Kerangka Pemikiran Penelitian PENDAHULUAN
10
status lahan apakah lahan negara ataukah lahan yang dimiliki; 2 merupakan lahan yang dinamis yang hilang dan muncul karena sesuatu hal; 3 belum
jelasnya tata ruang yang mengatur mengenai keberadaan hutan mangrove dengan kemunculan tanah timbul; 4 belum sepenuhnya mengakomodir kepentingan
masyarakat sekitar hutan mangrove; dan yang lebih parah adalah adanya 5 upaya mengkonversi hutan mangrove menjadi peruntukan lainnya yang cenderung
menggantikan tegakan hutan yang ada tanpa ada pembelajaran untuk mempertahankan keberlanjutannya.
Kerusakan dan ketidakberlanjutan pengelolaan ekosistem hutan mangrove yang memiliki karakteristik milik bersama memerlukan suatu aturan dalam
pengelolaannya agar tidak terjadi pengurasan dan perusakan terhadap sumberdayanya. Disamping untuk dalih berbagai keperluan ekonomi, sangat
perlu dipertimbangkan faktor ekologi bagi keberlanjutan pembangunan hutan yang sangat dinamis ini. Perubahan pengelola sumberdaya sangat dipengaruhi
oleh adanya perubahan jenis hak kepemilikan. Hal ini seringkali kurang mendapatkan prioritas dalam pengambilan kebijakan. Bahkan Yustika 2006,
menyatakan bahwa hak kepemilikan di negara berkembang seperti di Indonesia memerlukan pencermatan bagaimana hak kepemilikan diregulasi dan ditegakkan
sehingga dapat membantu proses pembangunan. Hak kepemilikan lahan memberikan implikasi tanggung jawab dan hak
pemiliknya. Konsep hak kepemilikan itu sendiri memiliki implikasi terhadap konsep hak right dan kewajiban obligation yang diatur oleh hukum, adat dan
tradisi atau konsensus yang mengatur hubungan antar anggota masyarakat dalam hal kepentingannya terhadap sumberdaya. Hak tersebut dapat diperoleh melalui
pembelian, pemberian dan hadiah atau melalui pengaturan administrasi pemerintah Fernandez 2006. Hak kepemilikan lahan merupakan kelembagaan
karena di dalamnya ada aturan main berupa batas yurisdiksi dan pengakuan dari orang lain atau masyarakat.
Tipe-tipe hak kepemilikan bundles of right yang melekat pada hak kepemilikan belum secara keseluruhan diketahui oleh pihak yang memiliki lahan.
Banyak terjadi kesimpangsiuran pengelolaan hutan akibat tidak dipahaminya hak- hak tersebut. Lebih jauh lagi, ketidakpahaman akan hak-hak akan menyebabkan
11
terbengkalainya kegiatan pengelolaan yang dilakukan di antara para pihak atau aktor yang terlibat.
Dalam perjalanan pengelolaan tidak menutup kemungkinan terjadi perubahan yang mengarah kepada evolusi hak kepemilikan dengan berbagai
macam faktor pendorong, antara lain kondisicuaca, aturan main Kasper dan Streit 1998. Evolusi hak kepemilikan lahan hutan memberikan pengaruh pada
keberlanjutan pengelolaan hutan. Proses evolusi hak kepemilikan pada sumberdaya milik bersama dimulai
dengan tidak dapat mengeluarkan yang tidak berhak non-excludable sehingga individu yang memanfaatkan sumberdaya tersebut lebih kepada memaksimumkan
keuntungan tanpa mementingkan keberlangsungan sumberdaya tersebut. Lama kelamaan menyebabkan tekanan terhadap sumberdaya sehingga sumberdaya
tersebut rusak dan menyebabkan tidak lestarinya produk yang dihasilkan. Salah satu alternatif perubahan hak kepemilikan adalah pemberian hak kepemilikan
privat dalam meningkatkan insentif mengelola sumberdaya Platteau 1996; Balland dan Platteau 1996; Ghate 2003; Zhang et al. 2000; dan Dachang 1995.
Namun, keberlanjutan hak kepemilikan privat pada ekosistem hutan mangrove di Indonesia dan Vietnam untuk pertambakan udang dengan cara
mengkonversinya menurut Adger dan Cecilia 2000 menimbulkan kerusakan sumberdaya dan tidak lestarinya sumberdaya tersebut. Diperkuat dengan
penelitian Barbier 2006 bahwa pengelolaan hutan mangrove di Thailand dengan memberikan privatisasi hak kepemilikan dengan usaha pertambakan udang
menyebabkan kerusakan hutan mangrove mencapai 65 dengan cara mengkonversi hutan mangrove. Pada akhirnya telah ditinggalkan areal seluas
11.000 ha yang gagal untuk dihutankan kembali. Pertanyaan kembali dimunculkan oleh Devlin dan Grafton 1998 dan
Ostrom 1990 tentang keberlanjutan pengelolaan sumberdaya sustainability management resources milik bersama apabila diberikan secara privat. Tidak
seorangpun dapat menjamin bahwa dengan dialokasikannya sumberdaya secara privat akan memastikan keberhasilan pengelolaan dalam jangka panjang.
Sumberdaya milik bersama tersebut akan dibagi-bagi berdasarkan kepemilikannya dan bebas untuk dikuasai, dimanfaatkan, dan ditransfer sesuai keinginan
12
pemiliknya otonomi penuh. Hal tersebut tidak dapat diterapkan pada sumberdaya yang tidak statis atau dinamis air dan perikanan-seperti pada
ekosistem hutan mangrove yang keberadaannya sangat rentan terhadap pengaruh lingkungan. Hal ini karena pada dasarnya setiap orang akan memaksimalkan
keinginannya dalam memanfaatkan sumberdaya alam. Tetapi apabila dalam memanfaatkan tersebut tidak memahami karakteristik dan aturan mainnya maka
akan menimbulkan pengurasan sumberdaya. Adanya fenomena kerusakan sumberdaya milik bersama dan
ketidaklestarian sumberdaya menimbulkan pemahaman kepada masyarakat bahwa ada faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi keberlangsungan hak
kepemilikan privat yang semula diperkirakan akan menjamin kelestarian usaha dan sumberdaya. Hal tersebut mendorong terjadinya perubahan hak kepemilikan
dalam rasionalisasi sumberdaya dan insentif ke depan. Evolusi hak kepemilikan menjadi hak kepemilikan lainnya yang lebih mempertimbangkan kelestarian
sumberdaya menjadi pertimbangan kebijakan ke depan. Scott 2008 dan Ostrom 1990 menyatakan bahwa ternyata tidak hanya faktor ekonomi saja yang perlu
dipertimbangkan dalam pemanfaatan sumberdaya alam, tetapi juga karakteristik dan kelestarian sumberdaya alam perlu juga dipertimbangkan.
Keberlanjutan pengelolaan pada sumberdaya milik bersama berkaitan dengan hubungan antara pemerintah lokal dengan masyarakat yang telah
beradaptasi dengan perubahan ekologi atau lingkungan. Anggota masyarakat biasanya mempunyai kesamaan etnis, pendidikan, ras, dan kesejahteraan.
Kesamaan tersebut dapat membatasi terjadinya konflik. Pengelolaan sumberdaya milik bersama memerlukan pilihan pemanfaatan bersama, kebijakan bersama, dan
aksi bersama dalam kelestarian pengelolaannya Ostrom 1990. Dalam melakukan aksi bersama pengelolaan ekosistem hutan mangrove
seperti yang disampaikan oleh Mermet 1994 dan Adger dan Cecilia 2000 bahwa pengelolaan hutan mangrove di lahan basah tidak hanya dilakukan oleh
satu aktor saja tetapi perlu melibatkan banyak aktor untuk mengendalikan perencanaan, pengelolaan, dan pemanfaatan yang multimanfaat. Pendekatan dan
koordinasi pengelolaan diperlukan sesuai dengan kapasitas masyarakat lokal. Adanya pelibatan secara aktif partisipatif dalam pengelolaan hutan secara
13
multistakeholder merupakan wahana dalam memfasilitasi kepentingan interest dan pengaruh power antar stakeholder yang menunjang keberhasilan dalam
bekerjasama Reed et al. 2004. Hubungan pemberi-penerima keprcayaan principals-agents dalam aksi
bersama merupakan hubungan yang sangat menentukan keberhasilan pengelolaan sumberdaya hutan. Hubungan tersebut tergantung pada subyek dan obyek
haruslah jelas sehingga tidak ada informasi yang tidak tersampaikan di antara kedua pelaku hubungan tersebut. Pihak pemberi kepercayaan dalam hal ini
masyarakat secara luas adalah meliputi masyarakat baik yang secara langsung maupun tidak langsung sebagai penerima manfaat dari keberadaan hutan, pihak
swasta, LSM, dan lain sebagainya. Sedangkan pihak penerima kepercayaan adalah pihak pemerintahan, baik pusat maupun daerah. Keterlibatan para aktor
sebagai pemberi kepercayaan di sini mempunyai karakteristik masing-masing yang tentunya mempunyai keragaman latar belakang kehidupan, sosial, ekonomi,
tujuan, keahlian, dan lain sebagainya. Kapasitas yang ada di masyarakat merupakan potensi yang ada yang mempengaruhi keberhasilan pengelolaan
sumberdaya hutan dengan karakteristik milik bersama yang melekat. Sementara pihak penerima kepercayaan dalam hal ini pihak pemerintah merupakan pihak
yang melaksanakan pengelolaan secara legal formal dalam mencapai tujuan mensejahterakan masyarakat. Kapasitas pemerintahan juga sangat menentukan
dalam keberhasilan pengelolaan hutan tersebut. Pihak penerima kepercayaan juga seharusnya mengetahui apa yang diinginkan oleh pihak pemberi kepercayaan dan
memegang profesionalisme dalam melaksanakan kegiatan pengelolaan hutan sesuai dengan karaketeristik sumberdaya dan keinginan pihak pemberi
kepercayaan. Memperhatikan berbagai hal seperti yang telah diuraikan di atas, maka
untuk mengetahui terjadinya evolusi hak kepemilikan lahan dan peran para pihak di lokasi penelitian, akan dilakukan analisis kelembagaan dengan menggunakan
Institutional Analysis Development IAD yang dikembangkan oleh Ostrom 1999. Adapun kerangka pikir penelitian secara lebih jelas dapat dilihat pada
Gambar 1.
14