Nenek Moyang Negeri Butuni
Nenek Moyang Negeri Butuni
Demikianlah, sampai kembalinya Bitaumbara dari pengembaraannya dari Negeri Kamaru yang kira-kira berlangsung hampir setengah abad, mengingat dia sampai beranak cucu, maka Naskah Hikayat Sipanjonga melanjutkan dengan semacam kesimpulan dan penegasan kembali:
Adapun segala persatuan ceritera dari pada dahulu kala nenek moyang kita yang tua-tua pertama negeri Butuni itu konon dari tanah “Mandauli” yaitu hampir negeri “Lambusaangu”. Maka kemudian berpindahlah pada tanah “kaputori” dengan berapa lamanya duduk di sana maka datang suatu balaa maka berpindahlah lagi pada tanah “Walalogusi” berhuma di sana maka datanglah setahun lamanya duduk berhuma samuhannya pada tahun itu. Setelah sudah maka datang lagi tahunnya maka berhuma pula kepada tanah “Kadolo” datang pantai “Samuta” pantai berhuma ke pantai “Baau-Baau” sampai kepada kaki sungai di sanalah tempat satu demikian itu berapa lamanya duduk di sana itupun belum lagi mendapat rajanya demikianlah. 48
Apa yang ingin ditegaskan adalah bahwa nenek moyang negeri Butuni adalah suku-suku yang bermata pencaharian sebagai peladang berpindah. Disebutkan pula rute migrasi mereka dari Tanah Mandauli dekat Negeri Lambusaangu sampai ke Pantai Baau-Baau. Sekilas rute-rute migrasi para peladang berpindah di dalam paragraf ini mengulangi apa yang sudah ditulis di depan tentang wanua yang dipimpin oleh Samalui. Namun, kalau kita perhatikan seksama, nampak ada info-info dan arah cerita yang berbeda. Pertama, paragraf ini sepertinya ingin memberikan kesimpulan yang lebih luas dan umum sekaligus penegasan bahwa nenek moyang yang tua- tua pertama di Negeri Butuni itu berasal dari tanah “Mandauli”, di dekat negeri “Lambusaangu”. Penulis meyakini, di sekitar negeri Lambusaangu inilah tampaknya merupakan salah satu pusat konsentrasi terbesar bagi pemukiman suku-suku dari etnik Wolio kuno yang masih bertahan sampai saat itu. Ada info kecil di dalam
48 Op cit., hlm.14 – 15.
44 k esepakatan t anah W olio :
i deologi k ebhinekaan dan e ksistensi b udaya b ahari di b uton
satu tulisan panjang 49 La Ode Aegu yang menyebutkan ingatan orang-orang bahwa dulu di dalam Negeri Lambusaangu lama terdapat sekitar 300-an perkampungan ( wanua). Kedua, paragraf ini juga memberi info tentang keberadaan praktik “berhuma di pantai”. Ini sepertinya mendukung satu hipotesis bahwa gelombang migrasi ke Pantai Baubau pada masa-masa itu dipicu oleh fenomena alam– yang masih harus dibuktikan dengan penelitian arkeologis dan geologis–tentang menyusutnya air laut sehingga terjadi perluasan garis pantai, sehingga memunculkan mitos seolah-olah Pulau Buton seperti pulau baru muncul ke permukaan. Penelitian Pelras di wilayah Bugis di Sulawesi Selatan juga mencatat hal serupa yang memicu arus migrasi dari Toraja ke daerah-daerah baru tersebut.
Dan pada akhir paragraf juga disebut suatu info menarik bahwa “ itupun belum lagi mendapat rajanya”. Ini berarti bahwa, pertama, sampai saat itu mereka belum pernah memiliki raja. Jadi, belum ada kerajaan. Dan kedua, bahwa raja itu seseorang yang “didapat”, ditemukan. Kalimat terakhir ini pun ternyata menjadi semacam pengantar bagi pasal selanjutnya dari Naskah Hikayat Sipanjonga yang akan menceritakan “kisah penemuan” Sangia I Langkuru akan putri Wa Kaka, atau naskah menyebutnya dengan “Batara Wa Kaka”.
Adapun segala persatuan ada seorang Butuni yang membawa anjingnya mencari buruan “Sangia I Langkuru” namanya, yaitu dari kampung “Peropa”. 50
Secara tidak langsung, naskah menginformasikan kepada kita suatu perkembangan masyarakat dan limbo-limbo yang lebih kompleks. Bitaumbara berhasil menggalang berbagai wanua dari berbagai suku untuk masuk ke dalam persekutuan. Sudah terbentuk sebuah limbo “Peropa” dan seorang tokohnya dari wanua yang bermata pencaharian pemburu, yang digelari “Sangia I Langkuru”. Ia adalah seorang Butuni, artinya dia dari suku pribumi. Melihat gelarnya “Sangia”, ini menunjukkan dia merupakan pemimpin
49 Tulisan ini tampaknya merespon dan memberi bandingan terhadap apa yang disajikan di dalam seminar tentang sejarah Buton yang diselenggarakan di Bau-Bau tahun 1981. La Ode Aegu, “Sejarah
Masuknya Agama Islam dan Perkembangannya di Buton”. Buton: tt., hlm. 18. 50 Ibid., hlm. 15.
M aula ,r udyansJah 45 p rahara ,r atri
sukunya yang dikeramatkan. Dan gelar “sangia” ini tampaknya meru pakan gelar “asli” untuk kepala-kepala suku atau adat di
Buton (Butuni, Wolio), 51 sejajar dengan gelar matoa untuk suku- suku di Bugis dan arung untuk suku-suku di Makassar. Dengan bergabungnya suku pemburu ini, berarti semakin melengkapi struktur masyarakat yang sudah ada sebelumnya, yaitu suku-suku “petani”, “pedagang”, dan “penyadap enau”.
Dalam mitologi Nusantara Kuno, suatu tatanan kerajaan terdiri dari 5 golongan: 1.) Petani ( Kuli-kuli), 2.) Penyadap enau (Katwang maralah), 3.) Pemburu (Sumendi Petung), 4.) Pedagang (Sandang Gerba), 5.) Penguasa (Writi Kandayun). 52 Dengan memahami struktur sosial masyarakat kuno tersebut, yang terdiri 5 jenis, maka yang penting adalah membangun suatu relasi yang selaras antara
petani sebagai penghasil padi dan palawija, pemburu/pencari ikan
yang menyediakan daging dan ikan, para penyadap enau sebagai penghasil gula, dan kaum pedagang yang mengelola distribusi serta sirkulasi barang-barang, dan terakhir adalah penguasa yang menjamin keamanan dan keteraturan. Ternyata struktur kuno ini relevan dengan semua etnis Melanesia, Austro-Melanesoid, Polinesia yang tinggal di pulau-pulau Nusantara, Pasifik dan Lautan India.