Sipanjonga, Pedagang Pendatang
Sipanjonga, Pedagang Pendatang
Dalam konteks struktural di atas, maka menjadi menarik memperhatikan bahwa Hikayat Sipanjonga dan juga tradisi lisan di Buton saling memperkuat, mengawali kisah berdirinya Kerajaan Wolio ini dengan peristiwa “kedatangan Sipanjonga”. Dengan kata lain, Sipanjonga adalah seorang pendatang, seorang imigran. Siapakah Sipanjonga, dari mana asalnya dan kenapa dia bermigrasi?
Hikayat Sipanjonga mendeskripsikan Sipanjonga sebagai “ seorang raja dari pulau Liyaa di tanah Melayu”, yang “terlalu hartawan dan dermawan dan berapa banyak kaum keluarganya dan hamba sahayanya”. Pada suatu malam, Sipanjonga tidur di dalam peraduannya, bermimpi bertemu dengan seorang tua yang berkata,
“hee cucuku, apa juga sudahnya cucuku tinggal di dalam pulau ini, lebih baik engkau mencari lain tempat yang lebih baik dari pulau ini, karena pulau ini bukan cucuku yang menjapang tiada”. Maka Sipanjonga berkata “hee nenekku, bagaimana halku pergi mencari lain tempat daripada pulau ini”. Maka kata orang tua itu, “cucuku perbuat kayu yang di ujung pulau itu perahu supaya boleh cucuku pergi sekalian dengan segala keluarganya
cucuku.” 33
33 Anonim, Saudagar Banjar, op cit., hlm. 1
M aula ,r udyansJah 35 p rahara ,r atri
Walaupun di atas disebut sebagai raja yang kaya dan dermawan, namun tidak bisa disangkal bahwa suasana yang melingkupinya adalah kesedihan, ketidakbermaknaan. Perintah orang tua di dalam mimpi itu, mengandung arti bahwa kepergiannya itu bukan dari kehendak pribadi, melainkan keterpaksaan. Dia—mau tidak mau—mesti pergi dari pulau itu mencari tempat lain yang lebih baik. Artinya, tempat yang sekarang ditempati sudah tidak baik lagi. Akan tetapi, dia belum tahu ke mana tujuannya.
Syahdan, ketika kapalnya yang bernama “Palulang” pergi berlayar, setelah sehari semalam berlayar, di tengah laut diserang badai hingga terdampar di pulau “Malalang”, selama tujuh hari tujuh malam. Sampai pada suatu malam:
“Maka Sipanjonga seorang dirinya tiada tidur duduk menghadap matahari bersandar-sandar dirinya pada himat itu dengan duka citanya melihat bulan purnama baharulah terbit naik dari tepi langit. Maka dengan takdir Allah Ta-aala kedengaranlah suara tiada diketahui tempat dimana suara itu berkata-kata dengan nyaring suaranya dan fasih lidahnya demikian bunyinya, “ Hee Sipanjonga janganlah engkau
duka citamu apa pekerjaanmu maka engkau melakukan dirimu
seperti demikian itu . Kembalilah engkau ke pilangmu, bukan engkau tempat bagimu pada pulau ini. Hendaklah engkau segera berlayar
menuju matahari. Adalah sebuah pulau besar “Butuni” namanya
disebut orang . Di sanalah engkau duduk yang sedia insya Allahu Ta- aala. Kemudian hari pula itu dapat menjadi sebuah negeri yang besar- besar beribu-ribu orangnya lagi beroleh “anak-anak” seorang laki-laki dan cucumu maha banyak dan anakmu itupun mendapat seorang “perempuan” di dalam buluh gading yaitu menjadi raja di dalam negeri itu lagi anakmu itu kaya kekal kekayaannya datang kepada anak cucumu dengan berkat orang yang di dapat di dalam buluh itu.” 34
Segera setelah mendengar suara itu dan meyakininya, Sipanjonga segera berangkat lagi dengan perahunya dan besok siangnya dia telah sampai di Pulau Butuni dan mendarat di Pantai Kalampa, disebutkan bahwa wilayah itu kepunyaan Negeri Tobe- Tobe. Sipanjonga kemudian menetap di pulau itu dan membuat kebun. Dalam teks Hikayat Sipanjonga tidak disebutkan siapa nama raja di Negeri Tobe-Tobe dan bagaimana kemudian relasi dan reaksinya dengan kedatangan Sipanjonga. Dalam cerita
34 Ibid., hlm. 3
36 k esepakatan t anah W olio :
i deologi k ebhinekaan dan e ksistensi b udaya b ahari di b uton
tutur yang lain, seperti ditulis oleh Abdul Mulku Zahari, Negeri Tobe-Tobe ternyata merupakan negerinya “para penyadap enau”
yang dipimpin oleh ketua komunitasnya Dungkungcangia. 35 Dalam bahasa modern, tampaknya Negeri Tobe-Tobe ini adalah penghasil gula dan minuman ( koenau). Diceritakan pula dalam tradisi lisan bahwa ketika perkebunan yang dibuka Sipanjonga dan orang kepercayaannya, Sijawangkati, mengganggu dan merusak penyadapan enau miliknya, Dungkungcangia pun marah dan kemudian terjadi perkelahian yang seru. Ketika kemudian tidak ada yang kalah dalam pertarungan itu, maka disepakati perdamaian di
antara kedua komunitas itu. 36
Kembali ke paparan teks di atas, nampaklah dengan jelas sekarang bahwa Sipanjonga bukanlah “raja” dalam pengertian orang kuat penguasa Dinasti politik yang mengendalikan suatu wilayah dan mempunyai prajurit untuk mempertahankan diri dari serangan musuh atau berekspansi untuk memperluas kedaulatannya. Melainkan seorang dari klan “pedagang” atau “petani kebun menetap” atau mungkin keduanya, yang berpangkalan “di Pulau Liyaa di tanah Melayu”, yang karena mendapat banyak keuntungan lalu menjadi kaya dan punya banyak budak sehingga dapat disebut sebagai “raja”. Namun, kemudian ia berduka-cita karena perkebunan dan perdagangan di wilayahnya sudah tidak punya prospek lagi, sehingga dia terpaksa memutuskan untuk bermigrasi mencari wilayah yang lebih punya prospek dagang. Kini dia telah yakin bahwa ia mesti bermigrasi ke Pulau Butuni, bukan untuk menaklukkan wilayah dan menjadi raja, melainkan mencari perolehan berkah dari seorang “raja perempuan yang didapat dari dalam buluh”, sehingga dengan berkah tersebut ia dan anak-cucunya bisa mendapat “harta kekayaan yang kekal”.
Demikianlah, Hikayat Sipanjonga memberikan kepada kita suatu “potret” kecil dari suatu bingkai struktur besar “arus pusaran
35 Abdul Mulku Zahari, ibid., hlm. 28. Zahari mengutip keterangan lisan dan buku silsilah milik La Hude, menteri Siompu, dikatakan bahwa Dungkungcangia itu “asal fari”, orangnya “putih”.
Keterangan lisan lain dari La Adi alias Ma Faoka, menteri besar sukanayo, menceritakan kalau Dungkungcangia berasal dari “Cina”.
36 Ibid., hlm. 29.
M aula ,r udyansJah 37 p rahara ,r atri
sejarah” yang—seperti disinggung di atas—sedang bergeser ke Selatan. Tanah Melayu yang ketika zaman keemasan Kerajaan Sriwijaya pada abad ke-11 dan ke-12 menguasai arus Laut Utara jalur perdagangan lintas Sumatera, Kalimantan, Maluku, Sulu, dan Cina, maka pada abad ke-13–14 ketika Sriwijaya sudah runtuh dan perdagangan Cina berhenti, Laut Utara kacau, tampillah Majapahit di Pesisir Utara Pulau Jawa sebelah timur yang berhasil menggeser arus ke arah selatan. Dan dalam konteks itu, orang-orang tahu bahwa Pulau Butuni (Buton) mempunyai nilai sangat strategis karena berada pada jalur lalu-lintas antara “Dunia Maluku” sebagai penghasil utama komoditas pala dan cengkeh dengan pelabuhan- pelabuhan dagang di pesisir utara Jawa. Dan karena itu, Pulau Butuni punya peluang besar dan prospek yang tinggi. Sipanjonga tahu betul tentang hal itu, dan—tentu saja—masih banyak “sipanjong- sipanjonga” lain yang juga berfikir sama. Artinya, Sipanjonga di sini bisa dipahami sebagai sosok manusia yang nyata, namun sekaligus mempunyai nilai simbolik. 37