DAN RITuAl TENTANG PERAHu

DAN RITuAl TENTANG PERAHu

Di masyarakat Buton, khususnya bagi para pengarung samudera, ada suatu pandangan unik yang ternyata mengandung makna yang sangat mendalam terhadap perahu atau bangka. Hal itulah yang mempengaruhi relasi yang terwujud antara sang tuan perahu (sebutan untuk pemilik perahu) dengan perahunya. Dalam pandangan para pelaut Buton, perahu tak ubahnya seperti manusia. Perahu bahkan dianggap sebagai anak dari si tuan perahu. Hubungan itu tercermin dari, salah satunya, kewajiban sang tuan perahu membayarkan zakat fitrah untuk perahu miliknya selayaknya kewajiban orang tua kepada anaknya setiap Hari Raya Idul Fitri. Penganalogian perahu sebagai salah anak dari sang tuan perahu karena adanya anggapan bahwa dia lah yang membantu mendatangkan rezeki yang menghidupi keluarga si tuan perahu. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh La Rahimu seorang pelaut dari Desa Tira berikut ini:

“…Perahu itu sudah menjadi bagian dari keluarga, misalakan saya punya anak tiga, setelah anak ketiga saya beli perahu. Nah perahu itu

122 k esepakatan t anah W olio :

i deologi k ebhinekaan dan e ksistensi b udaya b ahari di b uton

anak keempat. Sebab, bagaimana juga yang kasih makan kita ya sudah perahu itu. Umpamanya kita hanya duduk-duduk, hanya ada sawi saja tetap kita dapat sewanya itu.”

Selain itu, analogi perahu sebagai anak itu juga merupakan cerminan dari jalinan hubungan yang sangat erat antara seorang pelaut dengan perahunya. Karena hubungan yang terjalin sangat erat itulah dalam kepercayaan mereka, pantang bagi seorang tuan perahu mengganti perahu lamanya dengan yang baru hingga perahu lama tersebut karam dan sudah tidak bisa dipergunakan lagi. Alih- alih menggantinya dengan yang baru, mereka akan berusaha sebisa mungkin memperbaiki kapal yang mengalami kerusakan atau mengganti kayu-kayu yang lapuk bagi perahu tua. Seperti yang diungkapkan oleh Sabahi berikut ini:

“Kalau sudah seperti itu kita pikir-pikir itu dulu kalau ada yang rusak seperti orang Bugis sana gampang saja orang mau tinggalkan perahu, kalau kita tidak. Umpamanya papannya satu rusak, ah kita ganti lagi, makanya perahu sini sudah berpuluh-puluh tahun, bahkan sudah ada sejak saya lahir, karena itu tadi kita punya kepercayaan. Kecuali kalau sudah tenggelam di lautan, tapi kalau lapuk kayu tidak ada itu niat untuk mengganti perahu, diperbaiki saja itu yang rusak”

Adanya pantangan untuk mengganti perahu lama sebelum perahu tersebut tidak dapat dipergunakan lagi merupakan cerminan dari rasa cinta tuan perahu kepada perahunya. Keselamatan tuan perahu beserta awak kapal (sawi) dan rezeki berlimpah yang diperoleh dari perahu dianggap sebagai ungkapan rasa cinta perahu kepada tuan perahunya.

“…pokoknya ombak itu bermacam-macam itu di lautan bebas tapi bisa kita hindari, karena antara perahu dengan kita itu saling mencintai, kita cintai perahu, ia juga mencintai kita, kemudian tidak ada yang salah mugkin kita bisa selamat.”

Dengan pemahaman itu, terlihat hubungan timbal balik antara tuan perahu dan perahunya. Karena perahu dianggap telah menunjukkan rasa cintanya dengan menjaga keselamatan tuan perahu dan juga mendatangkan rezeki, adalah kewajiban bagi tuan perahu untuk juga menjaga perahunya dengan tidak sembarang menggantinya dengan yang baru.

M aula ,r udyansJah 123 p rahara ,r atri

Analogi perahu sebagai manusia yang merupakan bagian dari keluarga ternyata bukan hanya sebagai cerminan dari jalinan hubungan yang erat antara tuan perahu dengan perahunya. Perahu sebagai mahluk hidup sangat nyata jika dikaitkan dengan pengalaman mereka berlayar dengan menggunakan perahu yang mereka cintai itu. Dalam konteks ini, perahu sebagai mahluk hidup bukanlah analogi semata melainkan sebagai suatu kepercayaan yang dapat dibuktikan dalam pengalaman nyata mereka. Simak kisah La Rahimu dan La Baua berikut ini:

“Jadi barang itu (perahu) secara ilmu pengetahuan itu memang benda mati, tapi kita betul-betul kita niatkan bahwa dia hidup, dan itu bisa kita buktikan waktu kita berlayar belum ada mesin, walaupun masih di lautan Maluku sana, itu kita tidak rasakan itu padahal tidak kena angin dan itu kadang tidak salah jalan juga.”

“Jika kita menghadapi masalah di laut itu, perahu itu memberitahu tuannya. Dia bisikkan kita itu lewat mata hati. Oooh ada ombak besar, perahu beritahu kita itu. Makanya kita dengan perahu itu harus dekatlah hubungannya. Perahu mencintai kita makanya kita harus jaga mereka juga.”

Menyimak pengalaman berlayar La Rahimu dan La Baua itu dapat kita lihat bahwa perahu dirasakan nyata adanya sebagai mahluk hidup yang memiliki peran penting dalam menjaga sang tuan perahu ketika dalam perjalanan. Pengalaman itu menunjukkan terciptanya suatu hubungan yang harmonis antara sang tuan perahu dan perahunya.

Keharmonisan antara tuan perahu dan perahunya itu dipercaya berkaitan dengan keharmonisan rumah tangga sang tuan perahu. Dalam pembuatan perahu hingga hendak pergi berlayar, keharmonisan dalam rumah tangga dipercaya berpengaruh pada hasil pembuatan perahu dan juga keselamatan dan juga perolehan rezeki pelaut yang pergi berlayar. Seperti yang diungkapkan oleh Sabahi dari Desa Tira berikut ini:

“Sama dengan perahu dan manusia, kalau kita bikin dengan harmonis nah juga akan menghasilkan hasil yang harmonis, juga kalau suami istri sewaktu membuat perahu itu tidak harmonis maka akan menghasilkan sesuatu yang tidak harmonis juga tentunya. Makanya disini betul-betul dituntut ketelitian, biar menghasilkan suatu kenikmatan ”

124 k esepakatan t anah W olio :

i deologi k ebhinekaan dan e ksistensi b udaya b ahari di b uton

Proses pembuatannya adalah kegiatan yang sangat sakral bagi para pelaut karena dianggap sebagai suatu peristiwa “kelahiran” seorang anak yang akan diandalkan untuk menghidupi mereka.