Samalui, Peladang Pribumi
Samalui, Peladang Pribumi
Di atas sudah dikatakan bahwa Naskah Hikayat Sipanjonga adalah teks yang padat dan berlapis-lapis. Kalau pada pasal pertama di atas menceritakan tentang sosok “pendatang” yang seorang pedagang atau petani menetap, maka pada pasal berikutnya penulis naskah menceritakan tentang sosok “penduduk asli” dan bentuk “dusun”nya. Kita baca dulu teks yang dimaksud:
Alfasal peri pada menyatakan tatkala ceritera suatu lagi dusun. Sebermula dusun itu pun tiadalah tetap ia pada suatu tempat dan peri mengatakan tatkala dusun itu menjadi sebuah negeri yang besar, demikianlah ceritera ini diceriterakan orang yang empunya ceritera ini.
Sekali peristiwa ada suatu dusun itu “Mandaika” namanya dan seorang
37 Karena itu mungkin menjadi tidak penting untuk memastikan tentang posisi keberadaan Pulau Liyaa. Banyak yang berpendapat bahwa itu terdapat di Riau, atau tempat lain Sumatera. Mungkin
karena terpaku pada wilayah Melayu, ada yang menyebut itu di Johor. Kami sebetulnya meragukan itu semua, karena Hikayat Sipanjonga menggambarkan bahwa perjalanan dari Pulau Liyaa ke Pulau Butuni itu hanya ditempuh dalam waktu 2 hari 2 malam. Bisa jadi, itu terdapat di Kalimantan Timur atau Tenggara, karena di sana ada Pulau Laut yang ujungnya disebut Tanjung Layar. Atau, bisa jadi itu terdapat di Sulawesi Tengah, karena di sana ada daerah pemukiman yang bernama Lijo. Atau, tempat lainnya karena mungkin saja pengertian Tanah Melayu itu juga adalah pelabuhan dagang milik orang- orang atau Kerajaan Melayu.
38 k esepakatan t anah W olio :
i deologi k ebhinekaan dan e ksistensi b udaya b ahari di b uton
menterinya “La Tataa” namanya. Maka pada tahun itu pun berhuma maka dengan takdir Allah Ta-aala huma itu pun tiada berisi dan tiada berdaun dan segala buah-buahan dan tanam-tanaman itupun tiada menjadi. Maka orang pun bersegeralah berangkat hendak berpindah kepada yang lain lalu ia berjalan menuju kesudahan.
Sebermula sampailah kepada suatu bukit “Kapanturi” namanya itu hampirlah pada suatu sungai “Bancuka” namanya sungai itu. Di sanalah ia duduk sekira-kira dua tahun di sana maka berhuma pula pada tanah “Walalogusi” namanya berhuma di sana duduk setahun setahun juga. Maka pada tahun yang kemudian berhuma pula pada tanah “Kaedupa”: lalu “Kabau-bau” sampailah ke sungai Butuni dengan selamanya sedia duduk di sana.
Maka keduanya negeri itu besar kelak maka Sipanjonga dan Samalui mufakatlah hendak berkumpul dirinya seperti adat satu negeri tetapi hukumnya masing-masing kedua kaum itu demikianlah hal keduanya itu. 38
Di sini tampak jelas adanya satu model “dusun asli” di Pulau Buton masa itu yang bernama “Mandaika” dipimpin oleh menterinya yang bernama “La Tataa”. Diberitahukan pada awal bahwa pasal ini akan menggambarkan keberadaan dusun yang tidak menetap tetapi selalu berpindah ke berbagai lokasi, mengikuti kebutuhan berkebun atau berladang atau huma yang tergantung pada masa tanam, keadaan cuaca, musim, kesuburan tanah dan faktor alam lainnya yang mempengaruhi hasil ladang mereka. Dan diberitahukan pula, bahwa “dusun” inilah yang nantinya akan berkembang menjadi negeri yang besar. Dengan kata lain, “dusun” model ini merupakan satu modal dasar di atas mana nantinya Kerajaan Wolio akan didirikan.
Menjadi pertanyaan, apakah pemberian nama model hunian masyarakat sejenis itu sebagai “dusun” dan pemimpinnya disebut “menteri”, itu memang berasal dari sumber cerita sendiri yaitu warga lokal ataukah itu merupakan sebutan atau tafsiran dari Si Saudagar Banjar yang menuliskan hikayat ini? Tampaknya itu merupakan ungkapan dari Si Saudagar Banjar sendiri. Mungkin yang lebih tepat kalau kita sebut sebagai satu kelompok dari suatu suku, atau wanua, yang bermata pencaharian sebagai “peladang berpindah”. Kelompok itu dipimpin oleh seseorang yang “terpilih” di antara mereka. Tidak diceritakan di sini berapa jumlah anggota mereka dalam satu
38 op cit., hlm. 4.
M aula ,r udyansJah 39 p rahara ,r atri
kelompok. Walaupun tidak diungkap juga di dalam naskah, tapi patut diduga bahwa kelompok sejenis ini tentulah banyak terdapat di Pulau Buton masa itu, yang merupakan subkelompok dari cabang suku-suku yang berbeda.
Diceritakan pula kemudian kelompok peladang berpindah ini, setelah mengalami berbagai kegagalan dan berpindah-pindah melewati “Kapanturi” dekat Sungai “Bancuka”, kemudian ke “Walalogusi”, lalu pindah ke “Kaedupa”, hingga akhirnya sampai di Kabau-bau bermukim di dekat Sungai Butuni, “ dengan selamanya sedia duduk di sana”. Penulis hikayat rupanya ingin menceritakan pula bahwa kelompok “peladang berpindah” ini pun sedang mengalami semacam kejenuhan. Mungkin karena sering didera kegagalan, atau mereka mulai melihat ada suasana yang berubah dengan mulai ramainya pelabuhan-pelabuhan dengan para pendatang, sehingga mereka tiba-tiba merasa bahwa hidup mereka walaupun terus berpindah tetapi sesungguhnya statis dan monoton. Diam-diam mereka ingin berubah.