Kesepakatan Pribumi dan Pendatang
Kesepakatan Pribumi dan Pendatang
Dalam suasana batin seperti itulah, maka ketika kelompok yang pimpin oleh Samalui ini (tampaknya penulis hikayat ini menginformasikan nama lain dari La Tataa), bertemu dengan Sipanjonga pun terjadilah semacam “diskusi”, tukar-menukar pengalaman. Mereka sama-sama melihat tanda-tanda perubahan zaman, mereka pun menyepakati suatu kesimpulan bahwa mereka mesti “ berkumpul” seperti “adat satu negeri, tetapi hukumnya masing- masing kedua kaum itu”. Dalam bahasa politik modern, kesepakatan mereka ini adalah sebuah kontrak sosial. Di dalam naskah tidak disebutkan apa nama “perkumpulan” ini, tetapi kami menduga inilah yang di dalam tradisi lisan disebut dengan pembentukan “limbo”. Jadi limbo adalah persekutuan dan perjanjian kerjasama dari beberapa wanua, perkampungan atau pemukiman, yang masing-masing memiliki mata pencaharian berbeda. Persekutuan ini bukan peleburan karena masing-masing wanua tetap dengan hukum dan pemimpinnya sendiri. Limbo berbeda dengan suku
40 k esepakatan t anah W olio :
i deologi k ebhinekaan dan e ksistensi b udaya b ahari di b uton
yang melekat pada wilayah dan hubungan darah. Tampaknya limbo lebih bersifat pragmatis.
Pembentukan limbo di atas mempertemukan antara satu wanua dari penduduk pribumi yang bermata pencaharian peladang dengan wanua pendatang yang tampaknya bermata pencaharian pedagang hasil-hasil kebun. Gejala pembentukan aliansi seperti ini, yang juga ditemukan Pelras di Bugis, disebutnya sebagai sesuatu
yang “revolusioner” 39 karena secara fundamental mengubah pola hubungan mereka yang “berdarah putih” dengan yang “berdarah merah”. Di dalam zaman La Galigo, digambarkan pembentukan kerajaan bersifat top down, dimana dewata dari langit, turun ke bumi menjadi bangsawan berdarah putih, lalu membangun sebuah monarki yang absolut. Sementara gejala yang ditemukan di dalam kronik-kronik, seperti Hikayat Sipanjonga ini, justru menggambarkan suatu inisiatif dari bawah, bottom up dimana orang- orang atau kelompok-kelompok masyarakat biasa yang “berdarah merah” berinisiatif membangun persekutuan dan kerjasama dalam rangka pengaturan dan keamanan bersama, guna memperbesar
kapasitas dan sumberdaya. 40 Belum ada raja di dalam limbo ini, namun di dalam tradisi lisan disebutkan dipimpin oleh seorang bonto. Menurut Pelras, munculnya inovasi-inovasi sosial-politik baru tersebut adalah berkaitan dengan perubahan konteks ekonomi yang baru pula, dan diperkirakan terjadi pada abad ke-14. 41
Visi dan Misi Bitaumbara
Kembali ke Naskah. Beberapa waktu kemudian, Sipanjonga menikahi adik Simalui 42 yang bernama “Sabanang”, dan setelah beberapa waktu Sabanang melahirkan seorang anak laki-laki yang
39 Pelras, op cit., hlm. 198 40 Pelras mengutip penelitian seorang ahli tentang struktur Kerajaan Wajo dan menemukan pola
aliansi antar wanua seperti ini, dan di Wajo aliansi ini disebut dengan “limpo”. Pelras, op cit., hlm. 200 41 Ibid.
42 Penting diperhatikan, bahwa fakta Sipanjonga menikahi adik Samalui bisa juga mempunyai makna simbolik. Dalam konteks “perjanjian kerjasama” antar wanua masa itu, posisi kakak-adik itu,
mengandung makna bahwa Sipanjonga sebagai pendatang status “politik”nya lebih muda daripada Samalui yang pribumi.
M aula ,r udyansJah 41 p rahara ,r atri
diberi nama “Bitaumbara”. 43 Bitaumbara tampaknya mewarisi karakter-karakter positif dari kedua orangtuanya. Dari bapaknya dia mewarisi suatu visi, integritas pribadi, dan kemampuan diplomasi. Sementara dari ibunya yang pribumi, dia mewarisi sikap pengembara, pengenalan terhadap lingkungan dan keberanian.
Setelah besar, berusia 18 tahun, Bitaumbara mendengar kecantikan putri Raja Kamaru dan jatuh cinta, maka ia pun pamit kepada orangtuanya untuk mengembara, “ pergi bermain-main kepada negeri karena hendak melihat kekayaan Allah subhanahu wa ta-aala”. 44 Banyak penulis Buton menafsirkan kepergian ini sebagai diplomasi politik dengan strategi perkawinan. Kami mempunyai penafsiran lain, menggarisbawahi kata-kata pamit Bitaumbara yang “ hendak melihat kekayaan Allah” di atas, maka kepergian Bitaumbara ke Negeri Kamaru ini adalah dalam rangka misi perdagangan, mengembangkan jaringan dan aliansi dagang, yang kemudian memang punya implikasi politik yang besar. Sebagaimana tertulis di dalam buku-buku sejarah dan juga tradisi lisan, pada waktu itu Negeri Kamaru, dibandingkan dengan wilayah-wilayah lain di Pulau Buton, adalah negeri perdagangan yang besar dan kosmopolitan. Hal ini dikarenakan negeri itu memiliki pelabuhan yang strategis, menjadi tempat persinggahan para pedagang dari berbagai bangsa yang akan berdagang ke Maluku maupun pulang dari sana.
Oleh karena itu, kedua orangtuanya memberangkatkan Bitaumbara dalam rombongan yang besar dan meminta kedua menteri limbo Barangkatopa dan Gundu-Gundu ikut serta dalam rombongan. Bitaumbara sempat berhenti di “Lawele”, dan ternyata mendapat banyak tambahan sekutu dagang dari wanua-wanua di Lawele. Rombongan pun berangkat kembali, dan kemudian berkemah di Pantai Kaluku, di pinggir Negeri Kamaru. Diceritakan pula bahwa ketika berkemah di Kaluku ini, Bitaumbara kedatangan tamu Raja Batauga dan Raja Tobe-Tobe. Tampaknya mereka juga
43 Masyarakat Buton pada umumnya menyebut Bitaumbara dengan nama ‘Betoambari’, namun untuk konsistensi dengan pengutipan naskah maka kami berpertahankan penyebutannya sebagai
‘Bitaumbara’. 44 Anonim, op cit., hlm. 6.
42 k esepakatan t anah W olio :
i deologi k ebhinekaan dan e ksistensi b udaya b ahari di b uton
membicarakan pentingnya membangun hubungan-hubungan kerjasama antarnegeri secara baik, agar tercipta suasana yang aman dan dalam keteraturan.
Banyaknya kemah-kemah indah yang didirikan Bitaumbara dan rombongannya, akhirnya menarik perhatian Raja Kamaru, sehingga dia pun mengutus hulubalang untuk mendatangi kemah dan menanyakan maksud dan tujuan rombongan ini. Maka dijawab oleh kedua menteri Gundu-Gundu dan Barangkatopa, “ ... hendak menghadap ayahanda mudah-mudahan dapat minta diperhambakan kepada ayahanda dan bundanya dan hendaklah melihat negeri ayahanda dan bundanya”. 45
Sekali lagi tampak bahwa tujuan utama dari rombongan Bitaumbara adalah perluasan jaringan dan peningkatan kapasitas dagang mereka. Kami ingin menggarisbawahi kata-kata kedua bonto “ minta diperhambakan” di atas. Dalam bahasa politik persekutuan
pada masa itu, sebagaimana ditulis Pelras, 46 ungkapan “hamba” mengandung arti sebagai bawahan. Jadi, secara “politik” kedua bonto Barangkatopa dan Gundu-Gundu itu meminta kepada Raja Kamaru untuk memasukkan “limbo” mereka menjadi bawahan Negeri Kamaru. 47
Permintaan itu diterima, dan Bitaumbara pun dinikahkan dengan putrinya. Beberapa waktu kemudian Bitaumbara mempunyai anak yang diberi nama “Sangariarana”. Beberapa tahun kemudian Sangariarana pun menikah dengan anak negeri di situ dan mempunyai anak yang diberi nama “La Balowu”. Naskah Hikayat Sipanjonga tidak menceritakan lebih lanjut tentang hal ini, namun tradisi lisan tampak merekam keberhasilan “misi dagang” Bitaumbara tersebut dengan terbentuknya limbo-limbo baru. Kelak, masih diingat, setelah berapa lama mereka pun berpamitan untuk pulang ke negeri orangtuanya, dan mereka pun membuat perkampungan masing-masing. Bitaumbara menjadi menteri di
45 Ibid., hlm. 14 46 Pelras, op cit. , hlm. 200, mengutip Andaya, “Treaty Conceptions”. 47 Oleh karena itu, kelak di dalam Adat Wolio, Raja Kamaru mendapat tempat yang teratas dari
sesamanya Raja atau Bobato, disebut dengan “ Bobato Baana-meja”. Raja Kamaru juga termasuk dalam “ Bobato Siolipuna”. Lihat A. Mulku Zahari, op cit., hlm. 30.
M aula ,r udyansJah 43 p rahara ,r atri
dalam limbo “Peropa” dan Sangariarana menjadi menteri di dalam limbo “Baluwu”.