiritualitas yang sangat kental. Dalam tiap rangkaiannya, terdapat berbagai pralambang yang memiliki makna yang terkait dengan gagasan budaya mereka mengenai pelayaran. Upacara pombarua maupun Kapipiria sama- sama melibatkan masyarakat banyak. Sanak saudara sang tuan perahu juga para tetangga turut berpartisipasi dalam acara tersebut. Dalam konteks inilah, upacara yang dilakukan memiliki fungsi sosialnya. Terkait dengan fungsi sosial, upacara pombarua dan Kapipiria juga digunakan sebagai arena dalam menransmisikan pengetahuan dan berbagi pengalaman berlayar diantara para pelaut. Dalam bagian ini, kami akan menjabarkan upacara yang dilaksanakan oleh para pelaut dari sisi spiritualitas yang sarat akan pralambang dan makna kultural ( cultural meaning); dan juga sisi sosial budayanya sebagai arena dalam berinteraksi dan juga transmisi pengetahuan budaya ( cultural knowledge).

Ketika kami sedang melakukan penelitian Lapangan di Desa Tira, beruntung kami dapat menyaksikan dan berpartisipasi dalam penyelenggaraan upacara Kapipiria. Pada saat itu, ada dua orang pelaut yang baru saja memperbaiki perahunya dan hendak pergi berlayar kembali. Sayangnya, kami tidak sempat menyaksikan upacara pombarua ketika kami sedang berada di lapangan. Menurut keterangan beberapa informan yang kami temui di Desa Tira, upacara pombarua sudah jarang sekali dilaksanakan karena pada saat ini hampir sulit menemui orang yang masih membuat perahunya

128 k esepakatan t anah W olio :

i deologi k ebhinekaan dan e ksistensi b udaya b ahari di b uton

sendiri. Hal itu terkait juga dengan pelarangan pengambilan kayu jati di daerah Gunung Sejuk di Sampolawa setelah diberlakukannya kawasan tersebut menjadi kawasan hutan lindung. Upacara pombarua dilaksanakan untuk mendoakan perahu yang baru saja selesai dibuat. Upacara pombarua juga bisa dilaksanakan jika ada yang mengganti lunas perahu lamanya. Hal itu dilakukan karena penggantian lunas dianggap sama saja dengan membuat perahu yang baru. Pada masa kini, alih-alih membuat sendiri perahunya seperti nenek moyang mereka dahulu, kebanyakan pelaut di Desa Tira membeli perahu dari daerah lain seperti dari Talaga, Batu Atas, dan Siompu . Setelah perahu-perahu itu dibeli, biasanya para pelaut di Desa Tira akan memeriksa kondisi kayu dan susunan papannya. Jika ada yang tidak sesuai dengan ketentuan pembuatan perahu, mereka akan mengganti kayu atau papan-papan tersebut. Pengecekan perahu yang baru dibeli itu biasanya dilakukan oleh seorang pale. Setelah dilakukan penggantian kayu dan susunan papan, seorang tuan perahu menyelenggarakan upacara Kapipiria. Di sinilah, perahu-perahu baru itu “diperbaharui secara adat”. Dalam proses pembaruan secara adat itulah, terjadi pelaziman budaya. Misalnya, dahulu lunas itu terdiri dari tiga sambungan kayu yang berasal dari pohon yang berbeda. Setelah pembuatan perahu sudah sulit lagi dilakukan karena keterbatasan bahan baku, persoalan lunas itu tidak lagi dipusingkan oleh mereka. Perahu-perahu yang mereka beli kebanyakan memiliki lunas yang tidak memiliki sambungan. Lunas perahu yang mereka beli itu kebanyakan dibuat dari satu pohon. Hal ini kemudian dimaklumkan karena untuk mengganti lunas, para pelaut tetap terbentur dengan persoalan kesulitan bahan baku. Selain itu, menurut mereka perahu barunya itu toh tetap tidak sepenuhnya “melanggar” ketentuan adat yang mereka pegang teguh yakni sambungan banyaknya papan dan rusuk tetap berjumlah ganjil. Dengan melakukan hal itu, adat tidak diterima begitu saja sebagai sesuatu yang ajeg lagi kaku melainkan disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang dihadapi.

M aula ,r udyansJah 129 p rahara ,r atri