Karakteristik Sistem Usahatani Responden

Tabel 14 Pengalaman bertani responden Lama Bertani tahun Jumlah Responden Persentase 5 – 9 15 8.3 10 – 19 62 34.4 20 – 29 61 34.0 30 42 23.3 Jumlah 180 100 Jumlah anggota keluarga petani rata-rata 3.4 orang. Walaupun wawancara yang dilakukan terfokus pada rumahtangga petani, di lapang ditemukan juga ada kepala rumahtangga yang tidak berpartisipasi sepenuhnya dalam kegiatan pertanian karena bekerja sebagai pedagang sayuran, pegawai negeri guruABRI, sehingga hanya keluarganya yang terlibat. Selain sebagai petani ada juga petani yang membuka toko, berdagang, membuka industri keripik kentang, dan sebagainya untuk menambah pendapatan di luar pertanian. Dari 180 responden, terdapat 65 responden 30 yang mempunyai pendapatan di luar usahatani dengan pendapatan berkisar antara Rp. 500 000 – Rp 30 juta per bulan. Istri petani pada umumnya juga ikut bekerja di lahan pertaniannya. Pengalaman Kursus Usahatani, Anggota Organisasi Petani dan Konservasi Dari 180 responden yang diwawancara, sebanyak 65 responden pernah mengikuti kursus yang berhubungan dengan usahatani, terlibat dalam organisasi petani maupun organisasi yang berhubungan konservasi. Tabel 15. Lama rata-rata responden aktif dalam organisasi KUT 1 - 2 tahun. Petani yang ikut aktif dalam organisasi KUT ini mengatakan tidak terlalu banyak mendapat manfaat dari organisasi tersebut karena aktifitas dalam KUT tersebut hanyalah dalam bentuk peminjaman uang. Ada 4 responden yang pernah mengikuti kursus Pengendalian Hama Terpadu yang diselenggarakan lembaga swasta, dengan tingkat pendidikan 2 orang SMA, 1 orang SMP dan 1 orang SD. Namun ke empat responden ini kembali menggunakan pengontrolan hama secara tradisional melalui pemakaian pestisida secara teratur tanpa memperhatikan konsentrasijumlah hama di lahan. Alasan mereka kembali ke cara tradisional adalah alasan waktu dan tenaga kerja. Lahan di Pangalengan juga sering menjadi praktek Pengendalian Hama Terpadu bagi mahasiswa pertanian dari berbagai perguruan tinggi antara lain Institut Pertanian Bogor IPB, Universitas Padjadjaran, dan sebagainya. Walaupun petani mengetahui adanya manfaat pengendalian hama tepadu ini, namun seperti yang disebutkan sebelumnya karena pertimbangan waktu dan tenaga kerja maka adanya praktek pengendalian hama terpadu di daerah mereka tersebut tidak memberikan pengaruh sama sekali. Responden yang pernah mengikuti organisasi yang berhubungan dengan lingkungankonservasi hanya 3 orang dengan tingkat pendidikan 2 orang SD dan 1 orang SMP. Bentuk organisasi konservasinya adalah organisasi Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan GERHAN, Kursus Konservasi Hutan, dan Lembaga Masyarakat Desa Hutan. Ke empat orang ini mendapat pelatihan dari Dinas Kehutanan. Lembaga Masyarakat Desa Hutan yang ada di Pangalengan merupakan kerjasama antara pemerintah daerah kecamatan Pangalengan dengan Dinas Kehutanan berupa penanaman kopi dilereng-lereng hutan yang gundul. Bentuk kerja sama adalah bagi hasil panen kopi, 90 untuk petani dan sisanya 10 untuk Dinas Kehutanan. Demikian juga dengan GERHAN, insentif yang diberikan berupa bibit tanaman keras dan biaya penanaman. Tabel 15 Pengalaman kursus usahatani dan organisasi responden Jenis Kegiatan Jumlah Koperasi Unid Desa KUD 9 Kelompok Usaha Tani KUT 48 Konservasi 3 Kursus PHT Pengendalian Hama Terpadu 4 Asosiasi P.D. Hikmah 1 Jumlah 65 Secara keseluruhan, hampir sebagian besar responden 63.9 tidak pernah mengikuti kursus atau terlibat organisasi apapun. Pengetahuan mereka tentang budidaya hortikultur didapatkan dari pengalaman keluarga atau dari sesama teman. Peran Petugas Penyuluh Lapang dalam Kaitannya dengan Usahatani dan Konservasi Kecamatan Pangalengan mempunyai empat petugas penyuluh pertanian lapang PPL. Dua orang PPL berstatus Pegawai Negeri dari Dinas Pertanian Kabupaten dan dua orang lagi berstatus PPL yang diperbantukan untuk mendampingi PPL yang sudah ada, dari Dinas Propinsi. Empat PPL tersebut berasal dari daerah Pangalengan. Tiga orang PPL berpendidikan Sekolah Pendidikan Pertanian Menengah Atas SPPMA dan satu orang berpendidikan Sekolah Menengah Atas SMA yang kemudian dilatih dasar penyuluhan pertanian oleh Balai Penelitian Pertanian. Satu orang PPL mempunyai keahlian dalam usahatani tomat sesuai dengan spesialisasi pendidikan, satu orang lagi mempunyai ketrampilan dalam menanam budidaya bawang merah. Mayoritas petani desa Lamajang dan desa Tribaktimulya lebih menyukai menanam bawang merah karena desa tersebut tidak begitu baik untuk ditanam kentang. Dari empat PPL yang bertugas, satu orang mengerti konservasi tanah dan air cukup baik karena pernah mendapat kursus mengenai konservasi tanah dan Pengendalian Hama Terpadu PHT selama 6 bulan dari perusahaan obat. Pada umumnya ke empat PPL tersebut pernah mendengar apa yang dimaksud dengan pertanian konservasi, dalam hubungannya dengan budidaya tanaman hortikultur dan kemiringan lereng, walaupun tidak secara mendalam. Mereka mendengar dari Dinas Kehutanan, Dinas Lingkungan Hidup atau perusahaan pupuk maupun obat-obatan yang datang ke Pangalengan. Dari sudut pandang PPL permasalahan yang ditemui oleh PPL dalam melaksanakan tugasnya adalah: 1. Dengan luasan wilayah yang besar dan jumlah petani yang banyak, empat orang PPL tidak cukup. Menurut kordinator PPL yang ada, seharusnya Pangalengan dilayani oleh minimal delapan PPL. Kordinator PPL sendiri mengakui bahwa dalam tugasnya, 75 waktunya habis untuk masalah-masalah dinas seperti pengaturan, rapat dan sebagainya, sedangkan untuk pelayanan kepada petani hanya 25. Hal ini mengakibatkan sistem pembinaan dan penyuluhan kemasyarakatan belum optimal, ditambah lagi banyaknya formulator obat dan pupuk yang datang ke Pangalengan. 2. Alasan petani tidak mau menanam dengan teras dan penanaman searah kontur adalah di samping pengurangan luas lahan untuk ditanam, juga meningkatkan resiko serangan penyakit layu bakteri. Alasan lain tidak mengadopsi konservasi tanah adalah lahan yang berstatus sewa. 3. Alasan petani lebih suka menanam searah lereng antara lain mereka tidak merasakan secara langsung manfaat menanam teras bangku maupun searah kontur. Menanam searah lereng lebih mudah dalam pengelolaannya, baik dalam pencangkulan, lebih sedikit waktu dan tenaga kerja, air lancar waktu hujan dan mengurangi penyakit 4. Jumlah petani semakin meningkat sementara areal lahan pertanian tetap. Luas areal lahan petani rata-rata 0.6 ha. 5. Pemakaian pupuk dan pestisida yang semakin meningkat dari tahun ke tahun, kekurangan bibit tanaman, dan harga produksi yang tidak stabil. 6. Hambatan permodalan. Cukup banyak petani 20-30 yang modalnya sangat tergantung tengkulak bandar sehingga ketika panen petani tidak mempunyai hak untuk menentukan harga jual hasil panennya. Dari 180 responden yang diwawancara, 113 62.8 responden menyatakan mereka tidak pernah bertemu dengan PPL sama sekali. Sedangkan sebanyak 57 31.7 responden menyatakan bertemu dengan PPL hanya jika PPL datang ke desanya mendampingi perusahaan obat atau pupuk untuk menawarkan harga dan jenis produknya. Dalam pertemuan ini PPL tidak pernah menyinggung konservasi tanah dan air sama sekali. Hanya 10 5.5 responden yang menyatakan pernah mendengar tentang konservasi tanah dan air melalui teknik penanaman searah kontur maupun teras bangku. Mereka mendengar dari pegawai Dinas Kehutanan yang didampingi oleh PPL. Penggunaan Lahan dan Intensitas Penanaman. Luas areal pertanian keseluruhan wilayah Pangalengan adalah 6 223 hektar. Petani Pangalengan dapat memiliki lebih dari satu plot lahan, baik di lokasi yang saling berdekatan atau lokasi yang agak jauh beda desa. Hal ini memungkinkan petani untuk menanam lebih dari satu macam komoditas pada plot yang berbeda dalam satu musim dengan tujuan untuk menghindari ketidakpastian dan resiko gagal produksi dari sistem penanaman monokultur. Bagi petani yang lahannya tidak terlalu luas, mereka juga melakukan budidaya tumpang sari. Walaupun ada tanaman padi dan palawija jagung, ubi kayu, kacang tanah, ubi jalar kegiatan utama pertanian yang diusahakan masyarakat di kecamatan Pangalengan adalah pertanian hortikultur sayuran seperti kentang, kubis, tomat, wortel, cabe, petsay, lobak, bawang merah dan bawang daun. Pada tahun 2004, Kecamatan Pangalengan menjadi salah salah satu kecamatan dari tiga besar kecamatan dari 43 kecamatan penghasil jagung di Kabupaten Bandung Tabel 16. Pada musim kemarau, khususnya petani kecil, dalam mengatasi kekurangan air petani biasanya menanam jagung di lahannya dengan alasan jagung tidak memerlukan air yang banyak dan pengolahannya sederhana. Tabel 16 Luas tanam, panen, produksi dan produktivitas Jagung di Tiga Kecamatan, Kabupaten Bandung, 2004. Kecamatan Luas Tanam ha Luas Panen ha Produksi ton Pangalengan 3 170 2560 11 391 Cipeundeuy 1 752 1665 7 825 Nagreg 1 752 1529 6 799 Sumber: Dinas Pertanian, Kabupaten Bandung 2004 Untuk jenis sayuran, dari tujuh utama jenis sayuran di Pangalengan, tanaman kentang paling banyak ditanam yaitu 9788 ha, diikuti oleh kubis, wortel, tomat, petsai dan cabe Tabel 17. Petani Pangalengan lebih mengutamakan menanam kentang di lahan usahataninya. Dapat dikatakan bahwa petani menanam sayuran tertentu lebih dari sekali dalam satu tahun. Hal ini diindikasikan dengan tingginya penanaman jumlah tanaman yang di tanam dibandingkan dengan luas areal pertanian yang tersedia. Sebagai contoh: total luas tanam dari enam jenis sayuran di Pangalengan adalah 24 057 ha, tetapi luas areal pertanian sesungguhnya adalah 6 223 ha. Ini berarti bahwa petani menanam jenis sayuran hampir empat kali ± 3.9 kali setahun. Tabel 17 Luas tanam, luas panen dan produktivitas enam jenis sayuran di Kecamatan Pangalengan, 2004 Jenis Sayuran Luas Tanam ha Luas Panen ha Produktivitas tonha Kentang 9 778 9 331 19.9 Kubis 5 695 5 695 27.8 Wortel 2 267 2 019 18.2 Tomat 2 109 2 098 24.0 Petsai 1 961 1 744 14.2 Bawang merah 1 651 1 483 10.7 Cabe 596 530 6.3 Jumlah 24 057 22 900 Sumber: Dinas Pertanian, Kabupaten Bandung 2004 Sebagian besar komoditas yang ditanam di Pangalengan dipanen dalam 2 – 3 bulan, tetapi tomat dan cabe 5-6 bulan untuk setiap musim. Perbedaan waktu panen mempengaruhi jumlah tanaman yang dapat dirotasi pada lahan yang sama dalam satu tahun. Khusus untuk kentang, petani Pangalengan menanam minimal 2 kali dalam setahun. Intensitas penanaman kentang didefinisikan sebagai rasio jumlah lahan yang ditanami kentang dengan jumlah areal yang diusahakan petani dalam satu tahun. Luas keseluruhan lahan 180 responden adalah adalah 106.5 ha. Maka intensitas penanaman jenis sayuran adalah 213. Dengan asumsi bila untuk penanaman kentang satu musim 90 – 100 hari, maka lahan pertanian akan ditanami kentang kira-kira 200 hari dalam satu tahun. Rotasi penanaman komoditas dari 180 responden dalam satu tahun adalah mayoritas responden menanam kentang 2 kali dengan dengan disela kubis, tomat, cabe atau bawang merah. Dari 180 responden, ada 167 92 responden yang pada masa tanam 2005 sudah menanan tanaman kentang, dan di antaranya sebanyak 97 responden 58 sudah menanam kentang 2 kali. Pemilihan komoditas dalam rotasi tanam ini juga dipengaruhi oleh sifat dan keuntungan yang didapat dari usahatani setiap komoditas. Analisis usahatani beberapa komoditas pertanian kabupaten Bandung dapat dilihat pada Tabel 18. Walaupun RC kentang lebih rendah dari RC wortel, cabe, tomat, bawang merah dan kubis, masa tanam yang pendek, sifat komoditas yang lebih tahan lama serta komersial, dan harga yang stabil menjadi pertimbangan petani lebih menyukai menanam kentang dibandingkan komoditas lainnya. Tabel 18 Analisis usahatani beberapa komoditas pertanian, per hektar, 2004 Komoditas Hasil kg Harga Rpkg Hasil Rp Total Biaya Produksi Rp Pendapatan Usahatani Rp RC Jagung 11391 100 11391000 11372809 18191 - Kentang 19900 2000 39800000 27498667 12301333 1.4 Kubis 27800 935 25993000 16257166 9735834 1.5 Wortel 18050 965 17418250 6220000 11198250 2.7 Tomat 23835 1896 45191160 26139001 19147499 1.7 Petsay 14250 500 7125000 5665000 1 460000 1.2 Bw. Merah 10744 2800 30083200 15322425 14760775 2 Cabe 6356 3500 22246000 10120000 12126000 2.1 Sumber: Dinas Pertanian, Kabupaten Bandung 2004 Budidaya Pertanian Persiapan lahan dilakukan dengan mencangkul tanah 1 atau 2 kali tergantung jenis tanaman yang akan ditanam. Pada umumnya untuk penanaman kentang lahan dipersiapkan secara intensif tetapi dengan pembalikan tanah minimum minimum tillage. Di Pangalengan terdapat tiga bentuk sistem penanaman yang umum digunakan petani yaitu penanaman pada guludan searah lereng, penanaman pada guludan searah kontur dan penanaman dengan sistem teras bangku. Guludan yang dibuat searah lereng maupun searah kontur berbentuk guludan drainase tunggal yaitu setiap satu baris guludan ada saluran. Saluran tersebut berfungsi sebagai drainase. Di lapang ditemukan juga ada enam responden menanam pada guludan searah diagonal. Namun dalam kaitannya dengan konservasi, penanaman pada guludan searah diagonal tidak dimasukkan dalam tindakan konservasi karena pada percobaan erosi di lapang antara penanaman di atas guludan searah diagonal dengan searah lereng hasilnya tidak signifikan Banuwa, 1994. Sistem penanaman pada guludan searah lereng, searah kontur dan teras bangku tertera pada Gambar 5, 6, dan 7. Tidak ada perbedaan persiapan pada sistem penanaman maupun pada perbedaan kemiringan lereng, kecuali jarak tanam tergantung jenis tanaman yang akan ditanam. Metode persiapan lahan lebih didasarkan pada komoditas yang akan ditanam dibanding pada jenis tanah dan kemiringan lereng. Gambar 5 Penanaman pada guludan searah lereng Petani menanam dengan dua metode yaitu menanam langsung bijibenihnya dan menanam tanaman yang bijinya sudah disemaikan terlebih dahulu tanaman kecil. Menanam langsung dengan bijinya biasanya dilakukan pada tanaman kentang, wortel, dan kacangbuncis sedangkan metode penanaman dengan tanaman kecil dilakukan pada tanaman kubis, tomat, cabe, lettuce, seledri, dan sebagainya. Persiapan bibit untuk persemaian sekitar 3-4 minggu. Gambar 6 Penanaman pada guludan searah kontur Gambar 7 Penanaman kentang dengan teras bangku Petani Pangalengan sering mengeluh akan ketersediaan bibit terutama bibit kentang. Pasokan bibit kentang di Pangalengan berasal dari pemerintah, baik impor maupun dari Dinas Pertanian serta pembibitan swasta. Bibit kentang import yang masuk ke Pangalengan biasanya berasal dari Belanda dan Australia untuk jenis granola, serta Amerika untuk jenis atlantik. Bibit import ini lebih sering tidak tersedia untuk dalam jangka waktu yang lama. Umumnya yang banyak ditanam di Pangalengan adalah jenis granola karena jenis atlantik memerlukan persyaratan yang lebih sulit dibanding granola, dan biaya produksi yang dibutuhkan lebih tinggi. Menurut Kepala Unit Pelaksana Teknis Dinas UPTD Balai Benih Kentang Dinas Pertanian Pangan, Jawa Barat yang ada di Pangalengan tugas UPTD adalah memperbanyak produksi kualitas benih kentang bersertifikat. Jenis bibit kentang yang diproduksi adalah kentang granola G0, G1, dan G2. Walaupun UPTD mempunyai fasilitas teknologi, seperti tiga rumah kaca dan laboratorium, yang baik atas bantuan pemerintah Jepang, namun UPTD tidak mampu memenuhi permintaan pasar benih yang begitu tinggi. Kendala utama adalah karena UPDT tidak punya lahan yang cukup untuk memproduksi bibit bersertifikat. Dengan tiga rumah kaca yang dimiliki seharusnya UPTD dapat menanam 5 hektar kentang untuk satu kali tanam Lahan yang dimiliki UPTD hanya 3 hektar yang berarti yang dapat ditanami hanya 1 hektar karena lahan sisanya harus diistirahatkan rotasi sebagai syarat lahan untuk pembibitan. Untuk dapat menanam bibit sekaligus 5 ha maka dibutuhkan lahan sebanyak 15 ha termasuk lahan rotasi. Disamping tidak mempunyai dana, sulit mencari lahan yang baik untuk pembibitan seluas 15 ha di Pangalengan. Usaha yang dilakukan UPDT adalah menyewa lahan, sehingga setiap penanaman dilakukan di lahan seluas 2 ha 1 ha di tanah UPDT, 1 ha di lahan sewa. Kerusakan di lahan sewa sangat tinggi, meskipun produktivitas tinggi, tapi kualitas bibit turun sampai 50. Penyebabnya adalah mungkin sejarah lahan yang disewa memang tidak baik. UPDT pernah menyewa lahan yang cukup luas dari Pemda Jawa Barat, tetapi dijarah oleh penduduk. Di lapang memang ditemukan beberapa petani yang mengolah usahataninya di lahan yang status lahannya dalam sengketa milik Pemda yang sedang dalam sengketa. Usaha lain yang dilakukan UPDT untuk memperbanyak produksi bibit bersertifikasi adalah dengan menjalin kerjasama dengan swasta PD Mahmin - perusahaan Pemda, PD Hikmah - kuat secara modal maupun lahan yang luas, dan Paguyuban - beranggotakan 11 petani yang dididik yang bergerak dalam penangkaran. Tidak semua petani boleh mengeluarkan bibit, karena bibit yang berkualitas dan bersertifikasi membutuhkan syarat pembibitan yang ketat. Dengan sistem pembibitan yang dimiliki UPDT saat ini, maka UPDT hanya mampu memenuhi kebutuhan bibit kentang di Jawa Barat sebanyak 4, termasuk Pangalengan. Kepala UPDT Pangalengan menyatakan bahwa pasar benih UPDT Pangalengan selain Jawa Barat sendiri adalah Sumatera Utara G0 dan Jawa Tengah. Sistem penanaman yang dilakukan UPTD adalah sama dengan petani yang ada di Pangalengan. Untuk lahan yang landai tidak mempermasalahkan arah guludan, sedangkan untuk lahan-lahan yang curam penanaman mengikuti arah kontur. Perbedaannya adalah pada sistem pengontrolan Hama Penyakit dan Tanaman HPT yang ketat. Penanaman kentang dengan pengolahan lahan serta bibit jenis granola yang baik dapat menghasilkan produksi berkisar 30-40 ton per ha. Petani menggunakan dua jenis pupuk: pupuk organik dan anorganik. Sumber pupuk organik biasanya adalah kotoran ayam kandang baterai, sapi maupun kambing. Sedangkan sumber pupuk anorganik adalah pupuk NPK dari Urea, TSP dan KCL. Pupuk organik digunakan sebagai pupuk dasar dalam tanah sementara pupuk anorganik digunakan sebagai pupuk yang ditaburkan di atas permukaan tanah, walupun kadang-kadang digunakan juga sebagai pupuk dasar dalam tanah. Pestisida digunakan secara teratur dengan mencampurkan beberapa jenis pestisida fungisida dan insektisida untuk mengontrol hama dan penyakit. Petani kadang-kadang juag memakai obat pemacu pertumbuhan pupuk cair yang dicampur bersama dengan pestisida yang disemprotkan. Jumlah pupuk dan pestisida yang digunakan berbeda untuk setiap tanaman yang ditanam. Kebutuhan pupuk organik, pupuk NPK dan pestisida tanaman kentang berbeda dengan untuk kebutuhan tanaman kubis atau tanaman sayuran lainnya. Dalam melakukan usahataninya, petani Pangalengan juga sering menggunakan mulsa sintetis plastik polietilen dengan dua permukaan yang disebut mulsa plastik perak hitam Gambar 8 Permukaan hitam menghadap tanah dengan tujuan membatasi radiasi matahari yang menembus sampai ke permukaan tanah sehingga permukaan tanah gelap, sedangkan warna perak menghadap ke atas tanah agar pemantulan sinar matahari menjadi lebih tinggi sehingga radiasi matahari yang diterima daun-daun tanaman menjadi lebih banyak mempertinggi proses fotontesa. Manfaat dari penggunaan mulsa adalah: 1. Menghindari tumbuhnya gulma tanaman pengganggu sehingga mengurangi persaingan tanaman memperoleh sinar mata dan penyerapan hara tanah. 2. Pada musim hujan dapat menahan hantaman butiran air hujan sehingga agregat tanah tetap stabil dan terhindar dari proses penghancuran memperkecil erosi. 3. Mencegah evaporasi penguapan air tanah langsung dari permukaan tanah. 4. Menurunkan suhu tanah. 5. Mengurangi tenaga kerja dan biaya antara lain pemupukan, penyiraman, dan penyiangan tidak menyita waktu. 6. Meningkatkan produktivitas tanaman. Gambar 8 Penggunaan mulsa plastik perak hitam Dari 180 responden yang diwawancara, 87 responden mempergunakan mulsa plastik perak hitam. Harga mulsa ini cukup mahal, yaitu Rp 320 000,- per gulung ± 19 m pada tahun 2005. Untuk semua aktivitas produksi, biasanya petani membayar tenaga kerja. Tetapi untuk pekerjaan seperti persiapan lahan, menanam, panen dan pengangkutan hasil panen, petani memerlukan jumlah tenaga kerja yang lebih besar. Tenaga kerja yang dibayar bekerja selama 8 jam per hari. Tidak ada perbedaan antara pekerja wanita dan pekerja pria. Luas garapan, Status Lahan, dan Jarak Lahan Luas garapan lahan rata-rata petani Pangalengan menurut Dinas Pertanian Kabupaten Bandung 2004 adalah 0.3 ha. Luas garapan lahan rata-rata responden untuk tanaman kentang adalah 0.6 ha. Luas keseluruhan lahan 180 responden yang ditanami kentang adalah 106.5 ha yang terdiri dari lahan dengan sistem penanaman searah lereng seluas 57.6 ha, lahan dengan sistem penaman searah kontur 13.2 ha, dan lahan dengan sistem penanaman teras bangku sebanyak 35.7 ha. Dari 106.5 ha lahan yang ditanami kentang terlihat bahwa 54 57.6 ha dari lahan tersebut belum menggunakan sitem pertanian konservasi. Hal ini juga diikuti oleh tingginya jumlah responden yang menanam searah lereng Tabel 19. Tabel 19 Sistem tanam responden Sistem penanaman Jumlah responden Luas lahan ha Searah lereng 96 57.6 Searah Kontur 33 13.2 Teras bangku 51 35.7 Jumlah 180 106.5 Ā = 0.6 ha Dari 180 responden yang diwawancara, responden yang melakukan usahatani di lahan milik sebanyak 77 responden 42.78, sedangkan yang melakukan usahatani dilahan sewa 103 responden 57.22. Penentuan status lahan ini berdasarkan penggunaan lahan yang diamati langsung di lapang. Selain melakukan usahatani di lahan miliknya sendiri, banyak juga petani yang menambah usahataninya dengan meningkatkan luas lahannya dengan cara menyewa lahan milik orang lain. Jarak rata-rata lahan garapan sebagian besar responden 80 dari rumah berkisar 0.5 – 1 km. Namun ada juga lahan responden berjarak di atas 5 km dari rumah. Pada umumnya jarak lahan tidak menjadi kendala bagi petani karena akses untuk memperoleh faktor-faktor produksi dan panen mudah. Permasalahan Usahatani Sayuran di Pangalengan Seperti daerah penghasil sayuran lainnya di Indonesia, berdasarkan hasil wawancara dengan responden ada beberapa masalah usahatani yang ditemukan dalam studi ini. Masalah-masalah tersebut adalah produktivitas yang rendah, harga yang sangat berfluktuasi, rendahnya infrastruktur penunjang baik di sisi produksinya sendiri maupun aktivitas pemasarannya, ketidakpastian akan ketersediaan benih maupun input kimia pupuk dan pestisida. Petani di Pangalengan juga diperhadapkan dengan ketidakpastian iklim, seperti curah hujan yang tinggi terutama selama bulan Desember sampai Februari atau musim kemarau dari Juli sampai September. Hal ini juga diikuti oleh keadaan kelembaban udara yang cukup tinggi serta turun naiknya temperatur yang menjadi lingkungan yang baik untuk penyebaran hama dan penyakit. Petani lahan kecil sering terjebak meminjam modal pada tengkulak bandar sehingga bila panen mengalami kesulitan untuk menjual sendiri hasil panennya ditentukan bandar. Isu-isu di atas mengakibatkan sistem usahatani hortikultur di Pangalengan menghasilkan pendapatan usahatani yang tidak stabil, yang secara langsung berakibat pada pola budidaya usahatani non- konservasi yang dipilih, dan pada akhirnya memacu lebih terjadinya erosi tanah dan kerusakan lingkungan.

BAB V. ADOPSI SISTEM PERTANIAN KONSERVASI

Manfaat pertanian bagi manusia sangat besar dan yang bisa langsung dirasakan manfaatnya adalah hasil produksinya. Namun demikian sering manfaat usahatani ini hanya dilihat dari produksinya atau manfaat sesaat saja, tanpa mempertimbangkan jangka panjang seperti kelestarian atau kesuburan tanah di masa mendatang. Mengacu pada Brundlant ComissionWECD 1987 yang menyatakan bahwa “Development is sustainable when today’s action not compromise the development prospects of future generation” maka yang dimaksud pertanian berkelanjutan adalah ‘ successfully managing resources for agricultural production, such that changing human needs met while the quality of the environment is maintained or improved and natural resource are preserved TACCGIAR, 1988 . Pada awal tahun 1980-an muncul suatu konsep pertanian yang disebut conservation farming system atau sistem pertanian konservasi SPK. Konsep SPK ini merupakan perkembangan dari concept of site-appropriate farming yaitu bentuk pertanian yang teknik produksinya disesuaikan dengan kondisi tanah dan iklim lokasi pertanian. Konsep tersebut muncul berdasarkan pengalaman pada pengembangan pertanian dataran tinggi. SPK mengacu pada berbagai bentuk pertanian palawija, sayuran, buah-buahan, perkebunan, dan sebagainya yang dalam pengelolaannya sudah menerapkan atau mengintegrasikan teknik konservasi tanah dan iklim dari lokasi pertanian dengan tujuan meningkatkan pendapatan dan memelihara lingkungan secara berkelanjutan Hoesle, 1997. Oleh karena itu SPK bersifat spesifik untuk setiap lokasi. SPK sering dihubungkan dengan pertanian dataran tinggi karena pada areal pertanian lahan kering dataran tinggi biasanya berkaitan dengan ancaman erosi sehingga hal yang paling mendasar untuk dilakukan pada pertanian dataran tinggi adalah mengkonservasi tanah dan kesuburannya. Jika kesuburan tanah berkurang maka akan berpengaruh terhadap keberlangsungan ekonomi manusia juga. Inilah yang menjadi prinsip mengelola sistem pertanian dataran tinggi dengan teknik-teknik yang bersifat mengkonservasi tanah. Tanah merupakan sumberdaya utama dari pertanian, oleh karena itu mengkonservasi tanah atau pengelolaan lahan berkelanjutan, termasuk melindungi sumber-sumber air tanah, merupakan prasyarat untuk menghasilkan pertanian berkelanjutan. Smyth dan Dumanski 1993 menyatakan “sustainable land management combines technologies, policies and activities aim at integrating socio- economic principles with environmental concerns”. Dari definisi tersebut didapat pengertian bahwa tujuan pengelolaan lahan berkelanjutan, selain mampu meningkatkan produktivitas juga mampu mengurangi resiko pada tingkat produksi, mempertahankan dan melindungi sumberdaya tanah dan air, dan juga secara sosial diterima. Pada awalnya bentuk praktek penggunaan lahan secara individu petani tidak berpengaruh langsung pada kerusakan tanah, namun karena praktek penggunaan lahan terjadi terus-menerus maka secara kolektif praktek penggunaan lahan tersebut akan berpengaruh terhadap kerusakan tanah. Peningkatan frekuensi dan intensitas kejadian banjir dan kekeringan di Indonesia akhir-akhir ini menunjukkan belum diterapkannya teknik konservasi tanah dan air oleh petani secara meluas, serta belum efektifnya tindakan konservasi tanah yang diadopsi petani untuk menyimpan air. Teknik budidaya dan konservasi tanah yang diadopsi petani untuk pertanian lahan kering masih belum efektif memanfaatkan air hujan sebagai sumber air, karena kelebihan air hujan yang belum terinfiltrasi dibiarkan terbuang melalui saluran batas bedengan dan saluran pembuangan air SPA pada bangunan konservasi seperti teras gulud dan teras bangku pada lahan berlereng. Terbuangnya air hujan melalui aliran permukaan berarti hilangnya kesempatan air hujan meresap ke dalam tanah untuk menjadi cadangan air yang sangat diperlukan pada saat hujan tidak turun. Aliran permukaan mengakibatkan kehilangan bahan yang terlarut unsur hara, pupuk, dan pestisida maupun yang terangkut berupa bahan organik, dan bahan tanah liat dan debu serta mikroba yang dapat mencemari lingkungan yang dilewati. Aliran permukaan yang terbuang dari areal yang luas akibat perluasan pertanian lahan kering yang biasanya terjadi di bagian tengah dan hulu daerah aliran sungai DAS telah menyebabkan bencana banjir dan kekeringan di bagian hilir yang merupakan lahan pertanian yang relatif subur. Penerapan sistem pertanian konservasi pada usahatani sayuran Pangalengan tentunya akan mampu mencegah berbagai permasalahan yang ada di Pangalengan seperti penurunan produktivitas, erosi tanah, dan adanya lahan kritis.

5.1. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Adopsi Sistem Pertanian Konservasi

Mengingat sebagian besar wilayah Kecamatan Pangalengan didominasi oleh bentuk lahan berbukit sampai bergunung berada pada ketinggian ± 1450 m dpl, curah hujan tinggi Lampiran 3, dan merupakan areal pertanian tanaman semusim sayuran, maka sistem usahatani sayuran perlu menerapkan teknik konservasi tanah. Untuk mengetahui apakah petani Pangalengan sudah mengadopsi sistem pertanian konservasi maka wawancara dilakukan secara langsung di lahan dan sekaligus mengukur kemiringan lereng lahan usahatani setiap responden dan melihat bagaimana tindakan konservasi tanah yang dilakukan sehubungan dengan kemiringan lereng lahannya. Dari 180 responden yang diamati, 52 persen lahan responden berada pada kemiringan lereng antara 30-65 dengan kategori agak curam sampai sangat curam. Kondisi ini menggambarkan bahwa lebih dari 50 lahan responden sebenarnya tidak sesuai untuk usahatani tanaman semusim Tabel 20. Eswaran et al. 1999, Arsyad 2000 dan Hardjowigeno 2003 mengemukakan bahwa lahan dengan kemiringan lereng 2-8 dengan kepekaan erosi yang rendah cocok menggunakan teknik konservasi teras berdasar lebar, sedangkan pada lahan dengan kemiringan lereng 6-12 dapat diterapkan guludan searah kontur. Untuk lahan dengan kemiringan lereng 15-30 bila akan digunakan untuk tanaman semusim memerlukan tindakan khusus pengawetan tanah seperti teras, perbaikan drainase, atau pergiliran dengan tanaman penutup tanah selama 3-5 tahun. Lahan dengan kemiringan lereng 30-45 tidak sesuai untuk usahatani tanaman semusim karena mudah tererosi dan perakaran dangkal. Jika digarap untuk usahatani diperlukan pembuatan teras bangku. Sedangkan untuk lahan dengan kemiringan lereng 45 -60 sama sekali tidak sesuai untuk tanaman semusim, sebaiknya ditanami tanaman permanen. Bila ingin digarap untuk usahatani maka harus disertai dengan usaha pencegahan erosi yang berat. Jika dibuat teras bangku maka persentase areal yang akan ditanami per hektarnya akan semakin kecil dibandingkan lahan kemiringan lereng 30-45. Selanjutnya Eswaran et al. 1999 menyatakan kendala utama untuk tanah dengan kemiringan lereng 15 adalah kurangnya hara untuk tanaman dan untuk itu perlu mengadopsi perencanaan pemakaian pupuk yang baik. Resiko keberlanjutan produksi berkisar 20-60. Lahan yang demikian baik untuk digunakan sebagai taman nasional atau sebagai zona bioversity. Tabel 20 Data kemiringan lereng lahan dan sistem penanamannya per responden dan per petak usahatani Kemiringan Searah Lereng responden Searah Kontur responden Teras Bangku responden Jumlah dan Persentase 8 13 1 14 7.9 8-14 32 8 40 22.2 15-29 12 6 6 24 13.3 30-44 19 13 15 47 26.1 45 - 60 16 5 26 47 26.1 65 4 4 8 4.4 Jumlah 96 33 51 180 100 Adopsi teknik konservasi tanah petani Pangalengan tertera pada Tabel 20. Teknik konservasi tanah teras bangku dan penanaman pada guludan searah kontur dikategorikan sudah menerapkan sistem pertanian konservasi sedangkan penanaman pada guludan searah lereng belum menerapkan sistem pertanian konservasi karena konservasi tanah teras bangku dan penanaman pada guludan searah kontur mampu menurunkan erosi lebih baik dibandingkan penanaman pada guludan searah lereng. Dari 180 responden, 96 responden menanam sayuran pada guludan searah lereng, 33 responden menanam sayuran pada guludan searah kontur dan 51 responden menanam sayuran dengan teknik konservasi tanah teras. Hasil ini menunjukkan bahwa lebih separuh petani belum menerapkan teknik konservasi tanah pada usahatani sayurannya. Jika memang sistem pertanian konservasi bermanfaat mengapa tidak semua petani mengadopsinya? Oleh karena itu perlu diketahui faktor-faktor apa saja yang dapat mempengaruhi keputusan petani untuk mengadopsi teknik konservasi tanah. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani Pangalengan mengadopsi konservasi tanah, dalam penelitian ini digunakan model adopsi. Model adopsi yang telah dirumuskan memiliki variabel dependen yang bersifat kualitatif. Untuk dapat menduga pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen digunakan regresi yang menggunakan variabel dummy variabel boneka sebagai variabel dependennya. Model adopsi tersebut pada dasarnya adalah model logit. Parameter-parameter dalam model diestimasi dengan menggunakan metode maximum-likelihood Judge et al., 1988.