tahun 1986 sampai dengan tahun 1987 mengalami penurunan sebesar -3,87 persen Bank Bumi Daya, 1992.
4.2.2. Periode Krisis
Berdasarkan Tabel 4.1, perkembangan industri pakaian jadi mulai dari sebelum krisis di tahun 1995 hingga periode krisis bahkan pasca krisis, terus
mengalami peningkatan jika didasarkan pada kapasitas dan produksinya. Pada tahun 1995 kapasitas produksi sebesar 441.168 ton meningkat terus bahkan
dimasa krisis sekalipun, menjadi 572.026 ton di tahun 1999. Peningkatan kapasitas terpasang diikuti dengan peningkatan jumlah produksi dari 402.460 ton
di tahun 1995 menjadi 543.150 ton di tahun 1999. peningkatan realisasi produksi tersebut meningkatkan utilisasi pada tahun 1995 hingga tahun 1999 dari 91 persen
menjadi 95 persen. Tabel 4.1. Utilisasi Produksi Industri Pakaian Jadi
Tahun Kapasitas Ton
Produksi Ton Utilisasi
1995 441.168 402.460
91 1996 469.000
427.740 91
1997 486.062 460.365
95 1998 564.900
535.034 95
1999 572.026 543.150
95 2000 573.502
554.436 97
2001 584.972 565.524
97 2002 591.231
462.343 78
2003 590.322 461.632
78 2004 666.748
516.987 78
Sumber: Departemen Perindustrian dan API, 2005
Selama periode krisis yang terjadi di Indonesia, untuk daerah jawa tengah setidaknya hampir 50 persen tenaga kerja di industri pakaian jadi tidak bisa
bekerja penuh, meskipun mereka tidak sampai mengalami PHK. Bahkan tingkat produksi yang diperoleh hanya tinggal 60 persen dari normal. Hal tersebut juga
dikarenakan seluruh produksi adalah untuk konsumsi ekspor, sehingga masih bisa mempertahankan sekitar 300 pekerja.
Upaya-upaya yang dilakukan oleh para produsen tersebut adalah dengan mengantisipasi pasar, misalnya dengan mencari pembeli baru dan tidak hanya
berharap pada pelanggan tradisional. Selain itu, hal yang lain yang perlu dilakukan adalah melakukan diversifikasi usaha meskipun masih dalam satu
bidang usaha. Sebagai contoh, seperti yang dilakukan oleh batik tobal, selain berusaha meningkatkan produksi pakaian jadi, sejak awal dilakukan diversifikasi
dengan memproduksi sarung palekat. Upaya ini dilakukan sebagai cara untuk mencegah terjadinya pemutusan hubungan kerja.
Sedangkan pada industri pakaian jadi untuk konsumsi domestik yang sangat tergantung pada produksi tekstil dalam negeri, mengalami penurunan
sekitar 40 persen dari rata-rata produksi 600 potong seminggu. Penurunan ini bahkan belum pulih benar pasca krisis moneter. Apalagi pengaruh kenaikan nilai
Rupiah tidak banyak berarti bagi kebutuhan bahan baku tekstil. Industri pakaian jadi sebagai salah satu sub sektor dari industri TPT,
berperan penting dalam menyerap tenaga kerja dan ekspor non-migas. Sumbangan industri pakaian jadi beserta tekstil dan sepatu dalam konfigurasi ekspor non
migas dari industri padat karya Unskilled Labour Intensive IndustryULI mencapai 86 persen, dengan nilai ekspor hampir US 8 Miliar. Namun, ekspor
komoditas pakaian jadi di ikuti tekstil dan sepatu terus-menerus mengalami
penurunan sejak tahun 1994. Dilihat dari nilai ekspor memang mengalami kenaikan, tetapi pangsanya terhadap total ekspor ULI cenderung menurun dari
tahun ke tahun. Ada beberapa faktor yang dituding sebagai penyebab utama menurunnya
ekspor non migas. Pertama, menurunnya permintaan di negara-negara tujuan ekspor nonmigas dari Indonesia, yang bersamaan dengan faktor struktural
terutama meningkatnya persaingan dan menurunnya produktivitas. Kedua, menurunnya ekspor ULI disebabkan banyaknya perusahaan yang menutup
usahanya akibat krisis ekonomi maupun kalah bersaing dengan negara-negara pengekspor produk yang sama Kuncoro, 2006.
4.2.3. Periode Pasca Krisis