Peran Konservasi Tanah Dalam Mencegah Erosi

yang cukup tinggi sehingga dapat mengurangi jumlah aliran permukaan sampai pada batas yang tidak membahayakan, 2 kegiatan pengelolaan lahan yang mampu mengalirkan aliran permukaan dengan aman apabila jumlah hujan sudah melampaui kapasitas infiltrasi tanah Lal, 1981. Berdasarkan tujuan di atas dikenal tiga metode konsevasi tanah yang meliputi metode vegetatif, mekanik dan kimia Arsyad, 2000; Hardjowigeno, 2003. Metode vegetatif dalam konservasi tanah mempunyai tiga fungsi yaitu melindungi tanah terhadap daya perusak butir-butir hujan yang jatuh, melindungi tanah terhadap daya perusak aliran permukaan atau aliran air di atas permukaan tanah, dan memperbaiki kapasitas infiltrasi tanah dan kemampuan tanah menyerap atau mengabsorpsi air. Termasuk dalam konservasi tanah metode vegetatif adalah 1 penghutanan atau penghijauan, 2 penanaman dengan rumput makanan ternak, 3 penanaman dengan tanaman penutup tanah permanen, 4 penanaman tanam- tanaman dalam strip strip cropping 5 pergiliran tanaman dengan tanaman pupuk hijau atau tanaman penutup tanah, 6 penggunaan sisa-sisa tanaman residue management, 7 penanaman saluran-saluran pembuangan air dengan rumput vegetated atau grassed waterways. Arysad 2000 mengemukakan berbagai jenis tanaman atau vegetasi dan penggunaan tanah mempunyai efisiensi yang berlainan dalam konservasi tanah. Vegetasi permanen menunjukkan efisiensi relatif tertinggi, sedangkan tanaman semusim yang biasanya ditanam dalam barisan seperti tembakau, kentang, ubi kayu, dan jagung menunjukkan efisiensi relatif kedua terendah dalam pencegahan erosi. Efisiensi terendah adalah tanah gundul tanpa vegetasi. Konservasi tanah metode mekanik mempunyai dua fungsi, yaitu memperlambat aliran permukaan, dan menampung dan menyalurkan aliran permukaan dengan kekuatan yang tidak merusak. Termasuk konservasi tanah metode mekanik adalah 1 pengolahan tanah tillage, 2 pengolahan tanah menurut kontur, 3 pembuatan galengan dan saluran menurut kontur, 4 pembuatan teras seperti teras tanggabangku dan teras berdasar lebar, 5 perbaikan drainase dan pembangunan irigasi, dan 6 pembuatan waduk, dam penghambat check dam, tanggul dan sebagainya Arsyad, 2000; Hardjowigeno, 2003. Konservasi tanah metode kimia mempunyai fungsi untuk memantapkan struktur tanah karena kemantapan struktur tanah menentukan kepekaan tanah terhadap erosi. Beberapa senyawa kimia yang telah dikembangkan untuk membentuk struktur tanah dan dinamakan soil conditioner. Bahan kimia pemantap tanah ada dua kelompok besar yaitu alami dan sintetis. Kelompok alami organik antara lain getah karet atau lateks Pidio, 2004, sedangkan kelompok sintetis antara lain Polyvinylalcohol PVA, Polyvinyl acetat PVAC, Polyacrymilade PAM, emulsi Bitumen Hardjowigeno, 2003. Metode konservasi tanah yang banyak dan mudah diterapkan petani antara lain adalah pengolahan tanah menurut kontur, guludan, dan teras. Pada pengolahan tanah menurut kontur pembajakan maupun pencangkulan dilakukan menurut kontur atau memotong lereng belit sabuk sehingga terbentuk jalur-jalur tumpukan tanah dan alur yang menurut kontur atau melintang lereng. Pengolahan menurut kontur akan lebih efektif jika diikuti dengan penanaman menurut kontur juga, yaitu barisan tanaman dibuat sejalan dengan arah garis kontur. Arsyad, 2000. Keuntungan utama pengolahan menurut kontur adalah terbentuknya penghambat aliran permukaan yang memungkinkan penyerapan air dan menghindarkan pengangkutan tanah. Oleh karena itu, terutama di daerah beriklim kering, pengolahan menurut kontur juga sangat efektif untuk konservasi air Arsyad, 2000. Guludan adalah adalah tumpukan tanah yang dibuat memanjang memotong lereng atau menurut arah garis kontur. Tinggi tumpukan tanah sekitar 25-30 cm dengan lebar dasar sekitar 25-30 cm. Jarak antar guludan tergantung pada kecuraman lereng, kepekaan erosi tanah dan erosivitas hujan Arsyad, 2000. Untuk tanah yang kepekaan erosinya rendah, guludan dapat diterapkan pada tanah dengan kemiringan sampai 6. Pada lereng yang lebih curam, guludan mungkin tidak akan mampu mengurangi erosi sampai batas yang masih dapat dibiarkan. Untuk itu dipergunakan metode lain yaitu guludan bersaluran yang dibuat memanjang menurut garis kontur atau memotong lereng. Pada guludan bersaluran, di sebelah atas lereng dari guludan dibuat saluran yang memanjang mengikuti guludan. Ukuran guludan pada guludan bersaluran sama seperti ukuran guludan biasa, sedangkan kedalaman saluran adalah 25 sampai 30 cm, lebar permukaan 30 cm Arsyad, 2000. Guludan bersaluran dapat dibuat pada tanah dengan lereng sampai 12. Guludan dapat diperkuat dengan penanaman rumput atau tanaman pohon yang dijaga agar tetap rendah. Pengolahan tanah menurut kontur dan penanaman pada guludan dapat mengurangi erosi 80-90 Hernawati, 1992 Banuwa 1994 melaporkan meskipun intensitas hujan dan tingkat penutupan tajuk tanaman yang berbeda-beda menyebabkan aliran permukaan dan erosi bervariasi, namun tindakan konservasi tanah berupa penanaman sayur pada guludan memotong lereng searah kontur tetap konsisten dan mampu menekan aliran permukaan dan erosi dibanding dengan penanaman sayuran pada guludan searah lereng maupun searah diagonal. Suganda et al. 1997 menyatakan bahwa pengendalian erosi pada pertanian hortikultur kubis dan buncis di desa Batulawang, Pacet, Cianjur pada kemiringan lahan 9-22 dengan ketinggian tempat 1000 m dpl dan jenis tanah andisol dapat dilakukan dengan membuat model bedengan searah kontur dengan model jarak tanam panjang bedeng yang tidak terlalu panjang. Hasil penelitian menunjukkan semakin panjang jarak tanam, semakin tinggi pula aliran permukaan dan erosi. Erfandi et al. 2001 melaporkan bahwa aliran permukaan dan erosi suatu lahan miring dapat diperkecil dengan membuat bedengan searah kontur. Aliran permukaan dan erosi tanah pada tanah Andic Eutropepts di desa Cempaka, kecamatan Cempaka, Cianjur, Jawa Barat dengan ketinggian 800 m dpl dan lereng 10-20 dapat dikurangi hingga masing-masing 70 dan 69. Dengan perlakuan tersebut sifat fisik tanah menjadi lebih baik. Teras berfungsi mengurangi panjang lereng dan menahan air sehingga mengurangi kecepatan dan jumlah aliran permukaan, dan memungkinkan penyerapan air oleh tanah sehingga erosi berkurang. Ada dua tipe utama teras yaitu teras bangku dan teras berdasar lebar. Teras bangku dibuat dengan jalan memotong lereng dan meratakan tanah dibagian bawah sehingga terjadi suatu deretan bentuk tanggabangku. Teras bangku cocok untuk lereng 20 – 30 persen atau lebih, tidak cocok untuk pertanian yang menggunakan mesin-mesin pertanian yang berat. Untuk pembuatannya perlu tenaga dan modal besar. Akibat pemotongan dan perataan tanah, tanah-tanah tidak subur mungkin muncul ke permukaan sebagai tempat untuk ditanami sehingga perlu pemberian pupuk organik. Makin curam lereng, makin sempit teras dan makin kecil pula luas lahan yang dapat ditanami. Pada lereng 30 persen misalnya, dengan jarak vertikal satu meter maka lebar bagian yang dapat ditanami adalah 1.83 m atau hanya 55 luas areal yang dapat ditanami. Teras berdasar lebar merupakan saluran yang permukaannya lebar yang dibuat memotong lereng pada tanah-tanah berombak dan bergelombang tanah berlereng antara 2 – 8 persen. Lebar teras berdasar lebar berkisar 6 – 15 m. Kemampuan sistem pertanian lahan kering dataran tinggi mengontrol erosi dipengaruhi oleh faktor pengelolaan pertanaman dan faktor teknik konservasi tanah Young et al., 1998. Penelitian terhadap berbagai teknik konservasi telah banyak dilakukan, di antaranya telah menghasilkan data berupa nilai faktor C pertanaman dan nilai P teknik konservasi, dan nilai CP Abdurachman dan Sutono, 2002. Model prediksi erosi, seperti USLE Universal Soil Loss Equation, RUSLE Revised Universal Soil Loss Equation, GUEST Griffith University Erosion System Template, SCUAF Soil Change Under Agriculture, Agroforestry, and Forestry, dan lain-lain dapat digunakan untuk memperkirakan apakah teknik pengendalian erosi yang akan diterapkan atau yang sudah diterapkan cukup efektif atau tidak. Apabila laju erosi dari suatu lahan pertanian masih tergolong tinggi, maka perlu dianalisis faktor erosi mana yang masih berpeluang untuk dikurangi pengaruhnya melalui perbaikan-perbaikan tindakan konservasi. Jumlah dan intensitas hujan tidak dapat diubah, sehingga peluang perubahan ada pada faktor erodibilitas tanah K, panjang dan kemiringan lereng LS, dan faktor pengelolaan pertanaman dan tindakan konservasi tanah CP. Nilai faktor tindakan konservasi P sering tidak dapat dipisahkan dari nilai pengelolaan pertanaman C, seperti pembuatan gulud yang diperkuat dengan tanaman rumputlegum, pertanaman dalam strip yang dilengkapi larikan dan saluran memotong lereng, dan sebagainya. Gabungan kedua macam tindakan konservasi tersebut cukup efektif dalam pengendalian erosi. Pemilihan jenis tanaman konservasi yang bernilai jual cukup tinggi, seperti rumput pakan pada guludan, legum, murbei, dan lain-lain, dapat membantu petani dalam menambah pendapatan Abdurachman dan Sutono, 2002. Abujamin et al. 1985 menyatakan bahwa di Indonesia penggunaan rumput sebagai tanaman strip untuk mencegah erosi dan mulsa sisa tanaman untuk rehabilitasi lahan berturut-turut dapat meningkatkan pendapatan petani sebesar US 70 dan 120 masing-masing pada tahun kedua dan ketiga setelah penggunaan rumput dan penggunaan mulsa. Dixon 1995 mengemukakan bahwa biaya rehabilitasi tanah termasuk penanaman kembali, menurut survey lembaga dunia, adalah 500 – 3.000 hath sedangkan untuk melakukan sistem agroforestri pada tanah yang tidak terdegradasi di daerah tropis beriklim sedang dibutuhkan biaya kurang dari 1.000 hath. Sutono et al. 2003 menyatakan bahwa lahan sawah sebagai pertanian penghasil pangan lebih mampu mengendalikan erosi dibandingkan lahan kering. Berdasarkan pendugaan erosi, potensi erosi pada lahan sawah lebih rendah 0.3-1.5 tonhatahun dibandingkan dengan lahan kering 5.7-16.5 tonhatahun. Lahan sawah merupakan salah satu ekosistem yang stabil, sehingga jumlah erosinyapun sangat kecil. Sawah mempunyai banyak fungsi, selain sebagai fungsi produksi, juga sebagai fungsi penyelamat lingkungan dan memperpanjang usia bendungan. Sawah lebih mampu mengurangi sedimentasi bendungan karena erosinya lebih kecil dibandingkan lahan tegalan. Perubahan luas lahan sawah akan berpengaruh terhadap besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk pemeliharaan bendungan, saluran air, dan situ-situ penampung air.

2.5. Pertanian Lahan Kering Dataran Tinggi dan Sistem Pertanian Konservasi SPK

Lahan kering adalah hamparan lahan yang tidak pernah digenangi atau tergenang air pada sebagian besar waktu dalam setahun, sedangkan yang dimaksud dengan lahan kering dataran tinggi adalah hamparan lahan kering yang terletak pada ketinggian lebih dari 700 m dpl 700 – 2500 m dpl. Suhu udara tergolong sejuk sampai dingin. Pertanian lahan kering adalah suatu sistem pertanian yang dilaksanakan di atas lahan tanpa menggunakan irigasi, dimana kebutuhan air hanya bergantung pada curah hujan. Beberapa ciri biofisik pertanian lahan kering diantaranya adalah tingkat kesuburan tanah yang rendah, pH tanah masam, kandungan bahan organik dan unsur hara tanah yang terbatas, berada pada wilayah hulu upland dan topografi berlereng. Carson 1989 menyatakan secara umum upaya pengelolaan pertanian lahan kering dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu: 1 memperbaiki praktek usahatani konvensional bibit unggul, peningkatan penggunaan bahan organik, dan sebagainya, 2 pengelolaan tanaman dan pola tanam, 3 pemberian mulsa, 4 diversifikasi komoditas pertanian, 5 pengendalian hama dan penyakit terpadu dan 6 konservasi tanah mekanik, vegetatif atau kimia. Lahan kering dataran tinggi yang berada pada wilayah beriklim basah pada umumnya akan cepat mengalami degradasi apabila diusahakan atau dikelola tanpa disertai usaha-usaha konservasi yang tepat. Potensi degradasi lahan ini akan semakin tinggi bila wilayah tersebut mempunyai curah hujan dengan intensitas yang tinggi, tanah peka erosi, lereng curam, dan pola tanam yang diterapkan kurang baik. Kondisi tersebut menyebabkan terjadinya penurunan produktivitas lahan. Permasalahan pada usahatani lahan kering dataran tinggi adalah keberlanjutan dalam produktivitasnya di masa mendatang yang akhir-akhir ini ternyata menurun atau mengalami stagnasi pada tingkat input yang lebih tinggi. Sitorus 2004b menyatakan bahwa penurunan produktivitas usahatani lahan kering dataran tinggi tersebut karena adanya kendala pada lahan kering dataran tinggi dalam pemanfaatannya untuk pertanian yaitu: 1 kendala fisik-relief dengan lereng curam berbukit sampai bergunung yang peka terhadap erosi dan longsor, 2 berkurangnya kesuburan tanah karena erosi sehingga terjadi penurunan produktivitas lahan, 3 kendala sosial budaya keluarga petani yang mempunyai sifat individualisme yang tinggi. Dengan adanya kendala tersebut, maka pola pengembangan pertanian di lahan kering dataran tinggi di masa mendatang selain perlu memperhatikan kondisi sosial-ekonomi, harus pula didasarkan atas karakteristik lahan, dan kesesuaian jenisvarietas komoditas pertanian yang akan dikembangkan, serta lingkungan. Agar produktivitas dan kelestarian lahan lebih terjamin, maka perlu penerapan teknologi maju sesuai dengan kondisi spesifik lokasinya, antara lain berupa penggunaan varietas unggul, pemupukan, rehabilitasi dan konservasi tanah, pencegahan hamapenyakit, dan mekanisasi pertanian Abdurachman, 2001. Sinukaban 1994 menyatakan fokus pendekatan baru untuk pembangunan pertanian berkelanjutan adalah dengan menerapkan Sistem Pertanian Konservasi Conservation Farming System. Sistem Pertanian Konservasi SPK adalah sistem pertanian yang mengintegrasikan tindakanteknik konservasi tanah dan air ke dalam sistem pertanian yang telah ada dengan tujuan untuk meningkatkan pendapatan petani, meningkatkan kesejahteraan petani dan sekaligus menekan kerusakan tanah oleh erosi sehingga sistem pertanian tersebut dapat berlanjut secara terus menerus