Posisi Para Pihak Pembahasan

Tabel 31. Posisi Para Pihak dalam Pemanfaatan Tumbuhan Obat Klaster Para Pihak Posisi Tertinggi Produksi BTN Meru Betiri, Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Jember, Pendarung, Pengepul, LSM Kail, TOGA Sumber Waras dan Jaket Resi BTN Meru Betiri, Pengepul Layanan Kesehatan Klinik Radiastesi Medis Romo Lukman, RSUP Dr. Sardjito, RS Panti Rapih, CD Bethesda, Jamu Gendong Lugu Murni, PT PJT Dr. Sardjito, Pusat Kedokteran Herbal UGM, Pengobat Tradisional, Pasien Pengobat Tradisional, SP3T Yogyakarta, Pelanggan Jamu Gendong dan Puskesmas Gondomanan Pengobat Tradisional dan Klinik Radiastesi Medis Romo Lukman Industri UD Bisma Sehat, Kios Jamu Modern, Harian Kompas, PS Biofarmaka IPB, Koperasi Jamu Indonesia, Apoteker I, Apoteker II, GP Jamu Jawa Tengah, Balai POM Semarang, Gujati 59, PT Javaplant dan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Sukoharjo POM Semarang 2.2.1. TN Meru Betiri 2.2.1.1. Relasi Kepentingan dan Pengaruh Relasi antara kepentingan dan pengaruh diantara stakeholder dapat dilihat melalui perannya sebagai Key players – Subject. Pada Gambar 11 dan Tabel 31 terlihat bahwa dari sepuluh pihak yang terlibat pada klaster produksi, tujuh pihak merupakan key players. Dari ketujuh key players tersebut, BTN Meru Betiri memiliki kepentingan dan pengaruh yang kuat sebagai key players, kemudian disusul dengan pengepul tumbuhan obat yang memiliki kepentingan tertinggi terhadap bahan baku tumbuhan obat dari TNMB. Hal ini terjadi karena kepentingan ekonomi yang melandasi kebutuhan pengepul terhadap TNMB menunjukkan bahwa tumbuhan obat merupakan mata pencarian utama yang digunakan oleh pengepul untuk menghidupi keluarganya, sedangkan dari sisi BTN Meru Betiri, tumbuhan obat bukanlah produk yang dilarang untuk dipanen dari dalam kawasan hutan sehingga bagi BTN Meru Betiri tumbuhan obat baik dimanfaatkan apabila mampu memenuhi kepentingan masyarakat di sekitar hutan agar pendapatannya meningkat. Dari sisi ketersediaan bahan baku, BTN Meru Betiri memiliki perhatian terhadap terjadinya kegiatan pencurian kayu jati Tectona grandis dan kayu bayur Pterospermum javanicum yang terdapat di TNMB. Kegiatan tersebut mengganggu BTN Meru Betiri sebagai pihak yang memiliki amanat untuk menjaga dan melestarikan TNMB. Meskipun LSM KAIL tidak memiliki kepentingan dan pengaruh yang cukup kuat dalam analisis kategorisasi, tetapi keberadaannya di TNMB tidak dapat diabaikan. Hampir semua kelompok masyarakat mengenal LSM KAIL dengan baik dan LSM ini mengendalikan kegiatan masyarakat desa di sekitar TNMB dalam mengelola lahan rehabilitasi menggunakan tumbuhan obat lokal. Sejak beroperasi lebih dari 20 tahun yang lalu, LSM KAIL mampu melakukan pemberdayaan terhadap masyarakat desa melalui pendirian koperasi, unit-unit usaha rumah tangga berbasis obat tradisional, membangun jaringan kelompok tani dan membuka pasar komoditas pertanian keluar dari TNMB. Salah satu contohnya adalah kegiatan penjualan buah pisang untuk meningkatkan pendapatan petani cash crop ke pulau Bali disambut positif karena produk pertanian tersebut segera habis terjual ketika LSM KAIL tiba di pulau Bali. Hal ini tentu saja meningkatkan pengaruh LSM KAIL dan kepentingannya terhadap masyarakat sekitar hutan karena mampu mendorong aspek ekonomi masyarakat desa. Kekuasaan LSM KAIL di TNMB dapat dilihat dari banyaknya kelompok binaan yang dibangun selama kurang lebih 20 tahun, antara lain Jaringan Komunikasi Petani Rehabilitasi JAKET RESI, TOGA Sumber Waras , dan Pendarung tumbuhan obat dengan jumlah pengikut lebih dari 720 orang. Kepentingan utama LSM KAIL adalah kelestarian hutan TNMB yang diperoleh melalui pendekatan ekonomi dan sosial masyarakat desa. Sumber dana untuk menyusun kegiatan masyarakat diperoleh LSM KAIL dari dalam maupun luar negeri. Pada relasi kepentingan dan pengaruh ini, peranan sektor pemerintah seperti BTN Meru Betiri dan Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Jember cukup mendukung upaya-upaya pengembangan tumbuhan obat bagi masyarakat, hanya saja jika dibandingkan dengan masalah lingkungan lain seperti pencurian kayu dari hutan alam, program pengembangan tumbuhan obat kurang popular. Selain karena harga kayu jati dan bayur cukup tinggi di pasaran, kedua produk tersebut bisa segera menghasilkan pendapatan apabila dijual. Banyak calon pembeli di dalam maupun di luar kawasan desa yang siap membayar kayu jati dan bayur. Kedua jenis pohon ini berpotensi menghasilkan bahan obat tradisional karena secara tradisi sudah dikenal bahwa bayur getahnya digunakan untuk penyembuhan luka, sedangkan jati daunnya digunakan untuk mengawetkan makanan. Salah satu pihak yang jarang diperhitungkan peranannya adalah kelompok pendarung . Relasi kepentingan dan pengaruh antara pendarung dan pengepul tumbuhan obat juga menciptakan simbiosis ekonomi. Pengetahuan pendarung akan musim berbuah tumbuhan obat menentukan masa panen atas tumbuhan obat tersebut. Dapat dikatakan bahwa pendarung dan pengepul merupakan penggerak berputarnya ekonomi pemanfaatan tumbuhan obat pada TNMB di mana tugas untuk memanen tumbuhan obat diperoleh dari pengepul dan pendarung bertugas memungutnya dari hutan. Produk-produk utama tumbuhan obat yang dibeli oleh pengepul umumnya berupa hasil hutan yang dapat digunakan sebagai bumbu masak seperti kemiri, joho lawe, kemukus, pakem, kedawung dan lain-lain. Pendarung dan pengepul sudah mengetahui produk-produk tumbuhan obat seperti apa yang sedang laku di pasaran sehingga keduanya kerap kali saling memberikan informasi. Pendarung sendiri sudah mengetahui musim panen bahan baku tumbuhan obat yang berasal dari TN Meru Betiri selama satu tahun. Data musim panen tumbuhan obat dari TN Meru Betiri disajikan pada Tabel 32. Tabel 32. Musim Panen Tumbuhan Obat di TN Meru Betiri No. Jenis Musim 1. Terminalia bellerica Roxb Februari – Maret 2. Aleurites moluccana L.Willd. Maret – Mei, September - November 3. Pangium edule Reinw Maret – Mei 4. Piper cubeba L. Juni – Juli 5. Madu Hutan Juni – Juli 6. Parkia roxburghi G.Don September – Oktober Untuk posisi subject peranan blandong, borek kayu dan Perkebunan Bandealit cukup dominan. Ketiga pihak tersebut diketahui tidak terlibat dalam pemanfaatan tumbuhan obat, tetapi terlibat dalam pemanfaatan kayu dan perkebunan. Terkait dengan kepentingan dan pengaruhnya, borek kayu, blandong dan Perkebunan Bandealit memiliki kepentingan yang tinggi terhadap hutan karena kegiatan usaha yang mereka bangun berada di sekitar kawasan hutan TNMB. Hal ini ditunjukkan oleh nilai kepentingan dan pengaruh mereka yang relatif saling berdekatan. Dari ketiga pihak tersebut, relasi yang perlu diwaspadai adalah hubungan antara blandong dan borek kayu. Hubungan antara borek kayu dan blandong bersimbiosis terhadap kepentingan ekonomi dari jati dan bayur. Blandong tidak pernah masuk ke dalam hutan apabila tidak memiliki perintah untuk menebang kayu bayur dan jati dari borek kayu . Simbiosis diantara keduanya juga menyebabkan tindakan ilegal yang dilakukan oleh borek kayu sukar dilawan karena secara ekonomi dan sosial, borek kayu memiliki kedudukan yang tinggi di tengah masyarakat desa baik di Andongrejo, Curahnongko maupun Curahtakir. Menurut Winkel 2012, posisi ekonomi seseorang dapat menentukan kedudukannya di tengah masyarakat. Relasi borek kayu terhadap aparat desa maupun aparat keamanan juga baik sehingga apabila terjadi penangkapan terhadap truk pengangkut kayu miliknya, negosiasi antara kedua belah pihak mudah dilakukan. Terkait dengan konsep politik ekologi tumbuhan obat, konflik yang terjadi dalam pemanfaatan tumbuhan obat di TN Meru Betiri adalah adanya pemanfaatan ganda yaitu materi tumbuhan obat yang berasal dari pohon-pohon berkayu seperti bayur Pterospermum javanicum jungh dan suren Toona sureni Bl dengan materi tumbuhan obat lain yang berasal dari semak, akar, batang maupun daun tetapi berasal dari spesies-spesies yang tidak memiliki nilai ekonomis. Kedua jenis kayu yang berasal dari pohon-pohon ini aktif dipanen dari kawasan TNMB oleh blandong berdasarkan permintaan yang diperoleh dari borek kayu. Pemanfaatan bayur dan suren sebagai bahan baku obat asal hutan masih kurang diperhitungkan karena nilai ekonomisnya yang jauh lebih kecil apabila dijual sebagai kayu pertukangan. Pada tahun 2013, terdapat sekitar 12 m 3 kayu bayur dan suren yang ditebang dan berasal dari sekitar kawasan TNMB. Tindakan penegakan hukum terhadap pihak yang melakukan tindakan pencurian kayu juga dilakukan oleh BTN Meru Betiri, tetapi penegakan hukum tidak membuat mereka jera. Persoalan ekonomi seperti kemiskinan merupakan persoalan mendasar yang dihadapi pengelola kawasan sehingga tindakan tegas kurang memiliki dampak untuk mengurangi pencurian kayu. Selain itu, terjadinya informasi asimetris terhadap pemanfaatan tumbuhan obat juga menyebabkan para pihak sukar diarahkan untuk mengembangkan tumbuhan obat sebagai bahan baku obat tradisional. Dalam wawancara diketahui bahwa BTN Meru Betiri, LSM KAIL dan Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Jember juga tidak paham mengenai informasi pasar tumbuhan obat, padahal Propinsi Jawa Timur adalah sentra produksi tumbuhan obat. Harga pasar tumbuhan obat yang diketahui untuk jahe, kencur dan temulawak hanya berkisar Rp 7000kg sedangkan apabila jahe sudah diolah menjadi bahan baku setengah jadi harga jualnya bisa mencapai Rp 4.000.000kg. Informasi harga tersebut diperoleh dari seorang eksportir tumbuhan obat di Jakarta yang kerap mengirim produknya ke USA dan Jepang. 2.2.1.2. Konflik Kepentingan antar Pihak Perseteruan antara LSM KAIL dengan BTN Meru Betiri juga pernah terjadi ketika kedua pihak berusaha memperoleh pengaruh di antara masyarakat desa di sekitar TNMB. Dampaknya, program-program kegiatan LSM KAIL terhambat selama lima tahun sehingga mengganggu program-program pemberdayaan yang sudah dibuat. Pembentukan LSM tandingan oleh oknum di sekitar TNMB selain tidak “elegan”, juga menyebabkan kegiatan pemberdayaan petani sekitar hutan antara BTN Meru Betiri dan LSM KAIL tidak searah. Kedua pihak memiliki kepentingan yang sama untuk menjaga kelestarian TNMB sehingga upaya mendelegitimasi LSM KAIL hanya akan berdampak negatif terhadap kedua belah pihak dan masyarakat desa. Oleh sebab itu untuk kepentingan kelestarian, kedua belah pihak harus bersedia duduk bersama. Permasalahan-permasalahan yang terkait dengan kelembagaan pemanfaatan tumbuhan obat, informasi asimetris, pencurian kayu dan peluang pengembangannya dapat dipecahkan apabila kedua pihak bersedia menjalin komunikasi. 2.2.2. Layanan Kesehatan 2.2.1.1. Relasi Kepentingan dan Pengaruh Untuk melihat relasi kepentingan dan pengaruh pada klaster layanan kesehatan dapat dianalisis melalui posisi para pihak sebagai key player, subject, context setter dan crowd Gambar 12. Analisis kategorisasi yang dilakukan menunjukan bahwa para pihak tersebar pada empat kuadran kepentingan dan pengaruh. Pada posisi key player pihak utama yang memiliki kepentingan dan pengaruh tertinggi adalah pengobat tradisional dan klinik radiastesi medik. Kedua pihak ini bersifat non medis dan memiliki metode penyembuhan yang dikategorikan sebagai “paranormal”. Terkait dengan kebijakan, metode paranormal sebagai sarana penyembuhan keberadaannya sudah diakui oleh pemerintah sebagai pelengkap dari penyembuhan konvensional. Langkah nyata yang dibangun oleh pemerintah dalam mendukung kebijakan tersebut adalah membangun fasilitas penyembuhan tradisional di rumah sakit dan puskesmas, hanya saja dari sisi penggunanya masih sangat terbatas dibandingkan pasien yang dilayani oleh pengobat tradisional. Dalam satu tahun pengobat tradisional mampu melayani pasien sekitar 4.000 sampai dengan 90.000 orang sedangkan puskesmas dan rumah sakit hanya mampu melayani 700 sampai dengan 2.000 pasien per tahun. Artinya masih terjadi kesenjangan pelayanan kesehatan secara tradisional pada fasilitas formal dengan fasilitas non formal yang disediakan oleh pemerintah kepada masyarakat. Fasilitas layanan kesehatan yang disediakan oleh pemerintah umumnya mudah dijangkau dan dikenal oleh setiap elemen masyarakat, sedangkan fasilitas klinik pengobat tradisional umumnya dikenal melalui informasi mulut ke mulut. Pada posisi key player, industri obat tradisional juga terlibat sebagai aktor. Tetapi industri ini sudah memiliki hak paten atas obat tradisional yang diproduksinya sehingga aspek keamanan obat terhadap konsumen dapat terjamin. Pada Gambar 12, para pihak yang memiliki posisi subject dalam layanan kesehatan menggunakan obat tradisional terdiri atas pasien pengobat tradisional, PB IDI, PSM Lakutama dan GP Jamu Yogyakarta. Pasien pengobat tradisional memiliki kepentingan tertinggi tetapi pengaruhnya paling rendah. Secara umum relasi key player dan subject pada posisi ini memiliki kapasitas yang rendah dalam pelayanan kesehatan menggunakan obat tradisional. Misalnya, bagi pasien pengobat tradisional kunjungan kepada seorang pengobat tradisional terjadi karena adanya keterpaksaan setelah sebelumnya berobat ke rumah sakit konvensional untuk menyembuhkan penyakit stroke-nya. Adanya kendala biaya untuk melanjutkan pengobatan tersebut membuat pihak tersbeut beralih ke pengobatan tradisional. Bagi PB IDI Wilayah Yogyakarta , pengobatan tradisional dapat diterima apabila memiliki evidence based yang kuat bahwa metode tersebut berhasil mengobati penyakit tertentu. Obat tradisional harus diuji secara ilmiah sehingga kedudukannya setara dengan obat kimia. Hal ini menguntungkan posisi PB IDI untuk membela profesi dokter yang menggunakan obat tradisional dalam memberikan layanan kesehatan. Pada posisi subject , aliansi antara aktor sulit terjadi karena memiliki perbedaan profesi. PB IDI Yogyakarta hanya dapat membentuk aliansi dengan dokter, sedangkan GP Jamu juga hanya dapat membentuk aliansi dengan sesama pedagang jamu. Pada Tabel 30 terlihat bahwa motivasi dan persepsi para pihak dalam menggunakan obat tradisional adalah untuk pelayanan kesehatan. Artinya jika pengobatan tradisional ingin memperoleh dukungan yang lebih luas, maka peningkatan terhadap status, kualitas dan kuantitas layanan pengobatan tradisional harus ditingkatkan dengan cara meningkatkan status obat tradisional menjadi fitofarmaka, meningkatkan peran serta industri jamu agar mengembangkan penelitian terkait obat tradisional, memberi insentif berupa keringanan pajak bagi industri yang bersedia bekerja sama dalam pengembangan obat tradisional, menyatukan para pengobat tradisional dalam layanan formal di rumah sakit dan puskesmas, memperbanyak profesi dokter herbal dan menjamin agar dokter herbal juga dapat hidup layak. Gambar 12 menempatkan Dinas Kesehatan DIY sebagai context setter dalam analisis kategorisasi. Pada relasi key player dan context setter, pengobatan tradisional merupakan salah satu program tetapi konsentrasi pihak ini tidak terletak pada obat tradisional. Dalam penelitian, terjadi resistensi dari pihak ini sehingga informasi terkait layanan kesehatan menggunakan pengobatan tradisional tidak dapat digali secara optimal. Daftar pertanyaan yang dikirimkan kepada pihak ini juga tidak dikembalikan sehingga analisis berdasarkan posisi ini amat minim. Berdasarkan wawancara yang sempat digali dari pihak ini terlihat kesan kehati-hatian dalam membicarakan tentang pengobatan tradisional. Hal ini dapat diterima mengingat perhatian utama Dinas Kesehatan DIY dalam memberikan layanan kesehatan terletak pada pengobatan konvensional yang sudah terbukti manfaatnya dan memiliki evident based yang kuat. Untuk hubungan key player dan crowd, pihak pasien pengobat spiritual dan pengobat spiritual dapat dikeluarkan dalam analisis karena penggunaan obat tradisional dalam layanannya relatif sedikit dan lebih banyak mengambil posisi sebagai penasehat spiritual dibandingkan sebagai penyembuh menggunakan obat tradisional. 2.2.1.2. Konflik Kepentingan antar Pihak Pemanfaatan obat tradisional pada layanan kesehatan komplementer semakin berkembang sehingga meningkatkan potensi pasar penyerapan tumbuhan obat sebagai bahan baku obat tradisional. Terkait dengan politik ekologi pemanfaatan tumbuhan obat, terdapat sejumlah konflik yang muncul, antara lain pertarungan prinsip evident based antara obat tradisional dengan obat farmasi yang telah terbukti manjur dan dapat dibuktikan secara ilmiah. Konflik tersebut merupakan dampak dari modernisasi atas layanan kesehatan di mana para pihak mulai meninggalkan layanan kesehatan berbasis budaya yang hidup di dalam masyarakat. Modernisasi tersebut justru melahirkan kapitalisme dalam layanan kesehatan tradisional di mana aspek ekonomi mengikuti jasa layanan yang diberikan oleh penyembuh. Pada Tabel 30 terlihat bahwa motivasi dan persepsi utama para pihak mendahulukan aspek sosial, tetapi aspek ini sesungguhnya berhubungan dengan jasa yang berdampak pada biaya pengobatan. Rata-rata beban pasien membayar fasilitas pengobatan tradisional berkisar Rp 300.000 – Rp 500.000 per resep per orang, sehingga untuk beban biaya sebesar itu hanya mampu dibayar oleh pasien yang cukup mampu, apalagi fasilitas tersebut tidak dijamin oleh Jaminan Kesehatan Nasional JKN Lihat lampiran 4. Kapitalisme pada layanan kesehatan ini juga ikut mendorong meningkatkan peredaran bahan baku obat tradisional baik dari hutan alam maupun budidaya melalui perdagangan barang dan jasa tumbuhan obat. Pada tingkat konsumen rumah tangga, obat tradisional masih diproduksi secara terbatas. Obat tradisional dalam bentuk racikan paling banyak dijumpai dalam bentuk simplisia dibandingkan dalam bentuk obat yang terbukti kemanjurannya secara empiris Brook Fauver 2014; Raz Guindi 2008. Untuk meredakan konflik pemanfaatan obat tradisional pada klaster ini dibutuhkan adanya peran serta pemerintah dalam memperbaiki kelembagaannya, menyediakan fasilitas obat tradisional sesuai standar fitofarmaka sehingga sistem pelayanan ini tidak didikte oleh pengusaha serta memperbaiki sistem distribusi tumbuhan obat agar obat tradisional yang saat ini ada dapat dijangkau oleh semua pihak. Penerapan Jaminan Kesehatan Masyarakat JKN juga diperlukan untuk mendorong kemandirian bangsa agar tidak tergantung pada obat farmasi yang diproduksi oleh perusahaan asing di Indonesia. Salah satu contoh bahan obat tradisional yang sering dijumpai dalam resep pengobatan tradisional adalah pulosari Alyxia reinwardtii Bl., tempuyung Sonchus arvensis L., jahe Zingiber officinale Rosc., kencur Kaemferia galanga L., temulawak Curcuma xanthorrhiza roxb, temu giring Curcuma heyneana Val. Et van Zijp., seledri Apium graveolens L., kunyit Curcuma domestica Val. Pada lampiran 6 terlihat bahwa pulosari merupakan spesies yang banyak ditemukan pada racikan obat tradisional. Jenis ini banyak dijumpai di TNMB, TN Bromo Tengger dan TN Baluran di Jawa Timur Zuhud et al. 2009. Dalam wawancara dengan pengusaha jamu di Pasar Nguter Sukoharjo disebutkan bahwa pulosari sudah jarang dijumpai oleh pengusaha sehingga terpaksa dilakukan substitusi terhadap bahan obat untuk mengganti pulosari. Maka terkait dengan ekologi politik, kelangkaan pulosari dapat diduga mengganggu kualitas dan kuantitas pelayanan kesehatan obat tradisional di masa datang. 2.2.2. Industri Obat Tradisional 2.2.2.1. Relasi Kepentingan dan Pengaruh Relasi kepentingan dan pengaruh pada industri obat tradisional dapat dilihat melalui relasi key player Gambar 13. Artinya bahwa para pihak memiliki kepentingan dan pengaruh yang tinggi dalam industri tersebut. Tabel 31 memperlihatkan bahwa pada klaster industri, motivasi dan persepsi para pihak dalam pemanfaatan tumbuhan obat dikendalikan oleh aspek ekonomi dengan nilai masing- masing sebesar 83.33 persen dan 75 persen. Aspek ekonomi juga dominan dimiliki oleh para pihak yang terdapat pada klaster produksi, sehingga dapat disimpulkan bahwa aliran pemanfaatan tumbuhan obat menjadi obat tradisional dari TNMB berjalan menuju ke sektor industri karena terdapat kesejajaran kepentingan di antara keduanya. Hal ini dapat dimengerti karena para pihak pada kedua sektor tersebut mendapatkan pendapatan income dari proses jual beli bahan bakunya. Sektor produksi berperan sebagai penjual bahan baku dari hutan alam maupun budidaya dan sektor industri berperan membelinya dari sektor produksi. Proses jual beli bahan baku ini melibatkan jaringan para pihak pendarung-petani, pengepul dan pengusaha. Pada Gambar 13, pihak utama adalah BPOM Semarang. Peranan BPOM dalam mengendalikan produk obat tradisional pada klaster industri sangat penting karena pada klaster tersebut belum terbebas dari penggunaan Bahan Kimia Obat BKO yang dicampurkan pengusaha ke dalam obat tradisional. Selain itu, BPOM juga mengendalikan ijin edar obat tradisional agar terbebas dari obat tradisional ilegal. Selain BPOM, pihak penting lainnya adalah Koperasi Jamu Indonesia KOJAI . Pihak ini mengelola dan membantu pengusaha kecil obat tradisional UKOT di Kabupaten Sukoharjo, bekerjasama dengan instansi pemerintah dan menjadi tempat percontohan industri skala kecil obat tradisional di Indonesia karena bersifat padat karya dan mampu menggerakan ekonomi lokal. Keberadaan KOJAI sangat membantu tugas pemerintah untuk mengendalikan peredaran BKO dalam obat tradisional karena melalui KOJAI kegiatan lokakarya, bimbingan dan pembinaan terhadap UKOT dapat dilakukan. Persaingan antar pengusaha yang terdapat di dalamnya juga dapat dikendalikan melalui pertemuan bulanan UKOT yang diselenggarakan oleh KOJAI. Dalam pertemuan tersebut, pengusaha diingatkan agar tidak mencampurkan BKO ke dalam produknya serta tidak melakukan pelanggaran etiket produk obat tradisional di antara sesama pengusaha. Apabila terjadi pelanggaran, KOJAI dapat menindak tegas anggotanya dengan tidak membantu pengurusan ijin produk pada instansi pemerintah. Ketegasan KOJAI cukup efektif karena pengusaha tunduk pada kesepakatan tersebut. 2.2.2.2. Konflik Kepentingan antar Pihak Modernisasi atas obat tradisional yang kerap disebut sebagai jamu telah melahirkan sejumlah besar industri obat tradisional. Bahan baku yang diperoleh dari hutan alam maupun budidaya telah melahirkan tokoh-tokoh besar dalam industri tersebut, menjadikan mereka secara ekonomi berada di kelas atas, memiliki akses pada bidang politik dan mampu mempengaruhi gaya hidup kelas tertentu di Indonesia. Berdasarkan wawancara, sekitar 70 persen pengusaha besar obat tradisional berasal dari etnis Tionghoa dan sisanya adalah pribumi. Mayoritas pengusaha pribumi berada dalam kelas UKOT yang selalu membutuhkan dampingan, dorongan dan perhatian dari pihak pemerintah. Berbeda dengan pengusaha Tionghoa, aksesnya kepada pasar internasional sangat besar sehingga orientasi penjualan produknya adalah ke luar negeri ekspor, sedangkan pengusaha pribumi lebih banyak mengandalkan pasar dalam negeri. Pada Tabel 33 dan 34 dapat dilihat perkembangan neraca perdagangan obat tradisional dari Indonesia dimana laju ekspor semakin meningkat tiap tahunnya dibandingkan impornya. Tabel 33. Importasi Bahan Baku Tumbuhan Obat dari Mancanegara ke Indonesia No. Kode HS Komoditas 2010 2011 2012 2013 2014 Jan- Feb 2015 Nilai dalam US 000 Ton US 000 Ton US 000 Ton US 000 1. 091010 Jahe Ginger 1,820 16,572 16,704 6,308 5,927 2,764 2,465 1,256 1,076 2. 091099 Rempah 424 623 1,210 796 796 447 788 63 70 3. 091030 Tumeric Curcuma 66 332 390 475 475 245 324 19 12 4. 091091 Campuran dua atau lebih rempah yang tersedia terpisah dari daftar ini 73 408 152 70 70 28 75 1 5 5. Saffron 10 13 9 - - 8 21 - - TOTAL 2,394 17,948 18,465 7,201 7,268 3,493 3,673 1,339 1,164 Sumber: BPS 2015, disiapkan oleh Direktorat Pengembangan Pemasaran dan Informasi Eksport Kementerian Perdagangan RI 2015 Tabel 34. Eksportasi Bahan Baku Tumbuhan Obat Indonesia ke Mancanegara No. Kode HS Komoditas 2010 2011 2012 2013 2014 Jan- Feb 2015 Nilai dalam US 000 Ton US 000 Ton US 000 Ton US 000 1. 091010 Tumeric Curcuma 7,545 4,502 2,125 1,947 2,101 3,808 4,515 658 764 2. 091099 Rempah 6,865 6,717 2,974 1,188 4,343 1,777 3,317 202 432 3. 091030 Jahe Ginger 3,467 1,209 1,358 22,472 14,909 61,191 49,127 375 326 4. 091091 Campuran dua atau lebih rempah yang tersedia terpisah dari daftar ini 754 1,534 2,259 729 1,603 750 1,237 69 114 5. Saffron 236 35 231 794 490 900 547 52 31 TOTAL 18,867 13,998 8,947 27,129 23,446 68,427 58,742 1,356 1,668 Sumber: BPS 2015, disiapkan oleh Direktorat Pengembangan Pemasaran dan Informasi Eksport Kementerian Perdagangan RI 2015. Terkait dengan ekologi politik, perdagangan obat tradisional dan tumbuhan obat menimbulkan ketidakadilan kepada sebagian aktor yang terlibat pada arena yang sama. Akses perdagangan tumbuhan obat yang cenderung tertutup, rendahnya informasi terhadap penggunaan obat tradisional dan rendahnya teknologi serta permodalan menciptakan iklim kapitalisme pada perdagangan ini. Pada sektor produksi, para pihak yang memiliki akses langsung kepada sumberdaya tumbuhan obat tetap hidup miskin bahkan harus berhadapan dengan konflik kepentingan pemanfaatan ganda dari produk yang berpotensi menjadi obat tradisional. Sementara itu, para pihak yang memiliki akses yang kuat kepada permodalan perbankan dan pemerintah justru menikmati sejumlah manfaat yang meningkatkan aksesnya kepada sumber-sumber ekonomi dan politik. Penggunaan simbol-simbol yang berlatar belakang budaya jawa pada produk obat tradisional lebih banyak untuk mendorong gambaran konsumen bahwa produk tersebut digali dari budaya jawa. Padahal sebagaian besar produsennya bukanlah keturunan atau secara turun temurun bergaul dengan budaya jawa. Pada tahap ini, budaya jawa hanyalah pelengkap dari produk obat tradisional yang dijual oleh produsen. Kenyataan ini juga berlaku pada pengusaha UKOT yang mayoritas keturunan jawa. Budaya jawa seperti gambar- gambar wayang, digunakan hanya untuk memperkuat produk obat tradisional. Tujuan penggunaan produk budaya tersebut tidak lebih hanya untuk memperoleh manfaat ekonomi. Pada Tabel 30 terlihat kepentingan tersebut dimana nilai warisan budaya dicantumkan dalam aspek motivasi dan persepsi para pengusaha. Perdagangan obat tradisional yang bersifat kapitalistik tersebut mendorong terjadinya persaingan ekonomi di antara para pihak. Persaingan tersebut muncul mulai dari pencurian etiket obat tradisional hingga pencampuran BKO ke dalam obat tradisional. Hal ini merugikan sisi konsumen sebagai penerima akhir dari produk obat tradisional serta merugikan aspek tumbuhan obat di alam karena ekstraksi yang terus menerus terhadap tumbuhan obat ternyata tidak digunakan secara tepat sasaran sesuai dengan manfaat yang terkandung di dalamnya. Dalam wawancara terungkap bahwa sekitar 20 persen sampai dengan 30 persen, pengusaha obat tradisional mengambil bahan baku dari hutan alam, tetapi berdasarkan data dari Kementerian Kehutanan RI sekitar 78 persen bahan baku obat tradisional diambil dari hutan alam. Adanya perbedaan data ini menunjukan bahwa pemanfaatan tumbuhan obat oleh pengusaha cenderung tidak terbuka, diam-diam dan kurang peduli dengan ketersediaan bahan baku obat tradisional di alam. Hal ini bisa dimengerti karena pengusaha obat tradisional umumnya menerima bahan baku dari para pengepul dan tidak pernah datang sendiri ke sumber bahan bakunya. Istilah yang sering digunakan adalah “terima produk di depan pintu lalu dibayar”. Dalam ekologi politik, pengusaha memainkan peran sebagai pembeli dan menggerakan permintaan tumbuhan obat dari pengepul. Pengusaha tidak ikut bertanggungjawab terhadap kerusakan bahan baku tumbuhan obat di alam karena tidak bersentuhan secara langsung dengan produk tersebut. Ciri kapitalisme dalam kegiatan ekonomi pemanfaatan tumbuhan obat terlihat dari peran pengusaha dan pengepul di mana kedua belah pihak sama-sama memperoleh keuntungan dari bisnis tumbuhan obat Tabel 15 Tabel 29. Pada Tabel 33 dan Tabel 34 juga menunjukan terjadinya peningkatan ekspor-impor obat tradisional Indonesia menuju pasar internasional sebesar 3,4 – 4 kali lipat sehingga menempatkan Indonesia sebagai produsen dengan keuntungan yang menggiurkan dari obat tradisional. Selain itu, kerusakan tumbuhan obat di alam tidak pernah dapat terlihat secara kasat mata apabila tidak dilakukan pengujian secara mendalam karena sebagian besar tumbuhan obat tersebut menempel ada inangnya, berupa semak dan herba. Oleh sebab itu, kerusakan tumbuhan obat hanya bisa dilihat apabila terjadi kegiatan penebangan hutan yang masif seperti pada hutan produksi, tetapi pada hutan lindung, taman nasional, kawasan lindung yang tidak terjadi penebangan pohon, kerusakan sumber daya tersebut sulit dilihat secara kasat mata. Pada aspek inilah politik ekologi pemanfaatan tumbuhan obat hendak meneropong permasalahan lingkungan yang terjadi pada tempat dimana tidak terjadi persoalan lingkungan yang masif . Perdagangan tumbuhan obat, modernisasi obat tradisional dan modernisasi pelayanan kesehatan justru terlibat dalam meningkatkan laju kerusakan sumber daya tumbuhan obat sebab tumbuhan obat bukanlah sumber daya yang dilarang dimanfatkan di Indonesia. Hingga saat ini, peraturan perundangan untuk mengatur pengelolaan tumbuhan obat secara khusus belum tersedia sehingga sumberdaya ini menjadi barang bebas yang dapat dimanfaatkan oleh siapa saja. Untuk mencegah terjadinya pemanenan yang berlebihan atas tumbuhan obat sehingga tidak terjadi masalah ekologi politik, semua pihak harus menyadari pentingnya kelestarian sumber daya tersebut di alam. Hal ini penting karena banyak pihak yang hidupnya amat tergantung pada ketersediaan pasokan bahan baku ini. Modernisasi terhadap layanan kesehatan tradisional dan obat tradisional telah menciptakan lapangan kerja yang sifatnya padat karya, sehingga apabila cadangan bahan bakunya di alam merosot tajam dapat menyebabkan hilangnya sejumlah lapangan pekerjaan di pusat-pusat industri obat tradisional. Hal ini akan menurunkan juga pendapatan Negara dari sektor pajak dan kesempatan kerja sehingga menjadi beban Negara.

2.3. Akses Terhadap Sumberdaya

Ribot dan Peluso 2003 menyebutkan bahwa memiliki hak legal bukan berarti mampu mengendalikan sumberdaya yang terdapat di dalamnya. Hak akses yang dimiliki oleh individu atau kelompok justru kerap kali mampu mengendalikan sumber daya yang ada di dalamnya. Untuk mendapatkan hak akses sedikitnya dapat ditempuh melalui delapan mekanisme, yaitu teknologi, kapital, market, tenaga kerja, pengetahuan, otoritas, identitas sosial dan negosiasi melalui relasi sosial. Dalam penelitian ini hak akses yang ingin dilihat adalah permintaan terhadap bahan baku tumbuhan obat yang berasal dari hutan untuk klaster produksi. Permintaan terhadap bahan baku menjadi variabel terikat dan delapan variabel akses menjadi variabel bebas. Pada klaster layanan kesehatan variabel terikatnya adalah jumlah pasien yang dapat dilayani melalui pengobatan tradisional selama satu tahun, sedangkan pada klaster industri variabel terikatnya adalah jumlah produksi obat tradisional selama satu tahun. Pada klaster ini sebagian besar obat tradisional yang diproduksi adalah jamu baik berbentuk serbuk, kapsul, tablet ataupun ekstrak. Sebagian besar jamu dapat dimasukan ke dalam kategori makanan dan minuman, bukan sebagai obat tradisional yang telah memenuhi standar saintifikasi jamu. Berdasarkan Tabel 11, 18 dan 25, diketahui akses yang dimiliki oleh masing-masing klaster yang disajikan pada Tabel 35. Tabel 35. Akses pada Masing-Masing Klaster Klaster Stakeholder Variabel Akses α= 1 Akses α= 5 Produksi 10 4 Teknologi, kapital, market Teknologi -, kapital -, market + Layanan Kesehatan 18 8 Market Market + Industri 12 8 Kapital + Pada Tabel 35 terlihat bahwa akses terbanyak dimiliki oleh klaster produksi dibandingkan klaster layanan kesehatan dan industri. Tetapi pada klaster produksi variabel akses yang digunakan terbatas pada empat variabel dibandingkan kedua klaster yang lain. Penggunaan delapan variabel pada klaster produksi menyebabkan data tidak dapat dianalisis, hal ini kemungkinan disebabkan oleh terbatasnya jumlah para pihak pada klaster produksi. Untuk mengatasi kendala tersebut, analisis dilakukan hanya pada empat variabel akses yang berhubungan dengan variabel ekonomi secara langsung. Analisis lebih lanjut terhadap empat variabel akses lain yang tersisa pada klaster produksi juga tidak dapat dilakukan karena data yang ada tidak dapat dianalisis secara statistik, sehingga analisis terhadap data tersebut dilakukan secara deskriptif. Terkait dengan ekologi politik pemanfaatan tumbuhan obat, Tabel 35 menunjukan situasi “tertindas” pada para pihak yang terdapat pada klaster produksi. Dari ketiga akses yang dimiliki yaitu teknologi, kapital dan pasar hanya akses terhadap pasar saja yang bernilai positif sedangkan akses yang lain bernilai negatif. Rebot dan Peluso 2003 menyebutkan bahwa akses terhadap pasar menempatkan para pihak pada klaster produksi berfungsi sebagai penjual sumberdaya dan tergantung pada pasar yang sifatnya monopsoni. Tidak adanya akses terhadap teknologi dan kapital menyebabkan para pihak mengalami hambatan dalam mengelola sumber daya tumbuhan obat karena tergantung pada alat-alat sederhana, tidak seperti industri obat tradisional yang sudah melakukan modernisasi. Dampak lainnya, para pihak juga tergantung pada input kapital dan pemberdayaan padahal para pihak memiliki akses yang dekat terhadap hutan dan tumbuhan obat.