Adopsi Sistem Pertanian Konservasi dan Manfaatnya

digunakan. Adopsi dalam penelitian ini tidak melihat secara rinci proses dari adopsi tersebut seperti yang didefinisikan oleh Rogers. Studi tentang adopsi teknologi konservasi secara umum pada dasarnya dibangun dari dua pemikiran ilmiah. Pendekatan pertama memberi penekanan pada peran dominan insentif ekonomi dalam hubungannya dengan penggunaan teknologi tertentu, sedangkan pendekatan kedua menekankan pentingnya variabel-variabel non-ekonomi dalam proses adopsi. Dasar model ekonomi untuk menganalisis tingkat adopsi petani terhadap teknologi konservasi petani adalah bahwa manfaat yang positif bersih dapat menghasilkan tingkat kegunaan utility yang lebih tinggi bagi petani. Maksudnya, petani akan mengadopsi teknologi konservasi tanah apabila manfaat bersih keputusan tersebut net benefit positif, yang juga berarti tingkat kegunaan atau utilitas yang lebih tinggi, misalnya pada produktivitas dan pendapatan. Keputusan memilih sistem praktek pertanian di lahan berada di tangan petani sendiri. Keputusan yang dibuat biasanya berhubungan dengan tujuan petani itu sendiri seperti mencari berbagai kemungkinan untuk menaikkan produksi dan juga berhubungan dengan faktor-faktor penghambatkendala yang dihadapi. Di dataran tinggi Jawa, Barbier 1990 menunjukkan bahwa hubungan antara erodibilitas dan keuntungan dari berbagai bentuk sistem pertanian pada tanah dan kemiringan yang berbeda merupakan penentu yang penting bagi petani dataran tinggi untuk mengadopsi teknik konservasi tanah. Barbier juga menyatakan bahwa akses pada input tertentu yang disubsidi seperti pupuk dan bibit terbukti merupakan insentif dalam mengontrol erosi tanah jangka panjang, pencabutan subsidi-subsidi tersebut akan mendorong berkurangnya investasi pada konservasi tanah. Alimaras et al. 1991 mengemukakan bahwa alasan utama petani mengadopsi konservasi tanah adalah kelayakan ekonomi. Petani akan melakukan konservasi tanah jika dengan tindakan tersebut petani akan memperoleh keuntungan yang lebih besar. Pagiola 1999 menyatakan bahwa dalam beberapa kasus, adopsi sistem pertanian konservasi bahkan justru tampak tidak memberikan hasil yang nyata. Penyebabnya antara lain rendahnya harga output sehingga kenaikan produktivitas tidak berdampak terhadap biaya yang telah dikeluarkan, atau adanya penghambat lain seperti kemiskinan, kredit, dan status kepemilikan lahan. Pada kasus penanaman pohon oleh petani marjinal di Filipina, Shivelly 1997 mengemukakan bahwa faktor dominan yang mempengaruhi keputusan menanam pohon ditentukan oleh perubahan harga relatif output dan berbagai resiko yang muncul akibat mengambil keputusan menanam pohon. Rerkasem 1996 mengidentifikasi tiga faktor penting dalam pengelolaan penggunaan lahan secara berkelanjutan yaitu: a adanya pemecahan biaya teknologi konservasi secara efektif dan tepat, b adanya pengelolaan organisasi sosial dan sumberdaya masyarakat, c adanya kemampuan masyarakat lokal untuk berpartisipasi dalam membuat keputusan krusial yang berhubungan dengan manajemen lahan. Hwang et al. 1994 menyatakan bahwa status lahan sewa akan mempercepat terjadinya erosi karena pengelolaannya bersifat jangka pendek. Lahan sewa cenderung akan dimanfaatkan secara maksimal intensif. Keputusan- keputusan bentuk penggunaan lahan juga dipengaruhi oleh status lahankepemilikan lahan. Bila lahan berstatus milik maka lahan akan lebih memberikan kontribusi positif terhadap perbaikan fisik lahan Feder dan Onchan, 1987 dibandingkan dengan lahan status sewa. Young 1987 mengemukakan tiga kendala utama petani dalam memutuskan sistem penggunaan lahannya yaitu jenis tanah, ukuran lahan, dan permasalahan yang munculada dari pengelolaan lahan itu sendiri. Juo dan Thurow 1998 menyatakan bahwa adopsi teknik konservasi tanah dipengaruhi oleh faktor bio-fsik, sosial, ekonomi dan peningkatan kapasitas masyarakat lokal. Arifin 2002 menyatakan beberapa variabel diduga mempengaruhi keputusan petani mengadopsi teknik konservasi, terutama teras contour terracing adalah faktor personal, faktor ekonom, faktor kelembagaan, dan faktor biofisik. Hediger 2003 menyatakan bahwa pertanian berkelanjutan adalah pertanian yang dapat mempertahankan pendapatan ditingkat petani untuk jangka waktu yang lama. Pendapatan pertanian tergantung pada faktor-faktor biofisik lahan dan ekonomi seperti harga komoditas, biaya produksi, penanaman intensif, rotasi tanaman, unsur hara tanah, kedalaman tanah, dan faktor produktivitas yang ada kaitannya dengan karakteristik tanah. Secara umum dapat dikatakan bahwa variabel faktor personal dan faktor ekonomi relatif dominan dalam mempengaruhi keputusan petani untuk melakukan adopsi teknologi konservasi. Manfaat sistem pertanian konservasi adalah jangka panjang. Untuk melihat manfaat jangka panjang dapat dilakukan dengan perhitungan nilai kini bersih NPV dalam waktu jangka tertentu. Keputusan memilih sistem penggunaan lahan bersifat langsung artinya lahan yang digunakan harus memberikan nilai yang tinggi bagi pemiliknya, yang diukur melalui nilai sekarang bersihNPV net present value dari manfaat bersih berturut-turut yang diharapkan dalam jangka panjang. Petani hanya peduli concern pada manfaat dan biaya internal saja. Oleh karena itu dari sudut pandang pemilik lahan, manfaat sekarang bersih NPV privat merupakan kriteria terbaik untuk mengevaluasi keberlanjutan ekonomi sistem penggunaan lahannya. NPV sistem penggunaan lahan dapat diukur dengan membandingkan nilai manfaat dan biaya dari lamanya sistem penggunaan lahan tersebut digunakan dan kemudian menghitung nilai manfaat sekarang bersihNPV secara berturut-turut dengan menggunakan tingkat diskon yang berlaku The, 2001. Dengan menggunakan kerangka analisis manfaat-biaya, Current dan Scherr 1995 menganalisis manfaat finansial dan ekonomi dari 56 sistem penggunaan lahan agroforestry di Amerika Tengah. Hasil menunjukkan bahwa 75 dari 56 sistem penggunaaan lahan agroforestry menghasilkan NPV positif pada tingkat diskon 20. Dua pertiga dari kasus menunjukkan NPV dan tingkat pengembalian returns untuk tenaga kerja lebih tinggi pada sistem penggunaan lahan agroforerstry dibandingkan pada sistem penggunaan lahan alternatif lainnya seperti lahan pertanian atau lahan yang hanya terdiri dari pohon saja misalnya hutan saja. Irawan 2001 menganalisis manfaat finansial dan ekonomi dari sistem pertanaman lorong alley cropping system, salah satu teknologi budi daya pengendalian erosi secara vegetatif, di lahan kering berlereng di Kubang Ijo, Jambi. Sistem pertanaman lorong tersebut terdiri dari menanam tanaman pangan, tanaman pagar, rumput pakan ternak, dan tanaman kayu-kayuan. Setelah memperhitungkan kehilangan unsur hara yang terangkut erosi sebagai manfaat yang hilang forgone benefit, nilai NPV dan BC rasio pengembangan sistem pertanaman lorong menunjukkan hasil positif layak. Pada tingkat diskon 12 nilai indikator NPV dan BC rasio relatif lebih baik dibandingkan dengan sistem pertanaman yang telah ada tradisional di Kubang Ijo, Jambi. The 2001 menganalisis kelayakan finansial dan ekonomi empat sistem penggunaan lahan di Vietnam Tengah. Keempat sistem penggunaan lahan itu: sistem pertanian sawah dataran tinggi, sistem perkebunan tebu, sistem agroforestry tanaman buah-buahan, sistem pertanaman pohon kayu putih eucalyptus. Dengan kerangka waktu penggunaan lahan 30 tahun, analisis manfaat-biaya menunjukkan NPV sistem agroforestry pada tingkat diskon 10, 12, 15, 20, maupun 25 menunjukkan hasil positif, sedangkan sistem pertanian sawah dan kayuputih pada tingkat diskon yang sama memberikan nilai NPV paling kecil. 2.8. Hasil Penelitian Terdahulu Tentang Adopsi Sistem Pertanian Konservasi Berbagai penelitian yang berhubungan dengan adopsi sistem pertanian konservasi telah dilakukan di beberapa negara seperti Indonesia, Filipina, Vietnam, Afrika, China, Pegunungan Andes, Kenya, Republik Dominica, dan lainnya. Pakpahan dan Syafaat 1991 menganalisis hubungan konservasi tanah dengan komoditas yang diusahakan, struktur pendapatan serta karakteristik rumah tangga di DAS Cimanuk dan Citanduy, Jawa Barat. Hasil analisis regresi menggunakan model logit menunjukkan bahwa jumlah anggota keluarga, tingkat pendidikan dan umur kepala keluarga tidak berpengaruh secara nyata terhadap peningkatan erosi. Namun dari tanda parameternya terdapat kecenderungan bahwa tingkat pendidikan semakin tinggi memberikan peluang berkurangnya tingkat erosi. Dengan semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, diharapkan kemampuan orang tersebut dalam memproses informasi dan keputusan dalam pengelolaan sumberdaya semakin baik, sehingga dorongan terjadinya erosi menjadi semakin kecil. Sebaliknya, semakin tinggi jumlah anggota rumah tangga dan semakin tua umur kepala keluarga cenderung meningkatkan peluang terjadinya erosi. Jumlah anggota keluarga yang semakin besar akan cenderung meningkatkan permintaan terhadap eksplotasi sumberdaya lahan sehingga cenderung meningkatkan peluang terjadinya erosi. Umur semakin tua cenderung kurang adaptif dan inovatif terhadap teknologi baru, sehingga semakin tua seseorang maka dorongan untuk menerapkan praktek-praktek konservasi semakin berkurang. Selanjutnya Pakpahan dan Syafaat 1991 mengemukakan bahwa kondisi erosi berasosiasi positif dengan pangsa pendapatan dari sektor pertanian terhadap pendapatan total rumah tangga. Makin tinggi pangsa pendapatan yang berasal dari sektor pertanian terhadap pendapatan rumah tangga, makin tinggi tingkat erosi yang terjadi. Hubungan yang lebih kuat antara struktur pendapatan dengan erosi tanah adalah semakin tinggi sumber pendapatan rumah tangga berasal dari lahan kering, semakin berat erosi yang terjadi di wilayah yang bersangkutan. Di daerah sayuran penerapan praktek-praktek konservasi tanah relatif lebih rendah dibanding dengan di daerah non-sayuran, walaupun tingkat pendapatan rumahtangga di daerah sayuran lebih tinggi dibanding daerah non-sayuran. Kenyataan ini memperlihatkan bahwa faktor tanaman lebih besar pengaruhnya dibanding faktor pendapatan terhadap erosi yang terjadi. Fujisaka 1994 menyatakan alasan petani lahan kering dataran tinggi South Cotabato, Filipina kurang mau mengadopsi teknologi konservasi tanah yang diperkenalkan kepada mereka adalah inovasi teknologi yang diberikan salah menjawab permasalahan yang ada di lapang sehingga justru menciptakan masalah baru seperti terlalu mahalnya inovasi yang diperkenalkan dan tidak adanya jaminan sosial sewa lahan. Petani penyewa lahan segan mengkonservasi lahan sewaannya karena tidak yakin kapan lahan yang dikonservasi tersebut mulai menunjukkan hasil dan bila ingin melanjutkan penggunaan lahan sewaannya petani penyewa takut pemilik lahan mengambil alih lahannya. Huzar et al. 1994 mengkaji dampak dua bentuk subsidi yang diberikan kepada petani pada program konservasi yang diperkenalkan oleh UACP di dua areal DAS Jratunseluna Jawa Tengah dan Brantas Jawa Timur. Ada dua bentuk subsidi yang diberikan yaitu subsidi opersional berupa input pertanian seperti bibit, pupuk dan pestisida serta subsidi kapital untuk membuat teras atau konstruksi lainnya yang berhubungan. Hasil menunjukkan bahwa efek subsidi operasional berupa input seperti benih, pupuk, pestisida terhadap program konservasi yang diperkenalkan tidak berlanjut. Pada awal proyek, petani yang mengikuti program konservasi menghasilkan panen yang lebih tinggi dibandingkan petani yang tidak mengikuti program konservasi. Namun demikian dengan berjalannya waktu, ada kecenderungan hasil panen menurun. Penurunan hasil panen ini ternyata berhubungan dengan menurunnya penggunaan input yang diperkenalkan atau yang disubsidi. Tujuan subsidi berupa input ini adalah bahwa semakin tingginya pendapatan yang diterima petani diharapkan akan memotivasi dan meningkatkan kemampuan petani untuk tetap mempertahankan penggunaan berbagai input tersebut setelah subsidi dihentikan. Dalam kenyataannya, kenaikan pendapatan yang diterima petani ternyata digunakan untuk membeli barang-barang lain seperti memperbaiki rumah daripada menginvestasikan kembali pendapatan yang diterima tersebut pada produksi tanaman di tahun berikutnya. Akibatnya ketika subsidi dihentikan, petani tidak lagi mampu membeli berbagai input yang lebih baik yang diperkenalkan oleh proyek. Hal ini menunjukkan secara finansial petani mungkin tidak mampu mempertahankan praktek produksi yang diperkenalkan. Salah satu cara untuk mengatasinya adalah dengan memberikan kredit. Namun demikian aternatif pemberian kredit untuk petani dataran tinggi ini perlu dikaji secara mendalam agar menjadi insentif yang baik bagi petani sehingga petani mempunyai kemampuan tidak saja untuk meminjam uang tetapi juga kemampuan untuk mengembalikan uang pinjamannya. Bila petani tidak mampu untuk membeli input maka akan juga berpengaruh terhadap pemeliharaan teras. Dari pengalaman di atas, Huzar et al. 1994 menyarankan agar program konservasi untuk dataran tinggi di masa mendatang perlu belajar dari pengalaman program-program konservasi sebelumnya. Penilaian ekonomi proyek pertanian dataran tinggi seharusnya dilakukan dengan membandingkan nilai kini bersih manfaat konservasi dengan nilai kini bersih biaya konservasi. Huzar et al. juga mengemukakan bahwa biaya lingkungan yang diperlukan untuk rehabilitasi dan konservasi lahan kritis di dataran tinggi yang dilakukan oleh the Uplands Agriculture and Conservation Projects UACP di Citanduy II, Yogya, Bangun dan Wonogiri tahun 1980 adalah 20–50 juta. Ndiaye et al. 1994 mengkaji persepsi petani di Rwanda, Afrika terhadap sumber masalah praktek adopsi konservasi. Kendala utama memperkenalkan praktek konservasi pada petani Rwanda adalah ketidak pedulian dan ketidak-tahuan para petani akan dampak degradasi lahan terhadap kesuburan tanah atau erosi. Hal ini disebabkan kemiskinan, tekanan penduduk, pendidikan rendah, dan pendapatan yang rendah juga. Hwang et al. 1994 meneliti biaya cost beberapa bentuk teknik konservasi tanah yang diperkenalkan di Republik Dominika dalam rangka memenuhi target konservasi pada lahan pertanian dengan kecuraman tajam. Penelitian tersebut juga menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi teknik konservasi. Teknik konservasi tanah yang diperkenalkan adalah penanaman rumput strip grass strips, pembuatan paritsaluran hillside ditches, dan teras sedangkan komoditas yang menjadi obyek penelitan Hwang et al adalah tanaman kopi, jagung buncis, ubi kayu dan ubi jalar. Dari ketiga teknik konservasi yang diperkenalkan, penanaman rumput strip merupakan teknik konservasi dengan biaya yang paling murah. Hasil penelitian menunjukkan walaupun pengurangan erosi penanaman rumput strip tidak seefektif teknik konservasi hillside ditches atau teras, namun biaya pembuatan dan pemeliharaan penanaman rumput strip merupakan alternatif yang bersifat lebih ekonomis. Pada tahun ketiga penanaman rumput strip dapat menurunkan erosi sebesar 50 dengan menurunkan kehilangan pendapatan sebesar 5, sedangkan pada tahun ke empat penanaman rumput strip dapat menurunkan erosi sebesar 75 dengan menurunkan kehilangan pendapatan sebesar 34 dibandingkan pertanian tradisional tidak mengadopsi teknik konservasi. Faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi teknik konservasi petani Republik Dominika adalah harga output di pasar, faktor kelembagaan seperti status lahan dan kredit. Hasil penelitian Hwang et al. 1994 menunjukkan bahwa perubahan kebijakan pemerintah dapat mempengaruhi tingkat harga yang diterima oleh petani yang pada akhirnya dapat mempengaruhi keputusan petani untuk mengadopsi teknik konservasi. Pengalaman pada komoditas kopi, jagung dan buncis di Republik Dominika menunjukkan bahwa liberalisasi harga dan tata niaga membuat harga di tingkat petani mencerminkan harga komoditas yang terjadi di pasar internasional. Akibat liberalisasi, harga komoditas kopi yg diterima petani meningkat sebaliknya harga komoditas jagung dan buncis yang diterima petani turun. Harga kopi yang meningkat relatif terhadap harga jagung dan buncis tersebut mengakibatkan banyak petani pemilik lahan yang tadinya menanam jagung dan buncis beralih menanam tanaman kopi. Dengan beralihnya penanaman komoditas tersebut berakibat pada turunnya laju erosi. Tanaman kopi menghasilkan erosi yang jauh lebih kecil dibandingkan tanaman jagung dan buncis. Status lahan berpengaruh terhadap keputusan petani untuk menerapkan konservasi tanah. Turunnya harga jagung dan buncis, menyebakan petani penyewa lahan beralih menanam ubi kayu dan ubi jalar. Pemerintah Republik Dominika mengeluarkan keputusan masa sewa menyewa lahan minimal selama dua tahun, dengan harapan petani penyewa mampu memperoleh manfaat dari konservasi tanah grass strip. Penelitian Hwang et al. 1994 menunjukkan biaya untuk melakukan konservasi tanah dalam bentuk grass strip akan kembali dalam waktu minimal satu tahun. Untuk tanaman kopi yang merupakan tanaman tahunan dan manfaat baru dapat dirasakan setelah penanaman selama 10 tahun, agar petani kopi bersedia melakukan konservasi maka pemerintah memberikan insentif berupa subsidi suku bunga kredit. Watson 1995 melakukan studi sosial ekonomi dampak program Sloping Agricultural Land Technology SALT pada pertanian lahan kering yang mempunyai kemiringan bervariasi mulai 18 di Mindanao, Filipina. Pengamatan dilakukan selama 10 tahun 1981-1990. Hasil menunjukkan satu hektar lahan petani yang mengadopsi SALT mengalami kenaikan pendapatan secara dramatis. Pada tahun kedua setelah mengadopsi SALT pendapatan kotor petani lebih tinggi dibandingkan dengan pendapatan petani dengan praktek pertanian tradisional. Dari pengamatan 10 tahun tersebut ditunjukkan bahwa selama musim keringpun SALT tetap menguntungkan. Dibandingkan pertanian jagung tradisional dengan pendapatan tahunan petani 12.00 -80.00ha, maka petani yang mengadopsi program SALT mendapat keuntungan hampir tujuh kali lipat. Penyebab keberhasilan inovasi SALT di Mindano, Filipina adalah karena SALT melakukan berbagai modifikasi programnya sesuai dengan kondisi topografi, sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat setempat. Melalui SALT, petani marjinal di Filipina dapat melakukan konservasi ditanahnya, mengurangi ketergantungan terhadap pupuk buatan, mampu meningkatkan hasil panen dan secara umum petani mampu mencukupi dirinya sendiri. Selain itu petani marjinal di dataran tinggi juga dapat memutus siklus pertanian monokultur yang mahal, ketergantungan terhadap pupuk dan pestisida impor, dan hutang kepada petani besar atau bank. SALT juga melibatkan berbagai organisasi non-pemerintah seperti the Philippine Soil Conservation Society PSCS dan Conservation Farming Movement CFM, berbagai universitas pertanian di Filipina, dan membangun komunitas petani serta membuka program sekolah bagi anak-anak muda yang drop out sekolah karena miskin. Dalam sekolah ini, anak-anak muda juga mendapat pelatihan pertanian yang menggunakan teknologi dan materi yang tepat sesuai yang dibutuhkan supaya tidak mempunyai ketergantungan terhadap teknologi mahal seperti traktor. Rozelle et al. 1997 menyatakan permasalahan erosi di China disebabkan karena kurang effektifnya berbagai peraturan dan institusi pemerintahlingkungan yang ada. Para pimpinan banyak yang belum mengerti dan memahami dampak jangka panjang erosi tanah. Pagiola 1999 menyatakan faktor yang paling berpengaruh terhadap tingkat adopsi sistem pertanian konservasi di Kenya adalah faktor personal yaitu kepedulian. Adopsi teknik konservasi tanah dalam usahatani menjadi insentif yang kuat bagi petani Kenya ketika mengetahui degradasi lahan akan mengancam produktivitas dalam jangka panjang. Arifin 2002 melakukan analisis adopsi teknik konservasi pada petani di Subik dan Pekurun, Abung Barat, Lampung Utara. Petani Abung Barat telah lama mengadopsi teknik konservasi yang diperkenalkan oleh Proyek Usaha Pelestarian Sumberdaya Alam UPSA pada tahun 1980an. Beberapa variabel diduga mempengaruhi keputusan petani Abung Barat untuk melakukan investasi teknik konservasi, terutama teras bangku adalah 1 faktor personal – umur dan pendidikan, 2 faktor ekonomi – jumlah anggota keluarga, tingkat pendapatan luar usahatani, jarak ke pasar, 3 faktor kelembagaan – status kepemilikan lahan, keanggotaan dalam USPA dan akses pada bantuan teknis, 4 potensi erosi – kecuraman lahan dan keberadaan tanaman keras. Hasil observasi menunjukkan bahwa adopsi teknik konservasi petani Subik dipengaruhi oleh umur kepala keluarga, pendapatan di luar usahatani serta penanaman tanaman keras pepohonan di lahan usahatani. Petani setengah baya Subik cenderung menjadi penerap teknik konservasi, yang ditunjukkan oleh tanda koefisien yang negatif. Pendapatan di luar usahatani dan penanaman tanaman keras berpengaruh positif terhadap adopsi teknologi konservasi. Adopsi teknik konservasi di Pekurun dipengaruhi tingkat pendidikan, jumlah anggota keluarga, pendapatan di luar usahatani dan keberadaan tanaman keras pepohonan di lahan usahatani, yang ditunjukkan oleh tanda koefisien yang positif. Secara umum dapat dikatakan bahwa variabel yang relatif dominan mempengaruhi keputusan petani Abung Barat untuk melakukan adopsi konservasi adalah variabel faktor personal dan faktor ekonomi. Variabel fisik seperti pembuatan teras bangku dan penanaman pepohonan cenderung menjadi faktor komplemen dalam adopsi konservasi secara umum. Studi ini menunjukkan ada hubungan yang positif antara adopsi teknik konservasi dengan produktivitas usaha. Manfaat bersih peningkatan produktivitas akibat mengadopsi teras bangku di Abung Barat ternyata lambat laun juga diikuti oleh petani yang bukan adopter, yang di Indonesia konsep ini dikenal istilah ‘petani dampak’ dalam proyek USPA tahun 1980an. Menurut Arifin, inilah esensi sebenarnya dari adopsi teknik konservasi yaitu diikuti oleh petani lainnya non-adopter yang bukan petani contoh non-adopter. Sanim dan Siregar 2002 menganalisis apa penyebab petani padi di kawasan penyangga buffer zone Taman Nasional Lore Lindu tidak mengkonservasi lahannya. Hasil analisis regresi dengan menggunakan model logit menunjukkan bahwa variabel yang signifikan mempengaruhi keputusan petani untuk mengadopsi konservasi tanahnya adalah tingkat produksi, kualitas tanah, jumlah anggota keluarga dewasa, dan umur kepala rumah tangga petani. Pada kasus petani Taman Nasional Lore Lindu, produksi mempunyai efek negatif pada pengambilan keputusan untuk konservasi tanah. Adopsi konservasi mempunyai efek negatif terhadap jumlah output produksi padi. Petani yang mengadopsi konservasi tanah teras menghasilkan produksi padi yang lebih rendah 1 tonha dibandingkan petani yang tidak menerapkan konservasi tanah teras 1 tonha. Petani menganggap bahwa konservasi tanah akan mengurangi produksi karena penerapan teras mengurangi efektivitas permukaan luasan lahan Hal ini dapat dimengerti karena petani mempunyai perspektif jangka pendek. Penyebab petani mempunyai perspektif jangka pendek adalah karena terbatasnya akses terhadap kredit dan pasar output. Kualitas tanah memberikan efek positif terhadap keputusan adopsi konservasi tanah. Signifikansi dari estimasi menunjukkan jika petani merasa bahwa kualitas tanahnya rendah atau turun, petani cenderung akan melakukan intensifikasi pada lahannya untuk menaikkan produksi. Hal ini berimplikasi petani tidak perduli akan keberlanjutan lahannya dengan mengabaikan konservasi tanah. Jumlah orang dewasa dalam keluarga petani - yang merefleksikan tenaga kerja keluarga - memberikan efek positif pada keputusan petani untuk mengadopsi konservasi tanah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peluang petani untuk mengadopsi konservasi tanahnya akan lebih tinggi jika ketersediaan tenaga kerja keluarga juga meningkat. 80 petani yang mengadopsi teknik konservasi tanah teras memiliki empat atau lebih tenaga kerja keluarga dewasa, sedangkan petani yang tidak mengkonservasi tanah tetapi jumlah tenaga kerja keluarga dewasa empat orang hanya sebesar 58. Tersedianya tenaga kerja yang tinggi dalam keluarga memungkinkan petani menerapkan konservasi tanah di lahannya. Umur kepala rumah tangga memberikan hasil yang positif terhadap keputusan mengadosi konservasi tanah. Hal ini mengindikasikan bahwa akumulasi pengalaman bertani penting dalam mengambil keputusan untuk menerapakan konservasi tanah. Disamping itu, frekuensi konsultasi pada ahli pertanian juga menunjukkan pengaruh positif terhadap keputusan untuk adopsi konservasi tanah. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa petani yang tidak mengadopsi konservasi tanah tampaknya mengerti imbang rugi trade off antara output yang muncul dari adopsi konservasi atau tidak adopsi konservasi jangka pendek. Antle et al. 2004 menyatakan bahwa tingkat adopsi teknik konservasi dalam usahatani di Pegunungan Andes dipengaruhi oleh interaksi antara variabel-variabel kondisi bio-fisik dan ekonomi. Keuntunganmanfaat yang didapat dari adopsi teknik konservasi tanah merupakan hal yang sensitif terhadap variabel-variabel ekonomi dan biofisik seperti dampak jangka panjang adopsi terhadap kualitas tanah, tingkat diskon dan produktivitas. 2.9. Model SCUAF dan Hasil Penelitian Terdahulu SCUAF Soil Changes Under Agriculture, Agroforestry and Forestry adalah model komputer yang dapat memprediksi dampak-dampak sistem penggunaan lahan tertentu pada kondisi lingkungan tertentu terhadap tanah. Sistem penggunaan lahan tertentu tersebut dapat berupa sistem penggunaan lahan untuk tanaman panganpertanian agriculture, sistem penggunaan lahan untuk hutan forestry, dan sistem penggunaan lahan untuk tanaman pangan dan hutan agroforestry sekaligus. SCUAF yang digunakan dalam penelitian ini adalah SCUAF Versi 4 dikembangkan oleh Centre for Resource and Environmental Studies of the Australian National University dalam proyek ‘Improving smallholder farming systems in Imperata areas Southeast Asia: a bioeconomis modelling approach’ Young et al., 1998. Versi 4 merupakan revisi dari SCUAF versi 1 dan 2 yang dibuat oleh Peter Muraya. Muraya memprogram kembali model SCUAF versi 1 dan 2 untuk meningkatkan fleksibilitas dan validitas model tersebut. Model SCUAF menggunakan MUSLE the Modified Universal Soil Loss Equation, dengan parameter karakteristik tanah sifat fisik dan kimia tanah, iklim, dan sistem tanam yang diadopsi Young dan Muraya, 1990. USLE Universal Soil Loss Equation pada dasarnya adalah metode untuk memprediksi erosi yang berbasis empiris empirical based. USLE juga merupakan metode yang paling banyak digunakan untuk memprediksi erosi yang disebabkan oleh air Elliot et al. 1991. SCUAF merupakan suatu model respon proses. Model tersebut menyajikan simulasi tahunan dari perubahan kondisi tanah di bawah sistem penggunaan lahan tertentu dan dampak perubahan tanah tersebut terhadap tanaman dan produksi. Prediksi proses perubahan kondisi tanah tersebut berupa: a prediksi laju erosi tanah, b prediksi kadar bahan organik tanah yang diwakili uncur C, C prediksi hara untuk tanaman yang diwakili unsur hara N nitrogen dan P fosfor, dan d prediksi panen produksi. SCUAF terutama bermaksud mensimulasi sistem penggunaan lahan untuk periode 10 – 20 tahun yang dalam penilaian penggunaan lahan berkelanjutan dikategorikan dalam jangka menengah. SCUAF juga dapat digunakan untuk mensimulasikan penggunaan lahan berkelanjutan untuk jangka panjang. Keuntungan utama dari penggunaan SCUAF adalah mudah dioperasikan. Dari deskripsi input, proses dapat menjelaskan hubungan antara tanah dan tanaman. Jika sesuatu terjadi seperti peneliti mungkin kurang teliti, tidak ada ‘kotak hitam’ black boxes yang tersembunyi. Peneliti akan segera mudah mengoperasikan model. Model ini telah banyak digunakan dalam berbagai penelitian yang telah diterbitkan. Kegunaan aplikasi SCUAF antara lain a dapat membantu menginterpretasikan hasil-hasil percobaan lapangteknis yang telah dilakukan, b dapat dipakai untuk memprediksikan bagaimana dampak hasil percobaan lapang tersebut dari waktu ke waktu, jangka menengah maupun jangka panjang, c membantu mengerti hubungan antara tanaman, tanah, dan sistem penggunaan lahan, dan d membantu membuat rekomendasi pengelolaan lahan untuk kondisi lingkungan tertentu. Model SCUAF dapat memberikan gambaran atau pengetahuan in sight tentang ‘apa yang terjadi’ dalam proses-proses berbagai jenis tanah dengan tanaman misalnya erosi, kandungan kadar bahan organik atau unsur hara tanah. Model juga dapat memberikan gambaran dampak sistem penggunaan lahan tertentu terhadap tanah dengan atau tanpa pemberian pupuk organik maupun anorganik atau mulsa. Model juga dapat mensimulasi dan membandingkan efek berbagai alternatif sistem penggunaan lahan. Hasil SCUAF juga dapat digunakan sebagai data untuk analisis ekonomi. Walaupun tidak secara langsung mengandung komponen ekonomi, SCUAF menyediakan nilai-nilai input dan output untuk analisis ekonomi. Sebagai contoh, gejala trends erosi kesuburan tanah dan konsekuensinya untuk tanaman selama 20 tahun yang muncul dari hasil simulasi dapat digunakan sebagai dasar analisis aspek ekonomi sistem penggunaan lahan berkelanjutan. Data bersifat langsung yang relevan untuk digunakan sebagai input analisis ekonomi adalah areal tanam – input bibit, tenaga kerja, pupuk, dan sebagainya. Hasil panen dan perubahan sifat tanah digunakan sebagai output analisis ekonomi. Panen dan sifat-sifat tanah merupakan dasar untuk menilai perubahan nilai kapital tanah. SCUAF dapat diaplikasikan untuk mengevaluasi ekonomi konservasi tanah yaitu dengan membandingkan dampak masing-masing sistem penggunaan lahan dengan konservasi dan sistem penggunaan lahan tanpa konservasi. Kerangka kerja yang mengkombinasikan analisis biofisik dan ekonomi ini dinamakan model bio-ekonomi. Data biaya input dan harga output panen dapat diperoleh dari survei pada tingkat petani. Data ini kemudian dapat digunakan untuk model ekonomi seperti nilai kini bersih Net Present Value atau pengukuran nilai ekonomi lainnya. Beberapa studi yang menggunakan model SCUAF adalah Vermuelen 1993 di Zimbabwe, Young 1994, Gunawan et al. 1995 di Indonesia, Grist dan Menz 1996 dan Menz and Grist 1996 di Australia, Nelson et al. 1996a, 1996b di Filipina, Magcale-Macandog et al. 1997, Magcale-Macandog dan Rocamora 1997 di Filipina: suatu laporan berseri dari sistem penggunaan lahan di Asia Tenggara menggunaakan hasil output SCUAF untuk analisis ekonomi, Ranola dan Pedro 1997 di Filipina, Young 1997, Pedro et al. 1997 di Filipina, Rusastra et al. 1998 di Indonesia, The 2001 di Vietnam. Berbagai studi menunjukan bahwa SCUAF mempunyai kemampuan untuk memperlihatkan adanya hubungan antara kesuburan tanah dengan keberlangsungan sistem ekonomi. Menz dan Grist 1996 menyatakan bahwa kesuburan tanah berhubungan dengan prinsip pertanian berkelanjutan. Pengetahuan ini penting untuk menentukan teknik konservasi tanah yang tepat untuk didisain di suatu lokasi. Ranola et al. 1997 juga menegaskan bahwa model SCUAF sangat berguna dalam mengatasi kekurangan data time series. Serangkaian penelitian yang menggunakan model SCUAF dalam mengevaluasi sistem penggunaan lahan di Asia Tenggara telah membuktikan validitas SCUAF Young et al., 1998.

2.10. Tanaman Kentang

Kentang Solanum tuberosum L. termasuk tanaman jenis tanaman sayuran semusim, berumur pendek dan berbentuk perdu atau semak. Kentang termasuk tanaman semusim karena hanya satu kali berproduksi, setelah itu mati. Umur tanaman kentang bervariasi menurut varietasnya dan dapat tumbuh dengan tegak dengan ketinggian 0.5 m – 1.2 m, tergantung varietasnya. Tanaman kentang bukan tanaman asli Indonesia, kebanyakan merupakan introduksi dari benua Eropa seperti Belanda dan Jerman Barat. Untuk mendapatkan hasil maksimum, tanaman kentang membutuhkan suhu optimum yang relatif rendah, terutama untuk pembentukan umbinya yaitu 15.6 C – 17.8 C. Oleh kerena itu di Indonesia kentang cocok ditanam di dataran tinggi 1000 m dpl. Selain membutuhkan iklim yang sesuai, juga membutuhkan kondisi tanah yang baik untuk pertumbuhannya. Keadaan tanah yang baik dan sesuai untuk tanaman kentang adalah yang berstruktur remah, gembur, banyak mengandung bahan organik, subur, mudah mengikat air porous, dan solum tanah dalam. Sedangkan tekstur tanah yang cocok adalah tanah lempung ringan dengan sedikit kandungan pasir. Keadaan pH yang cocok untuk pertumbuhan tanaman kentang bervariasi antara 5.0 -.7.0. Faktor cahaya yang penting untuk pertumbuhan tanaman adalah intensitas cahaya dan lama penyinaran. Lama penyinaran yang dibutuhkan oleh tanaman untuk kegitan fotosintesa adalah 9 – 10 jam per hari. Umumnya tanaman kentang diperbanyak dengan umbi vegetatif Samadi, 1997. Varietas Granola merupakan varietas yang banyak ditanam di Pangalengan. Varietas ini merupakan introduksi dari Jerman Barat. Kentang varietas ini mempunyai potensi produksi yang tinggi, dapat mencapai 25-30 tonha. Kulit umbi dan daging berwarna kuning., umbinya berbentuk oval, kualitas umbi baik, berumur genjah 90 - 100 hari, dan tinggi tanaman 60 – 70 cm. Varietas ini tahan terhadap penyakit virus Potato Virus A PVA dan Potato Virus Y PVY dan Potato Leaf Roll Virus PLRV, namun agak peka terhadap penyakit layu bakteri Pseudomonas solanacearum dan penyakit busuk daun Phytophthota infestans. Andisol merupakan jenis tanah yang cocok untuk tempat tumbuhnya tanaman kentang. Tanah Pangalengan selain memliki sifat fisik tanah yang baik dan juga memiliki potensi kesuburan kimia yang tinggi sehingga baik untuk kentang sayur dan cocok dikembangkan di Jawa Barat.

III. METODE PENELITIAN

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di lahan kering dataran tinggi yang ada di Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung Lampiran 1 dan 2. Pelaksanaan penelitian dari bulan Desember 2004 sampai Desember 2005. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan dengan sengaja purposive dengan pertimbangan: 1 merupakan areal pertanian, perkebunan, dan hutan sekunder di lahan kering dataran tinggi, 2 di daerah tersebut saat ini sudah terjadi peningkatan luas areal usahatani tanaman semusim yang intensif sehingga penggarapan lahan sudah sampai pada lereng dengan kecuraman tinggi, dan 3 daerah ini merupakan sentra produksi tanaman sayur-mayur terutama kentang di Propinsi Jawa Barat.

3.2. Teknik Pengambilan Sampel

Populasi yang diteliti adalah adalah petani yang mengusahakan usahatani sayuran, terutama kentang, di lahan kering dataran tinggi kecamatan Pangalengan. Di lokasi penelitian daftar nama petani sayuran diperoleh dari Koperasi Unit Desa KUD dan petugas penyuluh pertanian lapangan PPL kecamatan Pangalengan. Pemilihan sampel penelitian didasarkan atas daftar nama-nama petani tersebut. Dengan demikian, nama-nama petani yang ada di dalam daftar merupakan kerangka sampel sampling frame untuk penelitian ini. Tidak ada data berbagai atribut pada daftar nama petani. Jumlah populasi 1148 orang. Metode pengambilan sampel dilakukan secara acak sederhana simple random sampling. Sampel diambil secara acak dari nama-nama yang ada dikerangka sampel. Jumlah sampel yang diambil sebanyak 180 petani ± 15 dari 1148 orang. Banyaknya sampel dari masing-masing desa ditentukan secara proporsional. Jumlah sampel masing- masing desa tertera pada Tabel 2. Pertimbangan jumlah sampel yang diambil dalam penelitian ini berdasarkan: a jumlah pengamatan yang mencukupi untuk keperluan analisis regresi, b ketersediaan biaya, dan c homogenitas sampel. Yang dimaksud homogenitas sampel dalam penelitian ini adalah kondisi biofisik ke 13 desa dalam satu kecamatan relatif sama karena letaknya tidak berjauhan. Cara bertanibudidaya petani usahatani sayuran Pangalengan juga sama.