Proses Pembuatan Perahu (B ANGKA )

Proses Pembuatan Perahu (B ANGKA )

Pembuatan perahu biasanya dikerjakan oleh pembuat perahu yang dikenal sebagai pande bangka. Pengerjaannya diawasi oleh seorang yang dituakan ( pale) yang memiliki pengetahuan mengenai cara pembuatan perahu hingga pantangan yang tidak boleh dilanggar dalam proses pembuatannya. Para pelaut mempercayai bahwa kesalahan sedikit saja dalam proses pembuatan perahu akan menyebabkan kesialan dikemudian hari. Waktu dalam pembuatan perahu pun tidak bisa dilaksanakan sesuka hati. Pembuatan perahu dilaksanakan pada hari- hari baik yang ditentukan oleh seorang pale. Menurut La Ode Arsyad yang kami temui di Desa Tira, hari-hari baik yang dipilih adalah 4 hari bulan, 10 hari bulan, 13 hari bulan, 19 hari bulan atau 22 hari bulan. Setelah menentukan hari yang baik, dimulai lah pengerjaan perahu. Mengenai pemilihan jenis kayu yang digunakan untuk membuat perahu, disetiap tempat memiliki pendapat masing-masing mengenai jenis kayu apa yang paling baik kualitasnya. Di Desa Tira, semua perahu tradisional dibuat dari jenis kayu jati ( Tectona Grandis Sp.) yang banyak tumbuh di sekitar hutan Gunung Sejuk di daerah Sampolawa. Seorang pale biasanya mengontrol kualitas kayu jati yang telah dipilih untuk sebagai bahan baku pembuatan perahu. Kayu yang tidak bisa digunakan sebagai bahan baku perahu adalah kayu yang didalamnya terdapat rongga yang menyimpan gumpalan tanah. Jika kayu yang demikian itu digunakan untuk perahu, dipercaya akan mengakibatkan sang tuan perahu mengalami sakit keras hingga kematian. Tanah di dalam kayu menyimbolkan kubur atau kematian. Untuk mengontol kualitas kayu, seorang pale memiliki kemampuan dalam mendeteksi kayu yang mengandung tanah itu dengan hanya mengetuk permukaan kayu tersebut.

Tahap awal yang dilakukan dalam pembuatan perahu adalah membuat lunas perahu. Lunas tak lain adalah tulang utama yang terletak di bagian tengah perahu. Di Desa Tira, lunas terdiri dari tiga

M aula ,r udyansJah 125 p rahara ,r atri

sambungan. Masing-masing bagian dalam sambungan itu berasal dari pohon yang berbeda-beda. Setelah kayu-kayu yang digunakan untuk membuat lunas telah siap, kayu-kayu itu disambung menjadi satu bagian. Proses penyambungan lunas adalah tahapan yang paling sakral dalam pembuatan perahu. Penyambungan lunas merupakan simbol dari awal penciptaan manusia yang diawali oleh hubungan seksual laki-laki dan perempuan. Ketika penyambungan lunas itulah, seorang pale membacakan doa (batata) sebelum melanjutkan ke tahapan selanjutnya. Lunas yang telah disambung itu kemudian dibalut dengan kain putih dan disematkan potongan emas di atasnya yang merupakan simbol dari pemberian mahar pada perkawinan sepasang manusia. Setelah pengerjaan lunas beserta ritualnya selesai, para pande bangka mulai menyusun papan dan kemudian memasang rusuk. Tahapan ini berbeda dengan perahu-perahu dari Makasar yang memasang rusuk terlebih dahulu sebelum menyusun papan. Papan dan rusuk yang di pasang untuk perahu di Buton biasanya berjumlah ganjil. Jumlah yang ganjil itu juga dianggap memiliki hubungan dengan jumlah organ tubuh manusia yang juga ganjil. Dalam pemasangan papan, ada ketentuan adat yang tidak boleh dilanggar. Tiap-tiap papan yang disusun telah memiliki urutan masing-masing dan tidak boleh saling tertukar. Bagian lingkar kambium yang terdapat di papan atau yang mereka sebut sebagai “tulang kayu” tidak boleh dipaku. Jika ketentuan itu dilanggar dipercaya akan menyebabkan pemilik perahu akan jatuh sakit atau bahkan mengalami kematian. Terkait dengan ketentuan dalam pembuatan perahu, di Desa Tira jika ada seorang pelaut yang jatuh sakit dan tak kunjung sembuh, seorang pale biasanya mendatangi perahu yang dimiliki pelaut tersebut untuk mencari apakah ada kesalahan dalam perahunya itu. Setelah kesalahan yang ada di perahu ―misalnya kesalahan pemasangan papan, kayu yang mengandung tanah, atau tulang kayu yang dipaku ―telah diperbaiki, pelaut yang jatuh sakit itu dipercaya akan terbebas dari penyakitnya. Mengenai hal tersebut, La Ode Arsyad menjelaskan pada kami:

“Kalo tuan perahu sakit, kita cari dimana yang salah di perahunya apa tulang kena sambungan, apa ada tanah. Soalnya itu pasti ada salah-salah dengan perahunya. Kalo tidak sempurna (perahunya) nanti yang punya sial terus. Makanya membuat perahu itu bukan pekerjaan gampang. ”

126 k esepakatan t anah W olio :

i deologi k ebhinekaan dan e ksistensi b udaya b ahari di b uton

Setelah semua bagian perahu rampung, tibalah pada tahapan terakhir dalam pembuatan perahu yakni memberi lubang pada bagian tengah perahu. Bagian tengah itu disebut sebagai lambo puse atau pusatnya perahu. Di Tira, lambo puse ini juga dikenal dengan nama kabelai. Pembuatan lubang di lambo puse itu menandakan bahwa perahu telah selsesai dibuat. Di lambo puse yang telah dilubangi itulah, ritual pemotongan ayam dilakukan sebagai tanda bahwa perahu sebagai anak manusia telah memasuki usia dewasa dan siap untuk pergi berlayar. Dari situ kita mendapatkan pemahaman bahwa perahu dianggap sebagai seorang perempuan jika dilihat dari lambo puse yang sebetulnya adalah simbol yoni yang ada pada perahu. Kedewasaan yang ditandai oleh pemberian darah ayam di lambo puse diibaratkan seperti seorang perempuan yang mengalami menstruasi sebagai tanda kedewasaannya. Pada bagian ini kita telah melihat bagaimana kompleks dan rumitnya pembuatan perahu dan betapa tiap-tiap tahapan pembuatan sarat akan simbol serta makna- makna kultural yang mencerminkan pandangan yang dimiliki oleh masyarakat pelaut mengenai perahu. Ketelitian dalam mewujudkan kesempurnaan dalam pembuatan perahu juga mencerminkan harapan yang besar dari masyarakat akan keberkahan dari perahu yang digunakan untuk berlayar.

“Sama dengan perahu dan manusia, kalau kita bikin dengan harmonis nah juga akan menghasilkan hasil yang harmonis, juga kalau suami istri sewaktu membuat perahu itu tidak harmonis maka akan menghasilkan sesuatu yang tidak harmonis juga tentunya. Makanya disini betul-betul dituntut ketelitian, biar menghasilkan suatu kenikmatan ”

Harapan akan keberkahan perahu juga tertuang dalam upacara dan ritual yang dilaksanakan setelah pembuatan perahu selesai. Pada bagian selanjutnya akan kami jelaskan upacara yang dilakukan oleh para masyarakat pelaut seusai pembuatan perahu.