Potensi Lembaga Kondisi Umum Wilayah Penelitian

Terdapat beberapa alternatif jalur untuk mencapai lokasi, antara lain: 1. Bandar Lampung – Metro – Sukadana – Sribhawono – Desa Margasari, dengan jarak 115 km. 2. Bandar Lampung – Tanjung Bintang – Sribhawono – Desa Margasari, dengan jarak 121 km. 3. Pelabuhan Bakauheni – Bandar Agung – Labuhan Maringgai– Desa Margasari, dengan jarak 155 km. 4. Bandar Branti – Bandar Lampung – Metro – Sukadana – Sribhawono – Desa Margasari, dengan jarak 130 km. 5. Pelabuhan Bakauheni – Bandar Lampung – Tanjung Bintang – Sribhawono – Desa Margasari, dengan jarak 211 km. Sedangkan perahu dayung dan perahu motor biasa digunakan para nelayan untuk mencari ikan di laut juga digunakan masyarakat sebagai sarana transportasi sungailaut. Jumlah dan jenis alat transportasi yang dimiliki penduduk Desa Margasari secara terperinci tercantum dalam Tabel 11. Tabel 11. Persentase jenis dan jumlah alat transportasi yang dimiliki penduduk Desa Margasari. No. Alat Transportasi Jumlah buah 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Sepeda Sepeda Motor Becak Mobiltravel Truk Perahu DayungSampan Perahu Motor 176 570 32 11 5 52 735 11,13 36,06 2,02 0,69 0,32 3,29 46,49 Jumlah 1581 100,00 Sumber: Monografi Desa Margasari Tahun 2010. Penduduk Desa Margasari melakukan kegiatan jual beli di pasar yang tidak dapat dilakukan setiap hari karena pasar desa hanya diadakan pada hari Selasa dan Jumat, sedangkan pasar yang terletak di ibukota kecamatan diadakan pada hari Rabu dan Sabtu. Kecuali pada hari-hari tersebut, masyarakat berbelanja di warung-warung atau toko yang terdapat di sekitar rumah mereka. Kebutuhan air bersih penduduk Desa Margasari terpenuhi dengan menggunakan PAM, sumur pompa dan gali, juga sudah terdapat sebagian masyarakat pengguna MCK layak. Sedangkan untuk prasarana kesehatan yang mendukung masyarakat di Desa Margasari sudah terdapat 1 unit Puskesmas, 6 unit Posyandu dan 1 unit tempat penyimpanan obat.

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Konversi Hutan Mangrove: Tawaran Budidaya Tambak Udang Tradisonal

Hutan mangrove yang terletak pada perbatasan daratan dan lautan merupakan lahan yang berpotensi sebagai lahan budidaya tambak udang tradisonal. Percampuran antara kondisi perairan yang asin dan tawar merupakan kondisi perairan yang sesuai bagi budidaya udang. Pilihan ekonomi untuk mengganti atau mengkonversi hutan mangrove menjadi lahan budidaya lainnya sangat menggiurkan masyarakat dengan tidak memperdulikan lagi status kawasan. Hal ini hampir terjadi di seluruh belahan dunia yang berpotensi hutan mangrove. Konversi hutan mangrove menjadi areal pertambakan udang meluas sejak periode 1980 an. Pada lokasi penelitian kondisi hutan mangrove pada periode tahun 1977 adalah hutan mangrove yang tumbuh sepanjang pantai timur Provinsi Lampung. Adapun jenis pohon hutan mangrove yang dijumpai terdiri dari jenis-jenis sebagai berikut: api-api Avicennia marina, bakau Rhizophora sp., waru laut Hibiscus tiliaceus , dan buta-buta Excoecaria agallocha. Pada periode itu terjadi pembukaan hutan mangrove untuk kolam pemancingan alami seluas 300 x 800 meter persegi ± 300 meter ke arah laut. Upah saat itu yang diberikan dalam penebangan hutan mangrove untuk kolam pemancingan alami adalah Rp. 12.500 per hektar. Aturan Pengelolaan Pengelolaan sumberdaya hutan mangrove tidak terlepas dari masalah penggunaaan lahan atau yang menyangkut dengan unsur pertanahan, dimana sebagai obyekmedia tumbuhnya hutan mangrove di atas lahan tersebut. Dengan semakin meningkatnya penduduk dan teknik budidaya lahan, maka permintaan masyarakat akan lahan hutan mangrove semakin tinggi. Seringkali, muncul ketidaksesuaian penerapan peraturan antara yang berhaluan lingkunganekologis dengan yang berhaluan ekonomis dengan daya dukung lahan ekosistem hutan mangrove itu sendiri. Hal ini terjadi pada tataran masyarakat sebagai subyek pengguna lahan, badanlembaga penetap peraturan ke-administrasian lahan atau pertanahan, dan aturan main yang ditetapkan UUPA No 5 Tahun 1960. Pada UUPA No 5 Tahun 1960 ditetapkan bahwa tanah timbul di kawasan hutan mangrove di pesisir adalah tanah negara. Tetapi menurut Badan Pertanahan Nasional bahwa lahan tersebut dapat didistribusikan kepada masyarakat bila memberikan manfaat untuk meningkatkan perekonomiannya. Hal ini sesuai dengan visi Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Lampung Timur yaitu menjadi lembaga yang mampu mewujudkan tanah dan pertanahan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, serta keadilan dan keberlanjutan system kemasyrakatan, kebangsaan dan kenegaraan Republik Indonesia. Sedangkan misinya adalah: 1 peningkatan kesejahteraan rakyat, penciptaan sumber-sumber baru kemakmuran rakyat, pengurangan kemiskinan dan kesenjangan pendapatan, serta pemantapan ketahanan pangan; 2 peningkatan kehidupan bersama yang lebih berkeadilan dan bermartabat dalam kaitannya dengan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah P4T; 3 perwujudan tatanan kehidupan bersama yang harmonis dengan mengatasi berbagai sengketa, konflik, dan perkara pertanahan di seluruh tanah air dan penataan perangkat hukum dan sistem pengelolaan pertanahan sehingga tidak melahirkan sengketa, konflik dan perkara di kemudian hari; 4 keberlanjutan sistem kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan Indonesia dengan memberikan akses seluas-luasnya pada generasi yang akan datang terhadap tanah sebagai sumber kesejahteraan masyarakat; dan 5 menguatkan lembaga pertanahan sesuai dengan jiwa, semangat, prinsip dan aturan yang tertuang dalam UUPA Undang-Undang Pokok Agraria. Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial, artinya bahwa kepemilikan seseorang terhadap tanah memerlukan pengakuan dari orang lain atas kepemilikannya tersebut UUPA. Pada pasal 15 disebutkan tentang memelihara tanah termasuk menambah kesuburannya, serta mencegah kerusakannya adalah kewajiban tiap-tiap orang, badan hukum, atau instansi yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah itu dengan memperhatikan pihak ekonomi yang lemah. Pasal 16 menyebutkan hak-hak yang melekat atas kepemilikan tanah antara lain adalah: hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah, hak memungut hasil hutan, dan hak-hak lain yang tidak termasuk ke dalam hak-hak tersebut di atas. Pasal 19 menyebutkan bahwa untuk menjamin kepastian hukum maka oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Indonesia menurut ketentuan pemerintah meliputi: pengukuran perpetaaan dan pembukuan tanah; pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut; dan pemberian surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. Pasal 20 menyebutkan bahwa hak milik adalah hak turun temurun, terkuat, dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah. Hak milik dapat beralih dan dapat dialihkan kepada pihak lainnya. Selanjutnya pada pasal 22 disebutkan bahwa terjadinya hak milik terjadi karena hukum adat yang diatur pemerintah; penetapan pemerintah menurut cara dan syarat-syarat yang ditetapkan oleh peraturan pemerintah; dan menurut ketentuan undang-undang. Arena Aksi Konversi hutan mangrove untuk pertambakan udang tradisional hampir terjadi pada semua pantai yang berhutan mangrove di dunia. Konversi hutan mangrove terjadi di negara-negara sebagai berikut: Indonesia, Malaysia, Thailand, Vietnam, dan Philippines Alison Ron 1998; Barbier 2006; Adger Cecilia 2000; and Hidayati et al. 2006. Harga udang di pasaran dunia adalah berkisar Rp 120,000kg; 13 US kg; atau 11 €kg. Puncak usaha pertambakan udang tradisional di Indonesia terjadi antara tahun 1980-1987. Status lahan di hutan mangrove awalnya adalah kawasan lindung yang dimiliki oleh negara. Tetapi, karena desakan ekonomi dan membaiknya harga udang di pasaran dunia, maka mendorong masyarakat membuka lahan hutan mangrove menjadi areal pertambakan. Adanya perubahan pemikiran tentang fungsi tanah secara sosial ekonomi berdampak kepada pemanfaatan dan pemilikan lahan hutan mangrove yang digarap. Masyarakat mulai menganggap lahan yang digarap adalah miliknya, paling tidak mereka berhak atas tanah tersebut Hidayati et al. 2006. Mereka menyadari bahwa hutan mangrove yang mereka tebang untuk pertambakan adalah tanah negara tetapi karena mereka yang membuka dan memanfaatkan, maka mereka merasa berhak atas lahan tersebut. Pada tahun 1977 di lokasi penelitian terjadi awal kegiatan penebangan hutan mangrove untuk pertambakan udang tradisional ± 300 meter ke arah laut. Pada Gambar 7 dapat dilihat arah panah yang menunjukkan adanya penebangan hutan mangrove di lokasi penelitian yaitu Desa Margasari MGR yang bersebelahan dengan Taman Nasional Way Kambas TNWK. Penebangan ini dilakukan oleh