Pengaruh Faktor-faktor Produksi dan Adopsi Konservasi Terhadap

Petani kentang di Pangalengan juga menggunakan obat-obatan atau pestisida yang relatif banyak. Tanaman kentang di Pangalengan rentan terhadap serangan berbagai jenis hama penyakit. Hama yang biasanya menyerang tanaman kentang adalah hama ulat grayak Spodoptera sp, hama kutu daun Aphids, hama ulat tanah Agrotis sp dan hama trip Thrips sp. Penyakit kentang di Pangalengan adalah penyakit busuk daun yang disebabkan jamurcendawan Phytophthora sp, penyakit layu bakteri Pseudomonas sp, dan penyakit bercak kering cendawan Alternaria sp. Dari jumlah responden yang diwawancara sebagian besar responden pernah mengalami gagal panen akibat serangan hama dan penyakit. Salah satu alasan mengapa petani Pangalengan enggan menanam searah kontur - dianggap mampu mencegah kerusakan tanah akibat aliran permukaan dan erosi – adalah petani Pangalengan beranggapan penanaman searah guludan dapat menyebabkan tergenangnya air hujan di antara guludan sehingga serangan penyakit yang tidak mereka harapkan meningkat. Hernawati 1992 menyatakan bahwa tindakan konservasi tanah penanaman pada guludan searah kontur tidak menyebabkan timbulnya serangan hama penyakit yang hebat sebagaimana yang selalu dikuatirkan petani setempat. Hal ini disebabkan drainase yang baik dari tanah andisols Pangalengan. Arsyad 2000 menyatakan keuntungan pengolahan tanah menurut kontur adalah terbentuknya penghambat aliran permukaan yang memungkinkan penyerapan air dan mencegah pengangkutan tanah. Erfandi et al. 2001 juga melaporkan bahwa pengolahan tanah menurut kontur contour ridges pada lahan kering bergunung berfungsi sebagai saluran pembuangan air SPA sehingga tercipta aerasi tanah yang baik bagi perakaran dan sekaligus mengantisipasi penyakit yang timbul akibat kelembaban tanah yang tinggi seperti Phytophtora sp yang berkembang pada zona perakaran sayuran. Pidio 2004 juga menunjukkan kekuatiran petani bila menanam pada guludan searah kontur menimbulkan kerugian yang besargagal panen karena serangan penyakit layu tidak benar. Hasil pengamatan visual menunjukkan serangan bakteri pada guludan searah kontur relatif sedikit dan seragam pada setiap petak percobaan. Guludan searah kontur mampu menjaga kelembaban tanah karena adanya saluran pembuangan sehingga drainase tetap terjaga. Sutapraja dan Asandhi 1998 melaporkan bahwa pemakaian mulsa jerami dan plastik selain dapat meningkatkan produksi dan mengurangi erosi, juga dapat menurunkan presentase serangan penyakit Tabel 22. Tabel 22 Persentase serangan penyakit layu bakteri pada pertanaman kentang dengan berbagai teknik konservasi tanah di Kec. Batur, Jawa Tengah Perlakuan Persentase serangan penyakit layu bakteri Arah Guludan - sejajar kontur - diagonal Pola tanam dan mulsa - kentang tunggal + mulsa jerami - kentang tunggal + mulsa plastik perak - kentang tunggal tanpa mulsa - tumpang sari kentang dan kubis - tumpang sari kentang dan bawang daun 19.30 16.40 5.10 1.90 29.70 39.50 24.40 Sumber: Sutapraja dan Asandhi 1998 Penanaman kentang tunggal dengan mulsa plastik perak menunjukkan persentase hasil serangan penyakit layu bakteri terkecil karena warna perak yang menghadap ke atas menyebabkan sinar radiasi matahari dari mulsa yang diterima daun menjadi lebih tinggi memperbaiki fotosintesa dan menyebabkan tanah tidak terlalu lembab dan juga tidak terlalu kering. Kelembaban yang tinggi merupakan media yang baik bagi pertumbuhan jamur dan cendawan. Walaupun harga mulsa perak hitam cukup mahal, cukup banyak petani Pangalengan yang menggunakan mulsa plastik perak hitam dalam usahataninya. Namun ada juga petani Pangalengan yang tidak mau menggunakan mulsa plastik perak hitam tersebut dengan alasan pemakaian mulsa plastik hanya baik untuk kentang yang peruntukkannya sebagai sayurkonsumsi. Pengalamannya menunjukkan, walaupun penampakan luar dari kentang tersebut baik, pemakaian mulsa akan meningkatkan nematoda tanah dan ini berpengaruh jelek terhadap kualitas kentang untuk bibit disimpan. Hal ini tentunya memerlukan penelitian lebih lanjut. Untuk mencegah berbagai hama penyakit ini, petani kentang di Pangalengan memanfaatkan berbagai jenis dan merek pestisida. Pestisida yang digunakan ada yang berbentuk padat dan ada yang cair sehingga sulit untuk digabungkan jumlah satuannya. Demikian pula dengan komposisi zat aktif dalam pestisida yang ternyata juga sangat beragam sehingga untuk variabel pestisida tidak dirumuskan dalam bentuk zat aktifnya. Untuk keperluan estimasi fungsi produksi, variabel pestisida diukur dalam bentuk besaran nilai uang Rp yang dikeluarkan petani untuk usahatani kentangnya. Usahatani kentang memerlukan perawatan yang relatif intensif. Tenaga kerja yang digunakan dalam usahatani kentang bersumber dari dalam rumahtangga itu sendiri ataupun menggunakan tenaga kerja dari luar keluarga yang diupah. Tenaga kerja usahatani tidak dibedakan dalam kelompok pria atau wanita. Berdasarkan wawancara dengan petani dan juga pengamatan langsung di lahan, produktivitas atau kinerja tenaga kerja pria dan wanita relatif sama dan tidak dibedakan Gambar 9. Oleh sebab itu, bagi keperluan efisiensi fungsi produksi kentang tidak dilakukan konversi tenaga kerja wanita menjadi ukuran tenaga kerja pria. Variabel tenaga kerja diukur dalam satuan hari orang kerja HOK yaitu lama kerja kira-kira 7-8 jam yang biasanya berlaku di usahatani kentang Pangalengan. Apabila digunakan tenaga kerja anak-anak, maka tenaga kerja ini dikonversi dengan menggunakan nilai 0.5 tenaga kerja orang dewasa. Gambar 9 Tenaga kerja wanita usahatani sayuran di Kecamatan Pangalengan Hasil regresi terhadap fungsi produksi Cobb-Douglas dapat dilihat pada Tabel 23. Model yang dibangun mampu menjelaskan variasi variabel dependen sebesar 86 persen. Hal ini ditunjukkan oleh besaran R 2 = 0.864. Nilai F hitung sebesar 91.377 menunjukkan tingkat signifikansi dengan selang kepercayaan 95 persen. Analisis fungsi produksi tertera pada Lampiran 7. Hubungan jumlah produksi kentang dan masing-masing input apabila dipetakan dalam kurva fungsi produksi Doll dan Orazem, 1984 dapat dilihat pada Lampiran 12. Faktor produksi S belerang dan pupuk kandang F kan berada dalam posisi negative return to a factor pengembalian faktor produksi yang negatif artinya pemberian S dan pupuk kandang sudah terlalu banyak dan tidak dapat meningkatkan produksi bahkan cenderung menurunkan. Sedangkan faktor input lainnya berada dalam posisi decreasing return to a factor pengembalian faktor produksi yang menurun. Tabel 23 Hasil estimasi fungsi produksi Cobb-Douglas usahatani kentang di Pangalengan Variabel Parameter β t hitung Signifikansi 1. Konstanta 1.966 2.709 0.008 a 2. N Tot 0.123 1.760 0.081 b 3. P Tot 0.032 0.325 0.746 4. K Tot 0.010 0.168 0.867 5. S Tot -0.081 -0.701 0.485 6. F kan -0.028 -0.675 0.501 7. TK 0.166 2.018 0.046 a 8. P est 0.152 3.247 0.001 b 9. L lahan 0.728 9.316 0.000 a 10. D adopsi -0.077 -1.884 0.062 b R 2 = 0.864 F hitung = 91.337 a Keterangan:a-nyatapada tingkat kepercayaan 95, b-nyata pada tingkat kepercayaan 90 Dari 9 variabel independen yang terdapat pada model, ada 5 variabel yang berpengaruh nyata terhadap variabel dependen produksi kentang. Kelima variabel independen tersebut adalah jumlah unsur nitrogen pupuk yang digunakan, jumlah tenaga kerja, nilai pestisida, luas usahatani kentang, dan adopsi. Sedangkan empat variabel independen lainnya pengaruhnya tidak berbeda nyata dari nol. Koefisien untuk nitrogen, tenaga kerja, pestisida, dan luas lahan bertanda positif. Apabila faktor-faktor produksi tersebut penggunaannya dinaikkan, maka jumlah produksi kentang juga akan meningkat. Peningkatan penggunaan unsur nitrogen sebesar 10 persen dapat meningkatkan produksi sebesar 1.23 persen. Sedangkan untuk tenaga kerja dan pestisida, peningkatan penggunaannya sebesar 10 persen akan berakibat pada peningkatan produksi kentang, yaitu masing-masing sebesar 1.66 persen dan 1.52 persen. Peningkatan produksi kentang sangat dipengaruhi oleh luasan lahan yang digunakan. Semakin luas lahan maka semakin besar jumlah produksi yang dapat diperoleh. Berdasarkan hasil estimasi terhadap model diperoleh data bahwa 10 persen peningkatan penggunaan lahan berkontribusi pada 7.28 persen peningkatan hasil atau produksi kentang. Besarnya kontribusi lahan terhadap produksi pada akhirnya tercermin juga pada pada harga sewa lahan untuk tanaman kentang di Pangalengan. Harga sewa lahan per hektar berkisar antara 2 juta – 2.5 juta rupiah per musim tanam MT tergantung kualitas lahan dan jarak lahan dari jalan utama transportasi. Harga sewa lahan untuk usahatani kentang ini cenderung terus meningkat. Disamping empat faktor produksi, yaitu nitrogen, tenaga kerja, pestisida, dan luas lahan, variabel adopsi ternyata juga berpengaruh nyata terhadap tingkat produksi usahatani kentang. Pengaruh variabel adopsi konservasi tanah ternyata negatif, yang menunjukkan semakin besar peluang untuk mengadopsi maka semakin kecil tingkat produksi. Nilai koefisien untuk adopsi adalah -0.077 Tabel 23. Pengaruh adopsi konservasi yang negatif terhadap tingkat produksi kentang ini sudah diperkirakan sejak awal. Petani enggan menerapkan konservasi tanah, baik teras maupun penanaman searah kontur, karena beranggapan adopsi teknik konservasi dapat mengurangi jumlah produksi kentang atau gagal panen. Petani mau menerapkan konservasi, jika manfaat konservasi yang diadopsinya memberikan hasil produksi yang tinggi. Adopsi teknik konservasi dengan teras bangku menyebabkan luasan tanah efektif yang dapat ditanami kentang menjadi berkurang karena termanfaatkan untuk teras. Sedangkan hasil estimasi telah menunjukkan bahwa luas lahan berpengaruh signifikan terhadap jumlah produksi kentang yang dapat diperoleh. Petani Pangalengan juga enggan menanam kentang pada guludan searah kontur karena: 1 beranggapan bahwa penanaman pada guludan searah kontur dapat menimbulkan penyakit yang dapat menyebabkan gagal panen, 2 sulitnya pengelolaan tanaman seperti penyiangan dan pembumbunan jika penanaman dilakukan pada guludan searah kontur, dan 3 pengolahan tanah memakai cangkul searah kontur selain lebih sulit – khusus pada areal yang semakin curam – sehingga memerlukan waktu lebih lama, juga menurunkan luasan tanah efektif yang dapat ditanami walaupun penurunannya tidak sebesar menggunakan teras Hernawati, 1992 dan Banuwa, 1994. Data responden juga menunjukkan petani yang menanam searah kontur lebih sedikit dibandingkan petani yang menaman pada teras bangku. Pengaruh negatif adopsi konservasi tanah terhadap tingkat produksi, seperti ditunjukkan hasil estimasi terhadap model fungsi produksi, membuktikan hipotesis 2 yang menyatakan adopsi sistem pertanian konservasi di dataran tinggi berlereng menurunkan produksi usahatani sayuran dapat diterima. Hasil tersebut juga diperkuat oleh kenyataan di lapangan. Dari total 180 petani sampel, hanya 51 petani 28.3 yang menerapkan konservasi tanah dalam bentuk teras bangku dan 33 petani 18.3 dalam bentuk penanaman pada guludan searah kontur, sedangkan yang tidak menerapkan konservasi tanah sebanyak 96 petani, bahkan ada petani yang lahan usahatani kentangnya memiliki kemiringan lebih besar daripada 30 persen, tetap menerapkan budidaya kentang dengan penanaman pada guludan searah lereng. Alasan utama petani tidak mau menanam pada guludan searah kontur adalah selain sulit dalam pengelolaan tanaman dan pengolahan tanah, juga karena beranggapan penanaman searah kontur dapat menimbulkan serangan penyakit layu bakteri sehingga menggagalkan panen, sedangkan alasan utama petani mengapa tidak membuat teras bangku adalah dapat mengurangi luasan lahan yang dapat ditanami. Di lapang ditemukan petani yang menyewa lahan dengan sistem teras bangku pada kemiringan 30 sengaja mengubah sistem teras bangku tersebut menjadi sistem penanaman pada guludan searah lereng Gambar 10. Alasan yang dikemukan oleh petani tersebut adalah lahan yang dikelolanya berupa lahan sewa sehingga harus dimanfaatkan secara maksimal. Petani merasakan teras bangku mengurangi luasan lahan sehingga akan berpengaruh terhadap produksi. Supaya hasil produksi dalam masa sewa tinggi, petani tersebut merubah lahan dengan konservasi tanah teras bangku yang disewanya ke dalam sistem penanaman pada guludan searah lereng. Padahal untuk membuat teras bangku untuk luasan satu hektar dengan kemiringan 30 dibutuhkan biaya untuk tenaga kerja saja sebesar Rp 5 468 750,- Lampiran 4. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Sanim dan Siregar 2002 di Taman Nasional Lore Lindu yang menunjukkan hasil produksi mempunyai efek negatif pada pengambilan keputusan untuk mengadopsi konservasi tanah. Petani Lore Lindu merasakan bahwa penerapan teras juga mengurangi luas efektif permukaan lahan yang dapat ditanam. Demikian juga dengan penemuan Antle et al, 2004 di Pegunungan Andes, petani tidak mau mengadopsi teras bangku karena mengurangi luasan lahan yang dapat ditanam. Gambar 10 Teras bangku yang diubah menjadi penanaman pada guludan searah lereng Estimasi model fungsi produksi dengan menggunakan data cross sectional sering menemukan gejala multikolinearitas multicollinearity atau adanya korelasi diantara variabel independen dalam model. Gejala multikolinearitas ditandai oleh relatif sedikitnya koefisien dalam model yang berbeda nyata dengan nol, meskipun secara bersama-sama variabel-variabel independen tersebut berpengaruh besar terhadap variabel dependen, seperti ditunjukkan pada nilai R 2 dan F hitung yang tinggi. Dari 10 koefisien yang terdapat pada model fungsi produksi kentang, ternyata ada enam koefisien yang berbeda nyata dari nol. Untuk memastikan apakah gejala multikolinearitas cukup serius atau tidak, dilakukan penghitungan condition index Gujarati, 1998. Nilai condition index CI dari model fungsi produksi Cobb-Douglas yang diperoleh adalah sebesar 92.38 Lampiran 7. Nilai CI ini menunjukkan adanya gejala multikolinearitas yang cukup serius. Untuk mengetahui variabel independen apa saja yang saling terkait, ternyata variabel luas lahan memiliki korelasi yang cukup tinggi dengan berbagai variabel input produksi lainnya. Hasil korelasi variabel luas lahan dengan variabel lainnya dapat dilihat pada Lampiran 8. Untuk mengurangi gejala multikolinearitas yang cukup serius paling tidak dapat ditempuh dengan dua cara, yaitu a respesifikasi model, dan b menghapus salah satu variabel independen lainnya. Respesifikasi model untuk menghilangkan atau mengurangi gejala multikolinearitas dilakukan dengan memberikan kendala constraint pada model fungsi produksi. Kendala yang ditambahkan pada model adalah: β 1 + β 2 + β 3 + β 4 + β 5 + β 6 + β 7 + β 8 = 1 sehingga respesifikasi modelnya adalah: β 1 β 2 β 3 β 4 β 5 β 6 β 7 1- β 1 - β 2 - β 3 - β 4 - β 5 - β 6 - β 7 β 9 D adop + ε Q Kentang = β N Tot P Tot K Tot S Tot F Kan TK P est L lahan e Model ini dikonversi dalam bentuk logaritma normal ln dan diestimasi dengan menggunakan OLS. Secara lengkap bagaimana model tersebut diturunkan agar dapat diestimasi dapat dilihat pada Lampiran 9. Setelah dilakukan estimasi ternyata keadaan atau hasilnya tidak lebih baik dibandingkan dengan model fungsi produksi awal. Daya prediksi atau penjelas yang ditunjukkan oleh nilai R 2 ternyata menurun drastis, yaitu menjadi R 2 = 0.168. Koefisien dugaan yang dihasilkan juga banyak yang tidak signifikan. Oleh sebab itu hasil dugaan dari respesifikasi model tidak digunakan. Uji terhadap multikolinearitas, ternyata model yang baru inipun tetap memiliki masalah multikolinearitas yang serius yang ditunjukkan dengan CI = 85.399. Hasil regresi dari model yang baru ini, yaitu setelah diberi kendala constraint dapat dilihat pada Lampiran 10. Kendala ini merupakan asumsi bahwa fungsi produksi yang digunakan memiliki ciri constant return to scale. Berdasarkan asumsi ini, maka berarti setiap kelipatan seluruh input produksi akan menghasilkan output dengan kelipatan yang sama. Cara kedua untuk mengurangi gejala multikolinearitas adalah dengan menghilangkan salah satu variabel independen yang memiliki korelasi erat dengan variabel independen lainnya. Variabel independen luas lahan diputuskan untuk dikeluarkan dari model, dengan alasan variabel inilah yang banyak berkorelasi dengan variabel independen lainnya. Dengan demikian model fungsi produksi yang baru adalah sama dengan fungsi produksi awal kecuali variabel independen luas lahan dikeluarkan dari model. Setelah dilakukan estimasi terhadap model, dengan metode OLS, ternyata memang gejala multikolinearitas berkurang. Hal ini ditunjukkan dengan besaran condition index yang lebih kecil, yaitu 79.44. Koefisien regresi yang diperoleh yang menunjukkan berbeda signifikan dari nol juga meningkat. Dari 9 koefisien regresi, termasuk konstanta, terdapat 7 koefisien yang menunjukkan nyata pada taraf kepercayaan 95 persen, 90 persen, dan 85 persen. Hasil estimasi terhadap model fungsi produksi, setelah variabel luas lahan dikeluarkan, dapat dilihat pada Lampiran 11. Meskipun hasil estimasi terhadap model yang baru relatif lebih baik dari aspek jumlah koefisien regresi yang signifikan, namun model ini ternyata tetap memiliki kelemahan. Setelah variabel luas lahan dikeluarkan dari model, condition index turun, yang berarti gejala multikolinearitas berkurang. Meskipun telah turun, angka condition index masih relatif tinggi. Gejala multikolinearitas dalam model yang baru tetap masuk dalam kategori serius. Dikeluarkannya variabel luas lahan juga berakibat turunnya R 2 . Besaran R 2 yang turun, dari 0.86 menjadi 0.77, merupakan indikasi bahwa kemampuan model untuk menjelaskan variasi yang terjadi pada variabel dependen, dalam hal ini jumlah produksi kentang, menurun. Variabel luas lahan yang dikeluarkan dari variabel fungsi produksi dapat menimbulkan masalah yang lebih serius dibandingkan dengan masalah adanya gejala multikolinearitas. Model yang terbentuk setelah salah satu variabel dikeluarkan mengalami misspesifikasi. 5.3. Pengaruh Adopsi Sistem Pertanian Konservasi Terhadap Kualitas Sumberdaya Lahan dan Pendapatan Usahatani Sitorus 2004a menyatakan bahwa tujuan pengelolaan sumberdaya lahan secara garis besar mempunyai dua tujuan yaitu tujuan fisik dan tujuan ekonomi. Tujuan fisik diukur dalam satuan-satuan fisik seperti produksi per hektar, sedangkan tujuan ekonomi diukur dalam terminologi ekonomi seperti pendapatan bersih maksimum. Agar kontinuitas produksi, yang juga secara langsung akan mempengaruhi pendapatan, tercapai maka melindungi sumberdaya tanah termasuk sumber-sumber air tanah merupakan prasyarat. Mengkonservasi tanah dalam sistem pertanian atau pengelolaan lahan berkelanjutan tidak saja mempunyai tujuan fisik dan ekonomi tetapi sekaligus juga melindungi atau mempertahankan sumberdaya tanah dan air. Keputusan mengadopsi konservasi tanah dibuat oleh petani itu sendiri dengan tujuan menghasilkan pendapatan sebesar-besarnya. Apa yang mendorong petani mengambil keputusan mengadopsi teknik konservasi tanah atau tidak, dapat diketahui dari analisis biaya manfaat di tingkat usahatani. Analisis biaya manfaat usahatani kentang dilakukan dengan dua cara, yaitu analisis usahatani untuk satu musim tanam dan analisis usahatani untuk masa 20 tahun. Analisis satu musim tanam dilakukan untuk melihat pendapatan atau keuntungan yang dapat diperoleh petani kentang dari sudut pandang jangka pendek. Perhitungan jangka pendek biasanya dilakukan dalam analisis usahatani tanaman semusim. Perhitungan jangka pendek ini yang juga sering menjadi patokan dalam melihat profitabilitas usahatani kentang. Perhitungan manfaat dan biaya usahatani kentang dalam satu musim ini tentunya ‘tidak dapat’ memberikan informasi yang lengkap tentang manfaat dan biaya dari usahatani yang ‘menyertakan’ sistem konservasi. Sistem konservasi tanah pada usahatani kentang, ataupun tanaman semusim lainnya, umumnya memberikan manfaat yang dapat dirasakan dalam perspektif jangka panjang. Oleh sebab itu, sebagai pembanding dari analisis usahatani kentang dalam satu musim tanam atau jangka pendek, maka dilakukan juga analisis usahatani dalam jangka panjang. Analisis usahatani kentang yang dilakukan pada dasarnya adalah analisis finansial, dimana manfaat dan biaya yang muncul adalah manfaat dan biaya dari sudut pandang petani private. Manfaat dan biaya yang muncul yang tidak dapat ditangkap petani, seperti manfaat dan biaya off-site, tidak diikutkan dalam analisis finansial. Harga produk yang diterima petani maupun harga faktor produksi yang dibayarkan oleh petani yang digunakan dalam analisis finansial adalah harga-harga yang berlaku di pasar.

5.3.1. Pendapatan Usahatani Kentang dalam Satu Musim Tanam MT

Analisis finansial sistem penanaman budidaya kentang di Pangalengan per musim tanam MT didasarkan pada harga dan upah tenaga kerja yang berlaku pada tahun 2004 -2005. Analisis finansial dilakukan untuk ketiga sistem penanaman kentang berdasarkan data sistem penanaman responden, tanpa memperhatikan kemiringan lereng. Hasil analisis secara ringkas disajikan pada Tabel 24. Hasil analisis finansial kentang menunjukkan bahwa ketiga sistem penanaman kentang di Pangalengan memberikan keuntungan. Usahatani kentang dengan sistem tanam searah lereng memberikan keuntungan sebesar Rp 13 270 920,- per ha. Hasil ini tidak bebeda jauh dari analisis usahatani kentang yang dilakukan Dinas Pertanian Kabupaten Bandung 2004, yang memberikan keuntungan Rp 12 301 333,- per hektar tanpa memperhatikan sistem penanaman. Keuntungan yang diperoleh usahatani searah lereng ini secara nyata lebih besar daripada keuntungan yang diperoleh dari usahatani kentang dengan sistem penanaman searah kontur ataupun teras bangku, yang masing-masingnya memberikan pendapatan sebesar Rp 8 568 531,- dan Rp 5 966 276,- per hektar. Tabel 24 Perbandingan penerimaan, biaya, keuntungan dan produktivitas tanah usahatani kentang di Kecamatan Pangalengan berdasarkan sistem penanaman per MT 2005 Sistem Penanaman Produktivitas tonha Penerimaan Rp Biaya Rp Untung Rp RC Searah Lereng Tanpa konservasi 17.78 38 354 530 25 083 610 13 270 920 1.53 Searah Kontur Konservasi 16.75 36 815 020 28 246 488 1 29 796 489 2 8 568 532 7 318 532 1.30 1.24 Teras Bangku Konservasi 15.10 33 079 516 27 113 240 1 29 781 990 2 5 966 276 3 297 526 1.22 1.11 Keterangan: 1 dan 2 masing-masing setelah ditambah biaya konservasi pada lereng 15 dan lereng 50 Sistem penanaman searah lereng memberikan RC yang lebih tinggi dibandingkan dengan RC searah kontur maupun teras bangku, artinya setiap satu satuan biaya yang dikeluarkan untuk sistem penanaman searah lereng akan memberikan penerimaan revenue sebanyak 1.53 kali. Dibandingkan sistem searah kontur dan teras bangku, sistem searah lereng memerlukan biaya cost yang lebih rendah. Keuntungan yang didapat dari usahatani kentang yang ditanam pada guludan searah kontur dan teras bangku yang cenderung lebih rendah dibandingkan usahatani kentang yang ditanam pada guludan searah lereng, terutama disebabkan oleh luasan efektif tanaman kentang yang turun. Satu hektar lahan setelah dibuat teras bangku maka luasan efektif yang dapat ditanami untuk kemiringan lereng 15 tinggal 80 persen Arsyad, 2000, dan berdasarkan wawancara dengan petani dan PPL. Sedangkan untuk sisi pengeluaran petani perlu mengeluarkan biaya tambahan untuk membuat teras bangku ataupun guludan searah kontur. Itu sebabnya keuntungan yang diperoleh apabila menggunakan teknik konservasi tanah menjadi lebih rendah jika hanya dilihat dari perhitungan satu musim tanam saja. Dalam penelitian ini erosi per musim tanam MT dari ketiga sistem penanaman kentang pada satu musim tanam tidak diukur langsung. Berbagai hasil studi erosi petak percobaan terdahulu di Pangalengan digunakan sebagai data sekunder untuk menggambarkan tingkat erosi dari sistem penanaman kentang pada guludan searah lereng maupun searah kontur. Data sekunder tersebut diasumsikan dapat mewakili gambaran erosi per musim tanam. Walaupun tingkat erosi dari berbagai studi tidak sama, namun hasil tetap konsisten yaitu penanaman tanaman pada guludan searah lereng bersifat lebih erosif dibandingkan dengan penanaman kentang pada guludan searah kontur. Erosi penanaman tanaman dengan teras bangku dianggap setara dengan dugaan erosi lahan kering yaitu 5.7-16.5 tonhath dan bila teras berkonstruksi baik maka dapat disetarakan dengan dugaan erosi pada lahan sawah yaitu 0.3 -1.5 tonhath Sutono et al., 2003. Hasil beberapa studi erosi petak percobaan di Pangalengan tertera pada Tabel 25. Hasil studi di Pangalengan tersebut sejalan dengan studi yang dilakukan Suganda et al. 1998 di tanah Andisol Pacet, Cianjur yang menunjukkan penanaman pada guludan searah kontur mampu mengurangi erosi lebih baik dibandingkan penanaman pada guludan searah lereng. Tabel 25 Studi terdahulu erosi petak percobaan pada tanaman kentang Pemberian pupuk Erosi tonha Studi terdahulu Desa Tinggi m dpl Lereng Kandang tonha NPK kgha Searah lereng Searah kontur Hernawati 1992 Sukamanah 1400 30 30 1020 15.7 6.6 Yuwono 1993 Margamekar 1472 15 20 500 27 11 Banuwa 1994 Sukamanah 1450 30 30 1600 32 6 Pidio 2004 Margamulya 1250 30 15 750 56.3 26.1 Berbagai hasil studi di atas menyarankan agar produktivitas lahan pertanian di dataran tinggi Pangalengan dapat dipertahankan, maka dalam pengelolaannya petani harus merubah dari kebiasaan olah tanah dan tanam pada guludan searah lereng menjadi searah kontur. Yuwono 1993 membuktikan bahwa efektifitas penanaman tanaman pada guludan searah kontur mengurangi erosi akan menurun dengan semakin meningkatnya kemiringan lereng. Pada lereng 8 penanaman pada guludan searah kontur akan mengurangi erosi sebesar 20 – 82. Senada dengan Arsyad 2000 yang menyatakan guludan searah kontur baik diterapkan untuk kemiringan lereng 6 – 12 . 5.3.2. Erosi, Kadar Bahan Organik dan Unsur Hara Tanah serta Pendapatan Usahatani Kentang Jangka Panjang Proyeksi untuk 20 tahun Manfaat konservasi tanah tidak hanya terjadi dalam satu musim tanam, melainkan akan terus muncul sepanjang masa usia investasi. Usia investasi konservasi tanah dalam bentuk teras bangku diperhitungkan sepanjang 20 tahun. Setelah masa ini, teras bangku yang ada memerlukan perbaikan yang cukup besar. Di samping itu, masa 20 tahun diperkirakan sudah mencukupi untuk melihat perbedaan aliran manfaat dan biaya antar sistem penanaman usahatani kentang. Perhitungan keuntungan usahatani jangka panjang, 20 tahun, dapat diketahui melalui perbedaan arus penerimaan total dengan arus biaya total selama masa itu. Namun karena uang memiliki nilai waktu time value of money, agar arus penerimaan dan arus biaya yang muncul pada tahun-tahun yang berbeda dapat diperbandingkan, maka nilai arus penerimaan dan arus biaya tersebut dikonversi menjadi nilai kininya present value. Dengan kata lain, perbandingan penerimaan dan biaya dilakukan setelah dilakukan proses discounting terhadap arus tunai cash flow penerimaan dan biaya. Arus penerimaan usahatani kentang setiap tahun merupakan perkalian antara jumlah produksi per tahun dengan harga jualnya. Arus pengeluaran atau biaya merupakan nilai seluruh sarana produksi yang digunakan dan nilai unsur hara yang hilang akibat erosi. Untuk menduga besaran produksi dan menduga besaran unsur hara yang hilang karena erosi dari tahun ke tahun, maka dilakukan analisis dengan menggunakan model SCUAF. SCUAF digunakan untuk memproyeksikan tiga sistem penanaman kentang yang ada di Pangalengan saat ini untuk 20 tahun ke depan. SCUAF dapat menggambarkan bagaimana pengaruh tiga sistem penanaman kentang yang ada terhadap tanah dan produksinya. Parameter-parameter atau koefisien yang dibutuhkan model SCUAF diperoleh dari berbagai penelitian bio-fisik terdahulu di Pangalengan. Lokasi desa yang dipilih untuk simulasi adalah desa Margamulya, dengan kemiringan lereng 15 . Simulasi dilakukan untuk periode 20 tahun. Tanaman yang dipakai adalah tanaman kentang. Pupuk yang ditambahkan adalah pupuk kandang dan pupuk NPK sebesar nilai pupuk yang digunakan petani dari hasil wawancara. Sebelum disampaikan hasil perhitungan keuntungan usahatani kentang selama 20 tahun, terlebih dahulu disajikan proyeksi dugaan erosi, hilangnya bahan organik dan unsur hara tanah akibat erosi dan dugaan produktivitas usahatani kentang sebagai indikator kualitas sumberdaya lahan. Proyeksi Erosi Tanah Erosi menyebabkan potensi dan kapasitas tanah menjadi berkurang. Turunnya kapasitas tanah dapat diamati pada produktivitasnya. Hilangnya sebagian topsoil sering dapat dikompensasi dengan penggunaan pupuk yang lebih banyak ataupun dengan berbagai upaya lainnya agar produktivitas tidak turun. Peningkatan penggunaan pupuk ataupun upaya lainnya akan mengakibatkan peningkatan biaya per satuan produk yang dihasilkan. Erosi tanah menyebabkan hilangnya pendapatan sekarang petani dan akan menyebabkan tingginya resiko yang akan dialami petani khususnya petani marjinal Barbier, 1995. Mengetahui berapa nilai atau biaya erosi tanah yang terjadi di Pangalengan akan memperkuat pentingnya mengadopsi sistem pertanian konservasi. SCUAF dapat memberikan proyeksi erosi tanah yang terjadi dan proyeksi hilangnya hara tanah untuk 20 tahun ke depan. SCUAF memberikan prediksi laju erosi ketiga sistem penanaman kentang yang cenderung menurun dari tahun ke tahun Gambar 11. Besarnya penurunan laju erosi ketiga sistem tanam kentang di Pangalengan terdapat pada Lampiran 13. Walaupun laju penurunan erosi dari ketiga sistem penanaman menunjukkan kecenderungan yang meningkat setiap tahun - erosi bertambah kecil, namun proyeksi erosi dari sistem penanaman dengan teras bangku menunjukkan hasil yang terkecil dibandingkan dengan dua sistem penanaman lainnya. Hal ini bermakna bahwa metode konservasi tanah mekanik teras bangku mampu memperkecil erosi lebih baik dibandingkan dengan metode konservasi tanah searah kontur maupun penanaman pada guludan searah lereng. 2 4 6 8 10 12 14 16 18 1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 Tahun E ros i T a na h t on ha L15 K15 TB15 Keterangan: L = lereng, K = kontur, TB = teras bangku Gambar 11 Proyeksi erosi tanah pada tiga sistem penanaman kentang di Kecamatan Pangalengan untuk 20 tahun Sistem penanaman dengan teras bangku mampu menekan erosi sebesar 60 terhadap sistem penanaman pada guludan searah lereng, sedangkan sistem penanaman searah kontur mampu menekan erosi sebesar 25 terhadap penanaman pada guludan searah lereng. Hasil proyeksi erosi dari ketiga sistem penanaman kentang di Pangalengan berada pada kisaran antara 4.9 tonhath sampai 16.1 tonhath Tabel 26. Hasil prediksi ini tidak jauh berbeda dengan erosi di lahan kering hasil percobaan Sutono et al. 2003 yaitu berkisar antara 5.7 ton sampai16.5 tonhath. Tabel 26. Proyeksi erosi tanah ketiga sistem tanam kentang di Kecamatan Pangalengan pada tahun ke-1 T1 dan tahun ke-20 T20 Sistem tanam Searah lereng Searah kontur Teras Bangku Keterangan T1 T20 T1 T20 T1 T20 Erosi tonhath 16.1 12.9 12.1 9.6 6.4 4.9 Untuk tanah-tanah yang diusahakan sebagai tanah pertanian, terutama pada tanah berlereng, tidaklah mungkin untuk menekan laju erosi sampai nol. Namun demikian, jumlah maksimum tanah yang hilang agar produktivitas lahan tetap lestari, harus lebih kecil atau sama dengan jumlah tanah yang terbentuk melalui proses pembentukan tanah. Suatu kedalaman tanah tertentu harus dipelihara agar terdapat suatu volume tanah yang cukup dan baik tempat berjangkarnya akar tanaman dan tempat menyimpan air serta unsur hara yang diperlukan untuk tanaman. Berkurangnya laju erosi dari tahun ke tahun untuk ketiga sistem tanam seperti yang tertera pada Tabel 9 berhubungan dengan proses pembentukan tanah. Walaupun terjadi erosi, pada saat yang bersamaan terjadi proses pembentukan tanah. Hardjowigeno 2003 melaporkan bahwa rata-rata proses pembentukan tanah di Indonesia mencapai 1 mmtahun. Bila 1 mmtahun dianggap sebagai kecepatan pembentukan tanah di Pangalengan maka tanah yang terbentuk selama 20 tahun dapat mencapai sekitar 20 mm. Jika erosi atau tanah yang hilang lebih kecil atau sama dengan jumlah tanah yang terbentuk maka tanah yang hilang dari tahun ke tahun juga akan berkurang. Oleh karena itu perlu penetapan batas tertinggi laju erosi yang masih dapat dibiarkan atau ditoleransi. Erosi yang diperbolehkan Edp adalah jumlah tanah yang hilang yang diperbolehkan per tahun agar produktivitas lahan tidak berkurang sehingga tanah tetap produktif secara lestari Wischmeier dan Smith, 1978. Jika laju Edp dapat diperkirakan maka dapat ditentukan kebijaksanaan penggunaan tanah dan tindakan konservasi tanah yang diperlukan agar tidak terjadi kerusakan tanah dan tanah dapat dipergunakan secara produktif dan lestari. Berdasarkan perhitungan rumus Hammer 1981 dalam Arsyad 2000 maka batas tertinggi erosi yang masih dapat dibiarkan atau tolerable soil loss TSL di Pangalengan adalah 12.75 tonhatahun memakai waktu kelestarian 400 tahun. Hasil proyeksi pada Tabel 9 dapat dipakai untuk mengevaluasi sistem pengelolaan usahatani kentang Pangalengan dan membandingkannya, sistem pengelolaan usahatani mana yang lebih baik sehingga dapat membuat kebijakan- kebijakan yang berhubungan dengan pertanian berkelanjutan. Proyeksi erosi pada penanaman searah lereng menunjukkan erosi yang akan muncul selama 20 tahun berada pada kisaran 13 -16 tonha. Angka ini melebihi TSL Pangalengan yaitu 12.75 tonha, artinya apabila mayoritas petani Pangalengan menanam pada pada guludan searah lereng maka kerusakan lahan karena erosi tidak dapat dihindari dan kerusakan lahan ini akan dipercepat oleh tingginya intensitas penanaman. Hasil studi menunjukkan intensitas penanaman sayuran lahan di Pangalengan hampir empat kali setahun dan mayoritas responden menanam tanaman pada guludan searah lereng, dan di pangalengan sendiri sudah terdapat lahan kritis. Proyeksi hilangnya bahan organik C, hara N, P dan besarnya pupuk pengganti Pengaruh bahan organik terhadap sifat-sifat tanah dan tumbuhan adalah sebagai granulator memperbaiki struktur tanah, sumber unsur hara N, P, S, dan juga unsur mikro, menambah kemampuan tanah untuk menahan air, menambah kemampuan kapasitas tukar kation KTK, dan sumber energi bagi mikroorganisme tanah. Tanah yang baik adalah tanah yang mengandung bahan organik sekitar 3- 5. Walau jumlahnya tidak besar tapi memegang peranan dalam menentukan kepekaan tanah terhadap erosi. Bahan organik tanah terdiri dari humus yaitu bahan organik halus yang berasal dari hancuran bahan organik kasar melalui kegiatan organisme dalam tanah. Humus mempunyai daya menahan air dan unsur hara yang tinggi. Tingginya daya menyimpan unsur hara tersebut adalah akibat tingginga KTK dari humus. Tanah yang banyak mengandung humus adalah tanah-tanah lapisan atas topsoil, sebab itu lapisan tanah bagian atas perlu dipertahankan. Erosi menyebabkan hilangnya lapisan tanah bagian atas Hardjowigeno, 2003. Walaupun tanah Andisol Pangalengan mengandung bahan organik yang cukup, pengolahan lahan secara intensif dan kurang tepat menyebabkan persediaan C dan unsur hara tanah Pangalengan dalam jangka panjang akan habis akibat ketidakseimbangan antara penyerapan yang cepat dengan pembentukan yang lambat dari unsur C dan hara. Pada pemeriksaan sifat kimia tanah Pangalengan yang dilakukan di laboratorium pada tahun 1991 dan 2003 seperti yang tertera pada Tabel 27, setelah penggunaan lahan sekitar 10 tahun terlihat adanya penurunan unsur C, hara N dan P serta kenaikan CN ratio tanah Pangalengan. Penurunan unsur C, hara N dan P akan terus berlanjut hingga dikemudian hari lahan menjadi rusak dan tidak dapat ditanami apabila pengelolaan lahan usahatani sayuran Pangalengan yang sekarang ini tidak atau belum sepenuhnya memperhatikan kaidah konservasi tanah. Tabel 27. Perbandingan sifat kimia tanah Pangalengan pada tahun 1991 dan 2003. 1991 2003 Pengamatan Satuan Nilai Kriteria Nilai Kriteria pH H 2 O - 6.10 agak masam 5.6 agak masam C organik 4.10 tinggi 2.37 Sedang N 0.71 tinggi 0.15 Rendah CN - 6.0 rendah 16 Sedang P 2 O 5 HCl 25 mg100g 55 sangat tinggi 83 sangat tinggi K 2 O HCl 25 mg100g 47 tinggi 45 Tinggi KTK mekg 82.4 sangat tinggi 27.59 tinggi Sumber: Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor 1991 dan 2003. Kebutuhan bahan organik untuk sistem usahatani sayuran Pangalengan dipenuhi melalui pemberian pupuk kandang. Kebutuhan C ini akan semakin tinggi apabila tanah tererosi. Pupuk kandang di Pangalengan dapat berasal dari kotoran sapi peternak sapi perah menempati urutan kedua dari mata pencaharian penduduk Pangalengan setelah bertani, kotoran ayam, kotoran kambing, atau campurannya. Penggunaan pupuk kandang oleh petani di Pangalengan per hektar untuk usahatani kentang ± 15 tonha per musim tanam. Haryati dan Kurnia 2000 melaporkan kebutuhan pupuk kandang untuk tanaman kentang di lahan lama sudah ditanam berulang-ulang adalah 10 – 15 tonha sedangkan kebutuhan pupuk kandang untuk lahan baru adalah 20 – 30 tonha. Proyeksi hilangnya bahan organik C pada ketiga sistem penanaman kentang di Pangalengan yang terbawa erosi untuk 20 tahun tertera pada Gambar 12. Besarnya kehilangan unsur organik C yang terangkut bersama tanah mengikuti besaran erosi yang terjadi. Dengan semakin kecilnya laju erosi yang muncul maka hilangnya uncur C dari tahun ke tahun juga semakin berkurang. 100 200 300 400 500 600 700 800 1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 Tahun E ros i U ns ur C k g ha L15 K 15 TB 15 ` Keterangan: L = lereng, K = kontur, TB = teras bangku Gambar 12 Hilangnya unsur C pada tiga sistem penanaman kentang di Kecamatan Pangalengan untuk 20 tahun. Akibat erosi, selain unsur C yang terangkut , unsur hara juga ikut hilang. Suatu kondisi yang sangat penting bagi pertumbuhan dan kesehatan tanaman adalah persediaan jumlah unsur hara yang memadai dan seimbang secara tepat waktu yang dibisa diserap oleh akar tanaman. Unsur hara tanah yang penting untuk tanaman adalah nitrogen N , fosfor P, dan kalium K. N dalam tanah berasal dari bahan organik tanah, N udara yang diikat oleh mikrooganisme tanah bakteri tanah atau bakteri bintil akarrhizobium, pupuk ZA, Urea dan air hujan. Fungsi N adalah merangsang pertumbuhan tanaman secara keseluruhan terutama batang, cabang dan daun, pembentukan hijau daun, pembentukan protein. Hilangnya N dari tanah disebabkan oleh penggunaan tanamanmikroorganisme, N dalam bentuk NH 4 + diikat mineral liat, N dalam bentuk NO 3 - yang mudah dicuci air hujan leaching, N mudah hilang bila hujan tinggi. Proyeksi hilangnya hara N pada ketiga sistem penanaman kentang di Pangalengan yang terbawa erosi untuk 20 tahun tertera pada Gambar 13. Dengan semakin berkurangnya laju erosi maka hilangnya hara N dari tahun ke tahun juga semakin berkurang. 10 20 30 40 50 60 1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 Tahun E ros i H a ra N k g ha L 15 K 15 TB 15 Keterangan: L = lereng, K = kontur, TB = teras bangku Gambar 13 Hilangnya hara N pada tiga sistem penanaman kentang di Kecamatan Pangalengan untuk 20 tahun Unsur P dalam tanah berasal dari bahan organik pupuk kandang, pupuk buatan TSP, SP36 dan mineral-mineral dalam tanah. Fungsi P adalah pembelahan sel, pembentukan albumin, pembentukan bunga, buah dan biji, mempercepat pematangan, perkembangan akar, tahan terhadap penyakit, memperbaiki kualitas sayur mayur. Kekurangan P dalam tanah disebabkan oleh jumlahnya di tanah yang sedikit, sebagian dalam bentuk yang tidak dapat diambil oleh tanaman, terjadi fiksasi oleh Al pada tanah masam atau oleh Ca pada tanah alkalis. Proyeksi hilangnya hara P pada ketiga sistem penanaman kentang di Pangalengan yang terbawa erosi untuk 20 tahun tertera pada Gambar 14. Dengan semakin berkurangnya laju erosi maka hilangnya hara P dari tahun ke tahun juga semakin berkurang. 1 2 3 4 5 6 7 8 1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 Tahun E ros i H a ra P k g ha L 15 K 15 TB 15 Keterangan: L = lereng, K = kontur, TB = teras bangku Gambar 14 Hilangnya hara P pada tiga sistem penanaman kentang di Kecamatan Pangalengan untuk 20 tahun SCUAF hanya dapat memberi gambaran unsur hara N dan P saja, sehingga ini menjadi keterbatasan bagi model SCUAF yang belum dapat memprediksi unsur K. Dalam studi ini perhitungan hilangnya unsur hara hanya dilakukan untuk hara N dan P. Hasil proyeksi SCUAF hilangnya unsur C, hara N dan P yang terangkut tanah akibat erosi untuk 20 tahun tertera pada Tabel 28. Tabel 28. Proyeksi hilangnya Unsur C, hara N dan P akibat erosi tanah pada ketiga sistem tanam kentang pada tahun ke-1 T1 dan tahun ke-20 T20 Sistem Tanam Tahun Erosi tanah tonhath C hilang kghath Hara N hilang kghath Hara P hilang kghath T1 16.1 757 47.96 7.57 Lereng T20 12.9 385.5 26.37 3.85 T1 12.1 568 35.99 5.58 Kontur T20 9.6 296.2 20.24 2.96 T1 6.7 304.2 19.21 3.04 Teras Bangku T20 4.9 163.2 11.03 1.63 Untuk mengganti kadar humus bahan organik yang hilang dengan pupuk kandang, kadar C tanah yang hilang perlu dikonversi terlebih dahulu ke dalam kadar C dalam humus. Kadar C rata-rata dalam humus 58, maka kadar humus = 10058 x kadar C tanah = 1.724 x kadar C yang hilang Soil Quality Institue, 2001 dan Hardjowigeno, 2003. Untuk mengetahui berapa pupuk kandang yang dibutuhkan untuk mengganti masing-masing unsur C humus yang hilang tersebut perlu diketahui ratio CN dari beberapa jenis kotoran hewan dan kandungan berbagai hara dari berbagai kotoran ternak Budianta, 2001. Persentase C dapat dihitung dari mengalikan hara kotoran ternak dengan CN dari kotoran ternak. Persentase C kemudian dikalikan dengan besarnya C humus yang tererosi. Dalam penelitian ini kotoran ternak yang dijadikan acuan adalah kotoran sapi CN kotoran sapi 18 dan N kotoran sapi 0.31. Kebutuhan hara N untuk sistem usahatani sayuran kentang di Pangalengan dipenuhi dengan pemberian pupuk urea. Untuk mengetahui berapa pupuk urea yang dibutuhkan untuk mengganti hara N yang hilang dari masing-masing sistem pertanaman kentang perlu diketahui komposisi kandungan hara N dari pupuk urea yang dibeli petani kentang Pangalengan, yang tertera jelas pada kemasan. Kandungan N urea yang dipakai dalam penelitian ini 46 untuk setiap 100 kg pupuk. Sebelum dosis pupuk urea yang diperlukan dihitung perlu diketahui terlebih dahulu efisiensi pupuk. Perhitungan efisiensi pupuk dalam penelitian ini didekati melalui data unsur hara N yang diserap kentang dan penggunaan dosis pupuk urea per hektar untuk kentang yang dianjurkan Dinas Pertanian, Kabupaten Bandung 2004. Untuk menghasilkan produksi kentang sebanyak 25 tonha, dosis pupuk urea per hektar untuk kentang adalah 256 kgha dan unsur hara N yang diserap kentang = 115 kgha. N pupuk urea = 0.46 x 256 kgha = 117.76 kgha, sedangkan unsur hara N yang diserap kentang = 115 kgha maka efisiensi pupuk = 0.98. Kebutuhan hara P untuk sistem usaha tani sayuran kentang di Pangalengan dipenuhi dengan pemberian pupuk SP36 atau TSP. Sama halnya dengan N, untuk mengetahui berapa pupuk SP36 yang dibutuhkan untuk mengganti hara P yang hilang dari masing-masing sistem pertanaman kentang juga perlu diketahui komposisi kandungan hara P dari pupuk SP36 yang dibeli petani kentang Pangalengan, yang tertera jelas pada kemasan. Kandungan P SP36 yang dipakai dalam penelitian ini 36 untuk setiap 100 kg pupuk. Perhitungan efisiensi pupuk P dalam penelitian sama dengan pendekatan perhitungan efisiensi pupuk N. Untuk menghasilkan produksi kentang sebanyak 25 tonha, dosis pupuk SP36 per hektar untuk kentang adalah 125 kgha dan unsur hara N yang diserap kentang = 45 kgha. Efisiensi pupuk 100. Proyeksi pupuk kandang, urea, dan SP36 pengganti untuk hilangnya C, hara N dan P akibat erosi dari ketiga sistem penanaman kentang di Pangalengan untuk 20 tahun tertera pada Tabel 29. Tabel 29. Proyeksi pupuk kandang, urea, dan SP36 pengganti untuk hilangnya C, hara N dan P ketiga sistem penanaman kentang di Pangalengan pada tahun ke-1 T1 dan tahun ke-20 T20 Sistem tanam Tahun C organik kghath Pupuk kandang pengganti kghath hara N kghath Pupuk urea pengganti kghath hara P kghath Pupuk SP3 pengganti kghath T1 1305 23387.78 48.92 106.35 7.5 21 Lereng T20 664.60 11909.39 26.90 58.48 3.8 10.7 T1 979.23 17548.92 36.71 79.80 5.6 15.7 Kontur T20 510.65 9151.43 20.65 45.89 2.9 8.2 T1 524.4 9397.85 20.17 43.85 3 8.4 Teras bangku T20 281.36 5042.29 11.25 24.46 1.6 4.5 Biaya erosi tanah Erosi tanah merupakan permasalahan yang secara nyata terkait dan dapat menjadi penghambat pembangunan ekonomi maupun dibidang sumberdaya alam. Jika tanah diidentikkan dengan barang modal lainnya, maka erosi tanah merupakan salah satu bentuk penyusutan dari barang modal tersebut. Mesin dan peralatan yang mengalami penyusutan akan ditandai dengan kapasitasnya yang berkurang. Hal yang sama terjadi pada tanah, dimana erosi tanah dapat menyebabkan kapasitas produktif tanah menjadi berkurang. Namun berbeda dengan penyusutan mesin dan peralatan, erosi tanah sering tidak dimasukkan dalam struktur biaya produksi. Biaya produksi berbentuk mesin dan peralatan akan tercermin dalam nilai produk akhir atau dengan kata lain ada nilai pasar dari penyusutan tersebut. Sebaliknya, biaya yang muncul dalam erosi tanah tidak pernah diperhitungkan dalam nilai produk. Erosi tanah dengan demikian diperlakukan sebagai barang publik yang tidak ada pasarnya. Padahal biaya erosi tidak hanya muncul pada tingkat usahatani, tetapi dapat juga muncul dalam bentuk biaya yang harus ditanggung pihak lainnya yang sering tidak ada kaitannya dengan tanah yang mengalami erosi. Erosi tanah dapat memperpendek usia infrastruktur irigasi, listrik, air minum, pelabuhan, maupun nilai ekologis dari danau atau situ. Investasi pembangunan dibidang infrastruktur menjadi lebih mahal dan potensi ekonominya sering tidak dapat diperoleh sepenuhnya akibat erosi tanah yang tidak terkendalikan. Sebagai hasilnya, para pembuat kebijakan sering kurang memperoleh informasi yang sering diperlukan dalam pengambilan berbagai keputusan yang menyangkut bidang pertanian maupun infrastruktur secara umum, seperti misalnya nilai ekonomi erosi tanah. Untuk melihat besarnya biaya erosi tanah yang muncul, nilai kini PV C, N, P yang hilang dari ketiga sistem penanaman kentang di Pangalengan dihitung. Perhitungan dilakukan pada lahan dengan kemiringan lereng 15 dan 50. Hasil perhitungan tertera pada Tabel 30. Perhitungan PV C, N dan P dapat dilihat pada Lampiran 21, 22, 23, 24, 25, dan 26. Jumlah nilai kini C, N, P yang hilang selama 20 tahun untuk usahatani kentang pada kelerengan 15 , dengan faktor diskonto 18, adalah sebesar Rp.25 760 548,- untuk sistem lereng, Rp. 19 453 975,- untuk sistem kontur, dan Rp 10 493,- untuk teras bangku. Hal ini menunjukkan bahwa semakin kecil erosi yang terjadi maka semakin kecil juga biaya erosi tanah yang muncul. Arsyad 2000 menyatakan jika lereng permukaan tanah semakin curam maka erosi per satuan luas juga semakin lebih banyak. Simulasi yang dilakukan pada lahan dengan kemiringan lereng 50 menunjukkan biaya erosi yang muncul juga lebih besar dari biaya erosi yang muncul pada lahan dengan kemiringan lereng 15. Tabel 30 Nilai kini PV unsur C, hara N dan P yang hilang di Kecamatan Pangalengan selama 20 tahun berdasarkan sistem penanaman Nilai kini PV C, N dan P hilang Rp Sistem Penanaman Lereng 15 Lereng 50 Searah lereng Tanpa konservasi 25 760 548 41 833 042 Searah kontur Konservasi 19 453 975 31 977 856 Teras bangku Konservasi 10 493 413 17 400 077 Proyeksi Produktivitas Hasil proyeksi produktivitas kentang untuk 20 tahun mendatang berturut-turut untuk penanaman searah lereng, penanaman searah kontur dan penanaman dengan teras bangku masing-masing tertera pada Gambar 15. Hasil prediksi menunjukkan pada awalnya tahun ke-0, nilai produksi awal untuk simulasi produktivitas usahatani kentang yang mengadopsi konservasi tanah penanaman searah kontur dan penanaman dengan teras bangku lebih rendah dibandingkan dengan produktivitas usahatani yang tidak mengadopsi konservasi tanah penanaman searah lereng. Hal ini sesuai dengan dugaan fungsi produksi sebelumnya, dimana koefisien adopsi berpengaruh negatif terhadap produksi. Dengan berjalannya waktu, produktivitas usahatani kentang yang mengadopsi konservasi tanah meningkat, sedangkan produktivitas usahatani kentang yang tidak mengadopsi konservasi tanah relatif stagnan dan relatif tidak turun karena dengan adanya penambahan pupuk. Pada akhirnya pengaruh adopsi konservasi tanah terhadap produktivitas usahatani ditunjukkan oleh kurva produksi yang lebih tinggi dibandingkan dengan kurva produksi usahatani yang tidak mengadopsi konservasi. 28000 30000 32000 34000 36000 38000 40000 42000 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 Tahun P ro d uk s i k g ha L15 K15 TB15 Keterangan: L = searah lereng, K = searah kontur, TB = teras bangku Tahun 0 = nilai produksi awal simulasi Gambar 15 Proyeksi produksi kentang pada ketiga sistem penanaman kentang di Pangalengan untuk 20 tahun Sistem budidaya kentang Pangalengan untuk ketiga sistem penanaman sama, yang membedakan hanyalah teknik penanaman atau pengolahan tanahnya yaitu searah lereng, searah kontur atau penanaman dengan teras bangku. Hasil prediksi dari Gambar 15 juga menunjukkan bahwa kontinuitas usahatani kentang di Pangalengan saat ini terjadi karena dukungan input pupuk dalam jumlah besar yang tentunya juga berdampak pada biaya produksi yang menjadi meningkat. Hasil dugaan perhitungan biaya erosi sebelumnya juga menunjukkan bahwa jumlah pupuk dan biaya pupuk yang dibutuhkan untuk mengganti unsur C, hara N dan P yang hilang akibat erosi pada penanaman kentang searah lereng tidak adopsi konservasi lebih tinggi dibandingkan jumlah pupuk dan biaya yang dibutuhkan untuk mengganti unsur C, hara N dan P yang hilang akibat erosi pada penanaman kentang searah kontur maupun penanaman dengan teras bangku. Tingginya penggunaan pupuk NPK di Pangalengan ditunjukkan oleh tingginya unsur NPK tanah beberapa lahan responden Tabel 31. Petani Pangalengan beranggapan bahwa semakin banyak pemberian pupuk maka semakin tinggi produksinya. Pentingnya petani sekali-sekali untuk memeriksakan kandungan NPK tanahnya telah dianjurkan oleh petugas KUD Walatra namun banyak petani yang tidak tertarik. Bagi mereka pemeriksaan tanah ke laboratorium merupakan biaya tambahan. Tingginya NPK tanah di Pangalengan tersebut mungkin akibat intensifikasi lahan akibat ingin memaksimalkan penggunaan lahan usahataninya. Pemberian kelebihan pupuk selain mengakibatkan terjadinya kerusakan lingkungan juga menyebabkan peningkatan biaya. Tanaman hanya mengambil hara secukupnya. Pemilihan dan dosis kebutuhan pupuk yang tepat untuk tanaman tertentu dalam sistem usahatani merupakan hal yang penting. Tabel 31 Kandungan hara N, P, K lahan responden di Kecamatan Pangalengan Desa N kgha Pkgha K kgha Jumlah kgha Margamulya 113.0 108.9 385.5 607.4 Sukamanah 926.6 777.6 711.9 2411.1 Margamukti 140.8 93.8 36.9 271.5 Pulosari 382.9 274.2 277.6 934.7 Warnasari 556.3 1067.2 588.6 2212.1 Sumber: Laboratorium Tanah KUD Walatra, Pangalengan 2005. Rata-rata penggunaan pupuk NPK per musim tanam MT di Pangalengan yang diperoleh berdasarkan wawancara terhadap 180 responden adalah 696.19 kgha urea 164.40 kgha, SP36 =197.69 kgha, KCl = 334.10 kgha. Kebutuhan NPK yang disarankan Dinas Pertanian Kabupaten Bandung 714 kgha yang terdiri dari urea 256 kgha, SP36 125 kgha, dan KCL 333 kgha. Petani Pangalengan perlu menambahkan kekurangan pupuk urea 91.6 kgha, sedangkan untuk kebutuhan pupuk SP36 dan KCl petani pangalengan sudah melebihi dari yang dibutuhkan. Bila diasumsikan faktor lain tetap dan semua petani menggunakan pupuk memadai, seimbang dan tepat waktu sesuai dengan kebutuhan tanaman kentang, SCUAF memberikan proyeksi setidaknya ketiga sistem penanaman yang ada mampu mempertahankan produksi selama 20 tahun namun dengan biaya erosi tanah yang berbeda untuk setiap sistem tanam . Di lapang yang terjadi adalah gejala adanya penurunan produksi. Laporan Dinas Pertanian Kabupaten Bandung 2004 menyatakan bahwa dalam 10 tahun terakhir ini usahatani kentang Pangalengan mengalami penurunan produktivitas dan stagnasi pada input yang lebih tinggi. Banyak faktor yang mempengaruhi petani mengambil keputusan dalam usahataninya. Keuntungan usahatani kentang Setelah produktivitas usahatani dan biaya unsur hara yang hilang karena erosi sepanjang 20 tahun diduga dengan model SCUAF, maka data tersebut setelah dikalikan dengan harga digunakan untuk menghitung nilai kini penerimaan dan nilai kini biaya. Selisih nilai kini total penerimaan dengan nilai kini total biaya adalah nilai kini bersih NPV atau keuntungan yang diperoleh usahatani kentang selama usia investasi 20 tahun. Perbandingan NPV usahatani kentang berdasarkan sistem penanaman selama 20 tahun tertera pada Tabel 32. Perhitungan NPV tersebut tertera pada Lampiran 15, 16, 17, 18, 19, dan 20. Watson 1995 melaporkan bahwa petani lahan kering Mindanau, Filipina baru dapat merasakan manfaat konservasi setelah 10 tahun mengadopsi progaram SALT Sloping Agriculture Land Technology. Keuntungan yang didapat setelah mengadopsi SALT adalah pendapatan bersih petani menjadi tujuh kali lipat dari pendapatan sebelum mengadopsi SALT. Tabel 32 Perbandingan nilai kini bersih NPV usahatani kentang di Kecamatan Pangalengan selama 20 tahun berdasarkan sistem penanaman Rp Kemiringan Lereng Sistem Penanaman 15 50 Searah lereng Tanpa Konservasi 246 397 440 245 149 155 230 324 945 229 076 760 Searah kontur Konservasi 278 664 833 266 140 952 Teras bangku Konservasi 346 723 220 339 816 556 Keterangan: setelah biaya off-site dimasukkan Perhitungan NPV untuk setiap sistem penanaman dilakukan pada dua kemiringan lereng yaitu 15 dan 50. Dari ketiga sistem penanaman, NPV teras bangku tradisional menunjukkan hasil yang paling tinggi dan yang terendah NPV searah lereng. Hal ini menunjukkan bahwa manfaat teknik konservasi tanah baru akan dirasakan dalam waktu jangka panjang. Tidaklah heran mengapa petani enggan mengadopsi sistem pertanian konservasi, karena yang diinginkan petani adalah pengembalian yang segera dapat dirasakan yaitu keuntungan yang setinggi mungkin dalam jangka pendek. Analisis finansial, terutama untuk proyek, biasanya juga mencatumkan perhitungan indikator IRR internal rate of return. Dalam penelitian ini nilai IRR tidak dihitung karena sejak tahun pertama, usahatani kentang memberikan pendapatan keuntungan yang positif. Secara matematis IRR merupakan tingkat diskonto yang dapat menyebabkan nilai NPV sama dengan nol. Tentunya nilai IRR menjadi tidak dapat dihitung jika di tahun pertama keuntungan sudah positif. Hasil perhitungan NPV untuk usahatani kentang dengan sistem penanaman searah lereng akan semakin kecil jika dimasukkan juga berbagai biaya erosi yang muncul di luar usahatani biaya off-site. Biaya erosi off-site usahatani kentang di Pangalengan diakibatkan adanya sedimentasi yang mengakibatkan terjadinya kerusakan saluran irigasi, pendangkalan sungai, waduk atau situ, serta peningkatan biaya-biaya bagi pengguna air di daerah hilir. Berdasarkan hasil penelitian Katharina 2001 biaya erosi off-site yang ditimbulkan usahatani kentang searah lereng adalah sebesar Rp 233 186,- per tahun per hektar. Bila biaya off-site ini dimasukkan pada perhitungan NPV usahatani kentang selama 20 tahun dengan sistem penanaman searah lereng, pada kemiringan lereng 15 persen, maka NPV yang dihasilkan berkurang menjadi Rp. 245 149 155,-. Hasil analisis pendapatan dan produksi usahatani sayuran kentang Pangalengan selama 20 tahun menunjukkan usahatani kentang dengan sistem penanaman teras bangku dan searah kontur memberikan tingkat pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan usatahani dengan sistem penanaman searah lereng. Hal ini ditunjukkan oleh nilai NPV usahatani kentang searah lereng yang lebih kecil daripada NPV usahatani kentang dengan sistem penanaman searah kontur maupun teras bangku. Sebaliknya, berdasarkan analisis pendapatan usahatani kentang dalam satu musim tanam MT saja, usahatani kentang dengan sistem penanaman searah lereng memberikan tingkat keuntunganpendapatan dan produksi yang lebih tinggi daripada usahatani kentang dengan sistem penanaman searah kontur ataupun teras bangku. Dapat dikatakan konservasi tanah yang dilakukan oleh petani kentang akan memberikan pendapatan yang lebih besar daripada tidak melakukan konservasi jika ditinjau dalam perspektif jangka panjang. Manfaat konservasi tidak terlihat jika perhitungan pendapatan, produksi dan erosi tanah dilakukan hanya dalam satu musim tanam atau jangka pendek. Dengan demikian perbandingan hasil analisis jangka panjang 20 tahun dengan jangka pendek membuktikan hipotesis 3 yang menyatakan adopsi sistem pertanian konservasi di dataran tinggi berlereng dalam jangka panjang meningkatkan pendapatan usahatani lebih besar dibandingkan yang tidak mengadopsi dapat diterima. Adopsi konservasi dalam jangka panjang tidak hanya meningkatkan pendapatan usahatani sayuran saja, tetapi juga berdampak positif terhadap konservasi sumberdaya lahan sehingga dapat diterapkan sebagai pertanian yang berkelanjutan. Analisis sensitivitas keuntungan usahatani Analisis sensitivitas umumnya dilakukan dengan cara: a menaikkan atau menurunkan harga-harga input atau biaya, b menaikkan atau menurunkan harga output atau penerimaan, atau c menaikkan atau menurunkan jumlah input yang digunakan atau jumlah output yang dihasilkan. Apabila penurunan atau kenaikan harga maupun jumlah fisik input dan output dilakukan dengan persentase yang sama, maka urutan besaran NPV, tidak mengalami perubahan. Demikian juga jika harga-harga yang digunakan adalah harga bayangan shadow price dan bukan harga yang berlaku di pasar, maka urutan NPV juga tidak mengalami perubahan, karena jenis komponen input dan output sama di antara teknik-teknik konservasi di usahatani kentang di Pangalengan. Analisis sensitivitas dilakukan dengan memvariasikan besaran tingkat diskonto discount rate yang digunakan dalam perhitungan NPV. Pilihan terhadap besaran tingkat diskonto dapat mencerminkan preferensi petani kentang terhadap pendapatan kini dibandingkan dengan pendapatan masa datang. Semakin besar tingkat diskonto yang digunakan, maka dapat berarti petani kentang memberikan preferensi atau bobot yang lebih besar terhadap pendapatan kini dibandingkan dengan pendapatan masa depan Lumley, 1997. Dengan kata lain, secara teoritis, semakin besar tingkat diskonto, maka kebersediaan petani untuk mengadopsi konservasi tanah akan semakin rendah. Berdasarkan analisis sensitivitas yang hasilnya disajikan pada Tabel 33, tampak bahwa meningkatnya tingkat diskonto menyebabkan nilai NPV yang menurun. Penurunan NPV tidak terjadi secara cepat, dimana meskipun tingkat diskonto dinaikkan secara drastis Gitingger, 1982 dari 18 persen ke 35 persen, NPV tetap positif. Nilai kini bersih NPV yang tidak sensitif terhadap perubahan tingkat diskonto disebabkan oleh keuntungan yang muncul di usahatani kentang yang relatif konstan dari tahun ke tahun. Hal ini sesuai juga dengan temuan Lumley 1997 pada petani dataran tinggi Filipina. Perkiraan semula, tingkat diskonto yang semakin besar, disamping akan mengurangi besaran NPV secara drastis juga akan mengubah urutan NPV di antara ketiga teknik konservasi tanah usahatani kentang di Pangalengan. Namun dari Tabel 33 terlihat bahwa urutan besaran NPV tidak mengalami perubahan. NPV dari usahatani yang menggunakan teknik konservasi tanah teras bangku tetap yang tertinggi, yang kemudian diikuti oleh NPV teknik konservasi penanaman searah kontur. Tabel 33 Perbandingan nilai kini bersih NPV usahatani kentang di Kecamatan Pangalengan selama 20 tahun berdasarkan faktor diskonto 18, 25 dan 35 Rp. Faktor diskonto Sistem Penanaman dan Kelerengan 18 25 35 Searah lereng 246 397 440 180 852 752 130 163 064 Searah kontur 278 664 833 204 835 137 147 628 133 Lereng 15 Teras bangku 346 723 220 255 251 266 184 229 151 Searah lereng 230 324 945 168 414 225 120 766 376 Searah kontur 266 140 952 195 189 243 140 375 232 Lereng 50 Teras bangku 339 816 556 249 969 286 179 321 103 Ada motif lain yang juga berpengaruh terhadap adopsi konservasi tanah. Menurut Lumley 1997, motif etika kemungkinan ikut berperan dalam adopsi teknik konservasi tanah. Lumley melakukan penelitiannya pada petani dataran tinggi Filipina. Penelitian yang dilakukan Lumley juga menemukan fenomena bahwa petani miskin memiliki tingkat adopsi konservasi yang relatif lebih tinggi daripada petani kaya. Hasil tersebut memperkuat argumen bahwa faktor etika memiliki pengaruh terhadap adopsi konservasi, yang secara implisit berarti juga orang miskin lebih beretika dibanding orang kaya. Petani miskin tetap mengadopsi konservasi lahan meskipun dari perhitungan finansial belum tentu menguntungkan. Jadi ada faktor lain, etika, yang kemungkinan mempengaruhi keputusan melakukan adopsi konservasi. Faktor lain yang juga berpengaruh terhadap adopsi konservasi kemungkinan adalah inequility ketimpangan kekayaan ataupun kekuasaan. Boyce 1994, halaman 169 menyatakan: “ greater inequalities of power and wealth lead, all else equal, to more environment degradation halaman 169”. Di Pangalengan kepemilikan lahan cukup bervariasi dari yang terluas sebesar 200 hektar sampai yang terkecil adalah 0.1 hektar. Stocking dan Tenberg 1999 dalam survei mereka di Brasil dan Argentina, menemukan bahwa dampak erosi yang disebabkan oleh pelaksanaan konservasi yang tidak terpelihara unmaintained lebih buruk bila dibandingkan dengan praktek pertanian yang belum pernah melaksanakan konservasi samasekali. Dengan kata lain sebaiknya jangan memperkenalkan teknik konservasi tanah kepada petani jika teknik konservasi tersebut tidak layak secara ekonomi di masa mendatang. Kriteria teknik konservasi yang tepat, baik dan perlu terus dikembangkan, tidak hanya dilihat layak secara ekonomi saja, tetapi juga harus dilihat dari sosial dan juga kelestarian sumberdaya alamnya. Akibat dari manfaat adopsi sistem pertanian konservasi yang lebih besar baru dirasakan untuk jangka panjang maka konsekuensinya bagi pertanian Pangalengan adalah masalah status penguasaan lahan menjadi penting. Petani akan bersedia melakukan investasi membuat teras bangku di lahannya apabila manfaat jangka panjang tersebut dapat menjadi miliknya. Hal ini sesuai dengan hasil model logit dimana peluang untuk mengadopsi akan turun jika status lahan adalah bukan hak milik. Petani yang hanya menyewa dalam jangka pendek dalam satu musim atau dua musim tentunya tidak akan mampu memperolah manfaat jangka panjang dari konservasi yang dialaminya. Manfaat konservasi tanah sampai saat ini belum tampak secara nyata. Merosotnya kualitas tanah di usahatani kentang di Pangalengan masih dapat disubstitusi atau ditutupi oleh asupan pupuk yang besar, sehingga produktivitas usahatani yang tidak menerapkan konservasi tanah tidak merosot. Namun jika erosi tanah yang melebihi erosi yang diperbolehkan Edp terus terjadi secara nyata, akibat praktek usahatani yang tidak memperhitungkan keberlanjutannya, maka akan tiba masanya dimana degradasi lahan yang terjadi tidak dapat lagi disubstitusi dengan memasukkan pupuk lebih banyak lagi. Biaya produksi semakin tinggi dan tanah menjadi tidak efisien. Hal tersebut sama seperti yang dilaporkan oleh McConnel 1983 bahwa ketidak pedulian petani terhadap erosi di lahannya karena petani merasa dapat mensubstitusi hilangnya unsur-unsur tanah akibat erosi dengan berbagai input lainnya. Menurut Wade dan Heady 1979 salah satu alasan mengapa petani tidak mengadopsi konservasi adalah petani lebih menginkan keuntungan sekarang dibandingkan dengan keuntungan jangka panjang yang lebih besar yang diberikan praktek konservasi tanah. `

5.4. Sintesis dan Implikasi Hasil Penelitian

Adopsi konservasi tanah oleh petani kentang di Pangalengan dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik faktor yang berada pada rumahtangga tani maupun faktor- faktor yang bersifat eksternal. Dalam penelitian ini adopsi konservasi tanah oleh petani dipengaruhi oleh kondisi bio-fisik tanah – kemiringan lereng, sumberdaya yang dimiliki petani – jumlah anggota kerja keluarga, faktor kelembagaan – status lahan, dan ekonomi - pendapatan. Berdasarkan hasil penelitian, yaitu melalui model Logit, terbukti bahwa kemiringan lereng tanah di mana usahatani kentang dilakukan mempengaruhi peluang petani untuk menerapkan konservasi. Semakin besar kecuraman lereng lahan, maka peluang petani mengadopsi konservasi tanah meningkat. Sumberdaya keluarga petani, dalam bentuk jumlah anggota keluarga, secara nyata berpengaruh terhadap peluang petani untuk menerapkan konservasi tanah. Pada awalnya diperkirakan bahwa jumlah anggota keluarga yang semakin banyak akan mendorong petani untuk mengadopsi teknik konservasi tanah dalam usahatani kentangnya. Hasil penelitian Arifin 2002 dan Sanim dan Siregar 2002 menunjukkan bahwa semakin besar ukuran anggota rumahtangga, maka semakin tinggi peluang petani untuk melakukan konservasi. Namun dalam penelitian ini diperoleh hasil yang berkebalikan, yaitu semakin besar jumlah anggota rumahtangga semakin kecil peluang petani menerapkan konservasi tanah. Arifin, dan Sanim serta Siregar, meneliti perilaku petani pada usahatani padi. Petani padi yang diteliti, yaitu di Lampung Utara Arifin, 2002, dan kawasan penyangga Taman Nasional Lore Lindu Sanim dan Siregar, 2002, dapat diduga tidak sepenuhnya bermotifkan keuntungan dalam melaksanakan usahataninya. Petani padi tersebut terlebih dahulu mengutamakan kecukupan pangan beras keluarganya, dan setelah itu hasil produksi selebihnya dijual ke pasar. Petani padi tersebut dapat dikatakan masih memiliki motif subsistensi dan belum sepenuhnya motif keuntungan. Petani yang bermotifkan subsistensi lebih mementingkan minimum resiko dalam proses produksinya. Petani berupaya usahatani yang dilakukannya memberikan hasil yang pasti Ghatak dan Ingersent,1984. Dengan demikian, ketersediaan tenaga kerja yang lebih besar pada rumahtangga petani dimanfaatkan untuk melakukan perbaikan mutu atau konservasi tanah agar dapat dipastikan usahatani menghasilkan produksi yang diperlukan untuk konsumsi keluarganya. Sebaliknya, petani di Pangalengan memiliki tujuan untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya dari usahatani kentang yang diusahakannya. Kentang adalah tanaman komersial cash crop yang memerlukan biaya relatif jauh lebih besar daripada usahatani padi. Apabila berhasil, usahatani kentang mampu memberikan keuntungan finansial yang juga jauh lebih besar daripada usahatani padi. Potensi keuntungan yang besar ini mendorong petani untuk mengintensifkan pemanfaatan lahan usahatani yang digarapnya. Untuk itu semakin besar sumberdaya tenaga kerja yang dimiliki, maka semakin intensif pengusahaan usahatani kentang dilakukan, artinya semakin tinggi tingkat eksploitasi terhadap lahan. Hasil penelitian yang menunjukkan semakin besar jumlah anggota keluarga maka semakin rendah peluang petani melakukan konservasi tanah, ternyata juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Pakpahan dan Syafaat 1991. Pakpahan dan Safaat meneliti petani yang mengusahakan tanaman sayuran kubis di daerah aliran sungai DAS Cimanuk dan Citanduy, Kabupaten Ciamis. Hasil penelitian mereka menunjukkan semakin besar jumlah anggota rumahtangga, maka semakin tinggi tingkat eksploitasi terhadap sumberdaya tanah yang ditunjukkan oleh semakin besarnya peluang terjadinya erosi tidak mengadopsi konservasi tanah. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa bagi petani sayuran adopsi konservasi ditentukan oleh seberapa besar tindakan konservasi itu mampu memberikan keuntungan. Jika petani beranggapan tidak akan memperoleh keuntungan dari