Aksi Bersama Collective Action

biaya transaksi transaction costs yang lebih mahal dibanding kesepakatan‐kesepakatan bilateral, 5 keberagaman kepentingan dan kecenderungan individu pada dasarnya sulit diagregasikan maupun dirata‐ratakan, pilihan tersebut menyebabkan pengambil keputusan untuk membuat satu aturan untuk semua one size fits all, padahal pada kenyataannya multi aspirasi, 6 aksi bersama memerlukan multilateral give and take, manfaat‐manfaat yang dihasilkan tidak secara langsung mudah diperoleh indirect benefits dan tidak selamanya bersifat saling menguntungkan non mutual, serta hasil‐hasil kerjasama kolektif sering tidak segera dapat dirasakan. Kondisi demikian akan menyebabkan kerusakan moral, penunggang gratis dan perilaku memanfaatkan kesempatan, yang pada akhirnya akan menyebabkan munculnya kerusakan sumberdaya milik bersama, 7 kepentingan dan pilihan kolektif sering disampaikan secara tidak sempurna yang mengakibatkan pengambilan keputusan dilakukan secara voting yang pada dasarnya tidak menjamin terwakilinya preferensi individu‐individu yang terlibat, 8 pengambilan keputusan kolektif sering dilakukan dengan sistem perwakilan yang rentan menimbulkan masalah hubungan pemberi—penerima kepercayaan dan memerlukan biaya perwakilan agency costs yang mahal, 9 apabila wakil yang ditunjuk adalah adalah partai politik dan birokrat cenderung akan memunculkan fenomena pengusaan yang besar oleh yang kecil exploitation of the majority by minorities, karena pada dasarnya mereka memiliki kepentingan‐kepentingan sendiri yang sulit dideteksi, 10 apabila biaya keikutsertaan dalam pengambilan keputusan bersama dan biaya informasi untuk mengetahui keragaan, motif dan kepentingan para wakil mahal dan tidak tertanggulangi oleh individu‐individu yang terlibat, maka pemberi kepercayaan menjadi tidak aktif dan mentoleransi keputusan yg dibuat wakil‐wakilnya rationally ignorant. Kompleksitas membangun aksi bersama seperti diuraikan di atas tidak dimaksudkan untuk menghindari aksi bersama dalam penerapan mekanisme pengelolaan sumberdaya milik bersama. Mengingat kemanfaatan aksi bersama yang sangat strategis dalam penerapan pengelolaan sumberdaya tersebut, maka kompleksitas‐kompleksitas tersebut perlu dicarikan jalan keluarnya. Untuk itu beberapa langkah perlu dilakukan, antara lain: 1 membangun kesaling‐percayaan trust di antara para pihak yang akan terlibat dalam mekanisme pengelolaan sumberdaya milik bersama. Dengan adanya kesaling‐percayaan akan mengurangi minat individu‐individu untuk berperilaku penunggang gratis, biaya transaksi dapat diminimalkan, akan memudahkan membagun koordinasi antar pihak, dan ikatan soial social cohesion dapat ditingkatkan, 2 penetapan skala penerapan mekanisme pengelolaan sumberdaya milik bersama yang tepat. Hal ini akan mempengaruhi ukuran kelompok. Apabila penerapan mekanisme pengelolaan sumberdaya milik bersama mengharuskan skalanya besar, maka perlu dipertimbangkan untuk memecah ukuran kelompok ke dalam sub‐sub kelompok yang lebih kecil, namun masih tetap memiliki kemampuan investasi yang memadai, 3 memastikan bahwa mekanisme pengelolaan sumberdaya milik bersama yang dibangun benar‐benar dapat memecahkan masalah kolektif yang sedang dihadapi. Hal ini berkaitan dengan ketepatan pendefinisian akar masalah, tawaran solusi dan kondisi pemungkin yang diperlukan. Ketepatan mekanisme yang dibangun akan semakin mendekati kebutuhan lokal apabila identifikasi dilakukan oleh individukelompoklembaga‐lembaga yang mempunyai basis pendampingan masyarakat lokal dengan mekanisme partisipatif, 4 untuk menumbuhkan partisipasi yang benar, maka diperlukan penguatan kapasitas para pihak baik melalui pembangkitan kesadaran raising awareness, penjelasan konsepsi maupun penyediaan informasi yang tepat dan akurat. Tanpa kapasitas yang sepadan di antara para aktor, maka proses partisipatif dalam arti sesungguhnya akan sulit dicapai. Dengan demikian perbedaan kepentingan‐kepentingan para pihak dapat didekatkan dan mampu diekspresikan dengan sempurna, 5 aturan dalam mekanisme pengelolaan sumberdaya milik bersama yang dibangun memungkinkan keikutsertaan dalam pengambilan keputusan secara langsung. Apabila keterlibatan pemerintah diperlukan, maka harus dipastikan bahwa biaya partisipasi para pihak yang terlibat dapat diminimalkan, 6 aturan dalam mekanisme pengelolaan sumberdaya milik bersama harus dapat mendefinisikan hak dan kewajiban secara jelas dan tidak multi‐interpretatif, serta menjamin adanya keadilan distribusi manfaat, tranparans, dan akuntabel Williamson 1996. Dalam aksi bersama pengelolaan sumberdaya hutan dengan karakteristik milik publik perlu dilakukan sebuah kebijakan pengelolaan di antara pemerintahan dan masyarakatnya dalam pengaturan pemanfaatan sumberdaya hutan tersebut agar terjadi kesamaan visi dan misi dalam pengelolaan hutan untuk keberkelanjutannya. Untuk dapat melihat berjalan atau tidaknya aksi bersama yang dilakukan maka dapat diterapkan delapan 8 prinsip perencanaan Ostrom 1990 sebagai kerangka teoritik dan evaluasi. Delapan prinsip Ostrom juga untuk menentukan hubungan dengan situasi kehutanan dan menguji apakah sistem kehutanan sudah sesuai dengan prinsip Ostrom tersebut. Kedelapan prinsip tersebut meliputi: 1 batas-batas terdefinisi dengan jelas clearly defined boundaries; 2 relevansisebangun rules congruent with local conditions; 3 pengaturan pilihan kolektif dalam pengambilan keputusan individuals affected can participate in modifying operational rules; 4 monitoring efektif terhadap akses dan penggunaan sumberdaya monitors are accountable to the appropriators; 5 sangsi bertingkatgradual terhadap pelanggar aturan graduated sanctions against violators; 6 mekanisme resolusi konflik ready access to conflict-resolution mechanisms; dan 7 pengakuan hak minimal terhadap hak untuk mengorganisirmengelola recognition of rights to organize, by external government authorities; dan 8kelompok pengguna untuk sumberdaya milik bersama yang merupakan bagian dari sistem yang lebih besar nested enterprises, where the resource is part of a larger system. Sedangkan analisa organisasi kelembagaan menurut Peters 2000 sebagai berikut: 1 tingkat otonomi, dalam pengertian sampai sejauh mana organisasi yang ada memiliki kapasitas untuk melaksanakan keputusan-keputusan yang telah ditetapkannya sendiri; 2 tingkat adaptasi, dalam pengertian sejauh mana organisasi yang ada mampu menyesuaikan dengan perubahan yang terjadi atau mampu memberikan arah terhadap perubahan; 3 tingkat kompleksitas, dalam pengertian sejauh mana organisasi yang ada mempunyai kapasitas untuk membentuk struktur organisasinya sendiri dalam rangka mencapai tujuan yang ditetapkan; 4 tingkat koherensi, dalam pengertian sejauh mana organisasi yang ada mengelola beban kerjanya dan mengembangkan prosedur atau protokol untuk melaksanakan berbagai tugas yang diembannya dengan cara yang efektif dan efisien, 5 tingkat kongruensi, dalam pengertian sejauh mana hubungan politik yang terdapat di dalam organisasi sesuai dengan hubungan sosial pada kelompok masyarakat yang akan diatur atau dibina. Ini mencerminkan sejauh mana perbedaan norma-norma di antara para elit politik di dalam organisasi dengan norma-norma yang berlaku di masyarakatnya; 6 tingkat eksklusifitas, dalam pengertian intensitas persaingan di antara organisasi yang ada. Dengan kata lain, sejauh mana kinerja organisasi tersebut di antara lembaga-lembaga pesaing yang ada. Selanjutnya untuk melakukan analisa organisasi kelembagaan dalam aksi bersama dalam memahami implikasi terjadinya evolusi hak kepemilikan dan peran stakeholder dalam pengelolaan hutan mangrove mensistesis metode yang dikembangkan oleh Peters 2000 dan Ostrom 1990 sebagai berikut: 1 tingkat kewenangan tugas, pokok, dan fungsi para pihak yang terlibat dalam pengelolaan. Tupoksi masing-masing pihak yang terlibatakan diidentifikasi dan dianalisa terhadap pengelolaan bersama; 2 tingkat otonomi, dalam hal ini ingin melihat sejauh mana implementasi terhadap keputusanregulasi yang ditetapkannya sendiri; 3 tingkat adaptasi, bagaimana kemampuan organisasi menyesuaikan dengan perubahan yang terjadi melalui pembuatan aturan yang sesuai secara partisipatif dalam menentukan pilihan kolektif; 4 tingkat koordinasi, dalam hal ini akan melakukan identifikasi sejauh mana koordinasi pengelolaan dilaksanakan; 5 tingkat pemantauan dan evaluasi, kegiatan ini akan melakukan identifikasi kondisi sumberdaya alam, stakeholder dan peluang- peluang terjadinya mis-koordinasi, pelanggaran, dan mekanisme penerapan sanksi.

2.6 Kapasitas Aktor Pengelolaan Hutan

Dorongan masyarakat dalam upaya melestarikan sumberdaya hutan adalah didasarkan pada: 1 adanya kerusakan hutan sehingga mereka tidak dapat memanfaatkan atau mengambil hasil hutan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Adapun hasil-hasil hutan yang biasanya mereka manfaatkan adalah berupa kayu bakar, umbi-umbian, dedaunan, buah, jamur, daun untuk piring, daun kering untuk bahan bakar, bambu, kayu kecil, semak obat-obatan, bahan tali temali, dan biji-bijian untuk membuat minyak; 2 faktor-faktor yang mendorong yaitu adanya kelembagaan tradisional yang kuat, b.tidak berlanjutnya kegiatan pertanian, c.kurangnya barang substitusi produk dari hutan, d.adanya dukungan dari pemerintah lokal, dan e.kepemilikan lahan; dan 3 adanya faktor-faktor yang berpotensial menghambat yaitu kondisi sumberdaya hutan yang menurun dan masyarakat desa yang mempunyai ketergantungan yang sangat tinggi terhadap kayu bakar Conroy, Misra, Rai 2002. Keberhasilan organisasi pengelolaan hutan ditentukan oleh faktor mikro dan makro. Faktor mikro meliputi : 1 pengertian akan visi dan misi organisasi; 2 adanya struktur organisasi; 3 gaya kepemimpinan; 4 kemampuan dinamisasi; dan 5 budaya organisasi. Sedangkan faktor makro antara lain: 1kemajuan teknologi; 2 iklim pemerintahan; 3 iklim politik dan korupsi; 4 kondisi pasar lokal dan internasional; 5 tren perluasan ekonomi; dan 6 tren kependudukan Tewari 2006. Secara konkrit seseorang yang bekerja pada layanan publik dengan perhatian pada perlindungan lingkungan, keamanan tempat kerja atau hak pekerja merupakan sebuah kepercayaan dan tetapi bukan berarti mereka diharapkan harus mempunyai visi yang sama terhadap kebijakan publik yang telah ditetapkan Gailmard 2010. Inovasi dalam pengelolaan hutan dipengaruhi oleh peran beberapa aktor. Bila memang sudah dilakukan sebuah inovasi maka akan juga oleh keseluruhan sistem lembaga yang akan mendukung adanya inovasi tersebut Lundvall et al. 2001; Eddquist 2001.

2.7 Kerangka Analisis Kelembagaan IAD Institutional Analysis

Development Kerangka kerja analisis kelembagaan Institutional Analysis DevelopmentIAD yang dikembangkan Ostrom 1999 dan dikembangkan oleh Koontz 2003 merupakan metode yang sistematis dalam kegiatan analisis bidang sosial dan fisik. Metode tersebut membantu menganalisis dalam menyelesaikan permasalahan sosial yang kompleks secara komprehensif dan memberikan alternatif pemecahan yang dapat dilaksanakan oleh praktisi di lapangan. Apabila hasil analisis diterapkan secara tepat maka para analis dan partisipan akan terhindar dari kesalahan dalam pandangan berlebih dan penyederhanaan Polski dan Ostrom 1999. Analisis kelembagaan IAD telah secara luas digunakan untuk menganalisis kinerja pada sumberdaya alam dengan karakteristik sumberdaya milik bersama Common Pool Resources. Pada tahun 1985 penerapan metode IAD telah diaplikasikan oleh organisasi Ilmu Akademik Nasional National Academy of Science Amerika pada sumberdaya alam dengan karakteristik Common Property. Selanjutnya, Edwards dan Steins 1998 telah menerapkan analisis kelembagaan IAD dalam menganalisis beberapa sumberdaya milik bersama pada berbagai sektor berbeda di semua wilayah dunia. Dalam bidang kehutanan, kinerja pengelolaan hutan ditentukan oleh pola- pola interaksi di antara para aktor, arena aksi, kondisi fisik, dan aturan-aturan dalam pengelolaan terpadu yang sudah berjalan. Arena aksi tersebut dipengaruhi oleh seperangkat kumpulan variabel yang digolongkan kedalam tiga kategori yaitu kondisi fisik, atribut-atribut kemasyarakatan serta aturan-aturan yang berlaku di dalam arena aksi. Dengan memahami arena aksi serta variabel-variabel yang mempengaruhinya, maka pola interaksi yang terjadi dan kinerja pun dapat diduga Gambar 3. Gambar 2. Kerangka Analisis Kelembagaan IAD Ostrom, 1999.