Sejarah Pertumbuhan Industri Pakaian Jadi Garmen

IV. GAMBARAN UMUM INDUSTRI PAKAIAN JADI DI INDONESIA

4.1. Sejarah Pertumbuhan Industri Pakaian Jadi Garmen

Industri pakaian jadi atau garmen merupakan salah satu sub sektor dalam industri TPT di Indonesia, selain pembuatan serat, pemintalan, pertenunan dan perajutan, serta pencelupan, pencapan dan penyempurnaan kain. Industri pakaian jadi di Indonesia dimulai pada tahun 1969, awal Pelita I, tetapi perkembangannya yang lebih berarti terjadi pada Pelita II. Pertumbuhan industri pakaian jadi sebagai salah satu sub sektor dari industri TPT ditandai dengan meningkatnya penanaman modal di bidang ini setelah mulai diberlakukannya UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing PMA dan UU No. 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri PMDN. Peningkatan ini juga disertai dengan peningkatan tenaga kerja yang diserap oleh industri tersebut. Pada Pelita I kenaikan rata-rata jumlah tenaga kerja 4,1 persen per tahun kemudian pada Pelita II naik menjadi 19 persen per tahun Deprind, 1982. Meningkatnya perdagangan pakaian jadi dunia pada tahun-tahun tersebut memberikan prospek yang baik pada Indonesia untuk meningkatkan ekspor pakaian jadinya. Pada tahun 1975 nilai ekspor tekstil dan pakaian jadi hanya sebesar 0,18 persen dari nilai seluruh ekspor. Kemudian terus mengalami peningkatan selama lima tahun ke depan. Bila dibandingkan dengan keseluruhan nilai ekspor, maka ekspor tekstil dan pakaian jadi baru mencapai sekitar 2 persen, dari nilai ekspor non minyak dan hanya 0,99 persen dari nilai seluruh ekspor dalam tahun 1979. Ekspor tekstil pada Pelita II meningkat 6 kali lipat sedang ekspor pakaian jadi 10 kali lipat bila dibandingkan dengan Pelita I. meskipun demikian neraca perdagangan tekstil Indonesia masih tetap minus yang berarti impor lebih besar dari pada ekspor. Juga meskipun ekspor tekstil meningkat dengan pesat, ekspor tersebut hanya merupakan sebagian kecil saja dari pada ekspor industri kita. Tingginya nilai impor tersebut dikarenakan masih tinggi pula ketergantungan terhadap impor bahan baku, mesin-mesin dan kimia. Meskipun begitu, pengembangan industri-industri yang dapat menunjang pertumbuhan industri tekstil tersebut masih cukup mempunyai prospek yang sangat baik di Indonesia. Sejak tahun 1973 pemasaran tekstil dunia diatur atas dasar Multi Fiber Agreement MFA yang merupakan perluasan dari Short Term Cotton Agreement STCA yang lahir tahun 1961. MFA adalah persetujuan multilateral dalam rangka GATT yang ditanda tangani oleh negara importir dan eksportir yang bertujuan untuk mengatur laju pertumbuhan impor TPT disuatu negara agar tidak membahayakan industri TPT negara pengimpor. Sejak adanya MFA negara pengimpor TPT utama Amerika Serikat, Kanada, Scandinavia, dll mengendalikan pertumbuhan impor dari negara pemasok utama seperti Hongkong, Taiwan dan Korea Selatan. Sebagai kompensasinya mereka mencari negara pemasok baru antara lain Indonesia, dan negara-negara lainnya yang belum terkena kuota. Sehingga dengan adanya MFA, TPT Indonesia termasuk di dalamnya industri pakaian jadi ikut terbantu dalam menembus pasaran ekspor. Setelah Indonesia dianggap menjadi negara eksportir TPT, mulai tahun 1979 negara-negara pengimpor seperti Amerika Serikat, Swedia, MEE, Kanada dan Norwegia mengadakan persetujuan bilateral dengan Indonesia. Isi persetujuan tersebut antara lain berupa pembatasan volume ekspor TPT Indonesia ke negara yang bersangkutan dalam bentuk kuota. Tingkat pertumbuhan ekspor yang diperkenankan dibatasi maksimum hanya 3 persen hingga 7 persen dari volume ekspor tahun sebelumnya. Hal ini tentu saja berdampak pula bagi industri pakaian jadi yang memang merupakan bagian dari pada industri TPT Indonesia.

4.2. Periode pada Industri Pakaian Jadi