Keberdampingan Kesultanan Buton dengan Identitas Diri

Keberdampingan Kesultanan Buton dengan Identitas Diri

Glorifikasi kesultanan dengan hal-hal yang bersifat mistis memiliki kemampuan menarik orang-orang untuk mengambil bagian dan berpartisipasi di dalam kekuatan dahsyat yang diyakini berada di balik hal-hal yang bersifat mistis tersebut. Ia menampilkan dirinya dalam satu kekuasaan yang diimpikan banyak orang untuk bisa terwujud dalam kehidupan nyata sehari-hari. Geertz dalam tulisannya mengenai Bali (1980a) menyatakan semua orang berlomba-lomba ingin berpartisipasi memompa “kebesaran” dan “keagungan” kekuasaan, dan vice versa, sehingga power pomps people and people pomps power. Upacara pengangkatan dan pelantikan Sultan Buton, meskipun tidak sedramatis dan semegah upacara- upacara yang ada di Bali, juga menampilkan hakikat yang serupa.

Untuk uraian mengenai alat-alat perlengkapan kemuliaan sultan dan permaisuri, beserta tanggung jawab memeliharanya, lihat Berg 1939, hlm. 496-503.

108 k esepakatan t anah W olio :

i deologi k ebhinekaan dan e ksistensi b udaya b ahari di b uton

Di dalam upacara pengangkatan dan pelantikannya, sultan menginkorporasikan berbagai unsur, termasuk negeri-negeri bawahan, yang ada di dalam wilayah kesultanannya. Sultan menjelma menjadi satu “kekuatan” yang lebih besar dan lebih digdaya daripada dirinya sendiri maupun bagian-bagian yang berada di dalam cakupannya. Justru karena ia menampilkan satu kekuasaan atau kekuatan yang besar, banyak orang yang mengidamkan bisa ikut mengambil bagian atau ikut berpartisipasi di dalamnya. Di dalam upacara kesultanan, termasuk upacara pengangkatan dan pelantikan sultan, para raja dari negeri bawahan, yang disebut oleh istilah bobato, diinkorporasikan sebagai bagian dari Syarat Kesultanan Wolio. Para bobata ini seringkali disandingkan serupa dengan Sultan Wolio dengan gelar lakina (baca: raja) dari negeri asalnya, misalnya Lakina Muna, Lakina Kamaru, Lakina Kalingsusu, Lakina Tiworo, Lakina Lasalimu, atau Lakina Batauga. Para bobato ini diberi gelar lakina sama dengan Sultan Wolio sebagai Lakina Wolio. Di dalam naskah yang berasal dari Kesultanan Wolio yang berjudul Pulangana Kaomu dijelaskan bahwa Batauga adalah turunan dari semua orang Tanailandu. Tobe-Tobe merupakan asal-usul keturunan semua bangsawan di Tanah Wolio. Sedangkan Ambaua, Lasalimu yang menurunkan kenipulu. Dengan kata lain, secara adat para bobato ini dimasukkan ke dalam kategori sosial yang termasuk dalam kelompok kaomu.

Kelompok walaka, yang terutama direpresentasikan oleh siolimbona dan kedua bonto ogena, memegang peranan kunci dalam pengangkatan dan pelantikan sultan. Di dalam ideologi kesultanan, sultan memerintah dan diberi kekuasaan oleh kelompok siolimbona. “Kami bersedia mengangkatmu sebagai raja. Namun, kamu harus maju bersama kami dan mundur bersama kami”, begitu kurang lebih arti sumpah yang diucapkan Bonto Peropa saat mengangkat dan melantik sultan yang terpilih.

Di dalam detail-detail kecil upacara, sultan harus berperilaku bagaikan anak kecil yang pasif dan harus mendapatkan bantuan dari Bonto Peropa dan Bonto Baluwu untuk setiap gerakan yang mau dilakukannya. Bahkan setiap mau duduk di tahtanya, sultan selalu

M aula ,r udyansJah 109 p rahara ,r atri

diingatkan akan persatuan dan kesatuan dirinya dengan siolimbona melalui kata-kata yang senantiasa diucapkan oleh Bonto Peropa: “satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan, sembilan, sepuluh engkau Laode”. Harus dijelaskan di sini bahwa kata satu sampai sembilan mengaju kepada kesembilan pemukiman (baca: siolimbona ) dan kata ‘laode’ mengacu pada sultan.

Dalam praktik adat-istiadat di istana, para anggota siolimbona menyebutkan dirinya dengan istilah ‘kakekmu’ di depan sultan. Sedangkan sultan menyebutkan dirinya dengan istilah ‘cucumu’ di depan para anggota siolimbona . ‘Kata kepunyaan bentuk ketiga’, yang digunakan untuk menyapa diri sendiri, sebetulnya berfungsi untuk mengingatkan masing-masing pelaku akan ikatan pertalian kesatuan di antara mereka melalui penggunaan istilah-istilah kekerabatan. Sultan dari kaomu juga diistilahkan sebagai lakina Wolio, yang secara harafiah berarti anak laki-lakinya Wolio, karena sebelum dilantik memang ia harus diadopsi dan dititipkan kepada anggota dewan adat untuk diberi bekal pengetahuan adat, sebelum ia dianggap mahir memerintah dan bisa dilantik jadi sultan. Kaum kaomu memang sering kali dipanggil dengan kata anak lelaki oleh anggota siolimbona. Diriwayatkan bahwa pada masa yang lebih awal, yakni dari masa Ratu Pertama Wa Kaka dan Ratu Kedua Bulawambuna, ratu menyapa dirinya dengan istilah ‘anakmu’ dan anggota siolimbona menyapa diri mereka dengan istilah ‘ayahmu’. Konon pada masa Raja Ketiga Monarki Wolio yang bernama Batara Guru, kata sapaan diri ini diganti dengan kata ‘cucumu’ dan ‘kakekmu’.

Orang-orang yang berasal dari kelompok lebih rendah “derajatnya” juga mendapatkan bagian dalam kesultanan, bisa sebagai Manggadai (bawahan patalimbona), atau watina gampikaro (bawahan bontona gampikaro), pangalasa (bawahan bonto), talombo (bawahan bonto ogena), atau parabela (kepala kampung). Hampir semua elemen yang penting dalam kesultanan mendapatkan perannya sesuai dengan kedudukan yang mereka miliki. Oleh karena itu, tidak mengherankan bahwa identitas diri mereka lahir bersamaan dengan berkembangkannya Kesultanan Buton ini. Sampai saat ini di kepala kebanyakan orang Buton apabila mereka membicarakan “Buton

110 k esepakatan t anah W olio :

i deologi k ebhinekaan dan e ksistensi b udaya b ahari di b uton

Raya”, maka yang muncul adalah kesadaran kolektif mereka akan kejayaan yang mereka pernah raih saat Kesultanan Buton masih ada. Mirip dengan identitas ‘Keinggrisan” (Englishman) yang muncul bersamaan dengan terbentuknya kerajaan Inggris, hal yang serupa terjadi juga untuk kasus orang Buton. Identitas diri mereka lahir bersamaan dengan terbentuknya Kesultanan Buton. Bahkan sampai sekarang, apabila mereka menyebut masyarakat Buton, maka yang dimaksudkan bukan hanya orang yang tinggal di kota Baubau atau Pulau Buton, tetapi mencakup juga orang yang berada di Kabupaten Bombana, Kabupaten Wakatobi, dan Muna. Singkatnya semua orang yang tercakup dalam wilayah Kesultanan Buton.