jalur peningkaan energi pada siklus TCA Newsholme et al. 2007, Liu et al. 2008, dan Kanetro 2009.
Hasil analisis jenis dan kadar asam amino total dan bebas pada hidrolisat, konsentrat, dan isolat protein teripang disajikan pada Tabel 10. Kadar asam
amino total menunjukkan perbedaan tidak terlalu besar antara HPT, KPT dan IPT, baik untuk kelompok asam amino penstimulasi insulin maupun non-
penstimulasi insulin. Asam amino penstimulasi insulin didominasi oleh asam amino alanin, sedangkan non-penstimulasi insulin didominasi oleh asam glutamat
dan asam aspartat. Sebaliknya untuk kadar asam amino bebas, HPT memiliki kadar asam amino bebas jauh lebih tinggi dibandingkan KPT dan IPT, baik untuk
kelompok asam amino penstimulasi insulin maupun non-penstimulasi insulin. Jenis asam amino bebas penstimulasi insulin pada HPT didominasi oleh asam
amino arginin dan fenilalanin, sedangkan non penstimulasi insulin didominasi oleh tirosin dan glisin. Tingginya kadar asam amino bebas pada HPT disebabkan
oleh terjadinya degradasi protein yang dikatalisis oleh enzim tripsin. Tabel 10 Profil asam amino total dan bebas HPT, KPT, dan IPT
Kelompok asam amino
Asam Amino Profil asam amino total
bk Profil asam amino
bebas bk HPT
KPT IPT
HPT KPT
IPT
Penstimulasi insulin
Leusin 2.96
2.58 3.25
0.26 0.01
0.01 Arginin
0.94 5.90
3.71 0.40
0.01 0.04
Lisin 1.17
1.12 2.92
0.19 0.04
0.02 Alanin
6.47 5.78
2.46 0.13
0.02 0.02
Fenilalanin 1.41
1.25 3.05
0.39 0.05
0.02 Isoleusin
1.43 1.21
2.32 0.12
0.01 0.01
Metionin 0.83
0.71 0.93
0.28 0.00
0.00
Jumlah 15.21
18.55 18.64
1.77 0.14
0.12
Non-penstimulasi insulin
Asam aspartat 6.56
5.65 6.69
0.03 0.01
0.01 Asam glutamat
10.76 9.64
8.20 0.08
0.07 0.05
Serin 2.68
2.20 2.94
0.05 0.01
0.01 Histidin
0.31 0.26
0.65 0.14
0.00 0.00
Glisin 6.06
5.42 2.83
0.25 0.01
0.01 Treonin
3.16 2.71
3.35 0.09
0.00 0.01
Tirosin 1.41
1.23 2.32
0.37 0.00
0.00 Valin
2.45 2.11
2.99 0.10
0.01 0.01
Jumlah 33.39
29.22 29.97
1.11 0.11
0.10 TOTAL
48.6 47.77
48.61 2.88
0.25 0.22
HPT=Hidrolisat Protein Teripang, KPT=Konsentrat Protein Teripang, IPT=Isolat Protein Teripang
Proses hidrolisis protein teripang mengunakan enzim tripsin dapat meningkatkan kadar asam amino yang dibebaskan oleh enzim tersebut pada
hidrolisat yang dihasilkan dibandingkan proses isolasi menggunakan pengaturan pH titik isoelektrik dan proses ekstraksi menggunakan pengekstrak aseton. Hal ini
menunjukkan bahwa proses hidrolisis menggunakan enzim tripsin selama 24 jam telah mengakibatkan degradasi protein yang dikatalisis oleh enzim tripsin yang
bekerja secara endopeptidase yaitu mendegradasi protein mulai dari bagian tengah rantai peptida, kemudian degradasi dilanjutkan oleh peptida hidrolase menjadi
asam amino bebas. Berdasarkan penjelasan di atas, maka keberadaan asam amino bebas
penstimulasi insulin dalam hidrolisat protein teripang dapat meningkatkan kecepatan stimulasi sekresi insulin oleh sel beta pankreas, sehingga mempercepat
peningkatan plasma insulin yang berdampak pada peningkatan kecepatan penurunan glukosa darah. Hal ini sangat bermanfaat bagi penderita DM tipe 2
khususnya yang ditimbulkan oleh gangguan sekresi insulin akibat kurangnya ketersediaan energi pada sel beta pankreas.
4.2.3. Penghambatan Aktivitas Enzim α- Glukosidase secara In Vitro
Penghambatan suatu reaksi yang dikatalisis enzim dapat menghambat jalur metabolik utama dengan mencegah pembentukan suatu metabolit esensial maupun
metabolit yang tidak diinginkan. Enzim α-glukosidase EC 3.2.1.20 adalah enzim
yang mengkatalisasi pemecahan ikatan α-1,6 glikosida. Enzim ini berfungsi untuk melanjutkan kerja α-amilase, yaitu menghidrolisis lanjut α-limit dextrin menjadi
glukosa Berdanier et al. 2006. Alfa-glukosidase pada pencernaan mamalia berada pada permukaan membran brush border sel usus halus dan merupakan
enzim yang mengkatalisis proses akhir pencernaan karbohidrat pada proses pencernaan Lebovitz 1997. Senyawa yang dapat menghambat aktivitas enzim
tersebut menunjukkan indikasi sebagai antidiabetes. Penghambatan aktivitas enzim α-glukosidase pada penderita DM sangat bermanfaat untuk menurunkan
kadar glukosa darah, terutama setelah makan. . Hasil uji daya hambat aktivitas enzim
α-glukosidase Gambar 17 dan sidik ragam ANOVA Lampiran 8 uji daya hambat HPT, KPT, dan IPT
terhadap aktivitas enzim α-glukosidase menunjukkan adanya perbedaan yang
sangat nyata antar perlakuan P0.01. Uji lanjut Duncan Lampiran 8 menunjukkan bahwa HPT, KPT, dan IPT memiliki daya hambat terhadap aktivitas
enzim α-glukosidase mulai dari konsentrasi 1000-10 000 ppm. HPT memiliki
daya hambat tertinggi dan berbeda sangat nyata P0.01 dibandingkan KPT dan IPT pada setiap konsentrasi yang diuji, mulai dari 1000 ppm hingga 10 000 ppm.
Rata- rata daya hambat HPT terhadap enzim α-glukosidase sebesar 22 pada
konsentrasi 1000 ppm dan 72 pada konsentrasi 10 000 ppm, untuk KPT 12 1000 ppm dan 56 10 000 ppm, sedangkan IPT 13 1000 ppm dan 58
10 000 ppm. Perbedaan kemampuan daya hambat HPT, KPT, dan IPT terhadap enzim α-glukosidase diduga akibat perbedaan kandungan asam amino bebas. Data
tersebut menunjukkan bahwa HPT memiliki potensi yang lebih besar sebagai antidiabetes karena menurut Inzucchi 2002,
enzim α-glukosidase berfungsi menghidrolisis karbohidrat menjadi gula sederhana glukosa pada usus, sehingga
senyawa yang dapat menghambat aktivitas enzim α-glukosidase menunjukkan
indikasi bahwa senyawa tersebut berpotensi sebagai antidiabetes dan dapat memperlambat penyerapan glukosa setelah makan, sehingga menurunkan kadar
glukosa darah.
Gambar 17 Daya hambat HPT, KPT, dan IPT terhadap aktivitas enzim α-glukosidase. Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada
setiap konsentrasi menunjukkan perbedaan yang sangat nyata P0.01. HPT=Hidrolisat Protein Teripang, KPT=Konsentrat
Protein Teripang, IPT=Isolat Protein Teripang.
Penghambatan aktivitas enzim α-glukosidase oleh hidrolisat, konsentrat,
dan isolat protein teripang diduga karena adanya perbedaan kadar asam amino yang menyusun protein maupun peptida-peptida pendek yang dikandung oleh
ketiga produk tersebut. Hidrolisat protein teripang yang memiliki kadar protein dan asam amino bebas lebih tinggi serta kemungkinan terbentuknya peptida-
peptida pendek bioaktif yang lebih banyak selama proses hidrolisis memiliki daya hambat terhadap aktivitas
enzim α-glukosidase lebih besar dibandingkan konsentrat dan isolat protein teripang. Li et al. 2004 melaporkan bahwa
beberapa asam amino penyusun protein maupun peptida seperti triptopan, fenilalanin, tirosin atau prolin pada C-terminal, dan asam amino alifatik bercabang
seperti alanin, valin, isoleusin dan leusin pada N-terminal memiliki kemampuan sebagai inhibitor suatu enzim, seperti yang telah dicobakan pada enzim
Angiotensin I-Converting Enzyme. Sedangkan Moritoh et al. 2009 melaporkan bahwa voglibose memiliki kemampuan meningkatkan aktivitas glukagon-like
peptide-1 GLP-1, sehingga dapat menghambat aktivitas enzim α-glukosidase.
Selanjutnya Koch et al. 1988 melaporkan bahwa telah ditemukan suatu peptida yaitu peptida YY yang terdapat pada bagian ileum dan usus besar yang memiliki
kemampuan menghambat aktivitas enzim glukosidase usus. Mekanisme lain yang diduga dapat menghambat aktivitas enzim
α- glukosidase adalah adanya beberapa senyawa bioaktif yang terkandung dalam
hidrolisat, konsentrat, dan isolat protein teripang. Penghambatan oleh beberapa senyawa bioaktif tersebut diduga dapat berikatan dengan enzim dan menyebabkan
penurunan kecepatan reaksi enzim. Kondisi ini menyebabkan terjadinya penurunan metabolisme karbohidrat menjadi glukosa oleh enzim
α-glukosidase, sehingga dengan sendirinya akan menurunkan kadar glukosa dalam darah yang
sangat bermanfaat bagi penderita DM. Mekanisme penghambatan oleh peptida-peptida pendek dan senyawa
bioaktif tersebut dapat bersifat kompetitif, non kompetitif maupun unkompetitif Suhartono 1989. Efek penghambatan akan terjadi karena inhibitor yang diduga
peptida-peptida pendek dan beberapa senyawa bioaktif tersebut akan berikatan dengan sisi allosterik maupun aktif enzim, sehingga dapat membentuk ikatan
dengan enzim dalam keadaan bebas, disamping dapat membentuk ikatan dengan
komplek enzim substrat. Ikatan inhibitor terhadap enzim bebas dan enzim substrat dapat menyebabkan terbentuknya kompleks enzim inhibitor atau enzim substrat
inhibitor yang bersifat tidak produktif karena tidak dapat membentuk produk. Produk hanya akan terbentuk jika ikatan inhibitor lepas dari kompleks enzim
substrat inhibitor. Reaksi sampingan yang sangat merugikan akibat pengaruh inhibitor pada jenis penghambatan ini adalah besarnya peluang sisi aktif enzim
untuk berubah secara permanen dari keadaan alami jika kompleks enzim inhibitor memiliki ikatan yang sangat kuat. Hal ini akan menyebabkan enzim kehilangan
reaktifitasnya secara permanen Suhartono 1989.
4.3. Aktivitas Hipoglikemik
Hasil pengukuran kadar glukosa darah seluruh sampel uji hidrolisat, konsentrat, dan isolat dibuat dalam bentuk kurva dan dibandingkan aktivitas
hipoglikemiknya. Rata-rata hasil pengukuran kadar glukosa darah tikus n=5 pada saat puasa dan selama uji aktifitas hipoglikemiknya disajikan pada Lampiran
9. Hasil penelitian menunjukkan adanya variasi pada perubahan kadar glukosa darah tikus. Kondisi ini dipengaruhi oleh kadar glukosa darah puasa dan respon
individu. Variasi respon glikemik yang ditimbulkan ini, tidak hanya terjadi pada hewan percobaan, tetapi juga pada manusia, sebagaimana hasil penelitian
Marsono et al. 2002 menunjukkan bahwa adanya variasi kadar glukosa darah relawan yang diukur pada pengujian indeks glikemik IG. Berdasarkan hal
tersebut, untuk melihat respon glikemik tidak dapat dibandingkan secara langsung dengan cara memplotkan data pada kurva. Aktivitas hipoglikemik hidrolisat,
konsentrat, dan isolat protein teripang dapat ditentukan dengan cara menghitung perubahan kadar glukosa darah, yaitu selisih antara kadar glukosa darah setelah
konsumsi hidrolisat, konsentrat, dan isolat protein teripang terhadap kadar glukosa darah puasa Tabel 11, 12, dan 13. Data tersebut kemudian diplot pada kurva dan
aktivitas hipoglikemik ditunjukkan dengan luas area di bawah kurva Gambar 18, 19, dan 20 dari masing-masing perlakuan. Semakin besar luas area di bawah
kurva atau semakin tinggi respon glikemiknya berarti aktivitas hipoglikemiknya semakin rendah Widowati 2007.
Tabel 11 Perubahan kadar glukosa darah tikus setelah pemberian hidrolisat protein teripang terhadap kadar glukosa darah puasa n=5
No Perlakuan
Perubahan kadar glukosa darah mgdl Luas
kurva mm
2
Puasa Setelah pemberian perlakuan
Hidrolisat Protein Teripang 30
60 90
120 150
1. KN 1.4
a
1 -1.8
0.4 2.6
385.33
a
2. KP 42.6
b
10.4 0.4
-5.4 -9.2
2302.33
c
3. Acarbose 10.8
a
5.2 -0.6
-9.8 -9.2
930.17
ab
4. HPT 100 mgkg bb 10.6
a
3.4 -4.8
-7 -9
1261.83
b
5. HPT 200 mgkg bb 9.8
a
-3.6 -8
-8 -88
1191.83
b
6. HPT 300 mgkg bb 3.8
a
6.6 -0.6
-7.4 -10.4
707.00
ab
Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata P0.01. KN=kontrol negatif, KP=kontrol positif, Acarbose= kontrol obat,
HPT=hidrolisat protein teripang 100, 200, dan 300 mgkg bb. puncak perubahan kadar glukosa darah.
Hasil sidik ragam ANOVA aktivitas hipoglikemik perlakuan hidrolisat protein teripang menunjukkan perbedaan yang sangat nyata P0.01 terhadap
luas area di bawah kurva kadar glukosa darah Lampiran 10. Uji lanjut Duncan Lampiran 10 menunjukkan kelompok perlakuan HPT 300 mgkg bb memiliki
luas area di bawah kurva menyamai kelompok perlakuan kontrol obat acarbose dan kontrol negatif tikus normal, bahkan sangat nyata lebih kecil dibandingkan
kelompok perlakuan kontrol positif tikus DM. Hal tersebut berarti perlakuan pemberian HPT 300 mgkg bb memiliki kemampuan dan sifat hipoglikemik
terbaik. Tabel 12 Perubahan kadar glukosa darah tikus setelah pemberian konsentrat
protein teripang terhadap kadar glukosa darah puasa n=5
No Perlakuan
Perubahan kadar glukosa darah mgdl Luas
kurva mm
2
Puasa Setelah pemberian perlakuan
Konsentrat Protein Teripang 30
60 90
120 150
1. KN 1.4
a
1 -1.8
0.4 2.6
385.33
a
2. KP 42.6
d
10.4 0.4
-5.4 -9.2
2302.33
c
3. Acarbose 10.8
ab
5.2 -0.6
-9.8 -9.2
930.17
ab
4. KPT 100 mgkg bb 26.2
c
17 5
3.2 3 1820.00
bc
5. KPT 200 mgkg bb 19.8
bc
14.6 5.6
1.8 1.6 1811.00
bc
6. KPT 300 mgkg bb 0 11.25
abc
9.5 -3.5
1.75 -2
910.00
ab
Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata P0.01. KN=kontrol negatif, KP=kontrol positif, Acarbose= kontrol obat,
KPT=konsentrat protein teripang 100, 200, dan 300 mg kg bb.
puncak perubahan kadar glukosa darah.
Perbedaan yang sangat nyata P0.01 terhadap luas area di bawah kurva kadar glukosa darah, juga diperlihatkan oleh perlakuan konsentrat protein teripang
berdasarkan hasil sidik ragam ANOVA Lampiran 11. Hasil uji lanjut Duncan Lampiran 11 menunjukkan kelompok perlakuan KPT 300 mgkg bb memiliki
luas area di bawah kurva menyamai kelompok perlakuan kontrol obat acarbose dan kontrol negatif tikus normal, bahkan sangat nyata lebih kecil dibandingkan
kelompok perlakuan kontrol positif tikus DM. Hasil ini berarti perlakuan pemberian KPT 300 mgkg bb memiliki kemampuan dan sifat hipoglikemik
terbaik. Tabel 13 Perubahan kadar glukosa darah tikus setelah pemberian isolat protein
teripang terhadap kadar glukosa darah puasa n=5
No Perlakuan
Perubahan kadar glukosa darah mgdl Luas
kurva mm
2
Puasa Setelah pemberian perlakuan
Isolatt Protein Teripang 30
60 90
120 150
1. KN 1.4
a
1 -1.8
0.4 2.6
385.33
a
2. KP 42.6
d
10.4 0.4
-5.4 -9.2
2302.33
c
3. Acarbose 10.8
ab
5.2 -0.6
-9.8 -9.2
930.17
ab
4. IPT 100 mgkg bb 28
c
17.2 2.6
1.6 0.4
2030.00
c
5. IPT 200 mgkg bb 18.8
bc
4.2 -2
-2.2 -7.4 1586.00
bc
6. IPT 300 mgkg bb 9.2
ab
8.4 -0.2
-6.2 -7.8
804.33
ab
Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata P0.01. KN=kontrol negatif, KP=kontrol positif, Acarbose= kontrol obat,
IPT=isolat protein teripang 100, 200, dan 300 mgkg bb.
puncak perubahan kadar glukosa darah.
Hasil yang sama juga ditunjukkan oleh sidik ragam ANOVA pada pemberian perlakuan isolat protein teripang yang berbeda sangat nyata P0.01
terhadap luas area di bawah kurva kadar glukosa darah Lampiran 12. Selanjutnya hasil uji lanjut Duncan Lampiran 12 memperlihatkan kelompok
perlakuan 300 mgkg bb memiliki luas area di bawah kurva yang sangat nyata lebih kecil dibandingkan kelompok perlakuan kontrol positif tikus DM,
sedangkan kelompok perlakuan IPT 100 dan 200 mgkg bb tidak berbeda nyata. Kelompok Perlakuan IPT 300 mgkg bb memiliki luas area di bawah kurva
menyamai kelompok perlakuan kontrol obat acarbose dan kontrol negatif tikus normal. Data ini menunjukkan bahwa kelompok perlakuan pemberian IPT 300
mgkg bb memiliki kemampuan dan sifat hipoglikemik terbaik.
Parameter lain yang dapat digunakan untuk menentukan perlakuan yang memiliki sifat hipoglikemik terbaik adalah dengan mempertimbangkan puncak
kadar glukosa darah. Seluruh perlakuan yang diuji menunjukkan puncak perubahan kadar glukosa darah terjadi pada menit ke-30 setelah pemberian
perlakuan, kecuali perlakuan HPT 300 mgkg bb, puncak kadar glukosa darah dicapai pada menit ke-60 Gambar 18, 19, dan 20.
Hasil sidik ragam ANOVA puncak kadar glukosa darah perlakuan hidrolisat protein teripang menunjukkan perbedaan yang sangat nyata P0.01
Lampiran 13. Uji lanjut Duncan Lampiran 13 menunjukkan kelompok perlakuan HPT 100, 200, dan 300 mgkg bb serta kontrol obat acarbose berbeda
sangat nyata dengan kontrol positif tikus DM. Puncak kadar glukosa darah kelompok perlakuan 100 dan 200 mgkg bb serta kontrol obat acarbose dan
kontrol positif tikus DM terjadi pada menit ke-30, sedangkan kelompok perlakuan HPT 300 mgkg bb pada menit ke-60. Hasil ini mendukung analisis
statistik luas area di bawah kurva sebelumnya yang menyatakan bahwa kelompok perlakuan HPT 300 mgkg bb memiliki kemampuan dan sifat hipoglikemik
terbaik. Hasil yang sama juga ditunjukkan oleh dua kelompok perlakuan lainnya, yaitu kelompok perlakuan konsentrat dan isolat protein teripang. Berdasarkan
sidik ragam ANOVA Lampiran 14 dan 15 menunjukkan perbedaan yang sangat nyata P0.01 terhadap waktu puncak kadar glukosa darah. Uji lanjut
Duncan Lampiran 14 dan 15 menunjukkan kelompok perlakuan KPT dan IPT 300 mgkg bb menyamai kelompok kontrol negatif tikus normal dan sangat
nyata lebih rendah dibandingkan kelompok kontrol positif tikus DM, sebaliknya kelompok perlakuan 100 dan 200 mgkg bb menunjukkan puncak kadar glukosa
darah sangat nyata lebih tinggi dibandingkan kelompok perlakuan kontrol negatif. Hasil ini juga menguatkan hasil analisis statistik luas area di bawah kurva
sebelumnya, bahwa kelompok perlakuan KPT dan IPT 300 mgkg bb memiliki kemampuan dan sifat hipoglikemik terbaik.
Gambar 18 Perubahan kadar glukosa darah tikus setelah pemberian HPT. KN=kontrol negatif, KP=kontrol positif, Acarbose= kontrol obat,
HPT=hidrolisat protein teripang 100, 200, dan 300 mgkg bb.
Gambar 19 Perubahan kadar glukosa darah tikus setelah pemberian KPT. KN=kontrol negatif, KP=kontrol positif, Acarbose= kontrol obat,
KPT=konsentrat protein teripang 100, 200, dan 300 mgkg bb.
Gambar 20 Perubahan kadar glukosa darah tikus setelah pemberian IPT. KN=kontrol negatif, KP=kontrol positif, Acarbose= kontrol obat,
IPT=isolat protein teripang 100, 200, dan 300 mgkg bb.
Kadar glukosa darah dalam kondisi normal akan meningkat setelah makan dan tetap bertahan dalam waktu singkat. Kondisi ini menyebabkan sekresi insulin
akan meningkat, seiring dengan meningkatnya kadar glukosa darah. Hormon insulin tersebut berfungsi mentransfer glukosa agar dapat dimanfaatkan oleh sel-
sel jaringan. Glukosa yang tidak dimanfaatkan oleh sel akan disimpan di dalam hati dalam bentuk glikogen yang jumlahnya sekitar dua per tiga dari glukosa yang
diserap oleh usus. Beberapa jam berikutnya, jika konsentrasi kadar glukosa darah dan sekresi insulin mulai berkurang, maka glikogen yang disimpan dalam hati
akan dilepas kembali ke dalam darah dalam bentuk glukosa. Hormon yang berperan dalam pelepasan kembali glukosa ke dalam darah adalah glukagon yang
dihasilkan oleh sel alfa pulau Langerhans. Hormon insulin dan glukagon bekerja berlawanan, insulin untuk menurunkan kadar glukosa darah dan glukagon untuk
meningkatkan kadar glukosa darah, sehingga kadar glukosa di dalam darah tetap terjaga pada tingkat normal.
Pada penderita DM, peningkatan kadar glukosa darah setelah mengkonsumsi makanan tidak diimbangi oleh sekresi insulin. Hal ini disebabkan:
1 produksi insulin sangat terbatas bahkan tidak dapat memproduksi insulin lagi karena terjadi kerusakan pada sel beta pankreas, 2 mengalami resistensi insulin,
meskipun sel beta pankreas mampu memproduksi insulin dalam jumlah yang cukup, tetapi tidak dapat bekerja normal, disebabkan reseptor insulin pada
permukaan sel tertutup oleh lemak kasus obesitas sehingga menurunkan laju pengambilan glukosa oleh sel-sel tubuh pada DM tipe II. Kondisi ini
menyebabkan penderita DM, jika mengkonsumsi jenis pangan yang sama dengan orang sehat normal maka kadar glukosa darahnya akan tetap tinggi dan bertahan
dalam waktu yang lama. Berdasarkan penjelasan di atas, maka pada penderita DM dalam
melakukan terapi diet harus memilih jenis pangan yang memiliki aktivitas hipoglikemik tinggi atau yang mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah
Widowati 2007. Hidrolisat protein teripang memiliki aktivitas hipoglikemik tinggi, sehingga dapat menghambat kenaikan kadar glukosa darah dan memiliki
puncak glikemik yang lebih rendah dibandingkan konsentrat dan isolat protein teripang. Oleh karena itu, mengkonsumsi hidrolisat protein teripang sebagai
pangan fungsional bagi penderita DM, dapat menghambat kenaikan kadar glukosa darah secara drastis, sehingga sekresi insulin yang diperlukan dapat disesuaikan
dengan kondisi diabetes yang mempunyai gangguan dalam produksi maupun yang mengalami resistensi insulin.
4.4.
Evaluasi Daya Hipoglikemik Hidrolisat, Konsentrat, dan Isolat Protein Teripang
4.4.1. Komposisi Kimia Ransum Tikus Percobaan
Komposisi ransum tikus percobaan disusun berdasarkan ransum standar metode AOAC 1995. Sebanyak 35 ekor tikus percobaan digunakan pada tahap
ini, yang terlebih dahulu diadaptasikan selama satu minggu. Selama percobaan tikus diberi minum secara ad libitum dan ransum standar AOAC 1995 dengan
formulasi terlihat pada Tabel 14. Tabel 14 Formulasi ransum standar tikus percobaan per 100 g, AOAC 1995
Komposisi Jumlah
Bahan Berat ditimbang
g Protein
10 Kasein
11.99 Lemak
8 Minyak
Jagung 7.98
Air 5
Aquades 3.81
Mineral 5
Mineral mix 4.91
Serat 1
CMC 0.98
Vitamin 1
Fitkom 1
Karbohidrat 70
Pati Jagung 69.33
Sumber protein yang digunakan adalah kasein, dengan sumber lemak adalah minyak jagung corn oil. Mineral yang digunakan adalah mineral mix
yang terdiri dari KI 0.79 g, NaCl 139.30 g, KH
2
PO
4
389.99 g, MgSO
4
anhidrat 53.70 g, CaCO
3
381.40 g, FeSO
4
.7H
2
0 27 g, MnSO
4
.2H
2
0 4.01 g, ZnSO
4
.7H
2
0.55 g, CuSO
4
.5H
2
0 0.48 g dan CoCl
2
.6H
2
0 0.02 g Muchtadi 2010. Air yang digunakan adalah aquades, dengan sumber serat yaitu CMC. Vitamin yang
digunakan adalah fitkom rasa jeruk yang terdiri dari beberapa jenis vitamin yaitu vitamin A, vitamin B
1
, vitamin B
2
, vitamin B
6
, vitamin B
12
, vitamin C, vitamin D
3
, nicotinamidum, kalsium pantotenat dan vitamin E. Sedangkan jenis pati yang digunakan adalah pati jagung corn starch. Hasil analisis proksimat ransum
standar terlihat pada Tabel 15.
Tabel 15 Analisis proksimat ransum standar tikus percobaan Komposisi
Kandungan Kadar Air
16.4 Kadar Abu
4.2 Kadar Protein
10.9 Kadar Lemak
8.3 Kadar Karbohidrat
60.2
4.4.2. Hewan Model Diabetes Melitus dan Induksi Aloksan
Hewan model yang banyak digunakan secara luas dalam penelitian diabetes adalah tikus, kelinci, maupun hewan primata. Beberapa penelitian telah
membuktikan bahwa penggunaan hewan model ini dapat menggambarkan dengan baik berbagai keadaan diabetes pada manusia baik dari aspek fisiologis, morfologi
maupun homogenitas genetiknya. Hewan model juga merupakan sarana yang baik untuk memanipulasi keadaan yang tidak memungkinkan dilakukan pada manusia
Widowati 2007. Penelitian ini menggunakan tikus putih jantan Sparague Dawley. Hewan ini telah diketahui sifatnya dengan baik, mudah dipelihara, relatif
sehat dan peka terhadap pengaruh perlakuan dalam komponen dietnya. Tikus percobaan diperoleh dari Pusat Studi Biofarmaka IPB, dengan berat
badan antara 150-200 g. Tikus percobaan sebelum digunakan, terlebih dahulu dilakukan adaptasi selama satu minggu dengan tujuan agar tikus percobaan
terbiasa dengan lingkungannya. Selama masa adaptasi, tikus diberi ransum standar dan diberi minum secara ad libitum.
Hewan model untuk diabetes melitus yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan hasil induksi eksperimental, dengan bahan kimia diabetogenik.
Aloksan dan streptozotosin STZ merupakan senyawa diabetogenik, dengan dosis tertentu dapat menyebabkan kerusakan selektif terhadap sel-sel beta
pankreas sehingga menghasilkan hiperglikemia permanen yang merupakan salah satu ciri DM tipe I IDDM. Penelitian ini menggunakan aloksan dengan dosis
tunggal 110 mgkg berat badan tikus Wresdiyati et al. 2008. Penggunaan dosis ini setelah dua hari dapat menghasilkan tikus hiperglikemia permanen sekitar
85. Hasil ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Widowati 2007 dengan dosis yang sama menghasilkan tikus hiperglikemia permanen sekitar 90.
Penggunaan dosis ini masih dalam kisaran yang dilaporkan oleh Szkudelski
2001 yaitu 70-120 mgkg bb. Tikus percobaan sebelum diinduksi aloksan, kadar gula darah tikus diukur terlebih dahulu untuk memastikan bahwa tikus dalam
keadaan normal dan sehat atau tidak menderita diabetes melitus. Beberapa peneliti melaporkan bahwa dosis aloksan yang dapat
menghasilkan kondisi hiperglikemia permanen tergantung dari jenis, umur dan kondisi hewan percobaan. Cooperstein dan Watkins 1981 melaporkan bahwa
penggunaan aloksan mempengaruhi kadar glukosa darah, dan apabila diplotkan dalam kurva terbagi menjadi tiga fase. Fase pertama terjadi hiperglikemia yang
berlangsung selama 1-4 jam setelah injeksi, yang diikuti fase hipoglikemia antara 6-12 jam, dan fase ketiga hiperglikemia permanen pada 12-24 jam setelah injeksi.
Kadang-kadang sebelum fase pertama, terjadi hipoglikemia singkat yaitu 20-30 menit setelah injeksi aloksan. Hal ini yang menyebabkan seleksi tikus DM dalam
penelitian ini dilakukan setelah dua hari injeksi aloksan. Awalnya penelitian ini ingin menggunakan tikus dengan variasi kadar gula darah awal antar hewan model
yang kecil, yaitu berkisar 250-300 mgdl DM sedang. Namun ternyata sangat sulit untuk mendapatkan kondisi yang diinginkan, oleh karena itu semua tikus
percobaan DM dengan kadar glukosa awal lebih dari 200 mgdl digunakan dalam penelitian ini. Rata-rata kadar glukosa awal masing-masing kelompok berkisar
antara 345 mgdl sampai dengan 356 mgdl Tabel 16. 4.4.3.
Daya Hipoglikemik Hidrolisat, Konsentrat, dan Isolat pada Tikus Percobaan
Peningkatan produksi glukosa hati dan penurunan pemanfaatan glukosa oleh jaringan perifer merupakan penyebab tingginya konsentrasi glukosa darah
hiperglikemia pada individu penderita DM. Selanjutnya DM akan menyebabkan terjadinya gangguan pada metabolisme karbohidrat, DM dapat pula
mempengaruhi metabolisme protein dan lemak. Asam amino terpaksa dikonversi menjadi glukosa. Ketosis merupakan salah satu gangguan metabolisme asam
lemak, yang terjadi karena meningkatnya metabolisme trigliserida yang diikuti dengan kelebihan produksi keton bodies dan kolesterol.
Hasil penelitian Iwai 2008 serta Frode dan Medeiros 2008 menunjukkan bahwa kadar glukosa darah hewan percobaan yang mengalami DM
lebih tinggi dan berbeda sangat nyata dibanding hewan uji normal. Hiperglikemik
pada hewan coba diabetes tersebut terjadi akibat defisiensi insulin. Frode dan Medeiros 2008 menjelaskan defisiensi insulin pada hewan DM terjadi karena
masuknya bahan penginduksi diabetes streptozotocin ke dalam sel beta pankreas melalui glukosa transporter 2 Glut 2, sehingga menyebabkan alkilasi
DNA sel beta tersebut dan akhirnya sel beta pankreas mengalami nekrosis. Daya hipolikemik hidrolisat, konsentrat, dan isolat protein teripang
dievaluasi melalui pengukuran kadar glukosa darah tikus selama masa percobaan. Pengukuran kadar glukosa darah dilakukan setiap 4 hari dalam 28 hari masa
percoban. Hasil pengukuran kadar glukosa darah tikus tampak pada Tabel 16. Hasil penelitian menunjukkan kadar glukosa darah tikus percobaan yang diberi
perlakuan hidrolisat, konsentrat, dan isolat mengalami penurunan dibandingkan kontrol positif yang cenderung sedikit fluktuatif dan meningkat sampai akhir masa
pecobaan, sedangkan kontrol negatif kadar glukosa darahnya tetap normal. Tabel 16 Rata-rata kadar glukosa darah tikus selama 28 hari percobaan mgdl
n=5
Hari ke-
Kelompok Perlakuan KN
KP DM+HPT
DM+KPT DM+IPT
118.00 ± 4.24
a
345.00 ± 58.51
b
346.00 ± 148.98
b
356.80 ± 85.99
b
354.40 ± 120.74
b
4 116.60 ± 9.37
a
500.80 ± 91.75
b
367.80 ± 124.17
b
476.80 ± 98.55
b
386.00 ± 159.49
b
8 116.00 ± 4.85
a
564.60 ± 38.08
c
323.00 ± 141.02
ab
432.00 ± 146.55
bc
327.80 ± 157.53
ab
12 122.80 ± 7.12
a
502.00 ± 69.54
c
270.60 ± 129.72
ab
398.00 ± 139
bc
307.40 ± 151.66
abc
16 121.00 ± 9.92
a
515.20 ± 34.82
c
236.20 ± 116.30
ab
376.80 ± 116.96
bc
278.40 ± 150.82
ab
20 120.40 ± 2.41
a
531.00 ± 54.68
c
217.40 ± 91.54
ab
358.40 ± 120.17
bc
282.60 ± 157.10
ab
24 120.80 ± 12.46
a
490.80 ± 72.45
c
180.00 ± 39.42
ab
359.60 ± 133.06
bc
270.20 ± 160.78
ab
28 121.80 ± 7.92
a
538.40 ± 57.66
c
159.60 ± 30.13
ab
333.40 ± 116.15
b
256.60 ± 162.00
ab
Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata P0.01. KN=kontrol negatif tikus normal, KP=kontrol positif tikus DM, DM+HPT=kelompok DM yang
diberi hidrolisat protein teripang, DM+KPT=kelompok DM yang diberi konsentrat protein teripang, DM+IPT=kelompok DM yang diberi isolat protein teripang.
Kurva daya hipoglikemik HPT, KPT, dan IPT terhadap perubahan kadar glukosa darah tikus percobaan selama 28 hari terlihat pada Gambar 21. Hasil
sidik ragam ANOVA Lampiran 16 terhadap daya hipoglikemik sampai hari ke-28, kadar glukosa darah menunjukkan perbedaan yang sangat nyata P0.01.
Uji lanjut Duncan Lampiran 16 memperlihatkan kadar glukosa darah kelompok tikus perlakuan kontrol positif tikus DM berfluktuasi dan mengalami kenaikan
selama 28 hari percobaan, sebaliknya untuk kelompok tikus DM yang diberi
perlakuan HPT, KPT, dan IPT cenderung mengalami penurunan kadar glukosa darah selama 28 hari percobaan, sedangkan kelompok tikus kontrol negatif tikus
normal kadar glukosa darahnya tetap normal 118-121.8 mgdl. Kelompok tikus perlakuan DM+HPT memiliki penurunan rata-rata kadar glukosa paling besar
yaitu 186.4 mgdl 53.9, dibandingkan kelompok perlakuan DM+IPT 97.8 mgdl atau 27.6, dan kelompok DM+KPT 23.4 mgdl atau 6.6, apalagi
dengan kelompok tikus kontrol positif yang memiliki kadar glukosa darah terus meningkat dengan rata-rata peningkatan 193.4 mgdl 56.1. Hasil ini
menunjukkan bahwa perlakuan HPT memiliki kemampuan lebih baik dalam menghambat laju kenaikan kadar glukosa darah pada individu yang menderita
DM, bahkan pemberian HPT dapat menurunkan kadar glukosa darah tikus percobaan sampai ke tingkat normal. Hal ini tentu saja belum bisa digunakan
sebagai acuan secara langsung, namun demikian hidrolisat protein teripang telah memberikan dampak dalam pengendalian kadar glukosa darah pada tikus
percobaan. Hidrolisat protein teripang bukan obat atau pengganti obat, namun ada harapan apabila dikonsumsi dapat membantu mengendalikan kadar glukosa darah
penderita DM.
Gambar 21 Perubahan kadar glukosa darah tikus selama 28 hari percobaan.
KN=kontrol negatif tikus normal, KP=kontrol positif tikus DM, DM+HPT=kelompok DM yang diberi hidrolisat protein teripang,
DM+KPT=kelompok DM yang diberi konsentrat protein teripang, DM+IPT=kelompok DM yang diberi isolat protein teripang.
Kemampuan hidrolisat protein teripang menekan kenaikan kadar glukosa darah pada tikus diabetes diduga melalui kemampuan asam amino bebas yang
dikandung hidrolisat protein teripang yang dapat menstimulasi sel beta untuk mensekresi insulin. Hal ini tekait dengan penelitian Newsholme et al. 2007
yang menyatakan bahwa beberapa asam amino seperti leusin, arginin, lisin, alanin, fenilalanin, isoleusin, dan metionin dalam bentuk bebas mampu
menstimulasi sekresi insulin. Kenaikan kadar insulin dapat meningkatkan dan mempercepat metabolisme glukosa sehingga kadar glukosa darah menjadi normal
kembali. Kadar insulin yang tinggi dapat pula menstimulasi sebagian besar komponen karbohidrat diubah menjadi energi.
Faktor lain yang diduga dimiliki oleh hidrolisat protein teripang dalam menurunkan kadar glukosa darah adalah kemampuannya menghambat aktivitas
enzim -glukosidase. Iwai 2008, Lee et al. 2010, dan Nwosu et al. 2010
melaporkan bahwa penurunan kadar glukosa darah pada hewan DM karena adanya kemampuan menghambat aktivitas enzim
-glukosidase. Diduga efek penghambatan akan terjadi karena inhibitor yang diduga peptida-peptida pendek
dan beberapa senyawa bioaktif akan berikatan dengan sisi allosterik enzim, dan akan mengubah sisi aktifnya. Selanjutnya inhibitor dapat membentuk ikatan
dengan enzim dalam keadaan bebas, disamping dapat membentuk ikatan dengan komplek enzim substrat. Ikatan inhibitor terhadap enzim bebas dan enzim substrat
dapat menyebabkan terbentuknya kompleks enzim inhibitor atau enzim substrat inhibitor yang bersifat tidak produktif karena tidak dapat membentuk produk.
Produk hanya akan terbentuk jika ikatan inhibitor lepas dari kompleks enzim substrat inhibitor. Reaksi sampingan yang sangat merugikan akibat pengaruh
inhibitor pada jenis penghambatan ini adalah besarnya peluang sisi aktif enzim untuk berubah secara permanen dari keadaan alami jika kompleks enzim inhibitor
memiliki ikatan yang sangat kuat. Hal ini akan menyebabkan enzim kehilangan reaktifitasnya secara permanen Suhartono 1989.
Peranan peptida-peptida pendek yang terbentuk selama proses hidrolisis protein teripang diduga pula dapat meningkatkan sekresi insulin, sehingga akan
menurunkan kadar glukosa darah. Schirra et al. 1998 dan Clous et al. 2007 melaporkan pemberian glukagon yang dikombinasikan dengan peptida dapat
meningkatkan pemakaian glukosa oleh sel dengan meningkatnya sekresi insulin serta peningkatan perombakan glukosa di hati oleh glukagon. Pemberian glukagon
dan peptida-1 GLP-1 dapat meningkatkan sekresi insulin dan menurunkan kadar glukosa darah, sehingga dapat dimanfaatkan untuk pencegahan DM. Sedangkan
Zaitseva et al. 1998 melakukan isolasi peptida dari usus babi yaitu NK-lisisn NKL pada konsentrasi 1-100 nM menunjukkan hasil yang sangat berpotensi
untuk menstimulir sekresi insulin sel beta pankreas tikus serta dapat meningkatkan konsentrasi Ca
2+
sitoplasma yang akan mensekresikan insulin. Beberapa komponen bioaktif teripang seperti kromium, magnesium, dan
selenium diduga pula dapat meningkatkan stimulasi sekresi insulin, sehingga akan
menurunkan kadar glukosa darah. Hasil penelitian menunjukkan p emberian
kromium kompleks dan kromium folat pada tikus DM yang diinduksi aloksan selama 2 minggu dapat bersifat hipoglikemik dengan menurunkan kadar glukosa
darah Li et al. 2012. Sedangkan Jing et al. 1995 menyatakan bahwa asupan magnesium yang lebih tinggi pada makanan dapat meningkatkan sekresi insulin
sehingga menurunkan resiko DM. Selanjutnya Yu et al. 2009 melaporkan pemberian selenium dan polisakarida SPS pada tikus DM selama 20 hari d
apat menurunkan kadar glukosa darah dan MDA, serta dapat pula meningkatkan
aktivitas enzim antioksidan hati dan ginjal dibandingkan yang tidak diberi SPS atau hanya polisakarida saja.
4.4.4. Perubahan Berat Badan Tikus Percobaan
Salah satu ciri umum penderita diabetes adalah terjadinya perubahan berat. Sardesai 2003 menyatakan bahwa DM ditandai dengan poliurea, polidipsia,
poliphagia dan penurunan berat badan serta lemah. Kadar glukosa darah melebihi 180 mgdl, menyebabkan terjadinya pembuangan glukosa ke urine, karena ginjal
tidak dapat menahan lagi, sehingga kadar glukosa urine tinggi dan akan menarik air dalam jumlah besar karena adanya daya osmotik dari gula. Kondisi ini
menyebabkan volume urine akan meningkat dan penderita DM akan sering kencing poliurea. Penarikan air yang terlalu banyak, akan mengganggu neraca
air di dalam tubuh, sehingga menimbulkan rasa haus terus-menerus polidipsia. Penderita DM memiliki kadar glukosa berlebihan dalam darah, namun tidak dapat
dimanfaatkan menjadi sumber energi sel glucose-storred state, sehingga tubuh
menjadi lemah dan mengakibatkan terjadinya rasa lapar yang berlebihan poliphagia. Selanjutnya untuk memenuhi kebutuhan energi, tubuh harus
melakukan perombakan sumber energi lain yaitu lemak dan protein, akibatnya akan terjadi penurunan berat badan.
Pengukuran berat badan tikus selama masa percobaan dilakukan setiap 4 hari selama 28 hari percobaan. Hasil pengukuran berat badan tikus dapat dilihat
pada Gambar 22 dan Tabel 17. Kelompok tikus kontrol negatif tikus normal selama masa percobaan menunjukkan berat badan yang stabil, bahkan meningkat
terus sesuai dengan karakteristik tikus sehat. Kondisi berbeda terlihat pada kelompok tikus kontrol positif tikus DM yang menunjukkan kecenderungan
penurunan berat badan. Kelompok tikus perlakuan pemberian hidrolisat, konsentrat dan isolat protein teripang menunjukkan peningkatan berat badan,
bahkan pemberian hidrolisat protein teripang persentase peningkatan lebih besar dari kontrol negatif.
Gambar 22 Perubahan berat badan tikus selama masa percobaan 28 hari. KN=kontrol negatif tikus normal, KP=kontrol positif tikus DM,
DM+HPT=kelompok DM yang diberi hidrolisat protein teripang, DM+KPT=kelompok DM yang diberi konsentrat protein teripang,
DM+IPT=kelompok DM yang diberi isolat protein teripang.
Hasil sidik ragam ANOVA Lampiran 17 terhadap berat badan tikus percobaan sampai hari ke-28, menunjukkan perbedaan yang sangat nyata
P0.01. Uji lanjut Duncan Lampiran 17 menunjukkan kelompok tikus perlakuan kontrol positif tikus DM mengalami penurunan berat badan selama 28
hari percobaan, sebaliknya untuk kelompok tikus DM yang diberi perlakuan HPT, KPT, dan IPT mengalami peningkatan berat badan. Kelompok tikus perlakuan
DM+HPT memiliki persentase kenaikan berat badan paling besar yaitu 42.4 g 22.6, dibandingkan dengan kelompok tikus perlakuan DM+IPT 30.6 g atau
17.3 dan kelompok DM+KPT 22.8 g atau 12.9. Berat badan kelompok tikus kontrol negatif tikus normal mengalami peningkatan rata-rata sebesar
51.6 g 27.9, sebaliknya kelompok tikus kontrol positif tikus DM mengalami penurunan berat badan sebesar 58.8 g 33.3. Penurunan berat badan yang
sangat nyata mulai terjadi pada hari ke-8 dst. Data ini menunjukkan bahwa perlakuan HPT memiliki kemampuan lebih baik dalam menghambat laju
penurunan berat badan pada individu yang menderita DM. Tabel 17 Rata-rata berat badan tikus selama 28 hari percobaan gram n=5
Hari ke-
Kelompok Perlakuan KN
KP DM+HPT
DM+KPT DM+IPT
185.00 ± 19.69
a
176.40 ± 30.64
a
187.60 ± 28.75
a
176.40 ± 10.92
a
176.60 ± 19.77
a
4 193.80 ± 18.99
a
167.40 ± 20.27
a
193.60 ± 27.33
a
175.40 ± 9.29
a
176.80 ± 15.90
a
8 201.40 ± 18.77
b
144.60 ± 19.77
a
204.40 ± 29.69
b
181.80 ± 11.14
b
184.40 ± 16.01
b
12 211.60 ± 15.01
b
140.40 ± 20.33
a
209.40 ± 25.71
b
186.60 ± 14.05
b
187.60 ± 14.36
b
16 215.00 ± 16.96
b
126.60 ± 16.40
a
215.40 ± 26.09
b
186.60 ± 16.59
b
189.20 ± 19.50
b
20 223.40 ± 15.32
b
121.20 ± 12.03
a
220.20 ± 30.56
b
192.80 ± 17.37
b
196.40 ± 24.64
b
24 230.00 ± 19.04
b
120.40 ± 11.44
a
223.80 ± 30.67
b
195.60 ± 18.69
b
196.40 ± 29.19
b
28 236.60 ± 17.95
b
117.60 ± 10.06
a
230.00 ± 27.88
b
199.20 ± 18.10
b
207.20 ± 22.04
b
Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata P0.01. KN=kontrol negatif tikus normal, KP=kontrol positif tikus DM, DM+HPT=kelompok DM yang
diberi hidrolisat protein teripang, DM+KPT=kelompok DM yang diberi konsentrat protein teripang, DM+IPT=kelompok DM yang diberi isolat protein teripang.
Hasil penelitian ini juga sesuai dengan penelitian Chandra et al. 2007 yang melaporkan bahwa berat badan tikus normal selama masa penelitian terus
mengalami peningkatan, sedang tikus diabetes melitus mengalami penurunan. Hal ini disebabkan tikus diabetes melitus mengalami kegagalan sintesis glikogen
dalam sel. Grover et al. 2002 menjelaskan glikogenesis tidak terjadi pada diabetes akibat defisiensi ataupun insensitivitas insulin. Keadaan tersebut
mengakibatkan glukosa tidak dapat masuk ke dalam sel sehingga pembentukan glikogen dalam sel hati dan otot tidak terjadi. Sementara itu karena tidak ada
sumber energi glukosa yang masuk, sel akan melakukan glukoneogenesis.
Glukoneogenesis merupakan mekanisme sintesis glukosa dengan membongkar lemak dan protein dari hati dan jaringan lemak. Bila proses ini berlangsung kronis
berakibat pada penurunan berat badan Brody 1999. Terjadinya penurunan berat badan pada kelompok tikus perlakuan kontrol
positif tikus DM karena pada tikus DM terjadi kekurangan insulin. Kekurangan insulin menyebabkan glukosa tidak bisa masuk ke dalam sel sehingga kebutuhan
energi untuk tubuh diperoleh dari hasil lipolisis. Lemak di berbagai jaringan dimobilisasi dan mengalami beta oksidasi untuk menghasilkan energi. Kehilangan
lemak menyebabkan berat badan menurun. Hal yang sama dilaporkan Widowati 2007 dan Suarsana 2009, yang menyatakan bahwa penurunan berat badan
merupakan salah satu karakteristik DM yang diinduksi aloksan. Pada tikus DM yang diberi hidrolisat protein teripang, berat badan dapat
ditingkatkan. Kemampuan hidrolisat protein teripang untuk menghambat penurunan berat badan tampaknya sama dengan kemampuannya untuk
menurunkan kondisi hiperglikemia, yaitu hidrolisat protein teripang diduga membantu tubuh mempercepat metabolisme glukosa di hati, mempercepat
glikogenesis, dan mencegah lipolisis, melalui stimulasi sekresi insulin oleh asam amino bebas yang terkandung di dalam hidrolisat protein teripang.
4.5. Aktivitas Enzim Antioksidan Intrasel SOD, GPx, dan Katalase Hati
Semua tikus percobaan setelah diperlakukan selama 28 hari, selanjutnya pada hari ke-29 dilakukan pembedahan dan pengambilan organ hati, yaitu organ
yang akan dilihat aktivitas enzim antioksidan intraselnya. Enzim antioksidan intrasel seperti SOD, glutation peroksidase GPx, dan katalase merupakan
antioksidan endogen yang berperan melindungi sel terhadap kerusakan oksidatif. Enzim ini bekerja dengan cara mengurangi pembentukan radikal bebas baru
dengan memutus reaksi berantai dan mengubahnya menjadi produk yang lebih stabil. Kerentanan suatu jaringan terhadap kerusakan oksidatif bergantung pada
mekanisme pertahanan enzim antioksidan intrasel. Pemberian aloksan yang merupakan senyawa diabetogenik bertujuan
untuk menginduksi tikus menjadi DM. Mekanisme kerusakan sel beta yang diakibatkan oleh aloksan adalah melalui pembentukan ROS dan radikal aloksan.
Produksi ROS yang berlebihan menyebabkan terjadinya stres oksidatif dan
berakibat kerusakan pada sel beta pankreas sehingga pankreas tidak mampu menghasilkan insulin. Ketiadaan insulin ini menimbulkan penyakit DM
Szkudelski 2001. Kerentanan suatu jaringan terhadap kerusakan oksidatif bergantung pada
mekanisme pertahanan enzim antioksidan intrasel. Peningkatan radikal bebas tubuh yang terjadi pada tikus kontrol positif tikus DM, akan meningkatkan
pemakaian enzim antioksidan intrasel, sehingga menyebabkan penurunan aktivitas enzim SOD, GPx, dan katalase Tabel 18.
Tikus DM yang diinduksi dengan aloksan ternyata dapat menurunkan kadar SOD, katalase, dan GPx. Pada tikus DM yang diinduksi dengan aloksan,
terjadi pembentukan radikal bebas spesies oksigen reaktif ROS yang tinggi. Tingginya radikal bebas ini akan meningkatkan pemakaian enzim SOD, GPx, dan
katalase. Kondisi ini menyebabkan tingginya penggunaan enzim antioksidan intrasel dalam tubuh sehingga menurunkan status antioksidan tubuh. Rendahnya
status antioksidan intrasel pada kelompok tikus kontrol positif tikus DM mengakibatkan sel tidak mampu mencegah reaktivitas senyawa radikal bebas
dalam tubuh. Tabel 18 Pengaruh pemberian HPT, KPT, dan IPT terhadap aktivitas enzim
antioksidan intrasel pada hati tikus percobaan
Perlakuan Enzim antioksidan intrasel hati
SOD Umg protein
GPx Umg protein
Katalase Ug protein
KN 10.93 ± 1.22
b
0.54 ± 0.04
b
0.047 ± 0.005
b
KP 2.61 ± 0.15
a
0.38 ± 0.02
a
0.023 ± 0.011
a
DM + HPT 10.84 ± 2.34
b
0.44 ± 0.01
a
0.027 ± 0.005
a
DM + KPT 7.5 ± 2.17
ab
0.43 ± 0.01
a
0.027 ± 0.011
a
DM + IPT 8.06 ± 2.92
b
0.41 ± 0.01
a
0.03 ± 0.01
a
Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata P0.01. KN=kontrol negatif tikus normal, KP=kontrol positif tikus
DM, DM+HPT=kelompok DM yang diberi hidrolisat protein teripang, DM+KPT=kelompok DM yang diberi konsentrat protein teripang, DM+IPT=kelompok DM yang diberi isolat
protein teripang.
Hasil sidik ragam ANOVA Lampiran 18 aktivitas enzim antioksidan intrasel menunjukkan perbedaan yang sangat nyata P0.01 terhadap SOD, GPx,
dan nyata P0.05 terhadap katalase pada tikus percobaan selama 28 hari. Uji lanjut Duncan Lampiran 18 memperlihatkan kelompok kontrol negatif tikus
normal memiliki aktivitas enzim GPx hati sangat nyata P0.01 dan katalase hati nyata P0.05 lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok tikus perlakuan
DM+HPT, DM+KPT dan DM+IPT. Aktivitas enzim GPx dan katalase kelompok tikus perlakuan DM+HPT, DM+KPT dan DM+IPT menunjukkan tidak ada
perbedaan dibandingkan kelompok tikus kontrol positif. Aktivitas enzim SOD kelompok tikus perlakuan DM+HPT, DM+KPT dan DM+IPT tidak berbeda
sangat nyata dibandingkan kelompok perlakuan kontrol negatif tikus normal, namun hanya kelompok tikus perlakuan DM+HPT dan DM+IPT sangat nyata
lebih tinggi P0.01 dibandingkan kelompok tikus perlakuan kontrol positif tikus DM. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa HPT, KPT, dan IPT mampu
mempertahankan aktivitas SOD dan tidak mampu mempertahankan aktivitas GPx dan katalase.
Di dalam sel, penghilangan senyawa oksigen reaktif seperti anion superoksida dan hidrogen peroksida dilakukan oleh sistem antioksidan enzimatik.
Penghilangan atau pemusnahan anion superoksida dikatalisasi oleh enzim superoksida dismutase SOD, yaitu dengan mengubahnya menjadi H
2
O
2
dan O
2
. Selanjutnya oleh glutation peroksidase, H
2
O
2
yang terbentuk diubah dengan cara menggunakannya untuk mengkonversi glutation tereduksi menjadi glutation
teroksidasi. Sedangkan pemusnahan H
2
O
2
oleh katalase dilakukan dengan menguraikannya menjadi H
2
O dan O
2
Halliwel 2006. Namun pada kondisi DM, enzim-enzim antioksidan tersebut mengalami penurunan karena terjadi
peningkatan radikal bebas yang ada. Peran enzim antioksidan intrasel adalah untuk menetralkan ROS. Sebagai
contoh, enzim SOD, GPx dan katalase termasuk enzim antioksidan utama dalam melindungi oksidasi komponen biologis dari serangan ROS. Enzim SOD terdapat
di dalam sitoplasma serta mitokondria dan berperan dalam mendismutasi radikal superoksida OH
menjadi hidrogen peroksida H
2
O
2
Newsholme et al. 2007. Enzim katalase dan GPx termasuk kelompok enzim hidroperoksidase yang
melindungi tubuh dari kerusakan akibat radikal bebas. Kedua enzim ini bekerja sama dalam proses detoksifikasi hidrogen peroksida H
2
O
2
menjadi air H
2
O. Pada pankreas normal, kadar enzim antioksidan baik enzim SOD, katalase, dan
GPx terdapat dalam konsentrasi relatif lebih sedikit bila dibanding dengan
jaringan lainnya seperti hati, ginjal, dan otot Robertson et al. 2004 sehingga sel- sel yang mengandung katalase dan GPx dalam jumlah sedikit sangat peka
terhadap hidrogen peroksidase. Penelitian ini memberikan hasil bahwa pemberian hidrolisat, konsentrat,
dan isolat protein teripang ternyata mampu mempertahankan aktivitas enzim antioksidan
SOD. Hidrolisat
protein teripang
memiliki kemampuan
mempertahankan akitivitas SOD lebih tinggi dibandingkan konsentrat dan isolat protein teripang. Hal ini diduga karena pengaruh hipoglikemik dari asam amino
bebas yang dikandung oleh hidrolisat protein teripang. Newsholme et al. 2007, Liu et al. 2008, dan Kanetro 2009 menyatakan bahwa asam amino dalam bentuk
bebas dapat meningkatkan sekresi insulin melalui cara bersinergi dengan glukosa dalam peningkatan energi ATP di mitokondria sel beta pankreas melalui jalur
TCA. Peningkatan energi ATP ini akan meningkatkan sekresi insulin dan menurunkan kadar glukosa darah tikus DM. Hal ini diduga memberikan pengaruh
terhadap penurunan produksi radikal bebas, sehingga aktivitas enzim antioksidan intrasel SOD yang terdapat pada hati dapat dipertahankan.
Mekanisme lain hidrolisat, konsentrat, dan isolat protein teripang dapat mempertahankan aktivitas enzim antioksidan intrasel SOD adalah diduga
kandungan asam amino pada hidrolisat, konsentrat, dan isolat protein teripang dapat dijadikan sebagai bahan dasar untuk sintesis enzim antioksidan intrasel
SOD. Peningkatan sintesis enzim SOD ini dapat digunakan untuk menetralisir radikal bebas, sehingga kandungan dan aktivitasnya dapat dipertahankan.
Enzim SOD termasuk dalam golongan metaloenzim. Berdasarkan kofaktor dan distribusinya didalam tubuh, enzim superoksida dismutase dibagi
menjadi Mn-SOD dan Cu,Zn-SOD. Mn-SOD merupakan suatu homotetramer 96 kDa yang mengandung satu atom mangan per subunit yang membentuk lingkaran
dari Mn III ke Mn II dan kembali ke Mn III melalui dua tahap dismutasi dari superoxide. Mn-SOD ditemukan di mitokondria dari sel eukariotik serta
keberadaannya sangat penting untuk kelangsungan hidup aerob dan pertahanan terhadap radikal bebas. Sedangkan Cu,Zn-SOD merupakan enzim yang
mengandung dua subunit identik, dimana tiap subunit mengandung sekelompok logam, active site, dan disusun oleh atom tembaga dan seng. Studi biokimia yang
telah dilakukan menunjukkan bahwa enzim Cu,Zn-SOD merupakan suatu bentuk protein yang terlarut dan berasosiasi dengan sitoplasma dan inti Mates Jimenez
1999. Oleh karena SOD merupakan suatu protein, maka bahan dasar utama penyusunnya adalah asam amino. Pada penelitian ini diduga kandungan asam
amino yang terdapat pada hidrolisat, konsentrat, dan isolat protein teripang merupakan bahan dasar untuk sintesis enzim antioksidan intrasel SOD. Menurut
Lehninger 1994 proses sintesis protein melalui lima tahap utama yaitu: aktivasi asam amino, inisiasi rantai polipeptida, pemanjangan rantai polipeptida,
penyempurnaan rantai polipeptida transminasi dan pembebasan, serta pelipatan dan pengolahan.
Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan pemberian jumlah prekrusor asam amino pada kultur Saccharomyces cerevisiae menggunakan media
glukosa terbatas akan meningkatkan total RNA dan jumlah protein, sehingga dapat meningkatkan sintesis enzim SOD Gonzalez et al. 2003. Selanjutnya Liao
et al. 2008 melaporkan bahwa pemberian asam amino fenilalanin, arginin, leusin, dan metionin yang dikombinasikan dengan Cu, H2O, dan Cl dapat
meningkatkan sintesis enzim SOD. Sedangkan Cheng et al. 2006 telah meneliti kandungan Cu,Zn-SOD pada udang galah Macrobranchium rosenbergii yang
tersusun atas lebih kurang 201 asam amino dan memiliki kemiripan 60 dengan lobster air tawar Pacifastacus leniusculus dan 64 dengan kepiting Callinectes
sapidus. Peranan peptida-peptida pendek yang terbentuk selama proses hidrolisis
protein teripang diduga pula dapat mempertahankan aktivitas enzim intraseluler SOD. Peptida-peptida tersebut diduga memiliki sifat scavenging radikal
dikarenakan kemampuan mendonorkan hidrogen dan dapat pula bereaksi dengan radikal untuk mengubah menjadi produk yang lebih stabil, sehingga
menghentikan reaksi rantai radikal Binsan et al. 2008. Suetsuna et al. 2000 menyatakan grup hidroksil fenolik pada asam amino aromatik seperti fenilalanin,
triptopan, dan tirosin berpotensi mendonorkan elektron. Asam amino histidin polar, prolin, alanin, dan leusin non polar berkontribusi pada scavenging
radikal Kim et al. 2001. Hernadez-Ledesman et al. 2005 menyatakan triptopan dan tirosin grup indolik dan fenolik merupakan donor hidrogen. Jun et al. 2004
melakukan purifikasi dan karakterisasi peptida antioksidan dari hirolisat enzimatik protein ikan yellowfin Limanda aspera, peptida antioksidan ini bekerja secara
sinergis dengan α-tokoferol. Raghvan Kristinsson 2008 melakukan penelitian tingkat kemampuan antioksidan hidrolisat protein ikan nila, yang menunjukkan
semakin tinggi derajat hidrolisis maka semakin tinggi aktivitas scavenging terhadap radikal DPPH.
Hasil penelitian juga menunjukkan pemberian hidrolisat, konsentrat dan isolat protein teripang tidak mampu mempertahankan aktivitas enzim antioksidan
GPx dan katalase. Hal ini diduga karena kandungan protein dan asam amino bebas pada hidrolisat, konsentrat dan isolat protein teripang tidak mampu bersinergi
dengan enzim antioksidan GPx dan katalase untuk mengimbangi dan menetralisir peningkatan produksi radikal bebas endogen, sehingga tidak mampu memutuskan
reaksi berantai dan mengubahnya menjadi produk yang stabil.
4.6. Analisis Histologi Jaringan Pankreas