Karakteristik Ekosistem Hutan Mangrove

ditunjukkan oleh kondisi biologi, fisik, dan kimianya. Kesehatan hutan mangrove, meliputi penutupan dan keragaman jenis vegetasi diperlukan dalam menentukan pengelolaannya ke depan. Kehadiran populasi burung di hutan mangrove meliputi burung domestik, migrasi, dan jenis terancam merupakan juga indikator kesehatan hutan mangrove Holguin et al. 2006. Flora mangrove diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, yaitu kelompok mayor, minor, dan asosiasi mangrove. Pengertian masing-masing kelompok tersebut adalah sebagai berikut: 1 kelompok mayor vegetasi dominan merupakan komponen yang memperlihatkan karakter morfologi, seperti mangrove yang memiliki sistem perakaran udara dan mekanisme fisiologi khusus untuk mengeluarkan garam agar dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan. Komponen penyusunnya berbeda taksonomi dengan tumbuhan daratan, mempunyai kemampuan membentuk tegakan murni, tetapi tidak pernah meluas sampai ke dalam komunitas daratan. Di Indonesia, mangrove yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah Rhizophora apiculata, R. mucronata, Sonneratia alba, Avicennia marina, A. officinalis, Bruguiera gymnorrhiza, B. cylindrica, B. parvifolia, B. sexangula, Ceriops tagal, Kandelia candel, Xylocarpus granatum, dan X. moluccensis; 2 kelompok minor vegetasi marginal merupakan komponen yang tidak termasuk elemen yang mencolok dari masyarakat tumbuh- tumbuha, sering timbul di wilayah pinggiran habitatnya dan yang jarang berbentuk tegakan murni. Jenis-jenis ini biasanya bersekutu dengan mangrove yang tumbuh pada pinggiran yang mengarah ke darat dan terdapat secara musiman pada rawa air tawar, pantai, dataran landai, dan lokasi-lokasi mangrove lain yang marginal. Walaupun jenis ini ada di mangrove, tetapi jenis-jenis ini tidak terbatas pada zona litoral. Jenis-jenis ini yang penting di Indonesia adalah Bruguiera cylindrica, Lumnitzera racemosa, Xylocarpus moluccensis, Intsia bijuga, Nypa fruticans, Ficus retusa, F. microcorpa, Pandanus spp., Calamus erinaceus, Glochidion littorale, Scolopia macrophylla, dan Oncosperma tigillaria; dan 3 asosiasi mangrove merupakan kelompok flora yang berasosiasi dengan flora mangrove mayor dan minor yang tumbuh di barisan pedalaman ke arah darat. Jenis-jenis asosiasi adalah tapak kuda Ipomoea pes caprae, nipah Nypa fruticans, dan gelang laut Sesuvium portulacastrum L. Tomlinson 1986; Kustanti 2011; Kitamura et al. 1997. Hutan mangrove memiliki nilai penting sebagai kunci utama penyediaan makanan bagi organisme yang tinggal di dalam dan sekitar ekosistem mangrove seperti udang, kepiting, ikan, burung dan mamalia Aksornkoae 1993; Kustanti 2011; Primavera 2000. Dengan demikian, mangrove merupakan daerah mencari makanan feeding ground bagi organisme-organisme yang ada di dalamnya. Karena kerapatan mangrove yang memungkinkan untuk melindungi kehidupan organisme di dalamnya, maka hutan mangrove juga dijadikan sebagai tempat asuhan nursery ground terutama bagi anak udang, anak ikan, kepiting, dan biota laut lainnya. Selain itu, karena kekhasannya yang unik, hutan mangrove juga merupakan tempat pemijahan spawning ground yang sangat baik bagi biota laut yang ada di dalamnya. Pearce dan Turner 1990 menyatakan bahwa nilai manfaat hutan dapat dibedakan menjadi manfaat langsung direct benefit dan tidak langsung indirect benefit. Manfaat langsung yaitu yang dapat dikonsumsi langsung dan manfaat tidak langsung merupakan manfaat dari adanya fungsi ekologi hutan mangrove yaitu sebagai penahan abrasi, penahan angin, tempat pemijahan ikan, dan habitat flora fauna. Manfaat langsung dari keberadaan hutan mangrove meliputi manfaat yang dapat dikonsumsi langsung yaitu hasil-hasil mangrove meliputi ikan, kepiting, dan kerang, madu, udang, dan kayu untuk memancing Sathirathai dan Erward 2001.

2.4 Model Pemberian Hak Tanah Timbul di Ekosistem Hutan Mangrove

Penataan ruang kawasan hutan mangrove berasaskan pemanfaatan ruang bagi semua kepentingan secara terpadu, berdaya guna dan berhasil guna, serasi, selaras, seimbang, dan berkelanjutan. Sedangkan salah satu tujuan penataan ruang adalah terselenggaranya pengaturan pemanfaatan ruang kawasan lindung dan kawasan budidaya dan mewujudkan perlindungan fungsi ruang dan mencegah serta menanggulangi dampak negatif terhadap lingkungan. Penataan ruang kawasan mangrove berdasarkan fungsi kawasan yang meliputi kawasan lindung dan kawasan budidaya. Sesuai pasal 20 ayat 1 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang tersurat bahwa penetapan kawasan lindung dan kawasan budidaya termasuk di dalamnya adalah kawasan mangrove adalah merupakan bagian dari Rencana Tata Ruang Nasional dimana rencana tata ruang tersebut menjadi pedoman penataan ruang wilayah provinsi dan kabupatenkota. Tanah timbul merupakan merupakan hasil sedimentasi dari hasil erosi tanah di hulu sungai. Lambat laun lumpur-lumpur tersebut membentuk daratan baru di tepi pantai sehingga garis pantai menjorok ke laut. Di samping dari hasil sedimentasi tersebut, maka peran perakaran hutan mangrove sangat menghambat gerakan air. Kondisi ini mengakibatkan partikel-partikel akan mengendap di sekeliling akar mangrove. Sekali mengendap, sedimen biasanya tidak dialirkan lagi oleh gerakan air dalam hutan mangrove. Dengan cara inilah terjadi “tanah timbul“ di pinggir laut yang berbatasan dengan hutan mangrove. Selanjutnya tanah timbul tersebut dikolonisasi oleh hutan mangrove. Jadi pada kondisi alam tertentu, hutan mangrove dapat menciptakan tanah baru di pinggir laut Kusmana 1997. Tanah timbul tersebut mempunyai arti penting bagi kehidupan masyarakat. Munculnya tanah timbul di suatu wilayah tertentu dapat merupakan suatu nilai tambah atau aset komoditi yang secara ekonomis potensial untuk dikelola dan diambil manfaatnya untuk kepentingan pemukiman, pertanian, pertambakan, dan sebagainya. Tanah timbul yang terletak di daerah pantai ditumbuhi hutan mangrove merupakan unsur pembentuk lingkungan dan mempunyai peranan penting bagi kehidupan manusia Turisno dan Sudaryatmi 2004. Seperti yang terjadi pada pertumbuhan tanah timbul di muara Sungai Progo Desa Poncosari Jawa Tengah memberikan harapan yang baik bagi petani dan aparat desa Poncosari Sulastriyono 1997. Selanjutnya menurut Turisno dan Sudaryatni 2004 dalam penentuan model hak atas tanah timbul yang terjadi di Pantai Utara Jawa Kabupaten Pemalang, Pati, dan Tegal menunjukkan reaksi dan mekanisme pengaturan yang berbeda- beda. Pada kondisi kemunculan tanah timbul di ketiga kabupaten tersebut diserahkan pengurusannya kepada pihak desa dalam hal ini kepada Kepala Desa. Selanjutnya pihak desa mempunyai kebijakan-kebijakan tergantung situasional masyarakatnya. Pemberian hak atas tanah timbul di wilayah Pantai Utara Jawa berupa:1 pemberian sertifikasi pada lahan-lahan tanah timbul untuk lahan-lahan yang berada jauh atau di luar kawasan hutan mangrove; 2 pemberian ijin garap oleh Badan Pertanahan Nasional selama dua tahun; dan 3 pembagian tanah timbul tersebut kepada masyarakat desa yang tidak mempunyai tanah. Penelitian Turisno dan Sudaryatni 2004 dimaksudkan untuk menguraikan model-model penentuan hak atas tanah timbul di sepanjang pesisir Pantai Utara Jawa dan mendorong lahirnya Peraturan Daerah yang mengatur tentang penetuan hak atas tanah tersebut. Menurut Boedi Harsono 1997 status tanah negara ditinjau dari segi kewenangan penguasaannya diperinci menjadi: 1. Tanah-tanah wakaf; 2. Tanah-tanah Hak Pengelolaan, yaitu tanah-tanah yang dikuasi dengan Hak Pengelolaan yang merupakan pelimpahan pelaksanaan sebagian kewenangan Hak Menguasai dari Negara kepada pemegang haknya; 3. Tanah-tanah Hak Ulayat, yaitu tanah-tanah yang dikuasai oleh masyarakat- masyarakat hukum adat teritorial dengan Hak Ulayat; 4. Tanah-tanah Kaum, yaitu tanah bersama dari masyarakat-masyarakat hukum adat genealogis; 5. Tanah-tanah Kawasan Hutan, yaitu yang dikuasai oleh Departemen Kehutanan, yang pada hekekatnya merupakan pelimpahan sebagian kewenangan Hak Menguasai dari negara; 6. Tanah-tanah sisanya, yaitu tanah-tanah yang dikuasai oleh negara, yang bukan tanah-tanah hak dan tanah-tanah sebagaimana tersebut diatas, yang benar-benar langsung dikuasai oleh negara. Peraturan Pemerintah tentang tentang Pengusaan Tanah-tanah Negara menjelaskan bahwa tanah timbul terbentuk dari pengendapan partikel tanah pada perairan umum laut dimana tidak terdapat hak kepemilikan seseorang dengan demikian status hukum tanah yang bebas sama sekali dari dari hak-hak seseorang adalah merupakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau disebut tanah negara butir 1 penjelasan Umum PP N0.8 Tahun 1953 tentang Pengusaan Tanah- tanah Negara. Kabupaten Brebes berpendapat bahwa tanah timbul adalah tanah Negara dan apabila suatu saat negara membutuhkan maka Negara akan mengambil alih tanah tersebut dan selama Negara belum membutuhkannya,