Faktor-faktor yang Mempengaruhi Adopsi Sistem Pertanian Konservasi

yang demikian baik untuk digunakan sebagai taman nasional atau sebagai zona bioversity. Tabel 20 Data kemiringan lereng lahan dan sistem penanamannya per responden dan per petak usahatani Kemiringan Searah Lereng responden Searah Kontur responden Teras Bangku responden Jumlah dan Persentase 8 13 1 14 7.9 8-14 32 8 40 22.2 15-29 12 6 6 24 13.3 30-44 19 13 15 47 26.1 45 - 60 16 5 26 47 26.1 65 4 4 8 4.4 Jumlah 96 33 51 180 100 Adopsi teknik konservasi tanah petani Pangalengan tertera pada Tabel 20. Teknik konservasi tanah teras bangku dan penanaman pada guludan searah kontur dikategorikan sudah menerapkan sistem pertanian konservasi sedangkan penanaman pada guludan searah lereng belum menerapkan sistem pertanian konservasi karena konservasi tanah teras bangku dan penanaman pada guludan searah kontur mampu menurunkan erosi lebih baik dibandingkan penanaman pada guludan searah lereng. Dari 180 responden, 96 responden menanam sayuran pada guludan searah lereng, 33 responden menanam sayuran pada guludan searah kontur dan 51 responden menanam sayuran dengan teknik konservasi tanah teras. Hasil ini menunjukkan bahwa lebih separuh petani belum menerapkan teknik konservasi tanah pada usahatani sayurannya. Jika memang sistem pertanian konservasi bermanfaat mengapa tidak semua petani mengadopsinya? Oleh karena itu perlu diketahui faktor-faktor apa saja yang dapat mempengaruhi keputusan petani untuk mengadopsi teknik konservasi tanah. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani Pangalengan mengadopsi konservasi tanah, dalam penelitian ini digunakan model adopsi. Model adopsi yang telah dirumuskan memiliki variabel dependen yang bersifat kualitatif. Untuk dapat menduga pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen digunakan regresi yang menggunakan variabel dummy variabel boneka sebagai variabel dependennya. Model adopsi tersebut pada dasarnya adalah model logit. Parameter-parameter dalam model diestimasi dengan menggunakan metode maximum-likelihood Judge et al., 1988. Untuk mengetahui apakah parameter dugaan β berbeda nyata dari 0 nol maka dilakukan uji Wald atau X 2 . Parameter dugaan β mengukur perubahan ln odds ratio untuk setiap unit perubahan variabel independennya. Odds ratio adalah perbandingan antara besarnya peluang adopsi konservasi tanah dengan peluang tidak konservasi tanah. Jika nilai odds ratio sama dengan 1 satu, maka peluang mengadopsi dan tidak mengadopsi konservasi tanah adalah sama. Odds ratio yang lebih besar daripada 1 menunjukkan peluang untuk mengadopsi konservasi tanah lebih besar daripada tidak mengadopsi. Sebaliknya jika nilai odds ratio lebih kecil daripada 1, maka peluang tidak mengadopsi lebih besar daripada peluang mengadopsi konservasi tanah. Hasil estimasi Model Adopsi tertera pada Tabel 21. Tabel 21 Hasil estimasi model adopsi Variabel β Wald X 2 Signifikansi Odds Ratio 1. PKL 0.000 0.322 0.570 1.000 2. KRDT -0.564 0.832 0.362 0.569 3. PDK -0.419 1.435 0.231 0.658 4. UMR -0.008 0.212 0.645 0.992 5. SLHN -0.840 5.598 0.018 b 0.432 6. CURM 0.025 8.572 0.003 a 1.025 7. JLKR -0.027 0.080 0.777 0.974 8. JAK -0.286 2.947 0.086 c 0.752 9. Konstanta 1.136 1.279 0.258 3.113 Keterangan: a – nyata pada tingkat kepercayaan 99, b – nyata pada tingkat kepercayaan 95, c- nyata pada tingkat kepercayaan 90 Berdasarkan hasil estimasi terhadap Model Adopsi, ada tiga variabel yang parameternya signifikan berbeda daripada nol 0. Ketiga variabel independen tersebut adalah status lahan usahatani SLHN, tingkat kecuraman lahan CURM, dan jumlah anggota keluarga dewasa JAK, sedangkan variabel independen lain, parameternya tidak berbeda nyata dengan nol. Variabel-variabel tingkat kecuraman lahan CURM merupakan variabel fisik atau kondisi lahan, sedangkan jumlah anggota keluarga dewasa JAK dan status lahan SLHN merupakan variabel sosial ekonomi kelembagaan yang mempengaruhi keputusan adopsi sistem pertanian konservasi di usahatani sayuran Pangalengan. Dalam hal ini hipotesis 1 yang menyatakan keputusan petani sayuran mengadopsi sistem pertanian konservasi dipengaruhi kondisi lahan dan sosial ekonomi dapat diterima. Berdasarkan hasil regresi, variabel tingkat kecuraman lahan berpengaruh nyata pada adopsi konservasi tanah. Nilai odds ratio untuk variabel tingkat kecuraman CURM adalah 1.025. Hal ini berarti, apabila kemiringan lahan semakin meningkat maka peluang untuk mengadopsi konservasi tanah relatif lebih besar daripada peluang tidak mengadopsi. Kebutuhan untuk mengadopsi konservasi tanah, dalam bentuk teras bangku ataupun membuat guludan searah kontur, semakin meningkat apabila kemiringan lahan semakin besar. Erosi akan meningkat apabila lereng semakin curam atau panjang Hardjowigeno, 2003. Bila lereng semakin curam maka kecepatan aliran permukaan semakin meningkat sehingga kekuatan mengangkut tanah juga meningkat. Telah disebutkan dimuka, bila kecepatan aliran menjadi dua kali lipat maka besarnya benda yang dapat diangkut 64 kali lipat lebih besar, sedangkan berat benda yang dapat diangkut 32 kali lebih berat. Lereng yang semakin panjang menyebabkan volume air yang mengalir semakin besar. Bila dalamnya air menjadi dua kali lipat maka kecepatan aliran menjadi empat kali lipat. Carson 1989 menyatakan untuk mengurangi kecuraman dilakukan pembuatan teras bangku atau memperpendek panjang lereng dengan guludan searah kontur. Banuwa 1994 melaporkan lereng yang lebih pendek memberikan aliran permukaan yang lebih rendah sedangkan lereng yang panjang menghasilkan aliran permukaan yang lebih tinggi. Dampak negatif dari tidak diadopsinya konservasi tanah cepat terlihat pada tanah-tanah yang kemiringannya tinggi. Endapan tanah di kaki atau di bagian bawah lahan dan tanah yang tererosi tampak jelas di lahan-lahan yang memiliki kemiringan tanah tinggi yang tidak menerapkan konservasi. Jaya 1994 menyatakan bahwa aliran permukaan dan erosi di daerah Pangalengan dipengaruhi oleh intensitas hujan dan persentase luas lahan terbuka. Oleh karena itu, pertambahan lahan terbuka, khususnya yang berasal dari hutan dan perkebunan harus dikelola dengan baik. Curah hujan Pangalengan yang tinggi akan mempercepat terjadinya erosi tanah khususnya di lereng-lereng yang curam karena akan meningkatkan aliran permukaan tanah Banuwa, 1994 dan Rompas, 1996. Dianjurkan agar pada musim hujan jangan membiarkan lahan terbuka. Selanjutnya Rompas 1996 menunjukkan bahwa kepekaan tanah terhadap erosi erodibilitas di Pangalengan sebesar 0.29 tergolong kriteria sedang. Angka ini sudah mendekati 0.3 yang dalam klasifikasi kepekaan tanah terhadap erosi masuk kriteria agak tinggi. Dengan kepekaan yang sedang maka cara pengelolaan lahan dan tanaman di Pangalengan perlu memperhatikan konservasi tanah berupa pengolahan tanah menurut kontur dan pembuatan teras bangku. Variabel status lahan SLHN juga berpengaruh nyata terhadap peluang petani kentang untuk mengadopsi atau tidak mengadopsi konservasi tanah. Nilai odds ratio status lahan adalah 0.432, yang berarti peluang untuk mengadopsi konservasi tanah lebih kecil daripada peluang tidak mengadopsi konservasi tanah. Variabel status lahan diberi nilai 1 jika sewa dan nilai 0 jika milik sendiri, berarti status lahan sewa memiliki peluang lebih besar untuk tidak mengadopsi dibandingkan dengan mengadopsi konservasi tanah. Sebaliknya adopsi cenderung didahulukan oleh petani yang berstatus pemilik lahan. Tidak semua petani kentang di Pangalengan memiliki sendiri tanah untuk usahataninya. Cukup banyak petani yang status lahannya adalah sewa. Hal ini juga tercermin pada responden penelitian, dimana dari 180 petani sampel terdapat 103 responden yang lahannya berstatus sewa. Petani dapat menyewa untuk satu ataupun dua musim tanam, dan masa sewa dapat diperpanjang. Jarang petani menyewa lahan yang sama dalam waktu lama. Status sewa lahan yang berdurasi pendek ini menyebabkan tidak ada atau berkurangnya insentif untuk melakukan konservasi tanah di lahan yang sedang diusahakannya. Manfaat dari menerapkan konservasi tanah biasanya akan nyata dalam jangka menengah atau panjang. Sebaliknya, dampak negatif dari tidak melakukan konservasi tanah tidak terasakan dalam jangka pendek. Dengan demikian, status lahan sewa yang berdurasi pendek menghilangkan kesempatan petani penyewa untuk memperoleh manfaat dari upaya konservasi tanah yang dilakukannya. Hwang et al. 1994 menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi teknik konservasi di Republik Dominika. Faktor kelembagaan seperti status lahan berpengaruh negatif terhadap keputusan petani untuk menerapkan konservasi tanah. Keputusan pemerintah Republik Dominika mengeluarkan peraturan tentang perpanjangan masa sewa menyewa lahan menyebabkan petani penyewa mampu memperoleh manfaat dari konservasi tanah. Pada kasus di Burkina Faso, Afrika, status lahan sewa berdurasi panjang menyebabkan petani penyewa mengelola lahan sewaannya secara berkelanjutan. Disamping durasi yang lama, diantara pemilik dan penyewa lahan dibuat suatu perjanjian bersama untuk tetap memperhatikan kesuburan tanah. Penyewa dilarang menanam pohon untuk menghindari penyewa tinggal menetap di lahan tersebut de Zeeuw, 1997. Walaupun ada perjanjian yang dibuat, namun petani penyewa mempunyai kepastian certainty pada lahan yang disewanya. Status penguasaan lahan berpengaruh terhadap adopsi konservasi tanah. Saat lahan berstatus sewa, petani tidak melakukan praktek konservasi. Sebaliknya, setelah lahan tersebut menjadi milik, petani menerapkan konservasi tanah. Petani mengharapkan dapat mewariskan lahan yang terpelihara kepada generasi berikutnya Pagiola, 1994. Masalah ketidakpastian untuk memperoleh manfaat dari konservasi tanah relatif tidak dihadapi petani yang lahannya berstatus hak milik. Petani yang lahannya berstatus milik sendiri tentunya akan bersedia mengeluarkan biaya untuk konservasi tanah, apabila besarnya manfaat yang diperoleh diperkirakan lebih besar daripada biaya yang dikeluarkannya. Petani pemilik lahan juga masih dapat memperoleh manfaat dari konservasi tanah yang dilakukannya meskipun lahannya disewakan pada pihak lain, yaitu dalam bentuk nilai sewa yang lebih tinggi. Variabel independen lainnya yang berpengaruh nyata terhadap peluang adopsi konservasi tanah adalah variabel jumlah anggota keluarga dewasa JAK. Nilai odds ratio untuk variabel ini adalah 0.752, yang berarti peluang untuk tidak mengadopsi lebih besar daripada peluang mengadopsi konservasi tanah. Semakin besar jumlah anggota keluarga dewasa, maka semakin turun peluang untuk mengadopsi konservasi. Hasil ini berbeda dengan hasil penelitian Arifin 2002 dan Sanim dan Siregar 2002 yang menunjukkan jumlah anggota keluarga dewasa memberikan efek positif pada keputusan untuk mengadopsi konservasi tanah. Pada awalnya diharapkan, semakin banyak jumlah anggota keluarga dewasa yang dapat dipekerjakan di usahatani kentang, maka semakin besar peluang petani mengadopsi konservasi tanah. Konservasi tanah, dalam bentuk membuat teras bangku dan penanaman guludan searah kontur, memerlukan jumlah tenaga kerja yang relatif banyak. Ukuran keluarga petani yang besar tentunya diharapkan dapat menjadi faktor pendorong untuk mengadopsi konservasi tanah. Namun demikian hasil penelitian ini konsisten dengan hasil penelitian yang dilakukan Pakpahan dan Syafaat 1991 yang menunjukkan semakin besar jumlah anggota keluarga dewasa maka semakin tinggi tingkat eksploitasi terhadap sumberdaya tanah yang ditunjukkan oleh semakin besarnya peluang terjadinya erosi tidak mengadopsi teknik konservasi tanah. Komoditas tanaman dalam penelitian Arifin 2002 dan Sanim dan Siregar 2002 adalah padi yang merupakan tanaman untuk kebutuhan pokok rumah tangga petani subsisten, sedangkan komoditas dalam penelitian Pakpahan dan Syafaat 1991 adalah tanaman sayuran kubis. Petani menanam kubis untuk tujuan komersial cash crops bukan tanaman subsisten, sama dengan komoditas kentang dalam penelitian ini. Pada usahatani tani tanaman subsisten ketersediaan tenaga kerja keluarga yang semakin besar digunakan untuk melakukan upaya-upaya konservasi terhadap lahan yang dimilikinya, sedangkan untuk usahatani tanaman komersial, dalam hal ini kentang dan kubis, ketersediaan tenaga kerja semakin besar dalam keluarga justru dimanfaatkan untuk intensifikasi eksploitasi tanah dengan harapan memperoleh keuntungan yang lebih besar lagi. Petani kentang pada dasarnya bermotifkan keuntungan dalam mengelola usahataninya sama seperti juga petani kubis dalam penelitian Pakpahan dan Syafaat 1991. Perhitungan biaya dan manfaat menjadi acuan, sehingga dalam memanfaatkan tenaga kerja juga memperhitungkan untung dan ruginya.

5.2. Pengaruh Faktor-faktor Produksi dan Adopsi Konservasi Terhadap

Produksi Usahatani Kentang Produksi sayuran kentang diperkirakan dipengaruhi oleh banyaknya input atau faktor produksi yang digunakan dan teknologi. Faktor produksi terdiri dari pupuk, tenaga kerja, pestisida, dan luas lahan, sedangkan aspek teknologi diwakili oleh adopsi konservasi tanah. Pupuk yang digunakan petani kentang di Pangalengan adalah urea, KCl, SP36, NPK atau pupuk majemuk Phonska, dan pupuk kandang. Kecuali untuk pupuk kandang, untuk keperluan estimasi fungsi produksi variabel pupuk tidak didefinisikan dalam bentuk agregatnya, melainkan didefinisikan dalam bentuk unsur- unsur hara utamanya, yaitu N, P, K, dan S. Komposisi kandungan hara dari pupuk yang dibeli petani kentang di Pangalengan tertera dengan jelas pada kemasan, sehingga unsur-unsur utama tersebut dapat dihitung. Sedangkan untuk pupuk kandang tidak ada standarisasi kandungan unsur hara utamanya. Oleh sebab itu khusus untuk pupuk kandang, variabelnya tetap didefinisikan sebagai pupuk kandang dan tidak dipilah ke dalam unsur hara yang dikandungnya. Petani kentang di Pangalengan juga menggunakan obat-obatan atau pestisida yang relatif banyak. Tanaman kentang di Pangalengan rentan terhadap serangan berbagai jenis hama penyakit. Hama yang biasanya menyerang tanaman kentang adalah hama ulat grayak Spodoptera sp, hama kutu daun Aphids, hama ulat tanah Agrotis sp dan hama trip Thrips sp. Penyakit kentang di Pangalengan adalah penyakit busuk daun yang disebabkan jamurcendawan Phytophthora sp, penyakit layu bakteri Pseudomonas sp, dan penyakit bercak kering cendawan Alternaria sp. Dari jumlah responden yang diwawancara sebagian besar responden pernah mengalami gagal panen akibat serangan hama dan penyakit. Salah satu alasan mengapa petani Pangalengan enggan menanam searah kontur - dianggap mampu mencegah kerusakan tanah akibat aliran permukaan dan erosi – adalah petani Pangalengan beranggapan penanaman searah guludan dapat menyebabkan tergenangnya air hujan di antara guludan sehingga serangan penyakit yang tidak mereka harapkan meningkat. Hernawati 1992 menyatakan bahwa tindakan konservasi tanah penanaman pada guludan searah kontur tidak menyebabkan timbulnya serangan hama penyakit yang hebat sebagaimana yang selalu dikuatirkan petani setempat. Hal ini disebabkan drainase yang baik dari tanah andisols Pangalengan. Arsyad 2000 menyatakan keuntungan pengolahan tanah menurut kontur adalah terbentuknya penghambat aliran permukaan yang memungkinkan penyerapan air dan mencegah pengangkutan tanah. Erfandi et al. 2001 juga melaporkan bahwa pengolahan tanah menurut kontur contour ridges pada lahan kering bergunung berfungsi sebagai saluran pembuangan air SPA sehingga tercipta aerasi tanah yang baik bagi perakaran dan sekaligus mengantisipasi penyakit yang timbul akibat kelembaban tanah yang tinggi seperti Phytophtora sp yang berkembang pada zona perakaran sayuran. Pidio 2004 juga menunjukkan kekuatiran petani bila menanam pada guludan searah kontur menimbulkan kerugian yang besargagal panen karena serangan penyakit layu tidak benar. Hasil pengamatan visual menunjukkan serangan bakteri pada guludan searah kontur relatif sedikit dan seragam pada setiap petak percobaan. Guludan searah kontur mampu menjaga kelembaban tanah karena adanya saluran pembuangan sehingga drainase tetap terjaga. Sutapraja dan Asandhi 1998 melaporkan bahwa pemakaian mulsa jerami dan plastik selain dapat