Prinsip Desain 6: Mekanisme Penyelesaian Masalah
merupakan acuan dalam pengelolaan. Inisiasi pengelolaan bisa berasal dari salah satu antara tiga pihak yang bekerjasama. Setiap kegiatan yang dilakukan oleh
para pihak yang bekerjasama dipertanggung-jawabkan masing-masing pihak yang melaksanakan kegiatan. Pada tahun 2006 dilakukan kegiatan oleh Universitas
Lampung, tahun 2008 oleh Badan Lingkungan Hidup, dan tahun 2009 oleh Balai Pengelolaan Hutan Mangrove Wilayah II Kementerian Kehutanan dan JICA
Japan International Cooperation Agency. Bentuk kerjsama secara tiga pihak tersebut dapat berjalan selama lebih
kurang sembilan tahun karena ada kepercayaan trust, transparansi, partisipasi, serta tata aturan di antara masyarakat, Universitas Lampung, dan pemerintah
daerahlokal. Pendekatan pengelolaan berdasarkan kesadaran masyarakat akan pentingnya fungsi dan manfaat hutan mangrove bagi kehidupannya merupakan
sumber kekuatan komunitas lokal, pengakuan atas eksistensi kepentingan beragam multistakeholders, dan didukung oleh semangat demokratisme akan
mendapatkan relevansinya yang sangat kuat dalam pengelolaan sumberdaya alam dengan karakteristik milik bersama Common Pool ResourcesCPRs.
Perubahan sifat dan skala pemerintahan changing nature and scale of government
yang makin mengurangi dominasi kekuasaan, serta makin diyakininya prinsip kolaborasi pelibatan multi-pihak dalam pengelolaan
sumberdaya alam dan lingkungan, merupakan momentum penting penyusunan konstruksi kebijakan lingkungan partisipatif construction of participatory
environmental policy di masa depan. Hal ini akan memungkinkan makin
tingginya derajat penerimaan sosial degree of social acceptability masyarakat lokal atas segala kebijakankeputusan yang diambil Dharmawan 2004.
5.6 Model Pemberian Hak Kepemilikan dan Penataan Peran Para Pihak dalam Pengelolaan Ekosistem Hutan Mangrove dengan Kemunculan
Tanah Timbul
Hutan mangrove sekunder yang tumbuh kembali setelah dilakukan upaya penanaman kembali telah menginduksi kemunculan lahan baru yang dikenal
dengan istilah “tanah timbul”. Kemunculan kembali hutan mangrove dengan kehadiran tanah timbul yang kemudian ditumbuhi hutan mangrove telah mengubah
kepemilikan menjadi kepemilikan negara. Perubahan hak kepemilikan tersebut terjadi secara gradual dan merupakan alur yang tidak terpisahkan path
dependence daripada rejim dan strata kepemilikan sebelumnya.
Rejim kepemilikan privat dengan tingkat kesempurnaan yang tinggi sampai pada tingkatan dapat menjual, kemudian berubah tanpa hak karena hilangnya
sumberdaya, lalu direhabilitasi sehingga lahan yang telah hilang muncul kembali dengan meluasnya lahan baru telah mengubah hak kepemilikan berubah menjadi
milik negara. Adanya inisiasi masyarakat, trauma akan kejadian abrasi yang telah menghilangkan sumberdaya hutanlingkungan, ketidakjelasan regulasi mekanisme
pengaturan kemunculan tanah timbul telah mendorong terjadinya perubahan hak kepemilikan dan pola pengelolaan hutan mangrove. Inisiasi masyarakat dalam
melanjutkan bentuk-bentuk distribusi pengelolaan hutan mangrove merupakan langkah kehati-hatian berkaca pada peristiwa masa lalu.
Berdasarkan regulasi pertanahan siapa pun yang memohon pertama kali pada lahan timbul dan sesuai dengan tujuan dan fungsi lahan tersebut maka akan dapat
disistribusikan kepada pihak pemohon. Perubahan kepemilikan kepada pihak Universitas Lampung pada periode 2005-2010 telah mengubah tipe hak
kepemilikan seperti yang disampaikan oleh Schlager Ostrom 1992 yaitu memiliki tiga tipe kepemilikan: 1 hak memasuki dan memanfaatkan access
withdrawal , 2 hak mengelola management, dan 3 hak mengeluarkan
exclution. Proses pemindahan hak kepemilikan dari negara ini mengikuti kaidah administrasi yang dilakukan oleh Universitas Lampung kepada negara dalam hal ini
Kabupaten Lampung Timur dalam memohon areal hutan mangrove.