Konversi Hutan Mangrove: Tawaran Budidaya Tambak Udang Tradisonal
wilayah Indonesia menurut ketentuan pemerintah meliputi: pengukuran perpetaaan dan pembukuan tanah; pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan
hak-hak tersebut; dan pemberian surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. Pasal 20 menyebutkan bahwa hak milik adalah hak
turun temurun, terkuat, dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah. Hak milik dapat beralih dan dapat dialihkan kepada pihak lainnya. Selanjutnya pada
pasal 22 disebutkan bahwa terjadinya hak milik terjadi karena hukum adat yang diatur pemerintah; penetapan pemerintah menurut cara dan syarat-syarat yang
ditetapkan oleh peraturan pemerintah; dan menurut ketentuan undang-undang.
Arena Aksi
Konversi hutan mangrove untuk pertambakan udang tradisional hampir terjadi pada semua pantai yang berhutan mangrove di dunia. Konversi hutan
mangrove terjadi di negara-negara sebagai berikut: Indonesia, Malaysia, Thailand, Vietnam, dan Philippines Alison Ron 1998; Barbier 2006; Adger Cecilia
2000; and Hidayati et al. 2006. Harga udang di pasaran dunia adalah berkisar Rp 120,000kg; 13 US kg; atau 11 €kg.
Puncak usaha pertambakan udang tradisional di Indonesia terjadi antara tahun 1980-1987. Status lahan di hutan
mangrove awalnya adalah kawasan lindung yang dimiliki oleh negara. Tetapi, karena desakan ekonomi dan membaiknya harga udang di pasaran dunia, maka
mendorong masyarakat membuka lahan hutan mangrove menjadi areal pertambakan. Adanya perubahan pemikiran tentang fungsi tanah secara sosial
ekonomi berdampak kepada pemanfaatan dan pemilikan lahan hutan mangrove yang digarap. Masyarakat mulai menganggap lahan yang digarap adalah
miliknya, paling tidak mereka berhak atas tanah tersebut Hidayati et al. 2006. Mereka menyadari bahwa hutan mangrove yang mereka tebang untuk
pertambakan adalah tanah negara tetapi karena mereka yang membuka dan memanfaatkan, maka mereka merasa berhak atas lahan tersebut.
Pada tahun 1977 di lokasi penelitian terjadi awal kegiatan penebangan hutan mangrove untuk pertambakan udang tradisional ± 300 meter ke arah laut. Pada
Gambar 7 dapat dilihat arah panah yang menunjukkan adanya penebangan hutan mangrove di lokasi penelitian yaitu Desa Margasari MGR yang bersebelahan
dengan Taman Nasional Way Kambas TNWK. Penebangan ini dilakukan oleh
perorangan atau pun kelompok masyarakat. Hasil udang melimpah dan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat pada tahun 1983-1987.
Penebangan hutan mangrove pada tahun 1977 adalah atas ijin dari kepala desa MAC Alm seluas empat ha. Desa Margasari merupakan desa pemekaran
dari desa Sriminosari. Kenudian pada tahun 1981 dilakukan pemekaran menjadi tiga desa yaitu Desa Sriminosari, Srigading, dan Margasari. Jabatan kepala desa
pertama oleh SKR Alm periode 1981-1990; kemudian periode 1990-1993 oleh kepala desa STJ; periode 1993-2006 oleh SKM Alm; periode 2006-sekarang
jabatan kepala desa oleh NY. Penebangan hutan mangrove dilakukan terhadap jenis api-api Avicennia
marina dan nipah Nypa fruticans. Pembukaan usaha pertambakan udang
tradisional tidak mengindahkan aturan dan lebar sabuk hijau yang harus dipertahankan. Usaha pertambakan udang mengalami keberhasilan dari tahun
1981-1987. Pada periode 1988 usaha pertambakan udang mengalami kemunduran sejak diserangnya udang oleh penyakit dan kemunduran kualitas lingkungan
dengan mulai masuk air lautabrasi ke arah daratan karena terbukanya hutan mangrove. Hingga pada tahun 1990 terjadi abrasi besar-besaran sehingga
menghilangkan areal pertambakan udang.
Gambar 7. Pembukaan Hutan Mangrove sebagai Jalur Hijau pada Tahun 1977
Konversi hutan mangrove dilakukan dengan adanya dorongan membaiknya harga udang di pasaran dunia yang telah mendorong perilaku pihak-pihak
masyarakat untuk mengambil manfaat dan penguasaan lahan hutan mangrove. Kelompok kepentingan pengusaha tambak menginginkan mendapatkan manfaat
TNWK
MGR
sumberdaya dan distribusi pendapatan dari keberadaan sumberdaya hutan mangrove.
Aktor-aktor yang terlibat langsung dalam pembukaan tambak udang tersebut adalah masyarakat sekitar hutan dan pemodal dari luar desa. Tujuan pembukaan
hutan mangrove adalah mengubah atau mengkonversi hutan menjadi peruntukan lainnya, yaitu areal pertambakan udang. Awal mula pembukaan adalah seluas dua
hektar, kemudian diikuti oleh petambak lainnya menjadi lebih kurang 34 hektar sepanjang pesisir laut Desa Margasari.
Upaya kelompok kepentingan pengusaha tambak udang tradisional ini adalah semata-mata menginginkan ekonomi dengan menerapkan teknologi baru
dalam usaha pertambakan. Seperti yang disampaikan oleh North 1971 dan Bromley 1998 bahwa ada empat hal yang dapat mengubah kesepakatan
kelembagaan atau lingkungan kelembagaan baik individu atau pun kelompok sebagai berikut: 1 adanya perubahan harga relatif suatu komoditi; 2 kesempatan
teknologi baru, 3 kesempatan dalam mencari rente rent-seeking; dan 4 perubahan dalam sikap kolektif.
Pola Interaksi
Para petambak udang menguasai tambak sebanyak 13 bidang melakukan usahanya pada lahan hutan mangrove dengan memiliki administrasi kepemilikan
sebanyak empat bidang dengan luas 3.200 m
2
dan hak pakai sebanyak sembilan bidang seluas 7.200 m
2
Pada periode ini keberhasilan usaha pertambakan udang telah diikuti dengan peningkatan status kepemilikan lahan hutan mangrove yang telah dikonversi
menjadi areal pertambakan udang. Lahan hutan mangrove yang bersifat sumberdaya milik publik commmon pool resources telah berubah
kepemilikannya dengan adanya klaim kepemilikan, baik formal maupun informal. . Peningkatan status lahan tambak telah dilakukan oleh
petambak untuk meningkatkan produktivitas lahan dan kepastian usahanya.
Upaya penghilangan atau konversi hutan mangrove telah mendatangkan keuntungan ekonomi yang lebih menjanjikan daripada mempertahankan
keberadaan hutan mangrove secara alami. Kerusakan hutan mangrove terjadi secara meluas. Hal ini seperti yang disampaikan oleh Hidayati et al. 2006
bahwa upaya mengkonversi hutan mangrove di Delta Mahakam Kalimantan yang
mencapai 80 menjadi pertambakan udang tradisional telah menyebabkan kerusakan ekosistem delta.
Menurut Kasper Streit 1998 bahwa telah terjadi upaya peningkatan hak kepemilikan dengan adanya perubahan status kepemilikan lahan hutan negara
menjadi lahan privat bertujuan untuk lebih meningkatkan produktivitas lahan. Tetapi, yang dilakukan dalam upaya peningkatan produktivitas lahan tersebut
adalah dengan mengkonversi hutan mangrove menjadi peruntukan lainnya. Konversi hutan tersebut sebenarnya bukanlah upaya peningkatan produktivitas
seperti yang disampaikan oleh ahli kelembagaan Kasper Streit 1998 dan Ostrom 1999 tetapi lebih kepada upaya menghilangkan sebuah sumberdaya
hutan untuk digantikan dengan sebuah teknologi budidaya perairan baru. Upaya kelompok petambak dengan melakukan budidaya tambak dengan mengkonversi
hutan mangrove adalah merupakan sebuah awal dari sebuah evolusi hak kepemilikan pada sumberdaya alam yaitu hutan mangrove. Dimulai dari
ketidakmampuan mengeluarkan yang tidak berhak dalam mengakses sumberdaya ketika masih berstatus sebagai lahan negara. Dengan adanya peningkatan harga
pasar ekspor udang dan peningkatan populasi di sekitar hutan mangrove di sepanjang wilayah pesisir maka upaya mengkonversi hutan mangrove menjadi
areal tambak udang lebih menggiurkan daripada membiarkan hutan tumbuh alami. Lebih dari satu petambak yang membuka hutan mangrove yang awalnya dengan
ijin kepala desa yang kemudian diikuti oleh petambak lainnya. Peningkatan permintaan untuk membuka hutan mangrove menjadi tambak semakin meningkat
sehingga menyebabkan ancaman akan munculnya over-eksploitasi hutan mangrove waktu itu. Upaya untuk mengkonservasi menurun dan menghilangkan
sifat sosial pada lahan hutan mangrove dengan status hutan negara kala itu. Seiring dengan peningkatan nilai lahan hutan mangrove yang dikonversi
menjadi areal pertambakan dan biaya penegakan hak, maka terjadilah perubahan kepemilikan lahan tambak di areal bermangrove menjadi hak kepemilikan privat
yang secara ekonomis lebih efisien Platteau 2006. Perubahan hak kepemilikan tersebut merupakan reaksi dari para petambak dalam melakukan usaha yang lebih
menguntungkan. Selanjutnya setelah terjadinya klaim hak kepemilikan privat sebanyak 13 bidang areal tambak, maka menimbulkan biaya untuk dapat
melindungi hak aksesnya atas sumberdaya. Klaim hak kepemilikan privat pada tambak di hutan mangrove dilakukan pada tahun 1980 an meliputi: 13 bidang
bersertifikat. Pendaftaran tanah kepada pihak yang berwenang dalam hal ini tua- tua kampung, kepala desa, dan camat dilakukan dalam upaya mendapatkan
kejelasan status lahan dan mencegah munculnya konflik kepemilikan. Selama kurun waktu tiga tahun 1977-1980 telah terjadi peningkatan permintaan lahan
hutan mangrove untuk dikonversi menjadi areal pertambakan udang tradisonal. Hal ini seperti terjadi di Delta Mahakam Kalimantan yang menyatakan bahwa
peningkatan usaha tambak telah meningkatkan permintaan pembukaan hutan mangrove untuk menjadi areal pertambakan udang yang seringkali menimbulkan
tumpang tindih penguasaan dan kepemilikan lahan Hidayati et al. 2006. Analisis peran para pihak para aktor dalam pengelolaan terpadu hutan
mangrove yang terjadi pada periode ini adalah bahwa masyarakat sekitar hutan dan aktor lainnya berada pada posisi crowd atau aktor yang berada pada
kepentingan kecil, pengaruh kecil, tidak perlu dipertimbangkan terlalu detil atau diikatdilibatkan Gambar 8 dan 9. Hal ini berarti bahwa kepentingan dan
pengaruh para pihak dalam pengelolaan hutan mangrove secara terpadu belum diterapkan.
Gambar 8. Pemetaan Para Pihak pada Periode 1977-1990 P
Gambar 9. Peran Para Pihak pada Periode 1977-1990
Hal tersebut dapat dijelaskan bahwa peran para aktor periode waktu itu masih kecil dalam pengelolaan hutan mangrove lestari. Sedangkan pada Gambar
10 dapat dilihat proporsi peran di antara para pihak bahwa peran masyarakat dalam pengaruh dan kepentingan terhadap hutan mangrove lebih besar daripada
yang lain. Kepentingan masyarakatpemodal dari luar yaitu mengusahakan hutan mangrove dengan cara mengkonversinya menjadi areal tambak udang tradisional.
Peran para pihak pada periode ini tidak cukup banyak yang terlibat dan hanya pihak-pihak tertentu sajapemodal yang merasakan manfaat dari pembukaan usaha
tambak tersebut.
Kinerja Pengelolaan Hutan Mangrove
Menurut Ostrom 1990 dalam sebuah analisis kelembagaan pengelolaan sumberdaya dapat dilihat kinerjanya berdasarkan kondisi situasi pengelolaan,
arena aksi, pola interaksi dan kriteria pengelolaan hutan lestari. Pada penelitian ini menggunakan kriteria kelestarian hutan, masyarakat mendapat manfaat, dan
peran para pihak meningkat. Konversi hutan mangrove menjadi areal pertambakan udang tradisional
telah mengubah fungsi hutan mangrove sebagai jalur hijau sepanjang wilayah pesisir Desa Margasari. Aktivitas konversi hutan yang dilakukan oleh beberapa
petambak telah mampu meningkatkan nilai ekonomi lahan daripada hanya dibiarkan menjadi hutan mangrove. Dengan berbekal ijin tertulis dan lisan dari
Kepala Desa dan Tua-Tua Kampung, dan Surat Keterangan Camat maka telah terjadi terhadap kawasan lindung yang semula berstatus sebagai lahan negara.
Peningkatan status lahan dengan pengurusan administrasi pertanahan tersebut telah dilakukan dalam meningkatkan efisiensi usaha pertambakan udang
tradisional yang telah dilakukan. Apabila ditinjau dari aspek kriteria pengelolaan hutan lestari, maka dapat
dipastikan bahwa pengelolaan hutan mangrove pada masa tersebut sangat rentan terhadap kerusakan sumberdaya alamnya. Hal ini dikarenakan usaha tersebut
dilakukan pada lahan-lahan yang sangat dinamis terutama dikaitkan dengan kondisi alaminya yang langsung berbatasan dengan lautan lepas. Dari segi aturan
pemerintah, lahan tersebut merupakan kawasan lindung sempadan pantai seperti yang tertuang dalam Keppres No 32 Tahun 1990. Tetapi upaya peningkatan
status tersebut tidak bertentangan dengan UUPA Nomor 5 Tahun 1960 dan visimisi Badan Pertanahan Nasional yang menyatakan bahwa semua lahan dapat
diajukan peningkatan statusnya apabila telah dapat memberikan manfaat kepada pengelolapenggarap melebihi waktu dua tahun. Tidak dilihat apakah lahan
tersebut kondisinyatata letaknya statisstabil atau dinamisdapat hilang dan atau muncul kembali pada waktu yang tidak dapat diprediksi.
Definisi tanah dan fungsi lindung pada sisi aturan ada kesenjangan pengertian dan implementasi di lapangan. Dari segi aturan Keppres 32 Tahun
1990 tentang kawasan lindung bahwa hutan mangrove di sepanjang pantai merupakan kawasan yang mempunyai fungsi lindung. Sementara dari sisi aturan
Badan Pertanahan Kabupaten Lampung Timur menyatakan bahwa pemanfaatan tanah adalah untuk kesejahteraan masyarakat. Apabila suatu lahan telah
dimanfaatkan oleh seseorangbadan hukum maka akan dinaikkan statusnya melalui proses administrasi pertanahan. Terlebih lagi belum ada penetapan baku
lebar jalur hijau di sepanjang wilayah pantai ber-hutan mangrove di Kabupaten Lampung Timur.
5.2 Eksternal Faktor Mendorong Diskontinuitas Dinamika Kelembagaan Pengelolaan Hutan Mangrove 1991-1997
Upaya privatisasi lahan tambak dengan cara mengkonversi hutan mangrove dengan karakteristik CPRs pada tahun 1977-1990 lama kelamaan menemui
kendala dalam menjamin keberlanjutannya. Selama kurun waktu sepuluh tahun pengusahaan tambak, mulai terjadi serangan ombak laut ke arah daratan abrasi
yang menghancurkan produktivitas dan keberadaan tambak-tambak. Pada Gambar 10 dapat dilihat terjadinya fenomena abrasi yang merusak tambak-
tambak udang. Menurut narasumber GLB pada periode ini terjadi abrasi besar-besaran
sampai 500 meter ke arah daratan sampai tahun 1994. Hal ini mengakibatkan tambak-tambak yang telah ada sebelumnya dan telah mendapatkan ijin
pembukaan hilang dan menjadi lautan. Pada tahun 1996 dilakukan rehabilitasi hutan mangrove oleh Dinas
Kehutanan Provinsi dan BRLKT Provinsi Lampung seluas 120 Ha. Jenis yang ditanam adalah api-api dan bakau. Pada tahun 1997 dilakukan upaya rehabilitasi
hutan mangrove oleh Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah Provinsi Lampung. Jenis yang ditanam adalah nipah Nypa fruticans seluas 120 Ha.
Gambar 10. Hutan Mangrove sebagai Jalur Hijau terkena Abrasi pada Tahun 1991
Aturan Pengelolaan
Pada masa ini pengelolaan hutan mangrove tidak dapat dilaksanakan karena hutan mangrove telah hilang dari wilayah pesisir lokasi studi. Kegiatan
yang dilakukan adalah mengantisipasi supaya bahaya abrasi tidak meluas.
Margasari 1991
Pola Interaksi
Interaksi yang terjadi antara masyarakat dengan pemerintah daerah adalah upaya mengantisipasi meluasnya bahaya abrasi dan perbaikan kondisi hutan
mangrove yang telah hilang. Areal pertambakan udang juga sudah menjadi lautan karena terkena abrasi laut. Tidak ada aktivitas ekonomi yang dapat diharapkan
dari lingkungan hutan mangrove yang telah rusak tersebut. Sedangkan peran aktor pada masa itu dapat dilihat pada Gambar 11 dan
12.
Gambar 11. Peran para aktor periode 1991-1997 Pada periode 1991-1997, setelah terjadi abrasi pada ekosistem hutan
mangrove pada tahun 1991, maka terlihat para pihak meliputi: BRLKT Balai Rehabilitasi Hutan dan Lahan Propinsi Lampung dan Dinas Kehutanan Propinsi
Lampung bergerak ke arah keyplayers dalam melaksanakan kegiatan rehabilitasi. Posisi keyplayers dalam hal ini, berarti mempunyai kepentingan dan pengaruh
yang tinggi dalam pengelolaan khususnya merehabilitasi hutan mangrove yang terkenan abrasi laut. Sementara itu, posisi masyarakat yang pada waktu itu
terkena abrasi merupakan kaum marjinal yang perlu diberdayakan melalui kegiatan rehabilitasi hutan, sehingga dalam hal ini masyarakat berada pada posisi
subject kepentingan tinggi pengaruh kecil. Selain ketiga para pihak tersebut di
atas, tetap berada pada posisi crowd yang artinya belum perlu dipertimbangkan atau dilibatkan dalam pengelolaan.
P
K
Gambar 12. Peran Para Pihak periode 1991-1997
Kinerja Pengelolaan Hutan Mangrove
Pada periode ini sudah jelas terlihat bahwa kinerja yang dilakukan tidak terlepas dari aktivitas yang dilakukan pada periode sebelumnya. Terjadinya
abrasi menyebabkan rusaknya hutan mangrove, hilangnya areal pertambakan yang telah dimiliki oleh perseorangan, dan tidak adanya aktivitas ekonomi masyarakat
yang berkaitan dengan keberadaan hutan mangrove itu sendiri. Pengelolaan hutan mangrove pada periode ini telah menyebabkan adanya upaya-upaya perbaikan
lingkungan hutan mangrove yang tidak terlepas dari aktivitas sebelumnya. Kerusakan hutan mangrove, tidak adanya aktivitas ekonomi di hutan mangrove
dan sekitarnya menunjukkan bahwa pengelolaan hutan mangrove tidak dilakukan secara berkelanjutan.
Aktivitas yang dilakukan adalah mencegah meluasya abrasi dan merencanakan rehabilitasi hutan mangrove oleh Dinas Kehutanan Provinsi
Lampung. Upaya-upaya yang dilakukan oleh pihak pemerintah merupakan langkah-langkah penyelamatan hutan mangrove dan keberlangsungan kehidupan
masyarakat yang ada di sekitar hutan mangrove.
5.3 Fenomena Tanah Timbul Mendorong Perubahan Kepemilikan Lahan dan Dinamika Kelembagaan Pengelolaan Hutan Mangrove 1998-2004.
Aktivitas rehabilitasi jalur hijau sepanjang jalur hutan mangrove yang terabrasi oleh Dinas Kehutanan Provinsi Lampung dengan Pola Maringgai pada
tahun 1995 dan 1997 dan LPP Mangrove telah memberikan hasil. Hutan mangrove muda tumbuh dengan sukses sepanjang jalur hijau yang terabrasi. Pada
Gambar 13 dapat dilihat keberhasilan upaya rehabilitasi hutan mangrove, diikuti dengan fenomena kemunculan tanah timbul ke arah laut.
Pada tahun 2002-2004 dilakukan upaya rehabilitasi oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Lampung Timur seluas 250 Ha dengan jenis yang ditanam adalah
bakau. Kemudian dibangunnya sarana wisata mangrove berupa 350 trail wisata, 7 shelter, dan 2 menara pengamatan burung oleh Dinas Kehutanan Provinsi
Lampung.
Gambar 13. Kemunculan Tanah Timbul ber-Hutan Mangrove pada Tahun 1999
Secara biologi dapat dijelaskan bahwa hutan mangrove yang berhasil tumbuh setelah direhabilitasi merupakan media dalam penangkapan lumpur laut
yang lama kelamaan menjadi daratan baru. Kemunculan lahan baru yang menuju ke arah lautan ini di daerah lainnya menimbulkan konflik kepemilikan.
Sementara di lokasi penelitian masyarakat membiarkannya terus berkembang tanpa diikuti dengan konflik kepemilikan.
Margasari 1999
Pola Interaksi
Dalam melakukan kegiatan rehabilitasi hutan mangrove Dinas Kehutanan Provinsi Lampung bersama masyarakat telah melaksanakan kegiatan tersebut.
Pelibatan masyarakat sekitar hutan dan desa yang bersebelahan dilakukan. Peran para pihak dapat dilihat pada Gambar 14 dan 15.
Gambar 14. Pemetaan para pihak dalam pengelolaan hutan mangrove
Pada periode 1998-2004, setelah dilakukan kegiatan rehabilitasi hutan mangrove oleh BRLKT dan Dinas Kehutanan Provinsi Lampung, maka telah
terjadi kemunculan tanah timbul yang berhutan mangrove. Kegiatan rehabilitasi tersebut mengalami keberhasilan. Pergerakan peran para pihak terjadi pada
masyarakat dan pemerintah kabupaten ke arah keyplayers bersama-sama dengan BPDAS perubahan BRLKT dan Dinas Kehutanan Propinsi. Sementara itu,
posisi Universitas Lampung bergerak dari posisi crowd ke arah perbatasan antara subject
dan keyplayers, dalam hal ini pada tahun 2004 ada inisiasi masyarakat untuk menyerahkan hutan mangrovenya kepada pihak Universitas Lampung untuk
menjadi hutan pendidikan seluas 50 hektar.
K P
Gambar 15. Peran para pihak dalam pengelolaan hutan mangrove
Pada Gambar 14 terlihat bahwa pada periode ini kepentingan dan pengaruh masyarakat, pemerintah daerah kabupaten, Balai Pengelolaan Daerah
Aliran Sungai Lampung dan Dinas Kehutanan Provinsi berperan dalam upaya rehabilitasi hutan mangrove yang telah terabrasi pada periode sebelumnya. Pada
periode ini tidak ada aktivitas ekonomi dari sumberdaya hutan mangrove. Kinerja Pengelolaan Hutan Mangrove
Tumbuh kembalinya hutan mangrove setelah dilakukan upaya rehabilitasi oleh pemerintah merupakan langkah keberhasilan mengembalikan ekosistem
hutan mangrove yang telah hilang akibat terkena abrasi. Keberhasilan tumbuh kembali hutan mangrove ini juga telah mendatangkan timbulnya daratan baru
yaitu dengan terjadinya sedimentasi di sekitar hutan mangrove muda tersebut. Meluasnya daratan tanah timbul sekitar hutan mangrove telah
memunculkan kembali lahan-lahan tambak udang yang dulu pernah dimiliki secara perorangan. Upaya-upaya dalam mempertahankan kemunculan tanah
timbul akibat keberhasilan rehabilitasi oleh pemerintah terus dilakukan. Bersama dengan masyarakat kemunculan tanah timbul tetap dapat dipertahankan untuk
tidak dibuka kembali menjadi areal pertambakan tradisional.
5.4 Ketidakjelasan Implementasi Regulasi Pemanfaatan Tanah Timbul Hutan Mangrove Mendorong Lahirnya Peran Para Pihak dalam
Dinamika Kelembagaan Pengelolaan Hutan Mangrove 2005-2010
Narasumber pada periode ini adalah ANS, ERW, SUG, AD, NG, AK, dan YN. Pada bulan November tahun 2004, atas inisiatif masyarakat, yang diwakili
oleh Kepala Desa Sukimin Alm menyerahkan hutan mangrove kepada Universitas Lampung untuk hutan pendidikan seluas 50 hektar dari luas total
hutan 700 hektar. Inisiatif ini disampaikan bersamaan dengan acara praktikum mahasiswa Jurusan Manajemen Hutan Universitas Lampung pada mata kuliah
Manajemen Hutan Mangrove. AK, sebagai dosen penanggung jawab mata kuliah tersebut, menyampaikan keinginan kepala desa secara tertulis kepada Dekan
Fakultas Pertanian masa itu. Tindak lanjut dari surat itu, Dekan Fakultas Pertanian meneruskan kepada pihak Rektorat—yaitu pihak Pembantu Rektor IV
Bidang Kerjasama. Pada waktu itu ada program yang dikembangkan oleh bidang kerjasama di PR IV yaitu Program Tripartit.
Tidak ditemukan konflik lahan dan kepemilikan sumberdaya hutan di lokasi penelitian lebih didasarkan pada keinginan dan penyadartahuan masyarakat
akan bencana yang akan timbul kembali setelah hutan mangrove di wilayahnya pernah hilang terabrasi pada tahun 1990. Dalam kurun waktu 14 tahun yaitu
tahun 2004 telah terjadi pemahaman masyarakat bahwa hutan mangrove di wilayahnya mempunyai manfaat ekologi yang lebih besar disamping manfaat
ekonominya. Namun, kesadaran masyarakat akan manfaat ekologi hutan mangrove tersebut melahirkan sebuah pemindahan posisi dan tanggung jawab
dalam pengelolaan sumberdaya dengan adanya perubahan kepemilikan Behera Stefanie 2006.
Menurut narasumber ANS bahwa konsep dasar pengembangan kerjasama Tripartit adalah Ekonoviant 2011:
1.Perguruan TinggiLembaga Penelitian dan Pengembangan memiliki peran untuk menghasilkan inovasi-inovasi teknologi. Pada suatu masyarakat berbasis
pengetahuan di negara-negara berkembang, posisi kalangan akademik ini adalah sederajat dengan entitas industri dan pemerintah.
2.Ketiga kalangan tersebut yaitu akademisi, pebisnis, dan pemerintah memiliki motivasi untuk meningkatkan dinamika dan daya kesinambungan ekonomi. Hal
tersebut memunculkan kondisi yang selalu menimbulkan inovasi berdasarkan interaksi dengan masyarakat dan bukan hanya usulan dari pihak pemerintah
saja. 3.Ada kendala yang dialami oleh negara berkembang dimana perlu didorong suatu
adanya inovasi di antara ketiga pihak sehingga dicapai potensi yang berdaya inovasi dan dapat mengambil peran secara aktif dalam pembangunan.
Pada awalnya ketiga pihak yang terlibat tersebut masing-masing bekerja sendiri-sendiri. Ternyata makin banyak bukti bahwa proses-proses inovasi
tersebar pada ketiga kelompok tersebut yang berinteraksi. Interaksi tersebut disebut sebagai “Triple Helix”.
Berdasarkan hal tersebut, maka untuk pengembangan kerjasama hutan mangrove di Universitas Lampung mengadopsi konsep triple helix. Menurut
ANS, konsep triple helix dikembangkan untuk mempertemukan tiga pihak yang bekerjasama yaitu antara Perguran Tinggi Universitas Lampung sebagai sumber
ilmu pengetahuan dan teknologi, Pemerintah sebagai lembaga birokrat, dan Masyarakat sebagai pemakai teknologi. Diharapkan dengan penerapan konsep
tersebut terjadi percepatan inovasi dan pengembangan teknologi yang berguna dalam pembangunan.
Menurut ANS, sebenarnya pada tahun 1998-2002 perjuangan memperoleh hutan mangrove yang ada di Desa Margasari sudah dilakukan tetapi belum
mendapatkan kepercayaan dari pihak Pemerintah Daerah Kabupaten. Diharapkan dengan pendekatan konsep triple helix atau yang kemudian dikenal dengan
konsep Tripartit dapat menemui keberhasilan. Konsep Tripartit ini mulai dikembangkan sejak tahun 2004. Dengan telah diinisiasi masyarakat untuk
menyerahkan hutan mangrovenya untuk hutan pendidikan, maka pihak Universitas Lampung dalam hal ini di bawah Pembantu Rektor IV pendekatan
untuk kepengurusannya didekati dengan konsep Tripartit yaitu dengan pendekatan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kekuatan atas inisiasi masyarakat sendiri.
Pada bulan Januari 2005, AK berkonsultasi dengan Asisten I Bidang Pemerintahan Kabupaten Lampung Timur untuk membicarakan kondisi hutan
mangrove di Kabupaten Lampung Timur secara umum dan hutan mangrove di Desa Margasari secara khusus. Berdasarkan hasil konsultasi tersebut dinyatakan
bahwa sudah terjadi perubahan bentang alam dan mempengaruhi secara ekologis dan ekonomis bagi kehidupan masyarakat dan pembangunan. Oleh karena itu,
diusulkan pengelolaan hutan mangrove secara terpadu, baik secara multidisiplin dengan melibatkan multisektor agar terjadi keterpaduan pengelolaan. Pada
pertemuan tersebut disepakati bahwa pihak Universitas Lampung dipersilakan mengadakan audiensi di kantor Kabupaten Lampung Timur tentang rencana
pengelolaan terpadu hutan mangrove tersebut. Pada 1 Februari 2005 dilaksanakan audiensi di kantor Pemerintah Daerah
Kabupaten Lampung Timur dipimpin oleh Asisten I Lampung Timur. Pada kesempatan tersebut disampaikan oleh Tim Tripartit Universitas Lampung tentang
program pengelolaan terpadu yang melibatkan multidisplin dan multipihak. Pihak yang menghadiri pertemuan tersebut adalah dinas-dinas teknis pemda, BPDAS
Provinsi Lampung, Badan Pertanahan Daerah, Badan Pertanahan Nasional, Masyarakat, dan LSM. Program-program yang disampaikan pihak Universitas
diterima dan disarankan untuk disempurnakan dan dibahas dalam pertemuan selanjutnya.
Selanjutnya, pada tanggal 10 Maret 2005 dilakukan ground check kondisi lapangan hutan mangrove antara pihak Universitas, pemerintah daerah, pihak
Badan Pertanahan Nasional Lampung Timur, LSM, dan masyarakat. Hasil dari pertemuan tersebut bahwa pihak pemerintah daerah akan membantu segala
pengurusan penyerahan yang dilakukan secara legal dan sesuai prosedur permohonan.
Pada 21 Maret 2005 disampaikan permohonan Masyarakat Desa Margasari untuk menyerahkan hutan mangrove 700 Ha kepada Universitas
Lampung. Surat bernomor 170.07.02.20081432005 ditujukan kepada Bupati Lampung Timur. Surat ditandatangani oleh 7 kelompok yang menyerahkan,
kepala desa, dan tembusan kepada Camat, BPD, Universitas Lampung, dan Arsip. Pada 10-11 Mei 2005, dilaksanakan lokakarya “Penyamaan Persepsi
Pengelolaan Terpadu Hutan Mangrove”. Pada kegiatan tersebut menghasilkan
program-program pengelolaan yang disepakati oleh masyarakat, Pemdakab dan Propinsi sebanyak 75 para pihak Lampiran 1.
Tahapan selanjutnya pada bulan Juni-Desember 2005 yaitu dilakukan beberapa kali audiensi dengan para pihak terkait mengenai luas dan status lahan
hutan mangrove Desa Margasari untuk diberikan ijin pengelolaan kepada pihak Universitas Lampung. Peserta audiensi adalah dari pihak pemda BPD, BPN,
Disbunhut, Universitas Lampung, LSM. Dalam pembahasan mengenai luas lahan mengemuka mengenai pengertian ekosistem hutan mangrove apakah
termasuk tanah timbul yang menjorok ke laut ataukah hanya yang berupa hutan saja. AK menyampaikan secara keilmuan menyatakan bahwa ekosistem hutan
mangrove termasuk tanah timbul yang menjorok ke arah laut. Hal tersebut disampaikan berdasarkan teori yang disampaikan Kusmana
2003 bahwa ruang lingkup sumberdaya ekosistem hutan mangrove adalah: 1 satu atau lebih species tumbuhan yang hidupnya terbatas di habitat mangrove; 2
species-species tumbuhan yang hidupnya di habitat mangrove namun juga dapat hidup di habitat non-mangrove; 3 biota yang berasosiasi dengan mangrove baik
yang hidupnya menetap, sementara, sekali-kali, biasa ditemukan kebetulan maupun khusus hidup di habitat mangrove; 4 proses-proses alamiah yang
berperan dalam mempertahankan ekosistem ini baik yang berada di daerah vegetasi maupun yang berada di luarnya; dan 5 daratan terbuka dari lumpur yang
berada di antara batas hutan sebenarnya dengan laut. Menurut Nirarita et al. 1996 mengemukakan bahwa hutan bakau hanya
dapat ditemukan di daerah tropika dan sebagian besar sub tropika dengan ciri sebagai berikut: 1 jenis tanahnya berlumpur, berlempung, atau berpasir dengan
bahan-bahan yang berasal dari lumpur, pasir atau pecahan karang; 2 lahannya tergenang air laut secara berkala, baik setiap hari sampai hanya daerah yang
tergenang saat purnama frekuensi genangan menentukan komposisi vegetasi hutan bakau; 3 menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat sungai, mata
air, atau air tanah yang berfungsi untuk menurunkan salinitas serta menambah pasokan unsur hara dan lumpur; dan 4 airnya payau dengan salinitas 2-22 ppm
atau asin dengan salinitas 38 ppm. Nybakken 1992 mengemukakan bahwa hutan mangrove adalah ekosistem peralihan antara daratan dan berhutan yang
mempunyai gradient lingkungan yang sangat tajam. Frekuensi serta volume air laut yang bercampur sangat berpengaruh terhadap kondisi fisika dan kimia
perairan air laut. Ekosistem ini selalu tergenang air laut secara berkala baik setiap hari maupun hanya tergenang saat purnama.
Pada tanggal 25 Januari 2006 di kantor Desa Margasari, dilakukan serah terima Ijin Lokasi kepada Universitas Lampung dari Bupati Lampung Timur
dengan Surat Keputusan Bupati Lampung Timur Nomor Surat Keputusan Bupati No. B. 30322SK2005 pada tanggal 23 Desember 2005 tentang ”Penetapan
Lokasi untuk Pengelolaan Hutan Mangrove dalam Rangka Pendidikan, Pelestarian Lingkungan, dan Pemberdayaan Masyarakat seluas 700 Ha di Desa
Margasari Kecamatan Labuhan Maringgai”. Pematokan hutan mangrove seluas
700 ha dilaksanakan oleh tim Badan Pertanahan Nasional didampingi pihak Universitas Lampung, Masyarakat pada tanggal 26-27 Januari 2006.
Pada tahun 2006 Universitas Lampung melakukan berbagai kegiatan pengelolaan hutan mangrove berbasis masyarakat. Kegiatan-kegiatan yang
dilakukan adalah: 1 sylvofishery, polychaeta, pembinaan masyarakat dan UMKM, rehabilitasi mangrove, pembangunan fasilitas trek ekowisata 300 meter
di Kuala Penet; 2 pembuatan demplot rehabilitasi hutan mangrove oleh Tim Mangrove Universitas Lampung seluas 2 Ha. Jenis yang ditanam adalah bakau;
dan 3 rehabilitasi hutan mangrove oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Lampung Timur seluas 75 Ha. Jenis yang ditanam adalah bakau besar Rhizhopora
mucronata . Pada Gambar 16 dapat dilihat meluasnya hutan mangrove dengan
diikuti fenomena kemunculan tanah timbul
Gambar 16. Kemunculan tanah timbul berhutan mangrove meluas pada Tahun 2009
Pada tahun 2007 dilakukan kunjungan Balai Pengelolaan Hutan Mangrove II BPHM II, Japan International Cooperation Agency JICA, dan Balai
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Way Seputih Way Sekampung BPDAS WSS ke Universitas Lampung Universitas Lampung. Tujuan kunjungan adalah saling
mengenal mengenai pengelolaan hutan mangrove. Tahun 2008 dilakukan pengukuran lapangan lahan calon gedung LMC
seluas 2500 m
2
Pada tahun 2009 dilakukan penandatangan naskah kesepahaman MoU antara BPHM II dan Universitas Lampung dengan dukungan JICA dalam
Pengelolaan Hutan Mangrove Berbasis Masyarakat di Desa Margasari Lampung
Timur-LMC dengan nomor MOU No. SKB.42BPHM.II22009 dan 392H26KL2009
tanggal 29 Januari 2009. Pada Mei 2009 dilakukan kegiatan: 1 pembahasan Kegiatan Pelatihan Dasar Hutan Mangrove dan Pelatihan PLH
bulan Mei dan 2 pembahasan tender tower bird watching di LMC. , berdasarkan pertemuan dengan Bupati Lamtim 4 April 2007
agar Universitas Lampung menyediakan lahan sedangkan Lamtim akan membangun gedung LMC. Penanaman bakau dan api-api seluas 1 ha oleh
mahasiswa KKN Kuliah Kerja Nyata. Penetapan Model Pengelolaan JICA dalam Pengelolaan Hutan Mangrove se-Indonesia. Pembahasan peran para pihak
dalam pengelolaan terpadu hutan mangrove.
Margasari 2009
Pada 18-23 Mei 2009 dilaksanakan Pelatian Dasar Hutan Mangrove di Desa Margasari bagi fasilitator pendidikan lingkungan hidup PLH. Pembukaan
Acara oleh Rektor Universitas Lampung, BPHM Wilayah II Ir. Murdoko MM, Badan Lingkungan Hidup BLH Lampung Timur, dan JICA SSPM. Setelah
Pembukaan dilanjutkan dengan peninjauan lokasi lahan Lampung Mangrove Center
LMC dan Kuala Penet. Adapun susunan acara sebagai berikut: 1 pelatihan diikuti 23 peserta; 2 materi 29 jam pelajaran; 3 pengajar dari Delta
Mahakam, Universitas Lampung, JICA, BPHM dan 4 sambutan dari penyandang dana yaitu JICA. Sementara itu penutupan dilakukan oleh Pembantu Rektor PR
IV Universitas Lampung, JICA, dan BPHM II. Pada 22-25 Juni 2009 dilaksanakan Pelatihan Teknis Fasilitasi PLH oleh
The RMI Bogor. Peserta 30 orang 23 anggota kelompok PLH + 7 Voluentaire JICA. Adapun susunan acara sebagai berikut: 1 pengenalan keanekaragaman
hayati dan konservasi keanekaragaman hayati berbasis masyarakat; berkaitan dengan a isu-isu hutan mangrove, b pendidikan alternatif pembuatan peta, c
pemanasan global dan perubahan iklim, d pendidikan lingkungan hidup sebuah jembatan manusia dan lingkungan, e permainan alam, f teknik komunikasi, dan
g programkegiatan pendidikan lingkungan hidup. Pada 24-26 Juli 2009 Pencarian Trek PLH oleh kelompok. Kegiatan ini
dimaksudkan untuk mencari, menentukan, mendiskripsikan, dan memvisualisasikan spot-spot yang menarik untuk PLH di masa yang akan datang.
Kegiatan ini sangat penting untuk mendukung PLH, yaitu sebagai tempat aktivitaspembelajaran langsung ke alam terhadap partisipan dalam PLH.
Pada September 2009 dilaksanakan pembangunan menara pengamatan burung bird watching tower setinggi 8 meter sebagai fasilitasi Pendidikan
Lingkungan Hidup. Pada bulan November 2009 dilaksanakan kegiatan lomba menggambar dan mewarnai bagi anak-anak sekolah dasar se-Kecamatan Labuhan
Maringgai dan serah terima menara bird watching dari kontraktor kepada JICA- BPHM II-Universitas Lampung.
Berakhirnya kegiatan setahun BPHM II dan JICA di hutan mangrove Desa Margasari menandakan adanya kepercayaan entitas lembaga hutan mangrove
skala nasional dan internasional untuk bekerjasama. Lampung Mangrove Center
LMC mendapat apresiasi dari pemerintah pusat dan lembaga internasional lainnya. Mereka dapat menerima LMC sebagai bagian dari mangrove nasional.
Eksistensi lembaga tersebut diakui, baik secara nasional maupun internasional. Menurut ANS, bahwa konsep kerjasama tripartit yang dikembangkan atas
inisiatif masyarakat mempunyai kekuatan dalam menjamin keberlangsungannya. Pada saat pelasanaan cek lapangan dan pematokan lahan tidak ada gejolak dari
masyarakat. Sampai sekarang patok merah yang terpasang tidak hilang. Bila dipelajari secara hukum, maka lahan tersebut merupakan kewenangan pemerintah
Kabupaten Lampung Timur. Sehingga selanjutnya dimohonkan kepada Bupati. Konsep Tripartit adalah membangun koeksistensi masing-masing pihak yang
bekerjasama yaitu saling menerima dan mengakui. Dalam pelaksanaan kerjasama Tripartit menurut ANS, pembuatan program
dan kegiatan dapat dilakukan di antara ketiga pihak yaitu apakah dari pihak perguruan tinggi, pemerintah daerah Kabupaten Lampung Timur sesuai tugas
pokok dan fungsi masing-masing pihak yang bekerjasama. Pada saat-saat tertentu saja pihak pemerintah daerah yang melakukan pembinaan kepada masyarakat
akan kesadaran pentingnya hutan mangrove bagi kehidupan. Masing-masing pihak yang bekerjasama memberikan peran karena merasakan ada kebutuhan
bersama dalam pengembangan hutan mangrove bagi pembangunan. Masyarakat dapat menggali sumber-sumber pendanaan dan peningkatan
perekonomian dari pengelolaan hutan mangrove. Pihak Universitas Lampung SUG menjelaskan bahwa selanjutnya Unila melaksanakan pengembangan
jejaring kerja, menyusun program jangka pendek-menengah-jangka panjang diantaranya penerimaan mahasiswa baru dengan menjaring siswa sekolah
menengah atas dari lokasi hutan mangrove, mendorong peningkatan perekonomian masyarakat, perkembangan hutan mangrove meningkat sehingga
tercipta kelestarian ekologi, produktivitas hutan mangrove meningkat. Nilai ekonomi total Total Economic Value-TEV hutan mangrove Desa
Margasari tahun 1999 sebesar Rp. 11.506.435.090tahun; Tahun 2005 sebesar 29.751.261.034tahun. Hutan mangrove memberikan manfaat ekonomi yang
lebih tinggi jika dibandingkan dengan dikonversi menjadi lahan tambak Ariyanto 2007. Sementara itu menurut UNEP 2009 bahwa TEV hutan mangrove sebesar
120.392.000ha lebih besar daripada harus mengkonversi hutan menjadi tambak. Sedangkan penanaman hutan mangrove seluas 12.000 ha memerlukan
pendananaan 1 juta dolar tetapi dapat memberikan manfaat tujuh kali lipat Tallis et al.
2008; Usaha tambak udang hanya dapat mengembalikan sekitar 1.220 dolarhatahun, tetapi menghilangkan manfaat mangrove bagi masyarakat sebesar
12.000 dolarhatahun Barbier 2006. Menurut ANS, hutan mangrove sebagai sebuah ekosistem mempunyai
fungsi sosial dan ekonomi bagi masyarakat, disamping fungsi ekologinya. Hutan mangrove di negara berkembang tidak dapat dipisahkan dengan fungsi sosial yang
begitu besar bagi kehidupan masyarakatnya. Pembangunan ekonomi masyarakat sekitar hutan mangrove dilakukan berbasis pantai bermangrove. Untuk
selanjutnya diperlukan penelitian-penelitian bagaimana pemanfaatan hutan mangrove bagi kehidupan masyarakat. Pada suatu masa apabila masyarakat
sudah mampu untuk berjalan sendiri maka peran pemerintah dan universitas tidak selalu mendominasi tetapi lebih bersifat mengayomi. Bila suatu saat terjadi
konflik atau permasalahan maka diperlukan peran pihak pemerintah daerah. Memperhatikan berbagai perbedaan kepemilikan sumberdaya hutan dan
lahan dan pengelolaannya di negara India, Cina, Eropa dimana pengelolaan hutannya dengan penguasaan oleh Negara tidak memberikan hasil yang lebih baik
dalam mempertahankan kelestarian sumberdaya dan menyejahterakan
masyarakatnya. Pengelolaan lahan-lahan sumberdaya hutan milik bersama common pool resources sudah seharusnya memperhatikan kepentingan bersama
dan lebih mengutamakan aspirasi bersama. Terlebih pada sumberdaya yang hilang akibat suatu bencana.
Hutan mangrove yang terkena abrasi jugai terjadi di lokasi penelitian. Kepemilikan pribadi privat pada sumberdaya hutan yang sedemikian juga akan
memberikan hasil akhir yang tidak jauh berbeda dengan penguasaan lahan hutan oleh negara. Kerentanan antara karakteristik sumberdaya dan bentuk-bentuk
kepemilikan memberikan pelajaran berharga bagi pencarian bentuk-bentuk pengelolaan sumberdaya dengan karakteristik milik bersama.
Sumberdaya hutan mangrove di lokasi penelitian merupakan salah satu contoh sumberdaya milik bersama yang memiliki keunikan atau perbedaan dari
kekacauan yang selama ini terjadi pada sumberdaya hutan mangrove di sepanjang pesisir. Tidak ditemukan konflik lahan dan kepemilikan sumberdaya hutan di
lokasi penelitian lebih didasarkan pada keinginan dan penyadartahuan masyarakat akan bencana yang akan timbul kembali setelah hutan mangrove di wilayahnya
pernah hilang terabrasi pada tahun 1990. Setelah kurun waktu 14 tahun dari tahun 1990 yaitu pada tahun 2004 masyarakat memahami bahwa hutan mangrove di
wilayahnya mempunyai manfaat ekologi yang lebih besar disamping manfaat ekonominya. Namun, kesadaran masyarakat akan manfaat ekologi hutan
mangrove tersebut melahirkan sebuah pemindahan posisi dan tanggung jawab dalam pengelolaan sumberdaya Behera Stefanie 2006.
Menurut Nugroho 2011 hak-hak kepemilikan oleh negara state property
pada banyak kasus memang sangat rentan menjadi sumberdaya akses terbuka yang tidak jelas hak kepemilikannya atau oleh Chichilnisky 2005
diistilahkan sebagai ill-defined property rights. Pada situasi demikian, maka sangat rentan untuk dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak berhak. Akibatnya,
pada pengelolaan sumberdaya hutan muncul fenomena pembalakan liar illegal logging
dan penyerobotan hutan encroachment, pada pengelolaan kekayaan tambang muncul fenomena penambang liar illegal mining, dan pada pengelolaan
kekayaan laut muncul fenomena illegal fishing. Mekanisme pemberian ijin pengelolaan hutan mangrove dari Bupati
Lampung Timur kepada Universitas Lampung adalah suatu mekanisme pemindahan hak melalui administrasi pemerintah. Pemberian hak kelola ini dari
sisi pandang Badan Pertanahan Nasional dapat ditingkatkan status hak nya apabila sudah melebihi waktu 2 tahun dengan kesepakatan pihak desa akan menjadi hak
milik apabila diajukan administrasi ke kantor pertanahan.
Pola Interaksi Hasil
Sandwich Like Dikti 2012 di Universitas Goettingen Jerman
Ekosistem hutan mangrove merupakan ekosistem hutan yang unik. Keunikan hutan tersebut karena terletak di antara wilayah daratan dan lautan.
Kustanti 2011 menyatakan bahwa hutan mangrove merupakan sumber daya alam hayati yang dapat diperbaharui renewable resources. Vegetasi penyusun
hutan tersebut terdiri dari lebih kurang 60 jenis pepohonan dan semak, dan lebih
dari 20 terdiri dari jenis tambahan yang merupakan asosiasi mangrove. Selain vegetasi yang terdapat di hutan mangrove tersebut, juga terdapat lebih dari 2.000
biota air yang tergantung terhadap keberadaan hutan tersebut, misalnya: ikan, invertebrata, dan tumbuhan epifit Barth 1982. Keberadaan vegetasi dan fauna
yang terdapat di hutan mangrove merupakan potensi yang dapat dikembangkan dalam pemenuhan kebutuhan sosial, ekonomi, dan lingkungan. Potensi yang
diperoleh dari ekosistem hutan tersebut berupa hasil hutan kayu, nonkayu, jasa, dan lingkungan. Keanekaragaman potensi tersebut sudah lama dimanfaatkan
untuk kehidupan manusia, baik secara langsung maupun tidak langsung. Kondisi vegetasi, meliputi indeks nilai penting di lokasi penelitian dapat
dilihat pada Tabel 12. Jenis-jenis yang mendominasi pada semua strata pohon dan pancang adalah api-api Avicennia marina. Sedangkan pada strata semai
adalah jenis nipah Nypa fruticans. Pada srata asosiasi didominasi oleh jenis
beluntas. Sedangkan hasil analisis perjumpaan burung di areal penelitian dapat
dilihat pada Tabel 13. Jenis burung yang banyak terdapat di lokasi penelitian adalah jenis kuntul besar Egretta alba, kemudian berturut-turut jenis kuntul
kecil Egretta garzetta, blekok sawah Ardeola speciosa, cangak laut Antea sumatrana
, belibis Dendrocygna arcuata, kuntul karang Egretta sacra, dan raja udang biru Alcedo caerulescens
.
Krott 2005 menyatakan bahwa dengan adanya potensi yang terkandung pada hutan, maka terdapat berbagai macam kepentingan dalam mengambil
manfaat dari keberadaan hutan tersebut. Adanya berbagai macam kepentingan interest para pihak, opini masyarakat, bentuk psikologis, pengaruh kebijakan
hutan merupakan fokus yang harus mendapat perhatian dalam analisis kebijakan pengelolaan hutan. Krott 2005 menyatakan bahwa kebijakan kehutanan
merupakan proses tawar menawar dalam mengatur berbagai macam kepentingan antar para pihak pengguna, asosiasi kehutanan, dan partai politik dalam
memanfaatkan dan mengkonservasi hutan. Kebijakan kehutanan dalam penggunaan lahan di daerah penelitian merupakan tanah timbul yang memerlukan
pendekatan partisipatif dalam penyusunan program dan kegiatan Krott 2005, serta peran pemerintah sebagai pengayom masyarakat dalam mencapai tujuan
kesejahteraan masyarakat dan kelestarian sumberdaya hutan mangrove Kustanti 2011.
Tabel 12. Hasil Analisis Vegetasi Hutan Mangrove
No. Nama Lokal
Nama Latin INP
STRATA POHON
1. Buta-buta
Ecoecaera agallocha 6.87
2. Pidada
Sonneratia alba 14.32
3. Waru Laut
Hibiscus tiliaceus 21.50
4. Api – api
Avicennia marina 256.05
STRATA PANCANG
1. Pidada
Sonneratia alba 8.17
2. Waru Laut
Hibiscus tiliaceus 15.59
3. Api – api
Avicennia marina 176.24
STRATA SEMAI
1. Api-api
Avicennia marina 4.46
2. Bakau merah
Rhizophora apiculata 4.46
3. Bakau kecil
Rhizophora stylosa 4.46
4. Nipa
Nypa fruticans 6.23
ASOSIASI
1. Paku-pakuan
Acrostichum aureum 14.22
2. Kemangi
Ocimum basilium L 14.22
3. Gulung-gulung
Spinifex littoreus 17.76
4. Tapak Kuda
Ipomoea pes-caprae 22.25
5. Jeruju
Acanthus ilicifolius 53.38
6. Beluntas
Pluchea indica L 58.57
Tabel 13. Keberadaan burung di ekosistem hutan mangrove
Nama Latin Keberadaan Burung
No.
Pengamatan langsung Informasi masyarakat
Sedikit jumlah
individu Sedang
jumlah individu
Banyak jumlah
individu Sedikit
jumlah individu
Sedang jumlah
individu Banyak
jumlah individu
1 Kuntul Besar
Egretta alba 179 ekor
2
Kuntul Kecil Egretta garzetta
14 ekor
3 Kuntul Karang
Egretta sacra 4 ekor
4
Belibis Dendrocygna
arcuata 5 ekor
5
Raja udang biru Alcedo
caerulescens 2 ekor
6
Blekok sawah Ardeola speciosa
36 ekor
7 Cangak laut
Antea sumatrana 8 ekor
Selanjutnya Papageorgiou et al. 2008 menyatakan bahwa partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan dengan karakteristik CPRs diperlukan untuk
menjamin keberlanjutannya. Hutan mangrove di lokasi penelitian terletak di antara daratan dan lautan. Hal tersebut memerlukan pendekatan yang lebih
kompleks daripada pengelolaan hutan lainnya. Pengelolaan terpadu diperlukan dengan memperhatikan keterlibatan beberapa pihak, baik secara individual atau
pun kelembagaan Kustanti et al. 2012. Berdasarkan pendekatan dari teori Krott 2005 kepentingan para pihak dalam pengelolaan hutan mangrove di lokasi
penelitian dapat dibedakan atas kepentingan keberadaan jalur hijau green belt existing
, boidiversitas, produk non kayu, dan kayu bakar. Secara keseluruhan kepentingan para pihak pada periode 2005-2010 dapat dilihat pada Gambar 17 di
bawah ini.
Kepentingan:
Kab Unila
Masyarakat
Keberadaan Green Belt
Produk Non Kayu
Kayu bakar
+++
+ +++
++ ++
Pengelola Hutan
+++
+++ +
+++
++ +
Dinas Teknis
+++
++ ++
++
Kades Petani
Nelayan Dishut
+++
+
+
+++
+
+++
++ ++
+++
++
+++
++
+++ +++
+++
++
+++
Peng pul
l
+
+++
+ Langsung
LSM
DKP BLH
BPD AS
Tidak Langsung
Jejar ing
PLH
+++
++ +++
Biodiversity
+++ +
++ ++
++ +
+
+
+ ++
+
+++
+ +
BPDA
++
+
Kepentingan Stakeholders: +++ sangat kuat; ++ kuat; + sedang; rendah Area konflik
Area utama kepentingan
Pengguna
Gambar 17. Matrik kepentingan para pihak dalam pengelolaan hutan mangrove berkelanjutan di Kabupaten Lampung Timur
Pada Gambar 17 dapat dilihat bahwa kepentingan yang tinggi dengan simbol tiga plus dapat menimbulkan potensi konflik kepentingan di antara para
pihak dalam keberlanjutan pengelolaan terpadu hutan mangrove. Terlihat kepentingan akan keanekragaman hayati biodiversity, kebutuhan pemenuhan
kayu bakar, dan hasil hutan non kayu. Para pihak yang berkepentingan dalam hal ini adalah masyarakat, Universitas Lampung, dan Pemerintah Kabupaten
Lampung Timur.
Sementara itu uraian dari peran aktor, kepentingan, dan konflik yang kemungkinan terjadi dapat dilihat pada Tabel 14.
Dari Gambar 17 dan Tabel 14 dapat dilihat bahwa pengguna user dalam pengelolaan hutan mangrove dibagi menjadi dua, yaitu pengguna langsung direct
user dan pengguna tidak langsung indirect user. Pengguna langsung adalah
para pihak yang berhubungan dengan hutan mangrove. Sedangkan pengguna tidak langsung adalah para pihak yang tidak berhubungan langsung dengan hutan
mangrove. Pengguna langsung dibagi menjadi dua yaitu Kabupaten Lampung Timur dan Universitas Lampung. Pengguna tidak langsung meliputi: Badan
Lingkungan Hidup, Dinas Perkebunan dan Kehutanan, Dinas Kelautan dan Perikanan, Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah, Balai Pengelolaan
Daerah Aliran Sungai Way Seputih Way Sekampung, LSM, Jejaring Kerja Nasional dan Internasional, dan Pengusaha. Sementara itu kepentingan para pihak
antara lain adalah: keberadaan jalur hijau, biodiversity, produk non kayu, dan kayu bakar.
Table 14. Ringkasan peran aktor, kepentingan, dan konflik dalam pengelolaan hutan mangrove berkelanjutan periode 2005-2010
Kepentingan Aktor
Potensial Konflik Keberadaan jalur
hijau Green Belt existing
Jalur hijau tidak dikonversi untuk
peruntukan lainnya -Kabupaten Lampung
Timur -Universitas Lampung
-Petani -Kepala Desa
-Kelompok PLH -Disbunhut
-DKP -BLH
-Bappeda Tidak terjadi konflik karena
semua pihak menginginkan jalur hijau tetap dipertahankan
Biodiversity diindikasikan dari
keragaman, kepadatan, dan
komposisi jenis mangrove
-Universitas Lampung -Disbunhut
-LSM -Penentuan jenis dalam
penanaman mangrove sesuai zonasinya
Produk Non Kayu variasi produk non
kayu di sekitar hutan mangrove
-DKP -Nelayan
-Pengusaha -Nelayan
-Petani -PLH
-Universitas Lampung -Manfaat
-Penentuan harga -keberlanjutan produk
-keberadaan jalur hijau
Kayu bakar Digunakan untuk
keperluan pemenuhan energi
rumah tangga sehari- hari
-Kabupaten Lampung Timur
-Nelayan -Petani
-PLH -Universitas Lampung
-Kayu untuk energi rumah tangga diambil dari hutan
mangrove -dilarang menebang pohon
mangrove untuk kayu bakar -80 rumah tangga
memerlukan kayu untuk energi sehari-hari dan hanya 10 dari
hutan mangrove
-diperlukan penelitian tentang kayu bakar jenis, ukuran,
umur, kriteria kayu, dan lokasi
-keberadaan jalur hijau Peran para pihak dalam hal kepentingan dan pengaruhnya dalam
pengelolaan hutan mangrove berkelanjutan dapat dilihat pada Gambar 18 di bawah ini.
Gambar 18. Pemetaan para pihak pada periode 2005-2010
P
Table 14. Ringkasan peran aktor, kepentingan, dan konflik dalam pengelolaan hutan mangrove berkelanjutan periode 2005-2010 lanjutan
Gambar 19. Peran para pihak pada Periode 2005-2010 Pada Gambar 18 dan 19, dapat diperhatikan bahwa setelah dilakukan
inisiasi masyarakat untuk menyerahkan hutan mangrove kepada Universitas Lampung maka dilakukan kegiatan-kegiatan secara intensif oleh pihak perguruan
tinggi, bersama pihak pemdakab dan instansi terkait lainnya dalam legalitas pengelolaan, penyusunan dan implementasi program yang direncanakan.
Pada periode ini para pihak yang bergerak ke arah keyplayers adalah Masyarakat, Pemdakab, dan Universitas Lampung. Sementara itu terlihat dari
grafik, ada peningkatan peran dari internasional agents yang berada pada posisi antara crowd dan subjetc, dimana pada posisi ini peran lembaga internasional
adalah sebagai agen yang mempunyai pengaruh kecil dan kepentingan kecil dalam pengelolaan hutan mangrove, tetapi mempunyai dampak yang luas pada
pengelolaan selanjutnya. Peran para pihak yaitu dalam kepentingan dan pengaruhnya dapat
dikategorikan mendukung atau mengancam keberadaan organisasi atau institusi pengelolaan hutan mangrove. Proses analisis para pihak adalah suatu proses
dalam mendefinisikan aspek sosial dan fenomena alam yang dipengaruhi oleh suatu pengambilan keputusan. Dalam analisis kebijakan, analisis para pihak
digunakan untuk mendapatkan informasi tentang aktor dalam hal memahami perilaku, kepentingan, agenda, dan pengaruhnya atas pembuatan keputusan.
Sedangkan dalam ilmu politik, analisis para pihak digunakan meningkatkan
efektivitas kerja, transparansi, memahami konteks kebijakan, dan kelayakan kebijakan yang akan datang Reed et al. 2009.
Pengelolaan hutan mangrove di lokasi penelitian telah mengalami perubahan pengelolaan dari tahun 1977 sampai dengan 2010. Periode
pengelolaan hutan mangrove di lokasi penelitian, baik kondisi sumberdaya dan perubahan peran para pihak selama 33 tahun memberikan pembelajaran bahwa
terjadi perubahan para pihak dan sumberdaya hutan mangrove. Berdasarkan hal tersebut diperlukan sebuah analisis untuk penentuan kebijakan ke depan
berdasarkan sejarah pengelolaan dan analisis para pihak pengelolaan hutan mangrove berkelanjutan.
Dalam pengelolaan tripartit hutan mangrove antara masyarakat, Pemerintah Kabupaten Lampung Timur, dan Universitas Lampung merupakan
kerjasama sesuai tugas pokok dan fungsi masing-masing lembaga yang bekerjasama. Sumber pengaruh source of power meliputi koersif, insentif, dan
informasi Krott et al. in review 2011. Bentuk koersif pengaruh dalam pengelolaan adalah berupa aturan yang ditetapkan dalam sebuah regulasi, baik
dari pihak masyarakat, kabupaten, maupun universitas. Setelah ketetapan berupa surat keputusan maka diperlukan sebuah peraturan bupati yang memuat
operasional dan uraian pekerjaan job description mengenai sistem pengelolaan hutan mangrove di Lampung Mangrove Center tentang masing-masing yang
dikerjakan oleh satuan-satuan kerja di kabupaten. Masyarakat lokal sebagai aktor lokal biasanya mempunyai pengaruh
dalam pengelolaan hutan. Bahkan seringkali elit lokal dan aktor dari luar mendominasi pengaruh dan menyalahgunakan program hutan kemasyarakatan
untuk kepentingan mereka sendiri Devkota 2010; Maryudi et al. 2012. Kesadarankepedulian hubungan pengaruh power akan membantu dalam
penentuan aktor yang tepat dalam membantu penyelesaian khususnya secara politik. Pendekatan keilmuan dan teknologi dalam pengelolaan sumberdaya alam
sesuai karakteristiknya diperlukan dan dengan dukungan partisipasi nyata masyarakat.
Prinsip Kelestarian Pengelolaan Hutan Mangrove Ostrom 1990 Kinerja Pengelolaan Hutan Mangrove