tersebut. Manfaat dari pelarangan tersebut dapat memberikan keberlanjutan pengelolaan hutan mangrove dan hasil-hasilnya.
Gambar 20. Batas-batas areal pengelolaan hutan mangrove
b Aturan pelarangan membatasi waktu, tempat, teknologi danatau jumlah unit sumberdaya yang terkait dengan kondisi lingkungan lokal, sosial
budaya dan ekonomi
Pemanfaatan hutan mangrove di lokasi penelitian merupakan hutan mangrove yang pernah hilang akibat terabrasi air laut. Pembukaan hutan
mangrove untuk pertambakan udang tradisional merupakan trauma yang mendalam bagi masyarakat untuk melakukannya lagi. Pemanfaatan yang
diarahkan ke depan oleh generasi berikutnya adalah pemanfaatan hutan mangrove yang tidak merusak atau melakukan penebangan pohon mangrove.
Bahkan yang lebih ketat lagi masyarakat dilarang untuk mengambil ranting kayu yang sudah kering, hal tersebut dilakukan karena memang pernah
terjadi pelanggaran pengambilan ranting kayu dilakukan dengan melakukan teresan pada batang pohon mangrove yang hidup yang nantinya diharapkan akan
mati dan diambil kayunya secara keseluruhan. Berdasarkan hal tersebut maka ada pelarangan dari masyarakat untuk tidak mengambil kayu ranting lagi.
Pemanfaatan hasil mangrove yang diperbolehkan adalah dengan mengambil hasil hutan non kayu mangrove seperti: buah, daun mangrove, ikan
dan kerang, dan yang lebih ditekankan lagi adalah pengembangan ekowisata yang sudah menjadi impian masyarakat ke depan.
3. Prinsip Desain 3: Pengaturan Pilihan Kolektif
Pengelolaan hutan mangrove yang dilakukan merupakan murni inisiasi masyarakat. Masyarakat dalam hal ini dikatakan sebagai agent of change yang
memulainya semua proses yang kemudian difasilitasi oleh pihak Universitas Lampung dengan pendekatan keilmuan dan teknologi. Proses perubahan terjadi
berdasarkan kesadaran masyarakat yang ingin melestarikan hutan mangrove di lingkungan tempat tinggalnya.
Hutan mangrove tersebut adalah hutan yang tumbuh kembali setelah hilang terkena abrasi pada tahun 1991. Abrasi tersebut terjadi akibat adanya
pembukaan hutan untuk pertambakan udang tradisional tahun 1977-1990. Pada tahun 1995-1997 dilakukan upaya rehabilitasi hutan mangrove yang rusak.
Ternyata pada tahun 1998-2004 terjadi pertumbuhan mangrove dan penambahan lahan baru ke arah laut. Kemunculan lahan baru atau yang sering disebut tanah
timbul bermangrove ini menimbulkan keinginan untuk membuka kembali menjadi tambak udang seperti sebelumnya. Tetapi hal tersebut ditolak oleh masyarakat
lainnya. Terjadi trauma untuk membuka lahan mangrove kembali. Pada akhir tahun 2004 lahirlah inisiasi masyarakat untuk menyerahkan 50
ha hutan mangrove kepada Universitas Lampung sebagai hutan pendidikan. Pihak Universitas segera memfasilitasi melalui berbagai proses, sehingga pada
awal tahun 2006 hutan mangrove seluas 700 ha diserahkan kepada pihak
Universitas Lampung untuk dikelola bersama. 4. Prinsip Desain 4: Monitoring
a Pengawas, aktif mengawasi kondisi CPR dan perilaku pengguna, bertanggung jawab kepada pengguna danatau pengguna sendiri
Dalam pengelolaan terpadu ini pengawasan dilakukan bersama-sama masyarakat dan Kabupaten Lampung Timur. Telah dibentuk tim pengaman hutan
mangrove yang beranggotakan masyarakat berdasarkan Surat Keputusan Bupati Lampung Timur Nomor B.0604SK2007 tentang Penunjukan Tenaga Pengaman
Hutan Mangrove dan Green Belt Pantai Timur Kabupaten Lampung Timur. Pengawasan yang dilakukan dalam pengelolaan hutan mangrove ini masih
terbatas pada penyerahan laporan kegiatan pihak universitas kepada pemerintah kabupaten. Ada kelemahan dalam pengawasan karena belum adanya suatu aturan
baku dalam melakukan pengawasan.
b Tidak ada tekanan eksternal, yang efektif mengendalikan upaya pemantauan lokal
Dalam melakukan mekanisme pengawasan maka masyarakat adalah ujung tombak di lapangan dalam menekan pelaku pelanggaran. Terjadinya pelanggaran
terhadap kelestarian hutan mangrove misalnya penebangan pohon mangrove yang diketahui oleh masyarakat segera dilaporkan kepada pihak Universitas Lampung.
Selanjutnya pihak universitas bekerjasama dengan pihak pemerintah Kabupaten Lampung Timur untuk melakukan tindakan terhadap pelanggar tersebut.
5. Prinsip Desain 5: Sanksi
Pelanggaran atau sanksi dalam pengelolaan hutan mangrove dilakukan bersama-sama dengan masyarakat. Penetapan sanksi dilakukan secara
gradualbertingkat yaitu berupa peringatan, teguran, dan kurungan. Penetapan penghargaan secara nyata belum dilakukan. Dari wawancara dengan responden,
mereka mengharapkan adanya mekanisme pemberian penghargaan bagi yang melakukan upaya-upaya pelestarian hutan mangrove.
6. Prinsip Desain 6: Mekanisme Penyelesaian Masalah
Penyelesaian masalah dilakukan berdasarkan adanya laporan dari masyarakat. Penyelesaian dilakukan secara bertingkat gradual dan bersifat
pembinaan. Pihak pengaman yang ada di masyarakat segera melaporkan ke aparat dan kelompok pendidikan lingkungan bahwa telah terjadi pelanggaran
pengelolaan hutan, misalnya pencurian kayu. Pihak kelompok lingkungan hidup kemudian berkoordinasi dengan pihak
berwajib untuk menyelesaikan masalah tersebut. Pemberian pelaporan kepada pihak yang berwajib dimaksudkan untuk memberikan efek jera kepada pelaku
pencurian kayu hutan mangrove.
7. Prinsip Desain 7: Pengakuan Hak Berorganisasi a Hak pengguna untuk merancang kelembagaan mereka sendiri tidak
ditentang atau dihambat oleh faktor eksternal atau otoritas lokal yang mempunyai kemampuan untuk mengendalikan kelembagaan pengguna
Otoritas pengelolaan dan penyusunan program sepenuhnya diserahkan kepada universitas sebagai pemimpinnya. Universitas melakukan penjaringan
aspirasi masyarakat. Kemudian dikoordinasikan dan didiskusikan dengan pihak pemerintah kabupaten. Pada lembaga di Universitas, hutan mangrove di
Margasari dibawah Pusat Penelitian Pesisir dan Kelautan, Lembaga Penelitian Universitas Lampung.
b Tidak ada kekuatan tunggal kelompok pengguna yang dapat mencegah pengguna lain mengorganisasi diri dan merancang kelembagaan.
Kelompok pengguna melakukan penolakan terhadap kelompok pengguna lainnya. Dengan dasar adanya kerjasama dengan Universitas Lampung dan
pemerintah daerah kabupaten maka masyarakat pengguna merasakan ada kekuatan yang melindungi mereka apabila ada serangan pengguna luar yang ingin
mengambil manfaat hasil hutan mangrove yang tidak ramah lingkungan, misalnya penebangan kayu mangrove.
Pengelolaan hutan mangrove pada periode ini menunjukkan adanya keterpaduan pengelolaan yang ditunjukkan adanya berbagai pihak yang terlibat
berdasarkan inisiasi masyarakat. Peran para pihak meningkat sesuai dengan tugas pokok dan fungsi masing-masing. Keberadaan hutan tetap dipertahankan dengan