Biaya Manfaat, Biaya Transaksi dan Natural Insurance

tetapi manfaat ekonomi yang dihasilkannya jauh lebih rendah dibandingkan kayu. Harga kayu bayur pada tingkat pengepul berkisar antara Rp 1.200.000 – 1.500.000 per batang sedangkan harga tumbuhan obat di tingkat pengepul rata-rata berkisar Rp 10.000 per kg. Dengan kemampuan angkut seorang pendarung rata-rata 100 kg per panen, maka pendapatan yang diperolehnya tetap lebih rendah dibandingkan kemampuan seorang blandong dalam mengekstraksi kayu bayur. Hanya saja bedanya pendapatan blandong dari kayu bayur bersifat ilegal sedangkan pendarung tidak. Borek kayu adalah pihak yang paling diuntungkan oleh blandong karena memiliki kekuasaan membeli produk kayu bayur yang dihasilkannya. Dalam wawancara, borek kayu menyebutkan bahwa bayur adalah salah satu sumber daya hutan yang dapat dimanfaatkan oleh siapa saja. Hal ini berarti bagi borek kayu, bayur adalah sumber daya bebas yang dapat diekstraksi sesuai dengan kepentingannya. Dalam struktur masyarakat di lokasi penelitian, borek kayu umumnya memiliki kondisi sosial dan ekonomi yang cukup mapan sehingga dihormati oleh masyarakat desa. Borek kayu juga menikmati perlindungan dari aparat pemerintahan desa karena kegiatannya memberikan pendapatan bagi desa melalui retribusi yang dibayarkannya. Dalam wawancara dengan borek kayu, nilai retribusi yang dibayarkan tidak dapat diketahui karena kegiatan tersebut sifatnya ilegal. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Gambar 14. Biaya Manfaat Para Pihak pada Klaster Produksi di TNMB Dalam pemanfaatan tumbuhan obat, nilai manfaat tertinggi diperoleh melalui kegiatan budidaya dibandingkan pemanenan dari hutan Tabel 16. Hal ini juga senada dengan kegiatan pemanfaatan tumbuhan obat di Etiophia bahwa nilai benefit cost ratio terbesar berasal dari budidaya yaitu 2.05 Nurhussen Philipos 2014. Terkait politik ekologi, sektor budidaya tumbuhan obat dapat dikembangkan untuk mengurangi terjadinya pemanenan tumbuhan obat secara berlebihan. Selain lebih mudah dikelola, pengembangan budidaya tumbuhan obat dapat meningkatkan akses petani terhadap hutan. Lahan hutan TNMB pada zona pemanfatan dapat digunakan untuk penanaman tumbuhan obat asal hutan alam sehingga kegiatan tersebut ikut melestarikan spesies tumbuhan obat tertentu yang sudah mulai langka. Dengan cara ini diharapkan tekanan terhadap TNMB oleh masyarakat dapat dikurangi. 2.4.1.2. Biaya Transaksi Yustika 2006 menyebutkan bahwa biaya transaksi merupakan biaya-biaya yang dikeluarkan untuk melakukan negosiasi, memaksakan pertukaran dan melakukan pengukuran. Biaya-biaya tersebut dapat berupa pajak, komisi dan biaya transfer Collins Fabozzi 1991. Dalam kegiatan perdagangan biaya transaksi memiliki dua sifat yang berbeda, yaitu ad valorem dimana biaya transaksi didefinisikan sebagai biaya-biaya yang dikeluarkan melalui perdagangan mulai dari produsen hingga pengguna akhirnya, biaya transportasi di pelabuhan, hambatan kebijakan tarif dan non tarif, biaya informasi, biaya kontrak, biaya karena penggunaan mata uang yang berbeda, biaya resmi, dan biaya distribusi lokal wholesale dan retail. Biaya ini biasanya berupa pajak dan pungutan-pungutan resmi, misalnya biaya administrasi karena menggunakan kartu debit pada bank Wang 2010; Crozet Soubeyran 2004. Selain bersifat ad valorem, biaya transaksi juga ada yang bersifat lump sum yaitu biaya-biaya yang dikeluarkan oleh seseorang untuk mengendalikan hak kepemilikan atas aset-aset yang memiliki tingkat resiko tinggi Zhang 2000; Barron Karpoff 2002; Liu 2004. Biaya transaksi yang bersifat lump sum tetap mendorong terjadinya perdagangan apabila biaya transaksi tersebut lebih rendah dari nilai aset beresiko yang diperdagangkan, tetapi apabila lebih tinggi maka perdagangan tidak akan terjadi. Apabila perdagangan terjadi biasanya terdapat kerugian berupa penurunan penerimaan di antara para pedagang dan mereka akan melakukan pengaturan untuk mengurangi biaya lump sum tersebut Barron Karpoff 2002. Terkait dengan ekologi politik pemanfaatan tumbuhan obat di TNMB, sebagian besar biaya transaksi yang terjadi bersifat lump sum Tabel 15. Biaya transaksi lump sum terjadi pada kegiatan legal dan ilegal. Untuk yang ilegal, biaya ini terjadi pada kegiatan pencurian kayu jati dan bayur. Aktor-aktor yang menikmati biaya transaksi ini terdiri atas penjaga pos, polisi dan supir truk. Modus operandi yang digunakan blandong akan bertemu kepada penjaga pos untuk menebang kayu jati dan bayur, lalu ijin diberikan dengan sebuah syarat tertentu. Setelah kayu ditebang dalam perjalanan polisi juga mendapat bagian pembayaran, lalu setelah kayu berhasil dijual, penjaga pos akan datang ke rumah blandong untuk memperoleh bagiannya. Besarnya biaya transaksi dengan modus operandi demikian kurang lebih Rp 127.500 per sekali angkut sehingga apabila dibandingkan dengan harga kayu yang dijual berkisar 10 persen dari nilai transaksi. Biasanya kayu jati atau bayur yang ditebang berupa lonjoran-lonjoran dan diletakan di bagian bawah bak truk, lalu ditumpuk dengan hasil-hasil pertanian lain seperti kelapa Cocos nucifera. Selain modus operandi tersebut, terdapat modus lain yang digunakan yaitu membay ar “jasa keamanan” pada preman. Modus ini dilakukan oleh Perkebunan Bandealit untuk mengamankan produksinya yaitu berupa getah karet dan kopi. Biaya transaksi ini diberikan satu kali pada saat hari raya sebagai sebuah tunjangan dengan besar Rp 15.000.000 untuk sepuluh orang. Biaya-biaya transaksi ini selain bersifat lump sum karena terjadi setelah penebangan kayu bayur dan jati serta produk getah karet dan kopi. Pada Gambar 12, para pihak yang melakukan biaya transaksi ini berada pada posisi subject dalam pemanfaatan tumbuhan obat. Selain modus operandi diatas, dalam pemanenan tumbuhan obat di hutan TNMB tidak jarang pendarung meminjam modal awal terlebih dahulu kepada pengepul ketika musim berbuah tiba. Bagi pengepul dan pendarung cara ini menciptakan kepastian untuk memperoleh bahan baku tumbuhan obat dari hutan sehingga kelangsungan usaha kedua belah pihak dapat terjamin. Biaya transaksi ini bersifat lump sum di mana biaya dikeluarkan terlebih dahulu sebelum produk tumbuhan obat dihasilkan. Biaya transaksi lump sum juga dilakukan oleh BTN Meru Betiri dalam bentuk program pemberdayaan kelompok tani dan masyarakat agar ekonomi mereka meningkat sehingga mengurangi terjadinya resiko perambahan hutan di TNMB, pengepul dan TOGA Sumber Waras bersedia mengeluarkan sejumlah uang tambahan untuk membeli bahan baku tumbuhan obat tertentu ketika harganya mulai merangkak naik sebagai persediaan stock. Keberadaan dua jenis biaya transaksi lump sum juga berfungsi dalam menjaga kelestarian hutan TNMB apabila dikelola dengan baik. TNMB sebagai sumber daya yang dimiliki oleh Negara amat rentan terhadap hadirnya free rider apabila tidak dikelola Zhang 2000. Salah satu contoh adalah pencurian kayu jati dan bayur. Apabila kegiatan pencurian tersebut tidak dikendalikan melalui perbaikan kelembagaan, maka biaya transaksi yang terjadi justru akan merusak sumberdaya hutan di TNMB. Perilaku moral hazard yang timbul di mana profesi pencuri kayu jati dan bayur dihormati kedudukannya dalam struktur masyarakat, bahkan dilindungi, karena memiliki kesejahteraan yang lebih tinggi dibanding masyarakat desa lainnya sehingga menimbulkan sikap permissive terhadap pencurian sumber daya hutan. Sebaliknya, biaya transaksi yang timbul dari pemanfaatan tumbuhan obat tidak merusak hutan dan tidak dilarang. Tidak pernah ada tindakan represif dari aparat Negara terhadap aktor yang memanfaatkan tumbuhan obat dari TNMB untuk kepentingan ekonomi. Hanya saja, apabila kelembagaannya tidak dikelola dan diperbaiki potensi kehilangan plasma nutfah yang penting dari TNMB juga akan terjadi, contohnya Raflesia zollingeriana. Artinya transaksi lump sum dapat mendorong terciptanya kelestarian hutan apabila para pihak yang terlibat di dalamnya menyadari bahwa perbaikan kelembagaan dan penegakan hukum membutuhkan biaya untuk penerapannya di lapangan Zhang 2000. Salah satu cara untuk mengurangi terjadinya biaya transaksi lump sum di TNMB adalah dengan mempertemukan kepentingan private dan public atas sumber daya hutan. Pengelolaan bersama atas hak akses atas sumber daya hutan yang terbuka harus berubah menjadi akses yang diatur bersama Zhang 2000. Akses yang teratur ini dapat menjadi hak kelola bersama atas lahan hutan di mana pada lahan tersebut dapat ditanami berbagai jenis pohon komersial campuran dengan tumbuhan obat hutan. Rekomendasi dapat diberikan kepada Kepala BTN untuk mengoptimalkan zona pemanfaatan di TNMB serta merehabilitasi lahan bekas tebangan jati seluas 2.733.5 hektar di TNMB. 2.4.1.3. Natural insurance Natural insurance yaitu pemanfaatan tumbuhan obat untuk menambah pendapatan keluarga ketika pendapatan dari sumber utama mengalami penurunan. Pendapatan ini disebut sebagai jaring pengaman safety net bagi keluarga dan batu tangga stepping stone yaitu pendapatan yang digunakan oleh keluarga untuk memenuhi kebutuhan membayar pendidikan bagi anggota keluarga Schreckenberg et al . 2006; Sill et al. 2011; Dzerefos et al. 2012. Dalam beberapa kasus, natural insurance dapat dimengerti sebagai daya lentur para pihak terhadap gangguan yang berdampak terhadap kondisi sosial dan ekonomi individu atau masyarakat Twigg 2007; Oft Tsuma 2006; Brown et al. 2006; Tompkins Adger 2004. Pada Tabel 16 terlihat bahwa natural insurance sebagai jaring pengaman dan fungsi untuk pendidikan dilakukan oleh para pihak dalam pemanfaatan tumbuhan obat di TNMB. Safety net dan stepping stone pada pemetaan para pihak dalam pemanfaatan tumbuhan obat memberikan kemampuan bertahan terhadap konflik pemanfaatan tumbuhan obat. Keberadaan safety net juga telah “memaksa” seorang blandong keluar dari jaringan pencurian kayu jati di TNMB dan memilih bergabung menjadi pendukung kelestarian sumber daya hutan. Keberhasilan ini tidak lepas dari dorongan dan dukungan LSM KAIL agar pihak tersebut bersedia menghentikan segala aktifitas ilegal dan beralih profesi untuk memperoleh pendapatan yang halal. Selain itu, TOGA Sumber Waras merupakan pihak yang memperoleh keuntungan dari adanya natural insurance ini. Pihak ini dapat meningkatkan pendidikan anak-anaknya hingga sarjana dan keluar dari desa ketika memperoleh akses untuk ikut mengelola lahan rehabilitasi di TNMB serta dibantu mendirikan usaha pengolahan obat tradisional skala rumah tangga. Bagi pihak ini, peranan LSM KAIL dalam mengubah nasib dari seorang buruh tani menjadi petani-pengusaha telah mengubah gambarannya atas sumber daya tumbuhan obat. Tumbuhan obat menjadi tumpuan harapan untuk mendapatkan kehidupan ekonomi yang lebih baik. Dalam beberapa hal, kegiatan pemberdayaan yang dilakukan oleh LSM KAIL dapat dikatakan sebagai bentuk jaring pengaman sosial social safety net dibandingkan untuk mendukung keberlangsungan hidup sustainability livelihood masyarakat miskin di sekitar hutan. Program sustainability livelihood dapat dikatakan berhasil apabila terdapat ciri-ciri sebagai berikut: a. masyarakat miskin di sekitar hutan memiliki kelenturan terhadap kejutan dan tekanan; b. terbebas dari dukungan pihak luar external; c. memiliki kemampuan untuk mengelola produktivitas cadangan sumberdaya alam, termasuk tumbuhan obat; d. tidak memberikan pengaruh yang merugikan pada pihak lain Karki et al. 2003. 2.4.2. Layanan Kesehatan Tradisional 2.4.2.1. Biaya Manfaat Pada Tabel 22 dan Gambar 15 terlihat bahwa pasien pengobat tradisional mendapatkan biaya manfaat tertinggi yaitu sebesar 16.67 sehingga dengan nilai manfaat sebesar itu pihak ini bersedia berpartisipasi dalam pelayanan obat tradisional Klemperer 1997. Tetapi pada Gambar 12 terlihat bahwa posisi pihak ini berada pada subject dan bukan pada key player. Artinya kesediaan pihak ini pada layanan kesehatan tergantung pada seberapa besar kepentingannya terhadap layanan obat tradisional. Tabel 30 juga memperlihatkan bahwa motivasi dan persepsi para pihak untuk terlibat dalam pelayanan obat tradisional dikendalikan oleh aspek sosial. Aspek sosial yang dimaksud adalah pelayanan kesehatan di mana jasa yang diberikan oleh penyembuh kepada pasiennya berupa obat tradisional. Secara finansial, para pihak yang terdapat pada key players memiliki kesempatan untuk memperoleh manfaat lebih besar karena mengendalikan permintaan pasien atas obat tradisional. Pengobat tradisional dan klinik radiastesi adalah pihak-pihak yang memiliki permintaan layanan pengobatan tradisional yang paling tinggi dengan jumlah pasien antara 4.000 sampai dengan 90.000 orang per tahun Gambar 12. Terkait dengan kebijakan, pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan telah mengatur kegiatan pengobatan tradisional sebagai bentuk layanan kesehatan di mana peran serta seorang penyembuh tradisional diakui keberadaannya. Pemerintah bertanggungjawab dan menjamin kesehatan maksimal setiap warga negara sehingga keberadaan fasilitas kesehatan seperti vaksin, obat-obatan, klinik dan rumah sakit, sumber daya manusia, teknologi dan lain-lain disediakan oleh negara. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 003MenkesPerI2010 tentang Saintifikasi Jamu dalam Penelitian Berbasis Layanan Kesehatan, obat tradisional menjadi salah satu bagian untuk mencapai tujuan dari Undang-Undang Kesehatan dalam ranah layanan kesehatan komplementer-alternatif. Dari sisi ini, pengobat tradisional memperoleh manfaat di mana secara politik posisinya diakui karena memiliki pengetahuan dan teknik-teknik yang berbeda dari pengobatan konvensional. Dalam politik ekologi, manfaat yang diterima oleh pengobat tradisional ini menimbulkan sejumlah konflik karena tidak ditemukan adanya evident based yang cukup untuk melayani pasien. Penyembuhan yang dilakukan oleh pengobat tradisional lebih pada pengalaman empiris, tetapi hal tersebut justru menempatkan pengobat tradisional menjadi tokoh yang posisinya amat kuat dalam layanan pengobatan tradisional Gambar 12, dimana motivasi dan persepsi layanan sosial amat tinggi Tabel 30. Profesi yang terlibat dalam bentuk layanan ini mulai dari dokter, apoteker, pastor, ibu rumah tangga, paranormalsinse dan lain sebagainya di mana pendidikan formal yang dimiliki kerap kali tidak sejalan dengan layanan kesehatan yang dilakukannya Beers 2013; Jehani 2008. Hal ini berbeda dengan persyaratan tenaga kesehatan komplementer yang terdapat dalam Undang-Undang Kesehatan dimana formalitas pendidikan dibutuhkan untuk mencapai kualitas layanan kesehatan yang maksimal. Dari sisi biaya manfaat, layanan kesehatan komplementer yang disediakan oleh pemerintah di rumah sakit dan klinik lebih besar dibandingkan yang dilayani oleh pengobat tradisional. Dalam sekali layanan, pasien harus menebus obat tradisional sebesar Rp 500.000 per resep dan tidak dijamin oleh JKN untuk mengganti resep obat tersebut. Tetapi dari jumlah pasien yang dilayani, hanya sedikit yang bersedia menerima layanan komplementer alternatif di rumah sakit maupun puskesmas yaitu berkisar 51 sampai dengan 1312 pasien per tahun. Jumlah ini jauh lebih kecil dari pasien yang dilayani oleh pengobat tradisional. Dari data ini terlihat bahwa terdapat sejumlah celah informasi yang asimetris sehingga layanan kesehatan tradisional belum berjalan maksimal. Terkait dengan pemetaan para pihak, pertarungan biaya manfaat sesungguhnya terjadi pada ranah evident based terhadap obat tradisional di mana pelaku yang mendukung pengobatan komplemeter berhadapan dengan pelaku yang mendukung pengobatan konvensional yang diwakili oleh Pengurus IDI wilayahYogyakarta. Ciri kapitalistik pada evident based obat tradisional terlihat pada langkanya produk tersebut dapat diperoleh masyarakat, sedangkan tugas negara adalah menjamin tersedianya fasilitas tersebut. Sampai saat ini baru 8 jenis obat tradisional yang memenuhi kategori evident based dan dimasukan dalam kelas fitofarmaka. Konflik ekologi politik yang lain dalam layanan pengobatan tradisional terjadi antara layanan kesehatan yang bersifat sosial dengan layanan kesehatan yang bersifat bisnis. Pada Gambar 12, GP Jamu Yogyakarta mewakili kepentingan bisnis dan dalam wawancara terungkap bahwa layanan kesehatan komplementer bagi kelompok bisnis belum menguntungkan. Artinya bahwa untuk mencapai evident based yang diinginkan terhadap obat tradisional, penelitian untuk mencapai tahapan tersebut tidak dapat diserahkan kepada pihak bisnis. Negara harus bersedia mengambil alih tugas tersebut agar peran sosialnya sebagai bentuk tanggungjawab atas kesehatan warga negara dapat terwujud Gramsci 2013. Oleh sebab itu, perbaikan terhadap tata kelola dan kelembagaan pengobatan tradisional di Indonesia mendesak dilakukan karena secara politik kedudukan pengobatan tradisional amat strategis. Indonesia memilik kekayaan melimpah terhadap sumber-sumber bahan bakunya di hutan alam sehingga hal ini dapat menjadi posisi tawar apabila terjadi embargo terhadap obat farmasi. Hubungan antara sumber plasma nutfah di hutan alam dengan pusat-pusat pengobatan tradisional di kota harus sinergis dan memberikan manfaat yang berimbang di antara keduanya Gramsci 2013. Gambar 15. Biaya Manfaat Para Pihak pada Klaster Layanan Kesehatan 2.4.2.2. Biaya Transaksi Yustika 2006 menyebutkan bahwa biaya transaksi merupakan biaya-biaya yang dikeluarkan untuk melakukan negosiasi, memaksakan pertukaran dan melakukan pengukuran. Biaya-biaya tersebut dapat berupa pajak, komisi dan biaya transfer Collins Fabozzi 1991. Dalam kegiatan perdagangan biaya transaksi memiliki dua sifat yang berbeda, yaitu ad valorem di mana biaya transaksi didefinisikan sebagai biaya-biaya yang dikeluarkan melalui perdagangan mulai dari produsen hingga pengguna akhirnya, biaya transportasi di pelabuhan, hambatan kebijakan tarif dan non tarif, biaya informasi, biaya kontrak, biaya karena penggunaan mata uang yang berbeda, biaya resmi, dan biaya distribusi lokal wholesale dan retail. Biaya ini biasanya berupa pajak dan pungutan-pungutan resmi, misalnya biaya administrasi karena menggunakan kartu debit pada bank Wang 2010; Crozet Soubeyran 2004. Selain bersifat ad valorem, biaya transaksi juga ada yang bersifat lump sum yaitu biaya-biaya yang dikeluarkan oleh seseorang untuk mengendalikan hak kepemilikan atas aset-aset yang memiliki tingkat resiko tinggi Zhang 2000; Barron Karpoff 2002; Liu 2004. Biaya transaksi yang bersifat lump sum tetap mendorong terjadinya perdagangan apabila biaya transaksi tersebut lebih 2 4 6 8 10 12 14 16 18 rendah dari nilai aset beresiko yang diperdagangkan, tetapi apabila lebih tinggi maka perdagangan tidak akan terjadi. Apabila perdagangan terjadi biasanya terdapat kerugian berupa penurunan penerimaan diantara para pedagang dan mereka akan melakukan pengaturan untuk mengurangi biaya lump sum tersebut Barron Karpoff 2002. Apabila dilihat dari proses terjadinya, biaya transaksi juga dikategorikan atas dua sifat yaitu ex post dimana biaya transaksi didefinisikan sebagai biaya-biaya yang dikeluarkan setelah terjadinya produksi dan ex ante yaitu biaya transaksi yang dikeluarkan sebelum terjadinya produksi Tita et al. 2011. Pada Tabel 15 terlihat bahwa biaya transaksi yang terjadi pada klaster layanan kesehatan terdiri atas ad valorem dan lump sum. Biaya transaksi ad valorem berupa tarif atas jasa pengobatan, pajak yang dibayarkan oleh klinik, asuransi kesehatan bagi karyawan, asuransi tenaga kerja, pengurusan ijin produk dan perpanjangan paten merek, sedangkan lump sum terdiri atas komisi bagi distributor obat tradisional yang diberikan oleh industri obat tradisional dan subsidi bagi pasien tidak mampu yang dibayarkan setiap bulan kepada klinik pengobatan tradisional radiasthesi. Dalam wawancara, kedua jenis biaya transaksi tersebut diketahui dan disepakati oleh para pihak kepada pihak lain sehingga terdapat kepastian di antara para pihak. Pada klaster layanan kesehatan, biaya transaksi yang paling banyak adalah jenis ad valorem tetapi untuk transaksi yang paling besar nilainya terdapat pada jenis lump sum yaitu komisi yang dibayarkan kepada distributor. Kedua jenis biaya transaksi ini dapat dilacak pada pihak klinik pengobatan tradisional, perusahaan jamu tradisional, kios jamu gendong dan asosiasi jamu. Biaya transaksi tersebut bersifat resmi. Artinya keberadaan biaya transaksi, meskipun menimbulkan biaya, dapat memberi kepastian berusaha kepada para pihak obat tradisional di klaster layanan kesehatan. Adanya kepastian tersebut membuat biaya transaksi yang dikeluarkan dapat dihitung dan dikendalikan. Terkait dengan pemetaan para pihak dalam pemanfaatan tumbuhan obat, keberadaan biaya transaksi ini tidak menimbulkan konflik karena mengakomodir kepentingan para pihak untuk berusaha. Keberadaan pajak menunjukan bahwa kegiatan layanan kesehatan yang dilakukan oleh para pihak bersifat formal sehingga dalam melaksanakan aktifitasnya dapat dilakukan secara terbuka. Kepastian berusaha juga menggambarkan bahwa para pihak mengikuti aturan bersama yang berhubungan dengan jasa layanan kesehatan yang diberikan kepada pasien atau pelanggannya. Modernitas dalam layanan kesehatan juga telah mengubah arah pelayanan kesehatan yang semula bersifat tradisional konvensional menjadi tradisional modern. Perubahan ini menyebabkan permintaan atas layanan obat tradisional meningkat karena adanya kepercayaan trust terhadap layanan sehingga meningkatkan penawaran terhadap tumbuhan obat. Selain itu, biaya transaksi yang terjadi juga memberikan pendapatan berupa pajak bagi negara melalui industri jasa pelayanan obat tradisional sehingga pemerintah berkewajiban menjaga kelangsungan hidup industri ini. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa biaya transaksi selain meningkatkan biaya, juga dapat memberi kepastian berusaha bagi para pihak dan mengubah wajah pelayanan obat tradisional menjadi ramah terhadap konsumen, sehingga pasien memiliki pilihan yang lebih banyak terhadap layanan kesehatan selain pengobatan konvensional. Modernitas yang ditawarkan oleh layanan kesehatan obat tradisional menunjukan wajah kapitalisme tetapi dapat dikatakan bahwa kapitalisme yang digunakan bersifat moderat karena pengobat tradisional tidak menerapkan harga yang mahal terhadap layanan yang diberikan. Hal ini karena modernitas yang ditawarkan dikendalikan oleh jiwa sosial yang dimiliki pengobat tradisional. Hal yang perlu diperhatikan dalam klaster ini sehubungan dengan biaya transaksi adalah adanya monopoli terhadap bahan obat tradisional di mana pengobat tradisional tergantung pada pihak lain sebagai pembuat obat tradisional. Hak paten atas obat tradisional yang dimilikinya dapat “menyingkirkan” pengobat tradisional apabila penawaran atas kebutuhan obat tersebut dihentikan sehingga merugikan pasien atau konsumen lihat Lampiran 6. Hal ini mungkin terjadi jika pengobat tradisional tidak memiliki hak untuk membuat obat tradisional secara mandiri karena sudah dipatenkan oleh pihak lain. Oleh sebab itu dibutuhkan pengaturan di antara keduanya agar pasien tidak dirugikan, contohnya pulosari. Ramuan obat tradisional yang terdiri atas campuran pulosari sudah dipatenkan oleh pembuatnya. 2.4.2.3. Natural Insurance Terkait dengan fungsi pendapatan cadangan bagi para pihak, terdapat dua jenis natural insurance yaitu pemanfaatan tumbuhan obat untuk menambah pendapatan keluarga ketika pendapatan dari sumber utama mengalami penurunan. Pendapatan ini disebut sebagai jaring pengaman safety net bagi keluarga. Hal yang lain adalah batu tangga stepping stone yaitu pendapatan yang digunakan oleh keluarga untuk memenuhi kebutuhan membayar pendidikan bagi anggota keluarga Schreckenberg et al, 2006; Sill et al 2011; Dzerefos et al, 2012. Pada Tabel 15 terlihat bahwa nilai natural insurance tertinggi terdapat pada safety net yaitu melalui kegiatan promosi yang dilakukan oleh perusahaan jamu tradisional. Pada bulan Agustus - September, penjualan obat tradisional dari perusahaan ini cenderung menurun 50 persen sehingga mengganggu cash flow perusahaan. Promosi diharapkan dapat meningkatkan pendapatan meskipun tidak sebesar di luar bulan Agustus - September. Tabel 15 juga memberi informasi tentang adanya stepping stone dalam natural insurance yaitu berupa kegiatan penelitian terhadap obat tradisional sehingga diharapkan hasilnya dapat memberikan manfaat bagi masyarakat di masa depan. Meskipun demikian, secara keseluruhan para pihak yang terdapat pada klaster layanan kesehatan mayoritas tidak mengakui memiliki natural insurance . Artinya bahwa para pihak yang terdapat pada klaster layanan kesehatan berada pada posisi yang cukup rentan karena tidak memiliki cadangan pendapatan. Terkait dengan ekologi politik pemanfaatan tumbuhan obat, keberadaan promosi dan penelitian dapat mengurangi tekanan terhadap tumbuhan obat di alam karena keduanya dapat mendorong terwujudnya kegiatan budidaya atas tumbuhan obat potensial yang memiliki manfaat paling baik. Adanya kegiatan budidaya dapat menjamin tersedianya bahan baku tumbuhan obat yang dibutuhkan oleh klaster layanan kesehatan sehingga dapat mengurangi biaya transaksi akibat adanya kelangkaan. Meskipun budidaya tumbuhan obat membutuhkan investasi yang besar pada awalnya, tetapi biaya tersebut perlahan-lahan akan menurun seiring dengan pendapatan yang diperolehnya. Beberapa keuntungan yang diperoleh melalui kegiatan budidaya antara lain, a bahan baku tumbuhan obat lebih terkelola dibandingkan mengambil dari hutan alam; b peran pengepul yang mengambil keuntungan jauh lebih besar dari petani dapat dikendalikan karena harga bahan baku menjadi lebih murah sehingga memaksa pengepul dan petani menyelaraskan informasi yang dimilikinya agar terjadi perdagangan; c mengurangi potensi pemungutan bahan baku dari hutan alam sehingga dapat mengurangi peran tradisional pendarung. Oleh sebab itu, pendarung perlu diberdayakan agar pengetahuan tradisionalnya mengenai bahan baku obat dan musim berbuah tidak musnah. 2.4.3. Industri Obat Tradisional 2.4.3.1. Biaya Manfaat Pada Tabel 29 dan Gambar 16 biaya manfaat tertinggi diperoleh kios jamu modern dan apoteker dengan nilai sebesar 10.91 dan 10. Tetapi apabila dibandingkan dengan nilai finansial yang diperoleh, industri jamu dan media memiliki pendapatan finansial yang jauh lebih tinggi dibandingkan kios jamu modern dan apoteker. Penyebab tingginya pendapatan yang diperoleh industri jamu dan media karena volume obat tradisional dan informasi yang dijualnya melampaui pendapatan yang diperoleh kios jamu modern dan apoteker. Kapital yang dimilikinya juga digunakan untuk membeli bahan baku obat tradisional dan informasi untuk diolah menjadi bahan setengah jadi atau bahan jadi. Proses ini melibatkan teknologi, sumberdaya manusia, jaringan pasar dan lain sebagainya. Gambar 13 menunjukan bahwa posisi para pihak merupakan key players yang dikendalikan oleh faktor kepentingan dan pengaruh yang sangat tinggi terhadap bahan baku tumbuhan obat. Kepentingan ekonomi para pihak yang dicerminkan oleh Tabel 30 juga menunjukkan posisi yang amat tinggi yaitu sebesar 83.33 persen untuk persepsi dan 75 persen untuk motivasi. Terkait dengan ekologi politik pemanfaatan tumbuhan obat, tabel dan gambar tersebut menunjukan bahwa industri tumbuhan obat merupakan lokomotif ekonomi yang menggerakan permintaan terhadap tumbuhan obat. Kapital digunakan untuk membeli dan mengendalikan permintaan sehingga arus bahan baku tumbuhan obat dari klaster produksi bergerak menuju klaster industri. Penumpukan kapital yang dimiliki oleh industri obat tradisional juga menunjukan bahwa pemanfaatan bahan baku tumbuhan obat pada klaster ini bersifat kapitalistis dimana ke arah hulu industri mengendalikan permintaan dan ke arah hilir industri juga mengendalikan penawaran. Hal ini terjadi karena adanya asimetris informasi di antara kedua klaster yang ditunjukan oleh perbedaan harga yang mencolok, kapital, teknologi dan sumber daya manusia yang digunakan. Akibat informasi asimetris pihak yang kuat diuntungkan untuk mengendalikan pasar obat tradisional. Manfaat yang diperoleh industri obat tradisional semakin besar ketika aktifitasnya didorong oleh media Bennet 2003. Media berperanan penting karena dapat mendorong bertumbuhnya industri kecil baru yang bergerak pada sektor tersebut sehingga menciptakan terjadinya multiplier effect ekonomi pada pemanfaatan tumbuhan obat Bhattacharjee 2012; Kitzberger 2012; Sill et al. 2011. Dampaknya, permintaan tumbuhan obat meningkat sehingga mendorong meningkatnya pemungutan terhadap tumbuhan obat di sekitar kawasan hutan. Harapannya melalui kegiatan ini pendapatan masyarakat sekitar hutan juga meningkat Kunwar et al. 2009. Peningkatan permintaan terhadap bahan baku ini apabila tidak dikendalikan dapat mendorong terjadinya kelangkaan tumbuhan obat di alam Panwar Sharma 2011; Adiputera 2007; Pilgrim et al. 2007. Oleh sebab itu, perbaikan terhadap kelembagaan tumbuhan obat mulai dari tingkat produksi hingga industri perlu 2 4 6 8 10 12 Gambar 16. Biaya Manfaat Para Pihak pada Klaster Industri dilakukan agar kelestarian ekonomi dan ekologi dapat terjaga Bartens 2013; Conley Moote 2003. 2.4.3.2. Biaya Transaksi Yustika 2006 menyebutkan bahwa biaya transaksi merupakan biaya-biaya yang dikeluarkan untuk melakukan negosiasi, memaksakan pertukaran dan melakukan pengukuran. Biaya-biaya tersebut dapat berupa pajak, komisi dan biaya transfer Collins Fabozzi 1991. Dalam kegiatan perdagangan biaya transaksi memiliki dua sifat yang berbeda, yaitu ad valorem di mana biaya transaksi didefinisikan sebagai biaya-biaya yang dikeluarkan melalui perdagangan mulai dari produsen hingga pengguna akhirnya, biaya transportasi di pelabuhan, hambatan kebijakan tarif dan non tarif, biaya informasi, biaya kontrak, biaya karena penggunaan mata uang yang berbeda, biaya resmi, dan biaya distribusi lokal wholesale dan retail. Biaya ini biasanya berupa pajak dan pungutan-pungutan resmi, misalnya biaya administrasi karena menggunakan kartu debit pada bank Wang 2010; Crozet Soubeyran 2004. Selain bersifat ad valorem, biaya transaksi juga ada yang bersifat lump sum yaitu biaya-biaya yang dikeluarkan oleh seseorang untuk mengendalikan hak kepemilikan atas aset-aset yang memiliki tingkat resiko tinggi Zhang 2000; Barron Karpoff 2002; Liu 2004. Pada Tabel 30 terlihat bahwa sebagian besar biaya transaksi yang dimiliki oleh industri obat tradisional bersifat ad valorem , artinya bahwa biaya transaksi tersebut dikeluarkan setelah terjadinya produksi dalam bentuk pajak dan subsidi iklan. Bagi para pihak keberadaan biaya transaksi ini memberi kepastian berusaha dan menunjukan kekuasaannya untuk mengendalikan permintaan atas sumber daya. Biaya transaksi ad valorem paling besar ditemukan pada industri obat tradisional skala menengah hingga besar dan pada industri media. Bagi pemerintah, biaya transaksi tersebut memberikan kepastian penerimaan pajak dan tetap beroperasinya media nasional sehingga informasi terkait pemberitaan politik, ekonomi, sosial, perdagangan dan lain-lain tetap terjamin keberadaannya. Hal ini membantu pemerintah dalam mensosialisasikan informasi terkini kepada masyarakat luas. Terkait dengan ekologi politik, kekuasaan industri jamu dan media dalam mengendalikan permintaan terhadap tumbuhan obat dan informasi, di satu sisi melestarikan pemanfaatan tumbuhan obat dan berkembangnya industri kecil baru yang bergerak pada usaha serupa. Tetapi di sisi lain, permintaan dan informasi tersebut dapat mendorong eksploitasi yang semakin besar pada sumberdaya tumbuhan obat dengan bertambahnya industri kecil baru. Salah satu contohnya adalah pulosari. Dalam wawancara dengan pedagang di pasar Nguter dan pengusaha UKOT menyebutkan bahwa jenis ini sudah langka di pasaran dan diperoleh bukan dari budidaya melainkan dari ekstraksi di alam. Nilai pajak yang diperoleh pemerintah melalui pemanfaatan tumbuhan obat secara tidak langsung berpotensi mengurangi keberadaan tumbuhan obat di alam. Hal ini menunjukan bahwa transaksi ad valorem belum efisien dalam pengelolaannya, sehingga dibutuhkan adanya intervensi pemerintah agar banyak pihak bersedia terlibat memperbaiki kelembagaan dan informasi asimetris yang terjadi pada pemanfaatan tumbuhan obat. Permasalahan pada harga jual, lokasi budidaya dan sumber daya manusia mendesak diperbaiki agar kualitas dan kuantitas bahan baku meningkat. Insentif berupa keringanan pajak bagi para pihak juga diperlukan agar bersedia meningkatkan komitmen terhadap kelestarian bahan baku di hutan alam Tabel 30. 2.4.3.3. Natural insurance Pada Tabel 31 terlihat bahwa hampir semua pihak tidak memiliki natural insurance baik berupa safety net maupun stepping stone, kecuali UD Bisma, PT Javaplant dan GP Jamu Jateng. Safety net yang dimiliki oleh UD Bisma dan PT Javaplant berupa peluang pengembangan produk bahan obat tradisional baru sebagai langkah apabila produk obat tradisional yang dimilikinya saat ini mengalami kejenuhan pasar. Salah satu bahan baku yang memiliki nilai pasar sangat tinggi adalah kesumba keling Bixa orellana L. sebagai bahan pewarna. Tanaman ini menyenangi iklim tropis dan memiliki zat warna merahkuning yang dihasilkan dari kulit biji serta digunakan mewarnai mentega keju, bahan anyaman, pengecat kuku dan lipstik. Selain itu, kesumba keling dapat digunakan untuk mengobati demam, diare, kurang nafsu makan, masuk angin, beri-beri, pendarahan dan detoksifikasi Delimartha 2009; Hariana 2008. Dalam ekologi politik tumbuhan obat, kesumba keling merupakan jenis yang berasal dari benua Amerika yang beriklim tropis sehingga cocok ditanam di Indonesia. Tetapi kehadiran jenis ini di Indonesia dapat menambah daftar spesies eksotik sehingga keberadaannya dapat mengancam spesies tumbuhan obat lokal. Selain itu, safety net yang dimiliki oleh industri obat tradisional dapat digunakan untuk mengembangkan obat tradisional secara spesifik di mana tidak setiap orang dapat memiliki akses yang sama terhadap peluang tersebut. Industri obat tradisional dapat mengendalikan seluruh aspek produksi sampai pemasarannya dan dapat menjadi pembeli tunggal atas sumber daya tersebut karena mengendalikan permintaan pasarnya. Situasi ini disebut sebagai monopsoni Ribot Peluso 2003. Oleh sebab itu, dalam ekologi politik tumbuhan obat, safety net dapat bersifat kapitalistis apabila pemanfaatan jenis eksotik untuk kebutuhan pasar kurang mempertimbangkan kelestarian jenis lokal, pengendalian terhadap mating systemnya, pengelolaan sumber daya manusia dan lain sebagainya. Intinya, pengendalian terhadap seluruh sistem budidaya untuk menghasilkan keuntungan ekonomi tidak dapat dilepaskan dari kelestarian jenis lokal di lapangan apalagi jenis-jenis yang diketahui memiliki fungsi yang kurang lebih sama sehingga menyebabkan terjadinya kompetisi pemanfaatan.

2.5. Kelestarian Bahan Baku Tumbuhan Obat

Bahan baku tumbuhan obat yang digunakan oleh para pihak yang terdapat pada masing-masing klaster merupakan komoditas utama yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki manfaat yang besar Lampiran 1 2. TN Meru Betiri sebagai gudang bahan baku tumbuhan obat bersama dengan taman nasional lainnya di Indonesia menyimpan berbagai kekayaan sumberdaya tersebut Zuhud et al. 2009. Berdasarkan data penelitian Tabel 9, 16 dan 23 dapat diketahui bahwa pelaku pemanfaat tumbuhan obat mulai dari sektor hulu sampai dengan hilir terdiri dari bermacam-macam pihak. Keterlibatan pemerintah, perguruan tinggi, industri swasta, industri rumah tangga, asosiasi, koperasi, LSM, pengobat tradisionalparanormal, rumah tangga hingga kelompok religius dalam pemanfaatan tumbuhan obat telah membentuk jejaring informasi yang kuat terhadap keberadaan tumbuhan obat. Jejaring tersebut terbentuk karena adanya permintaan terhadap bahan baku tumbuhan obat sebagai sebuah kebutuhan dari manusia, sehingga bersifat antroposentrisme Keraf 2010. Jejaring yang dibangun mulai dari hilir ke hulu menyebabkan ekstraksi terhadap bahan baku tumbuhan obat mengalir keluar dari TN Meru Betiri untuk melayani kebutuhan industri dan layanan kesehatan serta berakhir pada sektor rumah tangga sebagai pengguna akhirnya. Jejaring pemanfaatan tumbuhan obat ini masih belum efisien karena masih dijumpai sejumlah biaya transaksi yang cukup besar pada masing-masing klaster Kartodohardjo 2008. 2.5.1. Peran Negara dalam Kelestarian Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila tercantum bahwa negara menjamin keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia dalam berbagai bidang. Pasal 33 UUD 1945 juga menjamin bahwa sumber daya alam yang ada di Indonesia digunakan untuk kemakmuran rakyat, artinya selama NKRI masih berdiri maka selama itu pula sumber daya alam yang ada digunakan untuk kepentingan rakyat. Oleh sebab itu, kelestarian terhadap sumber daya alam tersebut merupakan kata kunci dalam pemanfaatannya. Pada kenyataannya, pemanfaatan sumber daya alam selalu mengalami ketimpangan, tidak terkecuali tumbuhan obat. Gramsci 2013 menggambarkan ketimpangan tersebut dalam hubungan desa dan kota di mana, kota selalu lebih maju dan menggunakan sumber daya alamnya untuk mengendalikan desa. Pernyataan Gramsci ini dituliskan dalam buku Prison Notebooks untuk menggambarkan pertarungan politik di antara aktor pada kedua kubu tersebut di mana sumber daya masing-masing kubu seperti lahan pertanian, akses ekonomi dan lain sebagainya dipertaruhkan untuk memperoleh kendali atas kekuasaan di Italia. Simon 2011 menggambarkan relasi ekonomi antara kota dan desa sebagai relasi antara negara dunia pertama dan negara dunia ke tiga di mana imperialisme merupakan sumber