yang berada jauh atau di luar kawasan hutan mangrove; 2 pemberian ijin garap oleh Badan Pertanahan Nasional selama dua tahun; dan 3 pembagian tanah
timbul tersebut kepada masyarakat desa yang tidak mempunyai tanah. Penelitian Turisno dan Sudaryatni 2004 dimaksudkan untuk menguraikan model-model
penentuan hak atas tanah timbul di sepanjang pesisir Pantai Utara Jawa dan mendorong lahirnya Peraturan Daerah yang mengatur tentang penetuan hak atas
tanah tersebut. Menurut Boedi Harsono 1997 status tanah negara ditinjau dari segi
kewenangan penguasaannya diperinci menjadi: 1. Tanah-tanah wakaf;
2. Tanah-tanah Hak Pengelolaan, yaitu tanah-tanah yang dikuasi dengan Hak Pengelolaan yang merupakan pelimpahan pelaksanaan sebagian kewenangan
Hak Menguasai dari Negara kepada pemegang haknya; 3. Tanah-tanah Hak Ulayat, yaitu tanah-tanah yang dikuasai oleh masyarakat-
masyarakat hukum adat teritorial dengan Hak Ulayat; 4. Tanah-tanah Kaum, yaitu tanah bersama dari masyarakat-masyarakat hukum
adat genealogis; 5. Tanah-tanah Kawasan Hutan, yaitu yang dikuasai oleh Departemen
Kehutanan, yang pada hekekatnya merupakan pelimpahan sebagian kewenangan Hak Menguasai dari negara;
6. Tanah-tanah sisanya, yaitu tanah-tanah yang dikuasai oleh negara, yang bukan tanah-tanah hak dan tanah-tanah sebagaimana tersebut diatas, yang
benar-benar langsung dikuasai oleh negara. Peraturan Pemerintah tentang tentang Pengusaan Tanah-tanah Negara
menjelaskan bahwa tanah timbul terbentuk dari pengendapan partikel tanah pada perairan umum laut dimana tidak terdapat hak kepemilikan seseorang dengan
demikian status hukum tanah yang bebas sama sekali dari dari hak-hak seseorang adalah merupakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau disebut tanah
negara butir 1 penjelasan Umum PP N0.8 Tahun 1953 tentang Pengusaan Tanah- tanah Negara. Kabupaten Brebes berpendapat bahwa tanah timbul adalah tanah
Negara dan apabila suatu saat negara membutuhkan maka Negara akan mengambil alih tanah tersebut dan selama Negara belum membutuhkannya,
masyarakat diperbolehkan memanfaatkannya Kusdarmanto 2004. Anggapan yang sama juga terjadi di Kabupaten Sidoarjo Jawa Timur sehingga terbit HGU
No.1 Desa Kalanganyar atas nama PT Udang Tambak Agung karena pada saat proses penyelesaian permohonan hak guna usaha, Panitia B menyimpulkan bahwa
areal pertambakan yang berasal dari tanah timbul adalah tanah Negara Susilo 2002.
2.5 Aksi Bersama Collective Action
Menurut Undang Undang Dasar 1945 Pasal 33 dinyatakan bahwa hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dikuasai oleh negara untuk
kemakmuran rakyat Indonesia. Dalam hal ini, pemerintah sebagai agents dalam pelaksanaan pembangunan adalah melakukan pengurusan hutan sesuai yang
diamanatkan oleh rakyat sebagai pemberi kepercayaan principal untuk sebesar‐besar kemakmuran rakyatprincipal.
Keberadaan sumberdaya hutan tersebut memberikan fungsi dan manfaat baik langsung maupun tidak langsung. Pemanfaatan secara langsung dinikmati
oleh pemegang hak pengelolaan hutan, sedangkan manfaat tidak langsung dinikmati masyarakat yang tinggal di sekitar hutan. Manfaat langsung tersebut
antara lain adalah kayu, rotan, getah, dan lain-lain. Sedangkan manfaat tidak langsung antara lain adalah pengendali erosi, penjaga kesuburan tanah, penyerap
karbon, dan lain sebagainya Kartodihardjo 2006. Pemanfaatan barang dan jasa sumberdaya hutan tersebut menimbulkan hubungan saling ketergantungan dalam
keberlanjutan pengelolaannya. Hubungan saling ketergantungan tersebut akan susah dikendalikan pada
hutan dengan karakteristik milik bersama. Hal ini dikarenakan pada kondisi hutan yang demikian tidak dapat mengeluarkan yang tidak berhak, sehingga cenderung
mengalami kerusakan dari waktu ke waktu. Terlebih lagi diperparah dengan kehadiran perilaku penunggang gratis, pencari keuntungan, dan perilaku
memanfaatkan kesempatan dalam pemanfaatan barang dan jasa sumberdaya hutan. Perilaku-perilaku tersebut perlu dikendalikan agar tidak cepat
menimbulkan kerusakan hutan yang lebih parah. Dari kondisi tersebut di atas sudah dapat digambarkan betapa pentingnya
melakukan suatu aksi bersama collective action untuk pengambilan keputusan
bersama pengelolaan hutan untuk kepentingan masyarakatbangsanegara. Apabila sumberdaya hutan milik publik tidak dapat ditegakkan haknya dalam
melakukan aksi bersama maka akan terjadi eksploitasi secara berlebihan untuk memaksimumkan pemanfaatan para individu yang dapat mengakses Hardin
1968. Pernyataan Hardin tersebut tidak sepenuhnya mendapat dukungan dari ahli kelembagaan seperti Ostrom 1990; Thompson 1992; McGinnis dan Ostrom
1996; Gibson dan Koontz 1998; Agrawal dan Gibson 1999; dan Gibson et al. 2000. Para pengguna sumberdaya tersebut menciptakan tatanan kelembagaan
dan mengalokasikan pemanfaatan sumberdaya secara efisien melalui aksi bersama. Tetapi tidak semua pengguna sumberdaya milik bersama berhasil
melindungi dan mengelola sumberdaya secara lestari. Demikian juga tidak semua pemilik sumberdaya pribadi dapat melindungi dan memanfaatkan sumberdayanya
secara lestari. Keberlanjutan pengelolaan hutan lokal sangat ditentukan pada kekuatan institusikelembagaan lokal yang mengatur pemanfaatan hutan,
pengawasan, dan pemeliharaannya. Hal ini mengimplikasikan bahwa pengakuan dan kerjasama kelembagaan tingkat lokal dalam merumuskan kebijakan sangat
penting bagi tata kelola pemerintahan yang lebih baik dan pengelolaan sumberdaya hutan yang masih ada Ghautam dan Shivakoti 2005.
Membangun aksi bersama bukanlah hal yang mudah, banyak kendala yang harus dihadapi. Beberapa kompleksitas dalam membangun aksi bersama yang
perlu diperhatikan, antara lain adalah Nugroho dan Kartodihardjo 2009: 1 ukuran kelompok group size sangat menentukan keefektifan aksi bersama, 2
penunggang gratis yang muncul seringkali tidak segera ditindak sehubungan dengan kedekatan‐kedekatan hubungan sosial dan persaudaraan serta filosofi
menjunjung tinggi keharmonisan dalam menjalankan kehidupan sehari‐hari masyarakat pedesaan. Penunggang gratis yang tidak segera ditindak akan segera
membangun kelompok strategis aliansi strategis dengan pihak‐pihak lain, 3 heterogenitas komunitas sangat mempengaruhi tingkat kemudahan dalam
membangun aksi bersama. Semakin homogen masyarakat, semakin mudah membangun aksi bersama, walaupun tidak berarti tidak mungkin untuk
membangun aksi bersama pada masyarakat yang heterogen, 4 aksi‐aksi bersama membutuhkan kesepakatan multi pihak yang pada banyak kejadian memerlukan
biaya transaksi transaction costs yang lebih mahal dibanding kesepakatan‐kesepakatan
bilateral, 5 keberagaman kepentingan dan
kecenderungan individu pada dasarnya sulit diagregasikan maupun dirata‐ratakan, pilihan tersebut menyebabkan pengambil keputusan untuk membuat satu aturan
untuk semua one size fits all, padahal pada kenyataannya multi aspirasi, 6 aksi bersama memerlukan multilateral give and take, manfaat‐manfaat yang dihasilkan
tidak secara langsung mudah diperoleh indirect benefits dan tidak selamanya bersifat saling menguntungkan non mutual, serta hasil‐hasil kerjasama kolektif
sering tidak segera dapat dirasakan. Kondisi demikian akan menyebabkan kerusakan moral, penunggang gratis dan perilaku memanfaatkan kesempatan,
yang pada akhirnya akan menyebabkan munculnya kerusakan sumberdaya milik bersama, 7 kepentingan dan pilihan kolektif sering disampaikan secara tidak
sempurna yang mengakibatkan pengambilan keputusan dilakukan secara voting yang pada dasarnya tidak menjamin terwakilinya preferensi individu‐individu
yang terlibat, 8 pengambilan keputusan kolektif sering dilakukan dengan sistem perwakilan yang rentan menimbulkan masalah hubungan pemberi—penerima
kepercayaan dan memerlukan biaya perwakilan agency costs yang mahal, 9 apabila wakil yang ditunjuk adalah adalah partai politik dan birokrat cenderung
akan memunculkan fenomena pengusaan yang besar oleh yang kecil exploitation of the majority by minorities, karena pada dasarnya mereka memiliki
kepentingan‐kepentingan sendiri yang sulit dideteksi, 10 apabila biaya keikutsertaan dalam pengambilan keputusan bersama dan biaya informasi untuk
mengetahui keragaan, motif dan kepentingan para wakil mahal dan tidak tertanggulangi oleh individu‐individu yang terlibat, maka pemberi kepercayaan
menjadi tidak aktif dan mentoleransi keputusan yg dibuat wakil‐wakilnya rationally ignorant.
Kompleksitas membangun aksi bersama seperti diuraikan di atas tidak dimaksudkan untuk menghindari aksi bersama dalam penerapan mekanisme
pengelolaan sumberdaya milik bersama. Mengingat kemanfaatan aksi bersama yang sangat strategis dalam penerapan pengelolaan sumberdaya tersebut, maka
kompleksitas‐kompleksitas tersebut perlu dicarikan jalan keluarnya. Untuk itu beberapa langkah perlu dilakukan, antara lain: 1 membangun kesaling‐percayaan