Menemukan Raja Wolio

Menemukan Raja Wolio

Menarik, karena dengan demikian, penulis naskah Hikayat Sipanjonga sebetulnya ingin mengatakan bahwa situasi di Negeri Butuni sudah matang, saat-saat menunggu/mencari “raja” atau penguasa yang akan menjamin keamanan dan menjaga keteraturan tatanan, baik tatanan sosial, lingkungan alam, maupun spiritual, karena di dalam persekutuan limbo sudah terjalin kesepakatan- kesepakatan antar- wanua yang beragam: petani, pedagang, penyadap enau, dan pemburu.

Maka selanjutnya diceritakan bahwa Sangia I Langkuru sedang berburu menyusuri sungai, sampai pada suatu petang ia mendengar

51 Penting dicatat, bahwa kelak pada zaman kerajaan dan kesultanan, gelar ini juga masih tetap dipertahankan sebagai penyebutan kehormatan untuk para pemimpin tertinggi mereka.

52 Hasil perbincangan dengan ahli naskah Jawa Kuno, Agus Sunyoto, Desember 2010.

46 k esepakatan t anah W olio :

i deologi k ebhinekaan dan e ksistensi b udaya b ahari di b uton

anjingnya menyalak-nyalak dengan keras di atas bukit, maka ia pun mengejar ke arah bukit itu dan mencari sumber suara dari anjingnya itu. Maka didapatinya ternyata anjing itu menyalak-nyalak di depan rumpun bambu sambil kakinya menggali tanah di pohon buluh gading namanya, atau “petung-gading”. Maka Sangia I Langkuru mempunyai firasat bahwa di dalam bambu ini pasti ada sesuatu, maka ia pun mengambil parang untuk menebasnya. Ketika bambu itu diparang, maka ia seperti terluka dan mengeluarkan darah yang sangat putih seperti susu, serta keluar suara “ janganlah kau penggal kakiku, aa aa tanganku jangan kau penggal ...”. Sangia I Langkuru pun terkejut mendengar suara dari dalam buluh-gading itu, dia pun mengurungkan niatnya untuk menebang bambu itu.

Lalu diberitahukannya kejadian itu kepada Menteri “Peropa” Bitaumbara yang segera menyuruh orang-orang untuk memanggil Sangariarana, Menteri “Baluwu” dan semua rakyat yang segera ber- kumpul. Mereka segera menuju Bukit Lelemangura dan duduk menge lilingi rumpun pohon bambu gading itu secara berbaris-baris. Bitaumbara ingin membuktikan suara itu, lalu memukul pohon bambu itu dengan kayu yang segera disusul suara muncul dari dalam bambu, “ aa aa aa kaupenggal kakiku, tanganku dan kepalaku itu”. Semua ahli nujum kemudian dipanggil untuk menujum, disebut “katandu-katandu”. Mereka pun kemudian mengatakan hasil nujumnya, “ ya tuanku, jangan kau penggal buluh itu, di dalamnya ada seorang perempuan “peri” namanya dari atas langit terlalu baik parasnya”.

Rumpun bambu itu pun kemudian digali, diangkat bambunya dan dibelah. Maka keluarlah dari dalamnya seorang putri, yaitu “Batara” yang ke Butuni, “Wa Kaka” namanya. Digambarkan putri itu sangat cantik, putih bersinar seperti bulan purnama. Melihat kecantikan dan cahaya sang putri, maka kedua menteri, Bitaumbara dan Sangariarana, pun robohlah tiada sadarkan diri. Melihat hal itu Wa Kaka pun meludahi mereka, dan kemudian mereka bisa mengangkat tubuh, bangun dengan sembah sujud di bawah kaki “Batara yang ke Butuni”. Kemudian Batara pun berturut-turut berkata-kata, “aa aa aa”, yang membuatnya dinamai Wa Kaka.

M aula ,r udyansJah 47 p rahara ,r atri

Kemudian orang-orang berdatangan membawa “gata”. Bitaumbara mengambil segala kain keemasan diperselendangkan ke Wa Kaka. Bitaumbara menyembah sambil berkata “ ya tuanku, naiklah ke atas gata”. Wa Kaka naik gata itu, maka orang-orang mengangkat gata itu, tiba-tiba langit menjadi gelap, turunlah angin kencang, taufan diselingi petir dan halilintar menyambar- nyambar. Mereka semua panik, tidak bisa melihat satu sama lain, hingga saling berpegangan tangan. Bitaumbara segera berseru “hee kamu sekalian duduklah kamu”, maka segala orang pun duduklah dan gata itu pun diturunkan ke tanah. Setelah itu, langit kembali terang, taufan dan halilintar pun reda. Hal seperti ini terjadi sampai tiga kali, sehingga orang-orang pun pada takut. Sampai kemudian ada seorang perempuan tua dari kampung Baluwu, namanya “Wa Bua”, mendapatkan penglihatan seperti dalam mimpi, melihat seorang laki-laki, orang tua besar tubuhnya berjanggut panjang, tidak diketahui dari mana datangnya, seperti kilat, ia berdiri dengan marahnya di hadapan orang-orang, katanya:

“hee kamu sekalian orang Butuni sekalian, janganlah ke bawah anak hamba itu aku tiada mau keberikan pada kamu sekalian itu melainkan yang perhiasanlah gata itu dengan perhiasan yang keemasan dan anta itupun dihiasi dengan juga kain yang maha mulia dan genderang, gong pun dipalu orang seperti adat segala raja-raja maka kamu sekalian baharu aku angkat gata itu, lalu kamu berjalan maka hamba pun mau aku berikan kau bawah anak itu jika segala lagi hal yang demikian itu juga bersalahan adat segala raja-raja niscaya aku turunkan hujan guruh kilat ribut taufan supaya rubuhlah bukit ini lalu binasa dan kamu sekalian nyawanyapun di dalam tanganku juga dan jika kau berikan duka cita lagi mudah-mudahan anak itu niscaya aku turunlah kunaikkan ke langit atas kekayaanku juga.” 53

Setelah terjaga perempuan tua ini lalu menyembah kepada orang tua itu:

“ya tuanku dari mana datang tuan hamba//siapa nama tuan hamba dan apa nama negeri tuan hamba//dan asal mana tuan hamba.” 54

53 Hikayat Sipanjonga, versi aksara latin halaman 18. 54 Ibid., hlm. 19

48 k esepakatan t anah W olio :

i deologi k ebhinekaan dan e ksistensi b udaya b ahari di b uton

Maka orang tua itu menjawab:

“hee perempuan//adapun namaku Bataraguru dan asalku peri//dan tempatku atas tujuh lapis langit sebab hamba sampai kemari hendak kuajar kamu sekalian seperti kataku ini juga.” 55