Glorifikasi Diri Sultan Melalui Hal-hal yang Bersifat Spiritual

Glorifikasi Diri Sultan Melalui Hal-hal yang Bersifat Spiritual

Berbagai hal mistis dan spiritual yang nampak dalam upacara di atas bukan merupakan kebetulan, melainkan sesuatu yang memang dirancang sedemikian rupa untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Untuk menyebutkan beberapa contoh dari uraian di atas, kita dapat mengemukakan pertama bahwa sultan yang dicalonkan harus terlebih dahulu lulus proses penyaringan yang disebut dengan afalia (difirasatkan kebaikan atau keburukannya) melalui petunjuk-petunjuk yang didapat melalui penggunaan kitab suci Al Qur’an. Asosiasi dan pencitraan yang ingin ditegaskan adalah bahwa orang yang bersangkutan bisa terpilih sebagai calon sultan dikarenakan mendapatkan dukungan dari satu kekuatan yang gaib, yakni Allah SWT.

Kedua adalah saat upacara pemutaran payung kemuliaan di atas kepala calon sultan terpilih di dalam Masjid Agung Keraton. Dalam upacara ini calon sultan itu harus terlebih dahulu “diberkati” dengan cara dituliskan huruf suci yang dilaksanakan oleh anggota sarana agama yang masih keturunan Saidi Raba. Imam Masjid Agung Keraton sekarang (2007 saat penulis melakukan penelitian) adalah La Ode Muhammad Ikhwan yang masih keturunan dari Saidi Raba.

Harus disampaikan di sini bahwa adalah anggota sarana agama keturunan Saidi Raba yang biasanya melakukan aktivitas yang hampir serupa setiap kali ada sembahyang Jumat di Masjid Agung Keraton sampai sekarang. Secara lebih rinci ia menuliskan huruf suci yang pernah dituliskan pada pundak sultan pada lantai di depan mimbar masjid, sebelum khotbah pada saat upacara sembahyang Jumat dimulai. Di dalam tradisi masyarakat Buton, di bawah mimbar masjid itu dipercayai ada sebuah lubang yang sekarang ini

102 k esepakatan t anah W olio :

i deologi k ebhinekaan dan e ksistensi b udaya b ahari di b uton

sudah ditutup. Konon ada beberapa orang yang pernah menengok lubang itu sekaligus bisa melihat ka’bah di Mekah. Bahkan mereka mempercayai ada beberapa orang Buton yang bisa melihat keadaan di alam akhirat melalui lubang tersebut. Aktivitas keturunan Saidi Raba menorehkan huruf suci di atas lubang itu bukan sesuatu yang tanpa makna, melainkan memantapkan keterkaitan yang mereka klaim mereka miliki dengan kekuatan gaib dari alam akhirat. Dan dengan menorehkan kembali huruf suci yang sama di pundak calon sultan, ia menegaskan kembali bahwa calon sultan itu juga menjalin kontak dan mempunyai pertalian dengan kekuatan gaib tersebut.

Perspektif semiotik dari Charles S. Peirce berkenaan dengan pemaknaan sangat relevan dalam diskusi kita saat ini. Menurut Peirce ada tiga cara bagaimana sesuatu objek bisa memperoleh pemaknaannya. 112 Cara pertama adalah melalui apa yang disebutkannya dengan istilah index, yang mendasarkan pemaknaannya melalui kontak langsung yang pernah terwujud. Sebagai contoh dari negara Barat, dapat dikemukakan bahwa satu lukisan Virgin Mary dianggap suci karena objek itu dalam sejarahnya pernah mengalami kontak langsung dengan satu kekuatan roh tertentu atau satu tokoh suci tertentu. ‘Our Lady of Czestochowa’ (lukisan Virgin Mary dalam perwujudannya sebagai Madona) adalah icon nasional Polandia, dan senantiasa mendapatkan kunjungan banyak penziarah setiap tahunnya. Lukisan ini dianggap ‘The True Icon’ (Vera Icon) dari Mary, karena ia dianggap dibuat oleh seorang tokoh suci yang bernama Saint Luke. Jadi, lukisan itu memperoleh pemaknaannya sebagai sesuatu yang suci bukan kerena representasi yang ditampilkannya (yakni Virgin Mary), melainkan karena dibuat oleh Saint Luke yang merupakan seorang santo yang suci. Dari logika sakralitas seperti ini, tidak heran apabila timbul praktik dalam masyarakat Katholik di Barat untuk dengan sengaja menyentuhkan patung-patung atau lukisan-lukisan lain pada lukisan di Czestochoswa ini; dan dari kontak itu diyakini orang akan diperoleh satu kekuatan khusus tertentu. Tiruan dari The True Icon dianggap sama efektifnya dengan

Peirce 1958, hlm. 156-173

M aula ,r udyansJah 103 p rahara ,r atri

yang aslinya dalam melakukan keajaiban-keajaiban, misalnya untuk menyembuhkan orang sakit. Dalam abad ke-6 di Eropa membawa lukisan-lukisan serupa itu ke medan perang dalam rangka menjamin kemenangan bukan pula merupakan satu gejala yang tidak lazim. 113

Cara kedua adalah melalui ‘pointing’ atau icon yang berdasarkan pada kemiripan. Misalnya, sesuatu citra bentukan alam di dalam gua tertentu dianggap suci karena memiliki kemiripan dengan wajah Jesus Kristus. Dan cara ketiga adalah sebagai simbol yang berdasarkan atas pertalian kultural-historis khusus tertentu. Cara pertama dan kedua pada hakikatnya juga selalu berhubungan dengan cara ketiga karena tidak ada satu pun bentuk kehidupan manusia yang lepas dari pertalian historis dan budayanya. Jadi, kesemua cara ini harus dilihat semata-mata sebagai tiga cara menganalisis satu gejala dengan penekanan-penekanan pada aspek yang berbeda-beda.

Kembali kepada pokoh pembahasan kita tentang upacara pelantikan calon Sultan Buton dapat dikatakan di sini bahwa calon Sultan Buton itu memperoleh aspek gaibnya justru karena ia pernah melakukan kontak dengan kekuatan gaib itu sendiri. Dalam konteks ini tidak heran bahwa dalam ideologi kesultanan, sultan juga ditamzilkan sebagai alam barzah yang menjadi penghubung antara alam akhirat dengan alam dunia. Contoh lain dari aspek gaib yang dicoba ditegaskan dengan melakukan kontak terhadap yang gaib itu adalah upacara meletakkan kaki calon Sultan di dalam lubang ‘Batu Popaua’. Konon dari buluh gading yang tumbuh di bukit Lelemangura Ratu Wolio yang pertama (si anak ajaib Wa Kaka) muncul, dan lalu meletakkan kakinya di ‘Batu Popaua’ ini, ketika Sangariana (salah seorang penduduk dari pemukiman Baluwu dan Peropa) mencoba memotong buluh gading itu. Saat ia memotong buluh gading itu, Wa Kaka menjerit karena yang ditebas oleh Sangariana sebenarnya adalah kakinya Wa Kaka.

Meletakkan kembali kaki calon sultan di ‘Batu Popaua’ ini membangkitkan kembali ingatan orang akan adanya satu pertalian antara calon sultan dengan si ratu ajaib Wa Kaka. Semua raja dalam

Untuk uraian mengenai tata kerja sakralitas objek seperti itu lihat Bowen, 2002, hlm. 136-163.

104 k esepakatan t anah W olio :

i deologi k ebhinekaan dan e ksistensi b udaya b ahari di b uton

kesultanan ini memang diyakini merupakan keturunan dari Wa Kaka dengan suaminya Sibatara yang berasal dari Majapahit.

Aura kegaiban kesultanan ini semakin diperkuat dengan adanya alat-alat kelengkapan kemuliaan sultan, seperti Jubah Mekah dan Jubah Rum yang konon kabarnya masing-masing berasal dari Mekah dan Rum (Turki) 114 , maupun Syarat Jawa yang berupa panji dan tombak yang dianggap berasal dari kerajaan Majapahit.

Gambar 6: Beberapa alat perlengkapan kemuliaan Kesultanan Wolio (Foto dari KITLV).

Kanan atas merupakan pedang Kesultanan Wolio yang sebenarnya berasaldari Eropa, sedangkan kiri atas merupakan bendera kebesaran Kesultanan Wolio yang dibawa

oleh saraginti di dalam pasukan militer kompanyia. Kanan bawah adalah bendera kebesaran kesultanan yang disebut dengan ‘kambero Jawa’, sedangkan kiri bawah

adalah bendera kebesaran kesultanan yang khusus diperuntukan bagi permaisuri sultan.

Kekaisaran Turki Ottoman menaklukkan Konstantinopel pada 1453. Oleh karena itu, di dalam tradisi Islam, Turki dianggap sebagai pengganti atau penerus kekaisaran Romawi-Bizantium, dan seringkali diistilahkan sebagai Rum.

M aula ,r udyansJah 105 p rahara ,r atri

Dan yang terakhir adalah peristiwa-peristiwa sangat mencolok sepanjang upacara itu yang mendemonstrasikan bahwa calon sultan seolah-olah hanya seorang anak kecil yang harus senantiasa ditolong oleh Bonto Peropa dan Bonto Baluwu dalam setiap gerakan-gerakan yang mau dilakukannya. Bahkan hanya untuk meletakkan kakinya di ‘Batu Popaua’, duduk di bangkupun harus dibantu dengan hati-hati oleh kedua Bonto itu. Peristiwa-peristiwa ini di satu segi menegaskan kembali asosiasi bahwa sultan pada dasarnya adalah anak dari kelompok siolimbona yang harus dididik dan dibesarkan dengan tata cara adat sebelum ia bisa menjadi orang yang berkuasa. Peristiwa ini membangkitkan kembali ingatan orang akan tradisi lisan dan tertulis yang hidup dalam masyarakat yang mengisahkan bahwa pada saat Wa Kaka dilantik sebagai ratu pertama monarki Wolio, maka kelompok siolimbona mengangkat sumpahnya sebagai berikut:

tanduakea Kaurae sipoa kauponganga taundamo taangkako sapangka maka upene ibula teingkami, usapo yitana teingkami yingkoo topatorombo anaana mangura tanduakako kaurae, sipoko kaupanganga”

Artinya:

diserahkan baru kamu terima, disuap baru kamu buka mulut kami telah bersedia mengangkatmu ke derajat ini, tetapi naik ke langit bersama kami, turun ke tanah dengan kami pula engkau dianggap sebagai anak, diserahkan padamu baru boleh mengulurkan tangan untuk menerima, disuap baru menganga. 115

Di sisi lain, seseorang yang lemah dan tak berdaya namun terpilih menjadi seseorang yang sangat berkuasa justru mendemonstrasikan keefektivitasan kekuatan gaib yang mendukung kekuasaannya (baca: kekuasaan sultan). Justru dalam kontradiksi semacam ini keefektivitasan kekuatan gaib itu bekerja. Misalnya, keyakinan orang Muslim bahwa Nabi Muhammad SAW. adalah seseorang yang buta huruf, namun bisa hafal Al Qur’an di luar kepala, justru memperkuat keyakinan orang Islam bahwa ia memang betul-betul rasul yang dipilih oleh Allah SWT. untuk menyampaikan ajaran-

Abidin 1968, hlm. 7.

106 k esepakatan t anah W olio :

i deologi k ebhinekaan dan e ksistensi b udaya b ahari di b uton

Nya. Kalau tidak bagaimana mungkin ia bisa hafal ayat Al-Quran itu di luar kepala, kalau tidak menjadi orang yang memang terpilih dari Yang Maha Kuasa.