Upacara Pemandian Calon Sultan dan Permaisuri

Upacara Pemandian Calon Sultan dan Permaisuri

Sebelum upacara pelantikan dan pengambilan sumpah dilakukan, calon sultan dan permaisurinya harus terlebih dahulu dimandikan secara adat yang airnya didatangkan dari berbagai sumber mata air dari seluruh penjuru kesultanan. Persisnya sehari sebelum pelantikan dimulai didatangkan air dalam bambu dari berbagai “negeri” di dalam wilayah kesultanan. Bambu berisi air itu secara adat ditutup dengan kain putih. “Negeri-negeri” yang berkewajiban secara adat mendatangkan air bagi keperluan mandi calon sultan dan permaisurinya adalah Bone-Bone, Kaobula, Nganganaumala, Kadolo Moko, Lowu-Lowu, Tobe-Tobe, Baluwu, Kangaya, dan Wakarumba. Air tersebut diambil dari delapan mata air yang terkenal secara adat dengan nama Topa Ogena, Topa Kidina, Batu Poaro, Kanakea, Uwe Balobu, Moko, Waramusio, dan Kasilae. Dari setiap mata air itu didatangkan dua buah bambu, sehingga semuanya menjadi enambelas bambu berisi air. Dari dua bambu air itu dibagi masing-masing satu bambu untuk calon sultan dan satunya lagi untuk permaisuri. Selain enambelas bambu air itu, ada lagi air yang diambil dari pemukiman Dete, dan air dari pemukiman Dete ini disimpan bukan dalam bambu melainkan dalam guci. Pengambilan air dari mata air ini harus mengikuti tata cara adat yang ketat. Pengambilan air harus dilakukan oleh dua orang anak di bawah umur pada tengah malam menjelang hari pelantikan sultan. Satu anak harus mengambil air bagian bawah dari mata air, sedangkan satu anak yang lain harus mengambil air bagian atas. Kedua anak ini dibantu oleh laki-laki dewasa yang cukup kuat untuk memikul air yang diambil. Semua air yang diambil ini kemudian diantar ke rumah Bonto Peropa. Saat pengantaran air itu, di rumah Bonto Peropa sudah ada tiga bonto lainnya dari patalimbona, 102 yakni Bonto Baluwu, bonto Gundu-Gundu, dan bonto Barangkatopa. Setelah diterima, Bonto Peropa meminta petugas (pengalasa) pengambilan

Patalimbona adalah empat pemukiman, yakni Peropa, Baluwu, Gundu-Gundu, dan Barangkatopa, yang dalam adat dianggap merupakan pemukiman induk ( moTher villages) yang kemudian berkembang menjadi siolimbona (9 pemukiman ditambah 5 lainnya seperti Gama, Siompu, Wandailolo, Rakia, Melai). Dalam adat kesembilan pemukiman utama inilah yang dianggap cikal bakal dari Monarki Wolio.

90 k esepakatan t anah W olio :

i deologi k ebhinekaan dan e ksistensi b udaya b ahari di b uton

air untuk menutup bambu dan guci air dengan kain putih. Dengan ditutup kain putih, bambu air itu kemudian diletakkan pada Batu Wolio di Bukit Lelemangura, yakni batu tempat dimana Ratu Monarki Wolio yang pertama (Wa Kaka) ditemukan. Di Batu Wolio ini sudah terlebih dahulu dibangun tenda beratapkan kain kelambu yang dikelilingi dengan kain yang berwarna-warni. Pada pengantaran bambu air ke Batu Wolio diikuti juga oleh bonto patalimbona. Saat itu di tenda tersebut dimainkan bunyi-bunyian dari dua gendang, dua gong, satu tambur, dan dua

kanci-kanci. 103 Setelah beberapa lama bonto patalimbona duduk dengan asyiknya

sambil mendengarkan musik tersebut, mereka kemudian kembali ke rumah Bonto Peropa secara bersama-sama. Sementara itu musik masih terus dimainkan hingga pagi hari.

Sekembalinya di rumah Bonto Peropa, kesemua bonto patalimbona mengerjakan dan menyelesaikan alat kelengkapan pelantikan. Saat itulah dikerjakan pembuatan bedak yang diramu dari berbagai jenis ramuan. Ramuan-ramuan ini berasal dari mereka- mereka yang merupakan keturunan komunitas yang mendapatkan hak istimewa dari kerajaan. Mereka disebut dengan istilah ‘pande ala burana pau’ yang artinya ahli pembuat bedak untuk sultan. Bedak ini dikerjakan disimpan pada dua tempat yang berbeda, satu untuk calon sultan dan satu lainnya untuk permaisuri. Bahan utama bedak, selain ramuan lainnya, adalah beras yang tumbuh dan didatangkan dari Negeri Kalende, Lawele, Watumotobe, dan Lambosango. Secara adat para ‘pande ala burana pau’ atas karya mereka itu mendapatkan pembayaran adat sebesar 10 boka dari anggaran kas kerajaan.

Pada Jumat pagi, 8 Juli 1938, sebelum upacara pemutaran payung di atas kepala calon sultan La Ode Muhammad Falihi dilakukan, yang dalam adat disebut ‘bulilingiana pau’, para bonto patalimbona berangkat menuju Batu Wolio dengan dikawal anggota kompi militer kesultanan yang terkenal dengan nama kompanyia militer. Sebelum berangkat dari rumah Bonto Peropa, anggota

kanci-kanci adalah lempengan bundar dibuat dari kuningan yang biasanya dipegang di kedua tangan dan saling dibenturkan pada saat dimainkan. Dalam bahasa Indonesia, instrumen ini disebut simbal Cina.

M aula ,r udyansJah 91 p rahara ,r atri

kompanyia ini melakukan tari galangi (tari perang). Tari perang ini kembali diperagakan anggota kompi militer ini setibanya di Batu Wolio. Keberangkatan menuju Batu Wolio ini dimaksudkan untuk mengambil kembali air yang sebelumnya diletakkan di sana untuk dibawa kembali ke rumah Bonto Peropa. Dari rumah Bonto Peropa, kembali bonto patalimbona disertai rombongannya berangkat menuju istana. Alat-alat kelengkapan mandi dibawa oleh delapan anak laki- laki dan delapan anak perempuan yang berasal dari putra dan putri para bonto atau menteri-menteri kerajaan. Keenambelas anak-anak itu tidak boleh yang sudah yatim-piatu, melainkan yang masih beribu dan berbapak. Iring-iringan alat kelengkapan mandi ini juga dikawal dengan tarian perang yang dilakukan, baik sebelum berangkat dari rumah Bonto Peropa maupun setibanya di muka istana.

Di dalam istana, para rombongan ini berkumpul di ruangan dimana upacara pemandian akan dilangsungkan. Berkumpul pada waktu itu para

bonto patalimbona, para bonto i nunca 104 (terutama yang harus hadir adalah dua ketuanya yang disebut bontona

gampikaro), serta dua orang bilal (pembaca azan) dari Masjid Agung Keraton. Dua bilal saat itu wajib harus berasal dari keturunan Mojina Waberongalu. 105 Hadir berkumpul juga di ruangan itu para anak laki-laki maupun anak perempuan yang mengantarkan alat kelengkapan mandi. Para bonto dari patalimbona beserta para lelaki lainnya berada di ruangan pemandian sultan, sedangkan para istri bonto patalimbona beserta perempuan lainnya berada di ruangan pemandian permaisuri. Masing-masing bonto palalimbona dibantu saat itu oleh manggedai atau pengawal/pembantu yang berasal dari kelompok masyarakat rendahan.

Usai segala perlengkapan disiapkan, maka calon terpilih dibawa masuk ke dalam ruangan pemandian. Ia didudukkan di atas kursi dan didampingi oleh bonto Waberongalu dan bonto Kalau. 106

Bonto i nunca adalah menteri dalam kerajaan yang bertugas mengurusi urusan tata cara adat dalam istana kerajaan. Bonto i nunca ini dikepalai oleh dua orang bontona gampikaro yang bertugas sebagai ajudan sultan dan master of ceremony dari upacara-upacara yang ada dalam kesultanan.

Mojina adalah anggota dalam Sarana Agama yang ada dalam kesultanan yang bertugas mengumandangkan azan pada setiap memasuki waktu sholat. Mojina Waberongalu adalah modin yang berasal dari pemukiman Waberongalu.

Bonto Waberongalu adalah menteri kerajaan yang berasal dari pemukiman Waberongalu dan

92 k esepakatan t anah W olio :

i deologi k ebhinekaan dan e ksistensi b udaya b ahari di b uton

Calon terpilih ini duduk dengan muka menghadap ke timur dan di belakangnya duduk kedua bonto gampikaro beserta bonto i nunca lainnya. Pada sebelah kiri calon terpilih berdiri bonto Barangkatopa dan sebelah kanannya bonto Gundu-Gundu, sedangkan di depannya berdiri Bonto Peropa pada bagian kanannya dan Bonto Baluwu pada bagian kirinya. Setelah semuanya siap, maka Bonto Peropa mulai melaksanakan tugasnya dengan mengambil bedak yang disebut ‘bura i katanda’ dan disusul oleh para bonto patalimbona lainnya yang mengambil bedak yang disebut ‘bura i pobura’. Para bonto patalimbona ini membedaki calon terpilih dari bagian leher hingga kaki. Selesai membedaki, Bonto Peropa menyiramkan air yang dibawa pada bagian kanan tubuh calon terpilih, sedangkan Bonto Baluwu pada bagian kiri. Air yang digunakan disiram mula-mula yang berasal dari pemukiman Dete, baru menyusul air dari tempat yang lainnya. Terakhir digunakan air dari Negeri Tobe-Tobe yang disebut dengan istilah ‘kawului’ yang artinya ‘pembersih’. Penyiraman air ‘kawului’ dilakukan oleh bonto Barangkatopa dan bonto Gundu- Gundu. Seusai memandikan, Bonto Peropa dan bonto Gundu-Gundu dengan memegang bunga pinang di tangan kanan dengan muka menghadap ke timur duduk bersila di depan kanan calon terpilih, sedangkan Bonto Baluwu dan bonto Barangkatopa duduk bersila di depan kiri calon sultan dengan memegang bunga kelapa di tangan kanan dan muka menghadap ke barat. Bunga pinang pada tangan Bonto Peropa dan bonto Gundu-Gundu dikembangkan dari atas ke bawah tubuh calon sultan, sedangkan bunga kelapa dikembangkan Bonto Baluwu dan bonto Barangkatopa dari bawah ke atas tubuh calon terpilih. Seusai melakukan hal tersebut, semua bonto patalimbona ini kemudian membantu memasangkan pakaian calon sultan terpilih. Pertama dikenakan sarung, dililitkan ikat pinggang, dan kemudian menyusul dipasangkan keris, jas serta daster dan terakhir tutup kepala. Setelah memasangkan pakaian, calon terpilih dihantarkan ke tempat duduk yang sudah disediakan di atas tikar yang disebut ‘kiwalu bawea’. 107 Setelah calon sultan duduk beberapa

bonto Kalau adalah menteri kerajaan yang berasal dari pemukiman Kalau.

Bahasa Wolio untuk menyebut tikar rotan.

M aula ,r udyansJah 93 p rahara ,r atri

saat, kemudian semua rombongan yang hadir memohon diri untuk pulang ke rumah masing-masing. Permohonan izin di mulai dari pejabat bawahan terus ke atas yang diterima calon sultan dengan anggukan kepalanya. Dengan itu berakhirlah pula keseluruhan upacara pemandian “calon mahkota” (baca: calon sultan).