Akses Terhadap Sumberdaya Pembahasan

Tabel 35. Akses pada Masing-Masing Klaster Klaster Stakeholder Variabel Akses α= 1 Akses α= 5 Produksi 10 4 Teknologi, kapital, market Teknologi -, kapital -, market + Layanan Kesehatan 18 8 Market Market + Industri 12 8 Kapital + Pada Tabel 35 terlihat bahwa akses terbanyak dimiliki oleh klaster produksi dibandingkan klaster layanan kesehatan dan industri. Tetapi pada klaster produksi variabel akses yang digunakan terbatas pada empat variabel dibandingkan kedua klaster yang lain. Penggunaan delapan variabel pada klaster produksi menyebabkan data tidak dapat dianalisis, hal ini kemungkinan disebabkan oleh terbatasnya jumlah para pihak pada klaster produksi. Untuk mengatasi kendala tersebut, analisis dilakukan hanya pada empat variabel akses yang berhubungan dengan variabel ekonomi secara langsung. Analisis lebih lanjut terhadap empat variabel akses lain yang tersisa pada klaster produksi juga tidak dapat dilakukan karena data yang ada tidak dapat dianalisis secara statistik, sehingga analisis terhadap data tersebut dilakukan secara deskriptif. Terkait dengan ekologi politik pemanfaatan tumbuhan obat, Tabel 35 menunjukan situasi “tertindas” pada para pihak yang terdapat pada klaster produksi. Dari ketiga akses yang dimiliki yaitu teknologi, kapital dan pasar hanya akses terhadap pasar saja yang bernilai positif sedangkan akses yang lain bernilai negatif. Rebot dan Peluso 2003 menyebutkan bahwa akses terhadap pasar menempatkan para pihak pada klaster produksi berfungsi sebagai penjual sumberdaya dan tergantung pada pasar yang sifatnya monopsoni. Tidak adanya akses terhadap teknologi dan kapital menyebabkan para pihak mengalami hambatan dalam mengelola sumber daya tumbuhan obat karena tergantung pada alat-alat sederhana, tidak seperti industri obat tradisional yang sudah melakukan modernisasi. Dampak lainnya, para pihak juga tergantung pada input kapital dan pemberdayaan padahal para pihak memiliki akses yang dekat terhadap hutan dan tumbuhan obat. Hilangnya akses terhadap teknologi dan kapital membuat para pihak pada klaster ini umumnya kurang berdaya dibandingkan pada klaster lainnya, sehingga sumber daya tumbuhan obat yang dekat dengan kehidupan mereka tidak terkelola dengan baik. Contoh, pekerjaan sebagai pendarung kalah bergengsi dibandingkan pekerjaan sebagai borek kayu atau blandong karena pendapatan yang diperoleh seorang pendarung jauh lebih rendah dibandingkan seorang borek kayu atau blandong meskipun ilegal. Akses terhadap pasar juga mendorong para pihak menjadi alat dari pengusaha yang memiliki akses terhadap kapital. Keberadaan akses market dan kapital secara langsung telah menciptakan mengalirnya sumber daya tumbuhan obat keluar dari TNMB ke dalam industri yang dimiliki oleh pengusaha. Situasi ini tercipta karena pemanfaatan tumbuhan obat bersifat kapitalistis sehingga dalam hal tertentu bersifat tidak adil, misalnya perbedaan pendapatan yang diperoleh pendarung Rp 5.000 per 1.000 biji kemiri tetapi pada pengepul Rp 22.000 per 1.000 biji kemiri. Situasi ini sudah berlangsung lama sehingga tanpa sadar telah terjadi simbiosis antara para pihak pada klaster produksi dengan para pihak pada klaster industri berdasarkan kepentingan yang sama, yaitu ekonomi Tabel 30. Untuk mengurangi dampak kapitalisme pada klaster produksi, tindakan menghentikan atau melarang ekstraksi terhadap tumbuhan obat tidak dapat dilakukan seketika karena berdampak pada hilangnya pendapatan sebagian pihak di desa-desa sekitar TNMB. Apabila pendapatan mereka dari tumbuhan obat berkurang, maka kegiatan pencurian kayu dari TNMB makin tidak terkendali sementara membuka aksesnya terhadap teknologi dan kapital tanpa adanya peningkatan kapasitas juga sia- sia. Hal ini karena sebagian besar pihak memiliki tingkat pendidikan yang rendah serta berumur setengah baya sehingga dibutuhkan orang-orang yang jauh lebih muda dan segar untuk mentransfer kedua akses tersebut. Salah satu cara yang dapat ditempuh adalah melakukan pendekatan kepada BTN Meru Betiri dan LSM KAIL untuk menyamakan kepentingan terhadap tumbuhan obat di TNMB. Pada Tabel 31, kedua pihak tersebut memiliki kepentingan yang sama terhadap kelestarian TNMB disamping kepentingan ekonomi. Oleh sebab itu, peningkatan kapasitas para pihak pada klaster produksi untuk membuka aksesnya terhadap teknologi dan kapital dapat dimulai dari negosiasi di antara kedua pihak tersebut Haryatmoko 2015; Keraf 2010. Hasil dari negosiasi diharapkan mampu melahirkan kader-kader untuk mengelola tumbuhan obat secara lestari dan berkeadilan sehingga permasalahan ekologi politik seperti hilangnya jenis-jenis tertentu tumbuhan obat pada rantai ekonomi dapat dicegah Forsyth 2005; Bryant Bailey 2007; Forsyth 2007; Jewitt 2008; Kunwar et al. 2009.

2.4. Biaya Manfaat, Biaya Transaksi dan Natural Insurance

2.4.1. TN Meru Betiri 2.4.1.1. Biaya Manfaat Tabel 16 menggambarkan nilai biaya manfaat, biaya transaksi dan natural insurance pada para pihak yang terdapat di TNMB. Dalam ekologi politik pemanfaatan tumbuhan obat, nilai manfaat yang diperoleh para pihak dapat digambarkan melalui keuntungan yang diterimanya. Nilai ini mencerminkan kegiatan ekonomi yang diperoleh para pihak dari hutan TNMB ketika memanfaatkan tumbuhan obat. Dari Tabel 15 dan Gambar 14 diketahui bahwa petani JAKET RESI, pendarung dan blandong memperoleh nilai manfaat ekonomi yang paling besar dari kegiatan tersebut. Berdasarkan wawancara yang dilakukan, kegiatan ekstraksi terhadap sumber daya hutan secara langsung dilakukan oleh pendarung dan blandong . Petani JAKET RESI tidak pernah melakukan ekstraksi masuk ke dalam hutan, melainkan melakukan kegiatan budidaya terhadap tumbuhan obat. Menurut Bryant dan Bailey 1997, ektraksi terhadap sumber daya alam yang diakibatkan oleh berjalannya sistem kapitalisme merupakan sebab terjadinya masalah lingkungan. Hal ini kemudian melahirkan pertarungan ekonomi dan politik di antara para aktor. Pertarungan ekonomi politik di TNMB dapat dilihat dari pemanfaatan tumbuhan obat potensial yang memiliki manfaat ganda. Jenis-jenis seperti bayur dan jati merupakan tumbuhan obat potensial yang dapat dikembangkan di masa datang. Tetapi karena kayunya juga memiliki nilai ekonomi yang sangat besar, bayur dan jati juga dimanfaatkan sebagai kayu pertukangan pada masa kini. Sementara itu, jenis- jenis tumbuhan obat lain seperti liana dan herba bebas diambil oleh penggunanya tetapi manfaat ekonomi yang dihasilkannya jauh lebih rendah dibandingkan kayu. Harga kayu bayur pada tingkat pengepul berkisar antara Rp 1.200.000 – 1.500.000 per batang sedangkan harga tumbuhan obat di tingkat pengepul rata-rata berkisar Rp 10.000 per kg. Dengan kemampuan angkut seorang pendarung rata-rata 100 kg per panen, maka pendapatan yang diperolehnya tetap lebih rendah dibandingkan kemampuan seorang blandong dalam mengekstraksi kayu bayur. Hanya saja bedanya pendapatan blandong dari kayu bayur bersifat ilegal sedangkan pendarung tidak. Borek kayu adalah pihak yang paling diuntungkan oleh blandong karena memiliki kekuasaan membeli produk kayu bayur yang dihasilkannya. Dalam wawancara, borek kayu menyebutkan bahwa bayur adalah salah satu sumber daya hutan yang dapat dimanfaatkan oleh siapa saja. Hal ini berarti bagi borek kayu, bayur adalah sumber daya bebas yang dapat diekstraksi sesuai dengan kepentingannya. Dalam struktur masyarakat di lokasi penelitian, borek kayu umumnya memiliki kondisi sosial dan ekonomi yang cukup mapan sehingga dihormati oleh masyarakat desa. Borek kayu juga menikmati perlindungan dari aparat pemerintahan desa karena kegiatannya memberikan pendapatan bagi desa melalui retribusi yang dibayarkannya. Dalam wawancara dengan borek kayu, nilai retribusi yang dibayarkan tidak dapat diketahui karena kegiatan tersebut sifatnya ilegal. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Gambar 14. Biaya Manfaat Para Pihak pada Klaster Produksi di TNMB