Kelestarian Bahan Baku Tumbuhan Obat
swasta, industri
rumah tangga,
asosiasi, koperasi,
LSM, pengobat
tradisionalparanormal, rumah tangga hingga kelompok religius dalam pemanfaatan tumbuhan obat telah membentuk jejaring informasi yang kuat terhadap keberadaan
tumbuhan obat. Jejaring tersebut terbentuk karena adanya permintaan terhadap bahan baku tumbuhan obat sebagai sebuah kebutuhan dari manusia, sehingga bersifat
antroposentrisme Keraf 2010. Jejaring yang dibangun mulai dari hilir ke hulu
menyebabkan ekstraksi terhadap bahan baku tumbuhan obat mengalir keluar dari TN Meru Betiri untuk melayani kebutuhan industri dan layanan kesehatan serta berakhir
pada sektor rumah tangga sebagai pengguna akhirnya. Jejaring pemanfaatan tumbuhan obat ini masih belum efisien karena masih dijumpai sejumlah biaya
transaksi yang cukup besar pada masing-masing klaster Kartodohardjo 2008. 2.5.1.
Peran Negara dalam Kelestarian Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila tercantum
bahwa negara menjamin keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia dalam berbagai bidang. Pasal 33 UUD 1945 juga menjamin bahwa sumber daya alam yang ada di
Indonesia digunakan untuk kemakmuran rakyat, artinya selama NKRI masih berdiri maka selama itu pula sumber daya alam yang ada digunakan untuk kepentingan
rakyat. Oleh sebab itu, kelestarian terhadap sumber daya alam tersebut merupakan kata kunci dalam pemanfaatannya.
Pada kenyataannya, pemanfaatan sumber daya alam selalu mengalami ketimpangan, tidak terkecuali tumbuhan obat. Gramsci 2013 menggambarkan
ketimpangan tersebut dalam hubungan desa dan kota di mana, kota selalu lebih maju dan menggunakan sumber daya alamnya untuk mengendalikan desa. Pernyataan
Gramsci ini dituliskan dalam buku Prison Notebooks untuk menggambarkan pertarungan politik di antara aktor pada kedua kubu tersebut di mana sumber daya
masing-masing kubu seperti lahan pertanian, akses ekonomi dan lain sebagainya dipertaruhkan untuk memperoleh kendali atas kekuasaan di Italia. Simon 2011
menggambarkan relasi ekonomi antara kota dan desa sebagai relasi antara negara dunia pertama dan negara dunia ke tiga di mana imperialisme merupakan sumber
terjadinya ekspolitasi kota terhadap desa. Relasi kota dan desa tersebut merupakan bentuk struktural dari pusat center dan pinggiran periphery di mana pada dimensi
ruang selalu berhubungan dengan aspek politik, ekonomi atau budaya Zarycki 2007; Ackerman Eden 2011; Scharpf 1997.
Dalam implementasi UUD 1945, pemerintah bersama DPR telah menetapkan berbagai undang-undang yang memungkinkan terkelolanya kawasan hutan seperti
UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi dan Keanekaragaman Hayati, UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan berbagi peraturan turunannya, tetapi kondisi
sumber daya hutan tetap mengalami pengurasan. Penelitian tentang pemetaan para pihak dalam pemanfaatan tumbuhan obat ini juga melihat bahwa kepentingan utama
dari para pihak yang terlibat di dalamnya adalah aspek ekonomi, sedikit sekali aspek kelestarian menjadi pertimbangan utama para aktor yang terlibat. Para pihak yang
terletak pada klaster produksi dan layanan kesehatan lebih banyak berada pada posisi menjual sumber daya tumbuhan obat, sedangkan pada klaster industri obat tradisional
adalah pembeli sumber daya tumbuhan obat lihat lampiran 3. Relasi di antara para pihak telah menciptakan hubungan penjual dan pembeli sumber daya tumbuhan obat
sehingga perilaku di antara mereka dominan dikendalikan oleh pasar yang bersifat monopsoni. Situasi ini merupakan gambaran bahwa kapitalisme juga terlibat dalam
pemanfaatan tumbuhan obat meskipun tidak semasif dalam pemanfaatan kayu yang berasal dari hutan alam. Kapitalisme dalam pemanfaatan tumbuhan obat
menciptakan iklim yang tidak adil, meskipun peraturan perundangan telah menyusunnya seadil mungkin dalam pemanfaatan di lapangan. Lemahnya
kelembagaan dan informasi asimetris mengenai pemanfaatan antara sektor produksi dengan industri obat tradisional merupakan masalah yang perlu segera dipecahkan
agar eksploitasi terhadap sumberdaya tumbuhan obat dapat dikurangi. Terkait dengan permasalahan lingkungan yang terjadi di dunia pada umumnya, Giddens 1998
mengusulkan agar sosialisme dapat “disuntikan” ke dalam tubuh kapitalisme untuk mengurangi dampak merugikan kapitalisme terhadap lingkungan. Harapannya,
melalui tindakan tersebut dapat dilahirkan suatu sistem ekonomi politik yang baru yang disebut demokrasi sosial yang dapat memperbaiki pengelolaan lingkungan.
Bentuk demokrasi sosial di Indonesia adalah Pancasila. Hanya saja, ketika sistem ekonomi berbasis rente merupakan landasan yang dipakai untuk bergerak, maka
sistem kapitalisme ekonomi kembali berperan di dalamnya. Dalam situasi ini, negara harus mengambil lebih banyak peran agar kelestarian sumber daya tumbuhan obat
tidak mengalami penurunan yang nyata. Hal ini juga sekaligus melaksanakan amanat pasal 33 UUD 1945 Soedomo 2012.
Salah satu bentuk hadirnya negara dalam pemanfaatan tumbuhan obat adalah terjaminnya rasa aman para pihak dalam memanfaatan sumber daya tersebut, tersedia
sepanjang tahun dan memperoleh kepastian harga jual yang layak sehingga tingkat sosial dan ekonomi para pihak, khususnya yang dekat dengan hutan seperti
pendarung dan petani, dapat meningkat Stenley et al. 2012; Wondolleck Yaffee 2000. Terjaminnya rasa aman juga dapat diwujudkan melalui kehadiran aparatur
negara dalam mengawal sumber daya tumbuhan obat yang bebas dari aksi pencurian, baik yang ditanam pada lahan milik mau pun pada lahan milik negara. Untuk
peningkatan produktifitas bahan baku tumbuhan obat, kegiatan budidaya pada lahan rehabilitasi hutan TNMB dapat melibatkan tenaga ahli lintas lembaga untuk
mendampingi pendarung mau pun petani sehingga kualitas dan kuantitas bahan baku tumbuhan obat dapat memenuhi standar yang dipersyaratkan oleh klaster layanan
kesehatan mau pun klaster industri. Dengan tersedianya rasa aman, akses pendarung dan petani terhadap sumber daya hutan dan dampingan para ahli, negara telah
menjalankan fungsinya untuk membela kepentingan para pihak yang posisinya paling lemah. Selain hal tersebut, pendapatan gaji para pendamping dan aparat sipil perlu
ditingkatkan agar mereka memiliki komitmen yang tinggi untuk mendampingi pendarung dan petani untuk mencapai tujuan pemanfataan tumbuhan obat yang
lestari. Biaya transaksi yang timbul akibat pemungutan bahan baku tumbuhan obat potensial juga dapat ditekan sehingga para pendamping dan aparat sipil enggan
terlibat dalam jaringan pemanfaatan tumbuhan obat ilegal karena sudah memiliki jaminan pendapatan yang cukup dari negara. Dengan demikian berarti bahwa negara
telah benar-benar menjalankan amanat pasal 33 UUD 1945 untuk mensejahterakan
rakyat yang terdapat di desa-desa sekitar hutan dalam memanfaatkan sumber daya tumbuhan obat.
2.5.2. Pemanfaatan Ruang Budidaya Tumbuhan Obat
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan telah mengatur penggunaan ruang untuk kegiatan pengelolaan hutan yang melibatkan berbagai
elemen dalam masyarakat, baik pemerintah, LSM, masyarakat adat, maupun kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat desa. Pengaturan ini memberi
kepastian pada para pihak untuk memanfaatkan hutan baik pada hutan produksi, konservasi maupun pada kawasan lindung. Keduanya menjadi modal alam dan
modal sosial bagi para penggunanya Suminar 2013; Balooni et al. 2010; Van De Valk 2008; Simpson 2005; Feldman Assaf 1999. Dalam politik politik
pemanfaatan tumbuhan obat, keberadaan ruang budidaya merupakan hal penting yaitu dapat digunakan untuk menjaga keseimbangan permintaan tumbuhan obat dari
sektor hilir sehingga mengurangi dampak merugikan terhadap tumbuhan obat yang dilakukan oleh pihak-pihak penggunanya. Hal ini diperlukan agar proses produksi
pada masing-masing klaster tidak terganggu pada jangka panjang. Artinya rantai pemanfaatan tumbuhan obat yang pertama yaitu pendarung tidak perlu lagi mencari
bahan baku hingga jauh ke dalam hutan. Pengembangan zona rehabilitasi pada kawasan TN Meru Betiri sebagai alternatif untuk budidaya tumbuhan obat alam
sangat mungkin dioptimalkan Nurrochmat Hasan 2010; Vandebroek et al. 2004; Hernock 1992. Selain itu, kawasan tradisional yang terdapat pada kawasan hutan
produksi juga dapat difasilitasi agar akses informasi terhadap pasar, teknologi dan kapital juga dimiliki. Persoalannya, ketika akses-akses tersebut dibuka maka tindakan
budidaya dapat meningkatkan penawaran atas tumbuhan obat sehingga ketika jumlahnya meningkat justru akan menurunkan harga jualnya. Hal ini dapat diatasi
dengan pengelolaan kelembagaan yang mantap pada sektor hulu sehingga pasokan dan permintaan dapat disesuaikan agar tidak menjatuhkan harga bahan baku. Oleh
sebab itu, pengembangan sektor layanan kesehatan obat tradisional yang saat ini telah dimulai oleh pemerintah dapat menjadi cara untuk mengatasi kemungkinan jatuhnya
harga bahan baku tersebut di masa depan. Peningkatan terhadap aspek pelayanannya
dapat mendorong terjadinya perbaikan terhadap kualitas layanan pengobatan tradisional di rumah sakit maupun di klinik atau puskesmas. Peningkatan kapasitas
para pelaku, khususnya klinik pengobatan tradisional swasta, juga diperlukan untuk menselaraskan kepentingan di antara para pihak.