Setelah Indonesia dianggap menjadi negara eksportir TPT, mulai tahun 1979 negara-negara pengimpor seperti Amerika Serikat, Swedia, MEE, Kanada
dan Norwegia mengadakan persetujuan bilateral dengan Indonesia. Isi persetujuan tersebut antara lain berupa pembatasan volume ekspor TPT Indonesia ke negara
yang bersangkutan dalam bentuk kuota. Tingkat pertumbuhan ekspor yang diperkenankan dibatasi maksimum hanya 3 persen hingga 7 persen dari volume
ekspor tahun sebelumnya. Hal ini tentu saja berdampak pula bagi industri pakaian jadi yang memang merupakan bagian dari pada industri TPT Indonesia.
4.2. Periode pada Industri Pakaian Jadi
4.2.1. Periode Sebelum Krisis
Selama tahun 1985 hingga tahun 1990, industri pakaian jadi juga berkembang sangat pesat, terutama akibat berdirinya perusahaan-perusahaan baru
dengan kapasitas besar. Sebagian dari perusahaan-perusahaan tersebut didirikan oleh investor asing asal beberapa negara Asia seperti Taiwan, Korea Selatan,
Hongkong dan Jepang yang merelokasi pabrik pakaian jadinya ke Indonesia, baik secara sendiri ataupun bekerjasama dengan mitra lokal. Banyak investor
merelokasikan industrinya karena di negara mereka industri tersebut tidak lagi memiliki keunggulan komparatif disebabkan oleh mahalnya biaya tenaga kerja.
Berdasarkan nilai, 70 persen investasi pada industri pakaian jadi di Indonesia adalah PMA, sedangkan PMDN hanya 30 persen. Hal tersebut membuktikan
bahwa Indonesia merupakan salah satu negara sasaran relokasi industri pakaian jadi yang menarik.
Pada tahun 1989 jumlah industri pakaian jadi di Indonesia adalah 513 perusahaan dengan kapasitas 71,7 juta lusin per tahun. Dari segi lokasi sebagian
besar terletak di DKI Jakarta dan Jawa Barat. Di kedua daerah tersebut masing- masing terdapat 277 perusahaan dengan kapasitas 33,0 juta lusin dan 120
perusahaan dengan kapasitas 25,5 juta lusin. Menurut Asosiasi Pertekstilan Indonesia API, pada tahun 1991 jumlah perusahaan pakaian jadi yang tergabung
dalam asosiasi adalah 194 perusahaan dengan jumlah mesin 162.600 unit. Dengan asumsi satu unit mesin menghasilkan 2,80 lusin per hari, maka kapasitas
seluruhnya adalah 136,6 juta lusin per tahun. Walaupun pertumbuhan industri pakaian jadi mengalami pertumbuhan
yang sangat pesat akan tetapi perkembangan ekspor pada industri ini terhambat oleh adanya sistem kuota. Sementara ekspor ke negara non kuota menghadapi
kendala antara lain tidak terjaminnya stabilitas permintaan dan kecilnya margin yang diperoleh dibanding non dengan ekspor kuota. Meskipun demikian, ekspor
ke negara non kuota tetap perlu digalakkan. Neraca perdagangan TPT Indonesia sejak tahun 1981 sampai dengan tahun
1985 menunjukkan defisit, namun mulai tahun 1985 sampai dengan tahun 1990 menunjukkan surplus. Nilai surplus untuk tahun 1990 adalah US 125 Juta.
Apabila dilihat per sub sektor, sumbangan devisa terbesar adalah dari ekspor tekstil yang meliputi benang dan kain serta pakaian jadi. Rata-rata pertumbuhan
volume ekspor pakaian jadi sejak tahun 1983 sampai dengan 1990 adalah sebesar 27,75 persen per tahun. Peningkatan yang pesat terjadi pada tahun 1985 sampai
dengan tahun 1986 yaitu mencapai pertumbuhan 59,03 persen sedangkan pada
tahun 1986 sampai dengan tahun 1987 mengalami penurunan sebesar -3,87 persen Bank Bumi Daya, 1992.
4.2.2. Periode Krisis