BuKANNYA sI TIRANI ‘ATAu’

BuKANNYA sI TIRANI ‘ATAu’

Dinamika kawasan yang kita bicarakan disini mengacu pada sebuah wilayah di Pulau Buton serta pulau-pulau di sekitarnya. Masyarakat yang mendiami wilayah ini menyebut diri mereka sendiri sebagai orang Buton. Masyarakat Buton, menurut pemahaman mereka, tidak hanya merujuk pada orang-orang yang ada di Pulau Buton saja, melainkan meliputi juga—selain orang-orang yang ada di kota Baubau dan Kabupaten Buton—orang-orang yang ada di Kabupaten Bombana, Kabupaten Muna, Kabupaten Wakatobi. Atau dengan kata lain, mencakup semua orang yang tadinya tercakup di dalam Kesultanan Buton. Bahasa yang mempersatukan mereka semua—yang sebetulnya secara historis berasal dari etnik yang berbeda-beda—adalah bahasa Wolio sebagai lingua franca. Identitas ‘Kebutonan’ dengan demikian dapat dikatakan lahir bersamaan dengan berkembangkannya Kesultanan Buton.

Sebagaimana diuraikan secara panjang lebar sebelumnya, Kesultanan/Kerajaan Buton itu dibangun berdasarkan adanya perasaan membutuhkan satu sama lain di antara elemen-elemen yang ada di antara beraneka macam masyarakat yang kemudian membentuk kerajaannya. Wa Kaka dan Sibatara diangkat derajatnya

146 k esepakatan t anah W olio :

i deologi k ebhinekaan dan e ksistensi b udaya b ahari di b uton

oleh Bitaumbara ( bonto dari Peropa) dan Sangariarana (bonto dari Baluwu) sebagai raja dan ratu berdasarkan pada prinsip saling membutuhkan. Inilah yang merupakan kesepakatan asali yang pernah dibuat di dalam sejarah awal pembentukan Kerajaan Buton. Keturunan para bonto itu pada masa kini terkenal dalam istilah sebagai kelompok Walaka, sedangkan keturunan Ratu Wa Kaka dan raja Sibatara terkenal sebagai kelompok Kaomu.

Setelah berlalu berabad-abad, kesepakatan asali di atas itu, dan ini yang cukup mengherankan, masih direkam dengan cukup baik di dalam kesadaran kolektif mereka. Dari keturunan para bonto dari kelompok Walaka yang kami ketemui pada masa kini, semuanya menyatakan bahwa raja di Kesultanan Buton itu diberi kemuliaan dan kebesaran sebagai raja karena diangkat oleh siolimbona (kelompok mereka). Dalam kaitannya dengan kelompok Kaomu, kelompok Walaka diibaratkan sebagai ayah yang memiliki kekuasaan dan kemauan untuk memuliakan anaknya—dalam hal ini raja yang berasal dari kelompok Kaomu—agar mencapai kebesarannya. Namun, kebesaran dan kemuliaan anaknya itu tetap dikontrol oleh siolimbona agar tidak dipergunakan secara semena-mena. Bukti yang seringkali diajukan oleh kelompok Walaka untuk menegaskan fakta historis itu adalah salah satu perjanjian yang diucapkan pada saat pengangkatan sultan, yang terjemahan bahasa Indonesianya kurang lebih sebagai berikut:

“Kemana saja engkau pergi, ke atas langit atau ke bawah bumi, kamu harus bersama-sama dengan kami. Bilamana engkau tidak memperdulikan perjanjian ini, maka telah tiba masa perceraian kita, karena bukan engkau saja yang pantas di negeri ini.” 123

Sangat jelas dalam kutipan itu bahwa kebesaran dan kemuliaan itu diberikan kepada seorang raja atas dasar sukarela dan prinsip saling membutuhkan di antara kedua belah pihak, dan satu pihak yang memberikan kebesaran itu bisa menarik kembali mandatnya apabila pihak yang diberikan kebesaran dan kemulian meninggalkan dan mengabaikan pihak itu. Dengan demikian kekuasaan dikonsepsikan oleh masyarakat bahari di kesultanan ini bukan

Wawancara pribadi dengan salah seorang informan kami.

M aula ,r udyansJah 147 p rahara ,r atri

top-down yang bersifat hegemonik, melainkan bottom-up dalam rangka mencapai kebesaran dan kemuliaan bersama yang sangat membebaskan keberdaulatan diri insan manusianya. Pada masa kinipun setiap aspirasi akan kebesaran dan kemulian keberdaulatan diri mereka, termasuk aspirasi akan provinsi Buton Raya, senantiasa dikonsepsikan dalam format adat ( sara) seperti itu—kesepakatan asali akan kebersamaan yang berdasarkan pada prinsip pobinci- binciki kuli di antara berbagai potensi dan elemen yang ada dalam masyarakat Buton. Jadi kebesaran dan kemuliaan diri bukannya tidak dapat digapai karena manusia terpaku pada adat, melainkan justru karena ia melupakan akar akan asal muasal dirinya, yakni sara/adat itu.

Kecerdikan budaya bahari masyarakat Buton seperti itu justru terletak dalam kemampuan luar biasa mereka untuk bisa menyeimbangkan berbagai potensi dan elemen yang ada dalam masyarakatnya—yang sesungguhnya bisa berpotensi saling bertabrakan dan berkonflik—dan menginkorporasikannya secara anggun ke dalam adat ( sara) yang dibungkus dan dikemas berlandaskan pada ajaran yang sangat spiritual sifatnya, yakni Tauhid yang hakiki. Kami mengistilahkan kejeniusan seperti itu—yang tidak terperangkap ke dalam tirani pilihan ini atau itu, melainkan memiliki kemampuan untuk merangkul semua potensi dan elemen yang ada untuk kebesaran dan kemuliaan bersama— sebagai si Cerdik ‘Dan’.

Manakala pada masa kini ada suara-suara sumbang yang menggugat kewenangan yang ada, maka kami melihat perkara itu lebih disebabkan bukan karena mereka menggugat keabsahan kewenangan yang sekarang ada dalam masyarakat itu sendiri, melainkan karena mereka merasa ada kesepakatan asali kehidupan bersama ada yang telah dilanggar. Menarik dalam kasus ini adalah cerita keturunan dari keluarga yang anggotanya pada masa lampau konon dijadikan korban tumbal untuk tiang pancang bendera yang sekarang berada di depan Masjid Keraton Wolio. Yang sangat menarik adalah bahwa gugatan itu diajukan mereka bukan karena leluhur mereka menjadi korban tumbal—itu sudah mereka terima sebagai

148 k esepakatan t anah W olio :

i deologi k ebhinekaan dan e ksistensi b udaya b ahari di b uton

keniscayaan sejarah bagi kebesaran kerajaan mereka—melainkan lebih karena pengorbanan keluarga mereka itu sekarang dilupakan dan diabaikan masyarakat. Yang digugat adalah penegakan dari prinsip saling takut menakuti, saling memelihara, saling menyayangi, dan saling menghargai berdasarkan kedudukan dan kontribusi yang diberikan anggota keluarga mereka buat masyarakat Buton secara lebih luas. Inilah satu bentuk penerimaan dan kepasrahan diri yang sangat tinggi nilai spiritualitasnya.

Ajaran Tauhid itu membawa serta juga babad peradaban baru bagi masyarakat Buton. Perbudakan, sebagaimana dapat kita lihat dalam data-data sejarah, dihapuskan sultan Muhammad Idrus, dengan mengacu pada kesetaraan setiap insan manusia sebagai ciptaan Allah. Selain itu kita juga dapat menelusuri bahwa upacara pemenggalan kepala pada masa lampau, yang sangat erat berkaitan dengan upacara-upacara di batu-batu megalitik, sedikit demi sedikit dikikis habis oleh pemurnian ajaran Islam yang dilakukan oleh berbagai ulama besar yang ada di Buton. Dalam konteks ini kita tentu saja jadi teringat akan cerita yang sering dikemukakan orang mengenai tokoh yang terkenal Kenepulu Bula, Abdul Ganiyu, yang diriwayatkan memotong batu besar di dekat makam Murhum sekarang ini. Sebelumnya batu itu dianggap keramat dan seringkali didatangi orang untuk melakukan upacara. Yang sangat menarik dalam kaitan dengan ini, seperti diuraikan di bawah nanti, adalah bahwa masyarakat-masyarakat pegunungan di sekitar Kapontori— meskipun masih memelihara upacara adat di sekitar batu besar— menghayati dan mengamalkan adat-istiadat lawas mereka berdasarkan pada prinsip-prinsip ajaran Tauhid.

Apabila kecerdikan budaya bahari untuk menyeimbangkan berbagai elemen yang ada dalam masyarakat seperti itu memang nyata ada, bagaimana kita harus menanggapi berbagai pendapat dan wacana berbeda-beda yang acapkali dilontarkan orang Buton terhadap sejarah yang terjadi dalam masyarakat mereka sendiri, khususnya yang bertalian dengan pengertian Buton dan Wolio.

Di dalam naskah-naskah dan tradisi lisan, nama Buton dan Wolio sepertinya sering atau bisa dipertukarkan begitu saja. Belum

M aula ,r udyansJah 149 p rahara ,r atri

jelas mana di antara keduanya yang asli dan tambahan, atau mana di antara keduanya yang lebih dahulu dibandingkan dengan yang lainnya. Atau, adakah keterkaitan antara keduanya. Sepanjang penelusuran yang kami lakukan, belum ada yang mempersoalkan dan mencoba mencari jawaban perihal tersebut. Walaupun sebetulnya banyak versi tentang makna dan kisah bagaimana asal mula kawasan ini disebut dengan Buton maupun Wolio.

Kalau kita coba telusuri semua versi makna serta penamaan tersebut, dan menikmatinya seperti kita bermain puzzle, akan tampak bahwa masing-masingnya mencerminkan suatu konteks dan sudut yang berbeda-beda. Perbedaan itu bukanlah pertentangan atau kontroversi, melainkan potongan-potongan dan variasi yang satu sama lain saling melengkapi untuk melahirkan gambaran lain yang lebih produktif.

Kitab Negarakertagama yang ditulis pada abad ke-14 menyebutkan nama Butun sebagai satu di antara puluhan wilayah naungan Kerajaan Majapahit di Nusantara. Tampaknya, nama Buton lebih merupakan pandangan atau penamaan “dari luar”, seperti para pelaut dari tengah samudera yang melihat banyaknya Pohon Butu sebagai penanda fisik dari pulau tersebut, lalu menamainya sebagai Butun. Atau, para pengembara berkebangsaan Arab yang (mungkin pertama kali) menemukan pulau itu pada abad ke-7 Masehi serta berakulturasi, dan menyaksikan keajaiban-keajaiban dari banyaknya “batu berlubang” di sana, lalu mengasosiasikannya sebagai perut bumi. Dalam bahasa Arab, perut disebut dengan “But(u)n”. Jadilah kemudian pulau itu disebut dengan “Darul Butun” atau “Darul Butni”. Dalam sebuah naskah “Kitab Tembaga” 124 disebutkan bahwa pengembara Arab tersebut datang karena perintah Nabi Muhammad SAW., yang dengan ‘penglihatan kenabian-Nya’ mengatakan bahwa pulau tersebut merupakan tamsil dari “Perut” beliau, setelah Mekah dan Madinah yang digambarkan sebagai “Kepala” dan “Badan” beliau. Oleh karena itu, kemudian muncul makna (konotasi) lain dari kata Buton ini menjadi “Perut (Kandungan) Spiritual”. Dengan

La Ode Muhammad Tanzylu Faizal Amir (penyalin), “As-Sajaru Huliqa Daarul Bathny Wa Daarul Munajat”, Buton, tt. Hal 3 – 7.

150 k esepakatan t anah W olio :

i deologi k ebhinekaan dan e ksistensi b udaya b ahari di b uton

kata lain, suatu potensi. Belakangan, makna sebagai pulau yang “potensial” ini kemudian juga meluas meliputi kandungan alamnya, baik yang di atas maupun di dalam perut bumi.

Demikianlah, kalau Buton merupakan penamaan “dari luar”, maka nama Wolio lebih menunjukkan penamaan “dari dalam”. Seorang sesepuh Desa Pobaa di Kopontori mengatakan bahwa di dalam bahasa lokal kata “Wolio” itu berarti “Yang Datang” 125 . Kami terkesan dengan pemaknaan ini, karena ambiguitasnya yang mampu membawa imajinasi kita untuk mengurai akar dari dinamika kebutonan dan kewolioan yang sangat kompleks dan misterius.

Makna ini mengandung kearifan, karena mengatasi pertanyaan- pertanyaan kontroversial yang “jawabannya” banyak (dan selalu) dipertengkarkan oleh berbagai kelompok sosial di Buton, yaitu “Siapakah manusia pertama di Buton?”. Kami katakan mengatasi karena historiografi positivistik pasti tidak akan bisa menjawab pertanyaan ini, apalagi klaim-klaim sepihak yang dangkal. “Dialah Yang Datang…” adalah jawaban yang arif karena lebih bersifat mempersatukan. Seolah ingin menggali pertanyaan yang lebih dalam, “Dari Mana Datangmu…?”. Manusia Wolio adalah yang menyadari pertanyaan yang lebih dalam ini, dan jawaban dari pertanyaan inilah yang mempersatukan masyarakat Wolio. Yaitu, bahwa manusia Wolio, seperti keseluruhan manusia di muka bumi, datang dari rahim ibu, dan rahim ibu adalah cermin dari kasih Tuhan. Sebuah kearifan, yang lokal sekaligus universal.

Pada titik inilah, makna Wolio erat berkaitan dengan makna Buton sebagai perut dan kandungan (rahim). Lebih mengesankan lagi, keterpaduan makna keduanya itu ternyata juga tercermin di dalam praktik ritual-ritual di dalam berbagai ragam etnik di Buton. Di dalam perbedaan-perbedaan motif, bentuk ekspresi, dan momentumnya, mereka dipersatukan oleh penggambaran dari ritual-ritual tersebut akan siklus kelahiran dan kehidupan manusia. Kami terkesan pada kenyataan bahwa sebagian besar ritual-ritual itu berpusat pada sebuah batu yang dikeramatkan. Bentuk batu-batu

Wawancara dengan Bapak La Ba’i di rumah beliau di Pobaa, Kopontori., Kab. Buton.

M aula ,r udyansJah 151 p rahara ,r atri

itu yang berlubang di tengahnya mengingatkan kita pada bentuk Yoni, yang mencerminkan jalan keluar-masuk dari/ke rahim Ibu, dari/ke Kasih Tuhan, dari mana semua manusia berasal dan ke mana akan menuju. Dalam hal ini, terasa ada pesan moral yang universal, bahwa sebagai sesama buah Kasih Tuhan kita mempunyai harkat dan martabat yang sama, yang mesti dijaga bersama dan karena itu tidak selayaknya kita saling menyakiti dan sebagainya.

Sisi lain dari makna “Yang Datang…” adalah makna denotatifnya. Bahwa identitas Wolio adalah sebuah proses yang berlangsung terus-menerus, yang dinamika historisnya dipicu oleh mereka “Yang Datang”. Kawasan Buton yang dikelilingi oleh samudera dan letaknya strategis karena berada dalam jalur pelayaran antara Jawa, Makassar, dan “kepulauan rempah-rempah” di Maluku seperti Ambon, Seram, dan Banda. Oleh karena itu, pantai Buton akan selalu didatangi gelombang-gelombang yang silih berganti. Persoalan siapa yang dibawa oleh gelombang itu, dari mana dan kapan mereka datang, yang menunjuk kepada pengertian ruang-waktu historis, tentunya akan sangat berpengaruh terhadap bagaimana jadinya Buton. Apakah mereka yang datang adalah bajak laut? Pengembara? Ulama? Pedagang? Duta politik? Penakluk? Pelarian? Pesakitan? Dan lain sebagainya, tentunya akan menimbulkan dampak dan reaksi yang berbeda-beda pengaruhnya dalam pembentukan ke-Buton-an, seperti tampak dalam pemaparan sejarah pembentukannya yang panjang.

Menarik memperhatikan kaitannya dengan versi di atas, bahwa di dalam versi yang lain disebutkan bahwa kata Wolio berasal dari kata Buton “welia” yang bermakna “menebas” 126 . Penamaan ini mengacu kepada peristiwa historis berkaitan dengan tindakan dari para tokoh yang datang mendarat di Kalampa dari pulau-pulau seberang pada abad ke-13. Diceritakan bahwa untuk menghindarkan diri dari gangguan keamanan bajak laut Tobelo, Sipanjonga dan teman-temannya (Sijawangkati, Sitamanajo, dan Simalui) pergi meninggalkan Kalampa menuju arah gunung sejauh kira-kira 5

A. Mulku Zahari, “Sejarah dan Adat Fiy Darul Butuni”, diterbitkan oleh Proyek Pengembangan Media Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 1997. hal. 27

152 k esepakatan t anah W olio :

i deologi k ebhinekaan dan e ksistensi b udaya b ahari di b uton

km dari tepi pantai. Di tempat yang baru inilah mereka membikin permukiman, namun karena masih penuh dengan hutan belukar maka mereka menebas belukar-belukar tersebut. Kelak Sipanjonga dan teman-temannya ini disebut dengan “Mia Patamiana” (Empat Orang Tokoh Perintis).

Ada kisah lain yang beredar di kalangan masyarakat desa Labalawa yang mengisyaratkan kemungkinan lain dari tindakan menebas ini, yaitu tentang apa yang ditebas sebenarnya. Dalam versi berbeda yang agak dirahasiakan, 127 yang berkaitan dengan asal- usul nama desa ini, apa yang disebut sebagai Mia Patamiana dalam versi di atas sebetulnya nama samaran dari satu orang pengembara, yaitu Labalawa. Sipanjonga adalah nama ketika Labalawa berada di Sumatera Timur, Sijawangkati ketika di Jawa, Sitamanajo ketika di Sumatera Barat dan Simalui ketika berada di Maluku. Syahdan, Labalawa kemudian datang mendarat di Kalampa (Sulaa) yang waktu itu merupakan wilayah dari Kerajaan Tobe-Tobe. Terjadilah kemudian pertarungan Labalawa dengan Raja Tobe-Tobe yaitu Dungkungcangia. Keduanya ternyata mempunyai kesaktian yang seimbang sehingga satu sama lain tidak bisa saling mengalahkan. Akhirnya disepakati, Labalawa bisa tinggal di wilayah Kerajaan Tobe-Tobe pada sebuah bukit yang terdapat pohon beringin di atasnya. Dalam suatu jamuan makan, Labalawa memenggal leher Dungkungcangia yang sedang minum Konau dengan gelas dari daun Talas.

Kalau dalam versi di atas “welia” diartikan dengan “menebas”, maka dengan cerita mengenai tokoh-tokoh yang sama, namun dengan alur cerita yang berbeda, naskah lain 128 mengemukakan versi bahwa kata “welia” terdiri dari dua suku kata yaitu “we” dan “lia” yang berarti adalah “bikinlah permukiman”. Tanpa penelaahan yang mendalam, kita menemukan bahwa kedua arti dari “welia” ini pun ternyata tidak bertentangan, melainkan saling melengkapi. Antara menebas dengan membikin permukiman adalah satu rangkaian tindakan yang saling mengandaikan. Bahkan dikaitkan dengan versi

Wawancara dengan Bapak Safarudin di rumahnya, Desa Labalawa Kec. Murhum, Bau-bau.

La Ode Muhammad Tanzylu Faizal Amir, op cit. Hal. 25.

M aula ,r udyansJah 153 p rahara ,r atri

Labalawa di atas, yang mengisyaratkan makna “menebas” sebagai penaklukan pun sebetulnya masih dalam satu rangkaian tindakan, dalam satu paradigma.

Makna lain yang juga banyak disebut di dalam naskah-naskah adalah bahwa Wolio merupakan kata bentukan dari frase Arab WaliyyuLlah. Suatu terminolog keagamaan di dalam disiplin tasawuf Islam yang berarti Wali Allah: Kekasih Allah, orang yang sangat dekat dan karena itu selalu di dalam lindungan Allah. Penamaan ini didasarkan pada keyakinan adanya suatu “nubuwat” yang disampaikan Nabi Muhammad SAW. ketika mengutus dua orang sahabat beliau untuk segera menemukan pulau yang mencerminkan “Perut” ( Butun) beliau:

“Di sebelah Timur, baru muncul dua buah pulau dan jauh sesudah Aku akan berkembang AgamaKu yang banyak diamalkan oleh orang-orang di Pulau itu yang sangat dekat kepada Tuhan. Mereka adalah Wali-wali ALLAH .” 129

Para wali Allah ini tindakannya selalu mencerminkan sifat-sifat Allah yang Maha Kasih dan Melindungi semua makhluk-Nya. Oleh karena itu, makna Wolio disini mengisyaratkan suatu perlindungan. Para wali adalah para para pelindung manusia dan semua mahluk Tuhan. Di sinilah kemudian makna asal Wolio bertemu kembali kepada penamaan Butuni di atas, sama-sama mengacu kepada suatu tengara dari Nabi Muhammad SAW.

Demikianlah, elaborasi yang panjang dan rekonstruksi terhadap berbagai macam versi dan variasi di dalam penamaan dan pemaknaan terhadap Buton dan Wolio ini menggambarkan kepada kita suatu dinamika kompleks dari pencarian dan pembentukan identitas kebutonan dan kewolioan. Dapatlah kita ringkas sebagai suatu kesimpulan bahwa makna yang terkandung di dalam nama Buton dan Wolio itu tidaklah tunggal dan statis, melainkan selalu kompleks dan dinamis. Buton dan Wolio selalu mempunyai

Dr. Ir. H.M.Mudjur Muif Ahmad Mudjiruddin, MSc., “Mengungkap Tabir Sejarah

Spiritual Dan Metafisika, Theokrasi Serta Monarkhi Parlementer Kesulthanan Buton (Bidaaril

Buthuuni)”, Penerbit Yayasan Jabbal Qubais, Bogor, 2009, hal. 60. Lihat juga La Ode Muhammad Tanzylu Faizal Amir (penyalin), op. cit. Hal 3-7. Juga Sudjiton dkk., “Naskah Akademik Hari Jadi Kota Baubau”, hal 20 dan La Ode A. Munafi, Tesis Magister, 2001, hal. 88.

154 k esepakatan t anah W olio :

i deologi k ebhinekaan dan e ksistensi b udaya b ahari di b uton

makna lahir dan sekaligus makna batin, yang tidak terpisahkan. Makna lahir meliputi wujud fisik dari alam Buton seperti pohon, pulau, hutan, dan segala isi buminya, maupun pergulatan historis yang nyata antara para pendatang dan penghuni “asli”nya seperti pertumbuhan pemukiman-pemukiman baru dengan segala proses yang melingkupinya seperti penaklukan, peperangan, pembunuhan, perjanjian, perlindungan, dan sebagainya. Sementara itu, makna batinnya adalah pencarian dan pembentukan terus-menerus identitas manusia Buton dan pengembangan tatanan kemasyarakatannya, yang merupakan perwujudan dari rasa saling melindungi dan menghormati sesamanya, di dalam rangka penghambaan yang total kepada Sang Pencipta. Oleh karena itu, tercapainya keseimbangan yang dinamis antara kedua makna lahir dan makna batin inilah yang akan membawa masyarakat Buton kepada kejayaannya. Sebaliknya, apabila tidak tercapai keseimbangan, ketimpangan di antara keduanya, maka proses kebutonan menjadi statis, pincang dan terciptalah jurang malapetaka. Di dalam kemampuan menyeimbangkan dua hal itulah, bangsa Buton menampilkan kejeniusan tradisi dan budaya baharinya, dan itu begitu anggun diwadahi dalam ajaran Tauhid yang dipraktikkan mereka dalam kehidupan konkret sehari-hari.

lAmPIRAN