komoditas pertanian dataran tinggi Prasetyo, 2005. Namun karena lokasi Andisols yang umumnya berada di kawasan berlereng pada bentuk wilayah berbukit sampai
bergunung, maka dalam pengelolaannya harus memperhatikan asas kelestarian lingkungan. Pada kenyataannya, hampir di setiap daerah sayuran dataran tinggi
tidak dijumpai teknik-teknik konservasi tanah yang benar, dan aktivitas budidaya sayuran yang intensif serta memiliki curah hujan yang tinggi, mengakibatkan kondisi
tersebut sangat rentan terhadap erosi Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, 2000. Di Indonesia terjadinya erosi terutama disebabkan oleh curah hujan. Hujan di
Indonesia sebagian besar termasuk tipe orografis, yakni makin tinggi suatu tempat semakin tinggi pula curah hujannya, sebaliknya penguapan semakin berkurang.
Makin besar selisih antara curah hujan dengan penguapan mengakibatkan bahaya erosi semakin besar ditunjang dengan kondisi banyaknya lahan berlereng dan
curam. Melihat potensi Andisols dengan tingkat kesuburan yang tinggi, namun berada pada kondisi yang dapat menyebabkan risiko terjadinya erosi, maka dalam
pemanfaatannya sebagai lahan pertanian harus memperhatikan upaya penanggulangan erosi, agar produktivitas lahan tetap dapat dipertahankan.
2.7. Adopsi Sistem Pertanian Konservasi dan Manfaatnya
Sistem pertanian konservasi SPK dapat dikatakan sebagai suatu bentuk inovasi pertanian lahan kering dataran tinggi Sinukaban, 1994 dan Hoesle, 1997
dan sebagai inovasi memerlukan suatu proses sampai diadopsi oleh petani. Menurut Rogers 1995, yang dikenal sebagai guru dalam studi adopsidifusi sejak tahun
1960, menyatakan bahwa adopsi suatu inovasi merupakan proses mental sejak seseorang mengetahui adanya inovasi sampai mengambil keputusan untuk
menerima atau menolak dan kemudian mengukuhkannya. Secara lebih rinci, proses adopsi dapat dibagi dalam lima tahapan yaitu pengenalan, persuasi, keputusan,
implementasi dan konfirmasi. Tiga tahapan terakhir dapat dipandang sebagai satu tahapan implementasi atau adopsi inovasi. Lebih lanjut Rogers mengemukakan
bahwa kecepatan adopsi suatu inovasi dipengaruhi banyak faktor terutama karakteristik inovasi, lingkungan sosial budaya, karakteristik individu petani, dan
kondisi usahataninya. Yang dimaksud adopsi dalam studi ini adalah ‘sudah menerapkan’. Kriteria adopsi atau sudah menerapkan konservasi diketahui dari
melihat langsung di lapang bentuk teknik konservasi mekanik seperti apa yang
digunakan. Adopsi dalam penelitian ini tidak melihat secara rinci proses dari adopsi tersebut seperti yang didefinisikan oleh Rogers.
Studi tentang adopsi teknologi konservasi secara umum pada dasarnya dibangun dari dua pemikiran ilmiah. Pendekatan pertama memberi penekanan pada
peran dominan insentif ekonomi dalam hubungannya dengan penggunaan teknologi tertentu, sedangkan pendekatan kedua menekankan pentingnya variabel-variabel
non-ekonomi dalam proses adopsi. Dasar model ekonomi untuk menganalisis tingkat adopsi petani terhadap teknologi konservasi petani adalah bahwa manfaat
yang positif bersih dapat menghasilkan tingkat kegunaan utility yang lebih tinggi bagi petani. Maksudnya, petani akan mengadopsi teknologi konservasi tanah
apabila manfaat bersih keputusan tersebut net benefit positif, yang juga berarti tingkat kegunaan atau utilitas yang lebih tinggi, misalnya pada produktivitas dan
pendapatan. Keputusan memilih sistem praktek pertanian di lahan berada di tangan petani sendiri. Keputusan yang dibuat biasanya berhubungan dengan tujuan petani
itu sendiri seperti mencari berbagai kemungkinan untuk menaikkan produksi dan juga berhubungan dengan faktor-faktor penghambatkendala yang dihadapi.
Di dataran tinggi Jawa, Barbier 1990 menunjukkan bahwa hubungan antara erodibilitas dan keuntungan dari berbagai bentuk sistem pertanian pada tanah dan
kemiringan yang berbeda merupakan penentu yang penting bagi petani dataran tinggi untuk mengadopsi teknik konservasi tanah. Barbier juga menyatakan bahwa
akses pada input tertentu yang disubsidi seperti pupuk dan bibit terbukti merupakan insentif dalam mengontrol erosi tanah jangka panjang, pencabutan subsidi-subsidi
tersebut akan mendorong berkurangnya investasi pada konservasi tanah. Alimaras et al. 1991 mengemukakan bahwa alasan utama petani
mengadopsi konservasi tanah adalah kelayakan ekonomi. Petani akan melakukan konservasi tanah jika dengan tindakan tersebut petani akan memperoleh
keuntungan yang lebih besar. Pagiola 1999 menyatakan bahwa dalam beberapa kasus, adopsi sistem pertanian konservasi bahkan justru tampak tidak memberikan
hasil yang nyata. Penyebabnya antara lain rendahnya harga output sehingga kenaikan produktivitas tidak berdampak terhadap biaya yang telah dikeluarkan, atau
adanya penghambat lain seperti kemiskinan, kredit, dan status kepemilikan lahan. Pada kasus penanaman pohon oleh petani marjinal di Filipina, Shivelly 1997
mengemukakan bahwa faktor dominan yang mempengaruhi keputusan menanam